MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO


Halaman 6

Saudara-saudara. Tetapi... tetapi... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham, "Indonesia über Alles", Inilah bahayanya! Kita cinta Tanah Air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata : "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan", "My nationalism is humanity".

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan "Deutschland über Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulya, berambut jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termuliya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan "internasionalisme". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip I dan prinsip II, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke 3 ? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, - maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna, - tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan membicarakan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan Perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam kedalam badan perwakilan ini. Ibaratnya Badan Perwakilan Rakyat 100 orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan Rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini beberapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun yang terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap Letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, - fair flay! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam Negara Nippon tidak ada penggeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pikiran kepada kita, supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita terlalu bergosok, seakan-akan menumbuk rnembersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!

Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, mereka dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, dinegara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke democratie saja, semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid - tak ada keadilan sosial, tidak ada economische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politike democratie.

Halaman 7



Back Forward

(c) 2001 compiled by