MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO

BUNG KARNO
‘FOUNDING FATHER’ TERKEMUKA
NASION INDONESIA

(Bagian I)

Tues, 27 Feb 2001 22:34:19 +0100

(Ditulis dalam rangka Peringatan HUT KE-100 BUNG KARNO)

Selama lebih dari 32 tahun, meliputi kurun waktu era Orde Baru, nama Bung Karno telah diburukkan demikian rupa sehingga, yang tinggal dari Bung Karno, (tampaknya), bahwa beliau adalah seorang tokoh orator yang otoriter, yang gila perempuan, yang suka kawin, yang telah ikut membesarkan PKI dan yang terlibat dengan, bahkan dituduh sebagai dalang, dari G30S, dsb dsb.Yang teristimewa lantang dan galak sekali tuduhan yang dialamatkan kepada founding father nasion kita itu, adalah bahwa ‘Sukarno adalah kolaborator Jepang’. Tuduhan seperti itu juga sampai detik ini dimamahbiak oleh sementara kalangan di Belanda, yang masih teramat sulit melepaskan pandangan kolonialnya terhadap Indonesia, khususnya terhadap pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia.

Dalam periode kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, kongkritnya sejak polisi Belanda mendeteksi kegiatan politik Bung Karno, sampai diproklamasikannya kemerdekaan dan berlangsungnya perjuangan rakyat kita untuk mempertahankan kemerdekaan tsb, kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, terlebih-lebih lagi yang berpusat di Den Haag, menganggap Bung Karno sebagai “onze aartsvijand nummer een”, sebagai “musuh bebuyutan kita nomor satu’.

Yang masih berpandangan kolonial-Belanda tulen seperti itu terdapat juga diantaranya, sementara orang yang berkulit sawo matang. Fikiran dan hati mereka sudah amat jauh jaraknya dari perasaan dan hati rakyat Indonesia. Yang mereka lakukan adalah memamahbiak tuduhan ‘kolaborator’ terhadap Bung Karno. Memburuk-burukkan nama pejuang dan pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia sudah mendarah daging pada mereka, bahkan sudah menjadi samacam ‘hoby’ mereka.

Dengan sendirinya, segala hujatan, tuduhan, makian dan obrolan rekayasa, yang dialamatkan kepada Bung Karno, bukan karena pertama-tama mereka-mereka itu tidak suka dan benci terhadap tokoh Bung Karno. Latar belakang dan tujuan utama mereka itu, 100 persen sarat dengan muatan politik, politik kolonialisme.

Menjelang direbutnya kekuasaan politik mantan Presiden Sukarno, yang dilakukan dalam suatu operasi ‘kup merangkak’ di bawah regi Jendral Suharto, bahkan jauh sebelum itu, pers Barat dan sementara pers dalam negeri, yang berkecenderungan membela politik parpol-parpol Kanan di Indonesia, dengan asyik dan syur sekali melibatkan dirinya dalam kampanye mencemarkan nama Bung Karno. Kalau kita baca kembali pers Barat ketika itu, khususnya, Amerika dan Inggris, seperti ‘Time Magazine’, ‘Newsweek’, ‘The Economist’, ‘The Financial Time’, dsb., maka hujatan dan pencemaran nama, yang diarahkan terhadap Bung Karno, seperti yang disuarakan oleh pers Orba dan sementara pers Indonesia dan luarnegeri kini, khususnya pers Kanan Belanda, adalah pengulangan belaka dari tuduhan-tuduhan yang itu-itu juga. Sama saja dengan kampanye pers anti-Sukarno, selama era Perang Dingin dan selama periode Orba. Tetapi, apakah dengan kampanye fitnah terhadap Bung Karno, mereka-mereka itu telah berhasil mengurangi kecintaan rakyat dan bangsa kita terhadap Bung Karno? Jelas tidak!

Tahanan dan pengisolasian yang teramat kejam oleh rezim Orba, kemudian siksaan lahiriah, yaitu penahanan rumah, sangat tidak memadainya pengurusan kesehatan beliau, dan isolasi politik serta mental (dalam kata-kata Roeslan Abdoelgani: “Bung Karno dalam keadaan terasing dan terkungkung”), yang ketika itu memang sudah mengidap penyakit, telah mempercepat meninggalnya Bung Karno. Ketika itu bukan main ketakutannya rezim Suharto. Pasti rakyat yang sejak Oktober 1965 mengalami teror dan represesi Orba, akan berbondong-bondong mengantar jenazah Bung Karno ke tempat peristirahatan beliau yang terakhir. Keinginan beliau ketika masih hidup, adalah nantinya dimakamkan dengan tulisan pada nisan yang menghiasi makamnya:

BUNG KARNO - PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT

Suharto mencari cara untuk lari dari situasi gawat, yang ia bayangkannya sendiri, dimana ratusan ribu rakyat akan mengantar jenazah Bung Karno, dan pasti di sepanjang jalan-jalan yang akan dilalui iring-iringan akan menanti ratusan ribu rakyat sebagai tanda penghormatan terakhir mereka kepada pemimpin bangsa, dan sebagai tanda protes terhadap perlakuan tidak berperikemanusiaan terhadap Bung Karno dalam tahanan Orba, sebelum beliau meninggal. Orba menemukan suatu cara yang jahat, yang malah menunjukkan betapa bencinya mereka terhadap tokoh Bung Karno.

Bertentangan dengan amanat Bung Karno, dan keinginan keluarga yang ditinggalkan beliau, agar beliau dimakamkan di suatu tempat di Jawa Barat, setelah disemayamkan dahulu di rumah Ibu Fatmawati di Kebayoran Baru, Orba memerintahkan jenazah Bung Karno dibawa ke Blitar dan dimakamkan di sana. Karena Suharto tidak mengizinkan jenazah Bung Karno disemayamkan di rumah beliau di Kebayoran Baru, Ibu Fatmawati tidak sempat melihat jenazah Bung Karno. Seperti diketahui mendiang Ibu Fatmawati menolak untuk datang ke Wisma Yaso, karena disitulah Bung Karno dirampas kebebasannya oleh Orba.

Meskipun jenazah Bung Karno dibawa jauh ke Blitar, namun, rakyat Blitar dan dari daerah sekelilingnya, berbondong-bondong memenuhi jalan-jalan dimana iring-iringan jenazah Bung Karno lalu, dan dengan sendirinya di tempat dimana Bung Karno dimakamkan, Taman Pahlawan Sentul.

Suharto menciptakan pelbagai macam rintangan, untuk mencegah rakyat banyak datang berziarah ke makam Bung Karno. Tetapi rakyat tidak menghiraukan samasekali semua rintangan buatan itu. Sampai detik ini, orang selalu datang berbondong-bonding berziarah ke makam Bung Karno. Rakyat menunjukkan rasa hormat dan cinta dan penghargaannya kepada salah seorang pendiri utama dari bangsa dan negara kita. Sikap rakyat ini juga membuktikan bahwa segala caci-maki, hujatan dan fitnahan yang mereka tujukan ke alamat Bung Karno, gagal total. Rakyat tidak melupakan Bung Karno. Rakyat tidak melupakan pemimpin mereka. Rakyat tahu siapa Bung Karno. Rakyat tetap mencintai Bung Karno.

Kenyataan bahwa Bung Karno tetap dengan tegarnya bersemayam di hati rakyat, kenyataan bahwa Bung Karno tetap dihormati oleh sebagian besar kaum cendekiawan kita, akhirnya mendorong Orba untuk secara formal mengakui bahwa Bung Karno, dan Bung Hatta adalah proklamator dari kemerdekaan Indonesia. Akhirnya Suharto tokh terpaksa mengakui kenya-taan sejarah tersebut dengan amat berat. Seterusnya kita menyaksikan betapa Orba tidak bisa lagi merintangi hasrat masyarakat, dalam manifestasi cinta dan rasa hormat kepada bapak-bapak pembina bangsa, menggantikan nama Pelabuhan Udara Internasinal Kemayoran dengan nama baru, yaitu BANDARA INTERNASIONAL SUKARNO-HATTA.

Massa rakyat yang luas tidak hanya menghendaki nama Sukarno-Hatta pada pelabuhan udara internasional di Jakarta, tetapi juga menginginkan mengetahui segala sesuatu tentang Bung Karno, ingin membaca dan mempelajari kembali karya-karya dan pidato-pidato Bung Karno selama hidupnya. Rakyat ingin belajar dari sejarah perjuangan panjang yang dilakukan oleh bapak bangsa ini, melawan kolonialisme Belanda.

Dalam suasana demikian itu, tidaklah merupakan suatu surprise bahwa salah seorang dari puteri Bung Karno, yaitu Rakhmawati Sukarnoputri, bersama dengan lain-lainnya memprakarsai didirikannya UNIVERSITAS BUNG KARNO. Karena kehendak masyarakat yang luas itu sudah sampai pada masalah yang paling peka mengenai Bung Karno, yaitu mengenai visi dan ide-ide politik beliau, maka Orba mengkhawatirkan dengan berdirinya Universitas Bung Karno, situasi bertambah populernya tokoh Bung Karno sebagai bapak bangsa, situasi politik menjadi tidak terkendalikan lagi. Dan ini terang akan membahayakan legitimasi Orba dan menimbulkan kesulitan yang dianggap krusial bagi Orba. Suharto khawatir bahwa rakyat akan semakin sedar bahwa Orba menguasai negara atas dasar persekusi dan perebutan kekuasaan yang dilakukan terhadap pemerintahan mantan Presiden Sukarno.Barulah sesudah Suharto lengser, mantan presiden B.J. Habibie, terpaksa tidak lagi berani melarang berdirinya Universitas Bung Karno. Habibie tidak bisa melarang lagi didirikannya Universitas Bung Karno, karena hasrat dan tuntutan itu adil dan masuk akal. Sikap Habibie itu juga karena beliau tidak ingin disamakan dengani Suharto.

Sudah jelas, rakyat Indonesia amat mencintai dan menghormati pemimpin dan pembina nasion Indonesia ini. Juga di dunia internasional tidak sedikit yang menghormati dan me-ngagumi Bung Karno. Sejak dilangsungkannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955, yang antara lain pemrakarsa utamanya adalah Indonesia, sejak itu, Bung Karno tidak saja dikenal sebagai tokoh pemimpin Indonesia, tetapi juga sebagai tokoh pemimpin Asia-Afrika. Beliau dianggap sebagai salah seorang jurubicara rakyat-rakyat Asia dan Afrika yang ketika itu sedang memperjuangkan dan membela kemerdekaannya. Beliau dijuluki sebagai “A man of thought and a man of struggle”, seorang manusia pemikir dan pejuang.

Aku ingat, ketika aku mewakili Indonesia, di Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Asia-Afrika, di Cairo, dalam perjalananku ke pelbagai Asia Afrika, melaksanakan tugas Sekretariat Tetap, bila aku memperkenalkan diri sebagai utusan dari Indonesia, maka dengan mengangkat jempol, orang-orang yang kujumpai di pelbagai negeri itu, menyerukan INDONESIA, SUKARNO!. Begitu populernya Bung Karno di banyak negeri-negeri Asia dan Afrika. Bukan saja dikenal oleh dunia pers, tetapi juga populer di kalangan rakyat biasa, seperti supir-supir, dan pemilik-pemilik kedai kaki lima di sepanjang jalan di New Delhi,Cairo, Aljazair, Darussalam, Accra, Conakry dan banyak negeri lainnya di Asia dan Afrika.

Maka sudahlah pada tempatnya tahun ini, tahun 2001, genap lahirnya Bung Karno yang ke-100, saat yang penting itu akan diperingati, dimulai dalam bulan Februari ini dengan setidaknya 12 seminar, dan pameran tentang kehidupan Bung Karno dan karya-karyanya yang akan berlangsung selama 15 hari.

Dengan gembira dan lega masyarakat menyambut didirikannya Panitia Peringatan HUT Ke-100 Bung Karno, di Jakarta, pertengahan Januari y.l., dengan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai pelindungnya.

Memperingati hari ulang tahun ke-100 Bung Karno, berarti mengenangkan kembali perjuangan beliau, sebagai bapak pendiri nasion dan proklamator kemerdekaan Indonesia. Berarti membaca dan mempelajari kembali karya-karya dan pidato-pidato beliau, berteladan pada Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan, yang sampai pada masa akhir hidupnya, ketika ditahan, diisolasi dan ditekan oleh Suharto dan Orba, dengan berani dan teguh mempertahankan pendirian politik dan kebijaksanaan yang diyakininya, dalam membina, membela dan memperkokoh persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa dan negeri kita.

(Sementara sumber diperoleh a.l. dari buku Rachmawati Soekarno: BAPAKKU, IBUKU, DUA MANUSIA YANG KUCINTAI DAN KUKAGUMI, Jakarta, 1984).


Amsterdam

* * * *



Back

Forward




(c) 2000 compiled by [email protected]