H e r s r i   S e t i a w a n :

SANG PENGGUGAT

"Di Timur Matahari"

panggung: Larut malam. Di ruang duduk rumah kediaman pengacara  Mr.Suyudi di Yogyakarta. Koran, buku-buku, kertas-kertas  masih bertebaran di meja. Tinggal Inggit dan Sukarno di ruangan ini. Inggit membacai guntingan-guntingan koran.

Inggit: Kus, dengar kubacakan. Darmokondo 11 Juli 1932: Di kampung Pagelaran Sukabumi ada hidup satu suami istri bernama Musa dan Unah, dengan ia punya anak lelaki yang kesatu berumur 5 tahun, yang kedua 3 tahun, dan yang ketiga beberapa bulan. Ia cuma hidup saja dengan daun-daunan ..., yang ia makan buat gantinya nasi. Buat sambung ia punya jiwa serta anak-anaknya, itu suami istri telah dapatkan satu fikiran, yaitu ... jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.

Sukarno: Ya, Enggit. Dari koran-koran saban hari kita bisa mengumpulkan lagu megatruh yang melagukan betapa susah  hidup Kang Marhaen dalam zaman meleset sekarang ini.

Inggit: Ini satu lagi, Kus. Dari Aksi 14 November 1931: Di desa Banaran Tulungagung kemarin dulu orang sudah menjadi ribut. Duduknya perkara begini. Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali. Saban hari ia cari kerja tapi sia-sia, tidak ada orang yang butuh kuli. Kemarin dulu ia cuma duduk termenung di rumah saja. Rupa-rupanya sudah putus asa, dan bingung mendengarkan anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu ia sudah ketemu mati gantung diri.

Sukarno: Jaman meleset ini memang sangat hebat, Enung. Sangat hebat. Dimulai dengan krisis yang kronis di lapangan  pertanian di Amerika Serikat dan Eropa Barat, dan kemudian dibarengi dengan krisis di lapangan industri.

Inggit: Jadi? Toh di sana Kus melihat ada sinar matahari?

Sukarno: Benar Enggit. Tahun-tahun meleset ini adalah tahun-tahun hidup matinya kapitalisme internasional. Hidup matinya kolonialisme internasional. Pasti! Waktunya akan datang, ketika Perang Pasifik menyambar-nyambar menggeledek membelah angkasa. Dan itu tidak akan lama   lagi, Enung. Jika Pasifik menjadi merah oleh darah, dan bumi di sekelilingnya menggelegar oleh ledakan-ledakan  bom dan dinamit, di saat itu rakyat Indonesia melepaskan  dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka ...

Inggit: Kus ...

Sukarno: Ya, Inggit. Untuk itulah maka kuusulkan  PPPKI sekarang bukan lagi Permusyawaratan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, tapi Persatuan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kemerdekaan Indonesia. Zaman musyawarah untuk bersatu sudah lewat, karena kita sudah bersatu. Zaman politik kebangsaan sudah lewat, karena kita sudah punya Sumpah Pemuda. Sekarang kita masuki zaman perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Indonesia merdeka sekarang. Ya, Enggit, sekarang ...

Inggit: Kus!

(lampu padam)

panggung: Ruang yang sama. Menjelang fajar. Suara azan subuh terdengar lamat-lamat.

suara: Pintu-pintu digedor, disertai bentakan-bentakan perintah membukanya, ada yang berbahasa Belanda dan ada yang berbahasa Indonesia.

Gatot Mangkupraja, masih mengenakan piama, bergegas keluar membukakannya.

Komisaris Polisi (seorang Belanda, menyerbu masuk sambil menodongkan pistol): Tuan Gatot Mangkupraja?

Gatot Mangkupraja: Benar.

Komisaris Polisi: Dimana Tuan Sukarno?

Gatot Mangkupraja: Silakan Tuan cari sendiri.

Komisaris Polisi memberi isyarat. Seorang Agen Polisi, pribumi, masuk, dan segera menggandeng Gatot Mangkupraja keluar. Agen Polisi sibuk keluar-masuk kamar. Mengangkuti barang-barang rampasan: buku-buku, tumpukan koran, kertas, alat potret, mesin tulis.

Soekarno, diiringi Inggit Garnasih, dengan tenang keluar; mereka berdiri menatap muka Komisaris Polisi.

Komisaris Polisi, sesudah sejurus tampak tertegun, mengucapkan kata-kata resmi: "Atas nama Sri Baginda Ratu, Tuan saya tahan!"

Sukarno, setelah mencium dahi Inggit, keluar digiring Komisaris Polisi, Inggit mengiringinya dengan pandangan mata.

suara: Beberapa sepeda motor menjauh. Begitu suara sepeda motor tidak lagi terdengar, kesunyian subuh dikejutkan suara dering telpon.

Inggit (bicara di gagang telpon): Interlokal? Dari? Dari Solo? Ya, benar. Ya, ya, saya sendiri. Oh, Mas Ali? Ya, selamat pagi! Jangan terlalu prihatin, Mas. Juga kami di sini baru saja digerebeg polisi. Semua ditangkap, ya, kecuali saya dan tuan rumah, Mr. Suyudi. Ya, semua! Juga Gatot, Maskun, Mang Ada, Mang Oyib. Ya Bung Karno, tentu saja. Tapi kita berjuang terus, Bung!

lagu: Gamelan Bali "Tari Margapati"

(lampu perlahan padam)

suara tunggal: Hampir delapan bulan sudah. Sukarno, Gatot Mangkupraja, Maskun, Supriadinata, pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan itu, meringkuk di penjara Banceuy Bandung. Mereka dituduh penguasa telah berserikat dalam perkumpulan-perkumpulan, yang bermaksud melakukan perbuatan makar, baik terhadap pemerintah maupun para pembesar negeri.

(bersamaan itu lampu perlahan terang)

Hari ini, 18 Agustus 1930, mereka diajukan ke depan pengadilan Landraad Bandung. Seperti ditarik besi berani yang luar biasa kuatnya, kaum pergerakan kebangsaan dan rakyat marhaen berduyun-duyun menuju gedung pengadilan yang tak berkeadilan, di Jalan Gereja di tepi sungai Cikapundung Bandung.

panggung: ruangan pengadilan. Lambang Dewi Yustisia di latar belakang. Di belakang meja Hakim Ketua, Mr. Siegenbeek  van Heukelom; di samping depan Jaksa Kepala, Tuan Sumadisurya, bersitentang dengan para pembela. Empat terdakwa, duduk membelakangi pengunjung, semuanya berpantalon dan jas buka putih, bersepatu dan peci hitam. Di baris depan pengunjung kelihatan Inggit Garnasih dan para pemimpin pergerakan, seperti Thamrin dan Tjokroaminoto, Dr. Samsi, Anwari, juga A. Hassan, Suwarsih dan Sugondo.

Hakim: Tuan Sukarno?

Sukarno: Ya.

Hakim: Tuan tentu sudah mendengar dengan baik tuduhan Tuan Jaksa Kepala?

Sukarno: Sudah.

Hakim: Apakah semua tuduhan Tuan mengerti jelas?

Sukarno: Lebih dari jelas.

Hakim: Bagus! Jadi Tuan mau mencapai Indonesia Merdeka dengan satu revolusi? Artinya dengan kekerasan? Dengan pertumpahan darah?

Sukarno: Tuan yang mengatakan demikian. Tetapi saya tidak! Dimana-mana saya selalu bicara tentang jalan musyawarah.

Hakim: Apakah Tuan bisa menyebut contoh dalam sejarah? Satu revolusi tanpa kekerasan, tanpa pertumpahan darah?

Sukarno: Apakah Tuan belum mendengar yang disebut The Glorious Revolution tahun 1668? Ketika rakyat Inggris mendapatkan parlemennya untuk pertama kali? Itu revolusi besar, Tuan Hakim. Dan tanpa setetes darah menitik!

suara: gemuruh pengunjung bertepuk tangan sambil berseru-seru membenarkan.

Hakim (sesudah memukul-mukulkan palunya, menenangkan publik): Mengapa Tuan takut, jika perhimpunan tuan-tuan dimasuki spion-spion pemerintah? Seperti yang tersebut di dalam surat perhimpunan Tuan?

Sukarno: Karena spion-spion Tuan itu orang-orang bodoh dan penjilat saja. Sehingga biarpun kami tidak menyembunyikan barang sesuatu apa pun, mereka pasti akan membikin pekabaran-pekabaran bohong dan laporan-laporan palsu. Tidakkah kepada Tuan Mr.Ir. Kiwiet de Jonge saya sudah  minta supaya diberi spion-spion terpelajar? Dan Tuan Kiwiet juga sudah berjanji akan berunding dengan pangreh praja Tuan?

Hakim: Dengan jalan bagaimana orang Hindia akan bisa merdeka?   Jika kelak telah menjadi kuat hati dan kemauan mereka?

Sukarno: Barangkali untuk permulaan kami akan mendapat konsesi  sedikit-sedikit. Lalu selanjutnya konsesi-konsesi lebih luas berupa dominion status? Tetapi sesungguhnya ini bukan soal kami. Ini persoalan Tuan-tuan. Maka Tuan-tuan sendiri yang harus menjawabnya ...

suara: sementara orang bertepuk tangan.

Hakim: Menurut Tuan Sukarno, bagaimana langkah paling akhir yang Tuan hendak ambil, guna mencapai kemerdekaan seluas-luasnya itu?

Sukarno: Pertanyaan Tuan belum bisa kami jawab sekarang. Tetapi kelak jika organisasi massa kebangsaan sudah mempunyai kemauan nasional yang matang, dan pergaulan dunia di kemudian hari sudah bisa kami ketahui.

Hakim: Jadi Tuan mengakui? Selama pemerintah Belanda ada di sini, Nederland tidak akan melepaskan Hindia dengan kemauan sendiri?

Sukarno: Tidak. Nederland hanya akan melepaskan negeri-negeri jajahannya jika pergaulan umum dan keadaan dunia memaksanya.

Hakim: Bagaimana pandangan Tuan Sukarno tentang perubahan internasional itu?

Sukarno: Menurut pemandangan kami zaman kapitalisme, seperti sekarang ini, tidak boleh tidak pasti akan diubah menjadi zaman baru. Pasti! Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa   kejadian itu suatu hari akan datang. Dunia baru akan datang!

suara: gemuruh pengunjung bertepuk tangan membenarkan.

Hakim (sejurus terdiam, menyeka dahinya yang panas dengan saputangan): Apakah revolusi itu bisa menimbulkan kekerasan?

Sukarno: Tentu saja bisa.

Hakim: Bagus! Apakah revolusi itu tidak akan menimbulkan kekerasan?

Sukarno: Tidak harus.

suara: pengunjung menahan tertawa.

Hakim: Apakah revolusi yang Tuan artikan tadi juga diterangkan dalam kursus-kursus untuk anggota-anggota organisasi Tuan?

Sukarno: Harus, Tuan Hakim. Harus diterangkan. Karena orang-orang di situ sederhana pengetahuan mereka. Maka harus diterangkan, bahwa revolusi bukan golok-golokan dan bom-boman. Melainkan perubahan yang lekas. Itu revolusi, Tuan Hakim!

suara (seorang pengunjung): Jitu!

Hakim: Revolusi-revolusi dunia mana yang diajarkan? Siapa saja yang mengajar?

Sukarno: Saudara Manadi mengajar Revolusi Perancis untuk kursus pimpinan organisasi. Saya sendiri Revolusi Bolsyewik. Dan Saudara Gatot Mangkupraja, bersama saya, mengajar Perang Kemerdekaan Amerika.

Hakim: Mengapa revolusi-revolusi berdarah seperti itu diajarkan?

Sukarno: Karena setiap pemimpin pergerakan nasional harus tahu zaman-zaman terpenting di dalam sejarah dunia. Revolusi Perancis karena revolusi ini membuka pintu zaman demokrasi. Revolusi Bolsyewik karena tanpa mengetahui revolusi ini, orang tidak akan tahu dan menangkap arti paham-paham alternatif bolsyewisme, komunisme dan sosialisme. Dan Perang  Kemerdekaan Amerika, karena saya perlu contoh bahwa sesuatu revolusi bisa menjadi lantaran bangunnya sesuatu staat yang super-kapitalistis. Tetapi kami tidak hanya belajar dari revolusi-revolusi besar   dunia, Tuan Hakim. Kami juga belajar dari pergerakan-   pergerakan di Turki, Mesir, Hindustan, dan Filipina.  Pergerakan-pergerakan rakyat untuk mendapat kemerdekaan ...

Hakim: Mendapat kemerdekaan. Apakah itu merupakan usaha untuk mencapai maksud Tuan juga?

Sukarno: Tuan Hakim benar.

Hakim: Tuan Sukarno pernah bicara tentang cara-cara untuk mendapatkan kemerdekaan?

Sukarno: Ya. Saya katakan, kita tidak boleh sekali-kali menunggu kemerdekaan turun dari langit. Menunggu dihadiahkan imperialis Belanda atas kemauannya sendiri. Tidak, tidak, sekali lagi tidak!

suara: gemuruh orang bertepuk tangan membenarkan.

Hakim (sesudah memukul-mukulkan palu menenangkan suasana): Apakah Tuan Sukarno tahu? Sebab-sebab Dr. Tjipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda?

Sukarno: Tahu. Dan Tuan Hakim boleh percaya, bahwa saya tidak membual: Dr. Tjipto didakwa memberi sepuluh gulden kepada seseorang yang terlibat pemberontakan 1926 ...

suara: gema orang-orang tertawa-tawa.

Hakim (kembali memukulkan palunya, marah): Tuan pernah mengatakan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda lambat-laun harus dirubuhkan. Benar?

Sukarno: Benar.

Hakim: Mengapa?

Sukarno: Karena tujuan kami Indonesia Merdeka ...

Hakim: Dan Tuan kemudian menganjurkan mendirikan suatu republik? Apa jawab Tuan?

Sukarno: Saya akui! Saya gambarkan tentang cita-cita "Republik Indonesia", sengaja untuk membantah persangkaan orang, bahwa kami dan saya pribadi mencita-citakan Kerajaan Indonesia dan Raja Sukarno ...

suara (gemuruh tepuk tangan dan seruan orang-orang):Hidup Bung Karno! Hidup Republik Indonesia!

Hakim (memperingatkan publik dengan palunya): Aturan negeri republik yang bagaimana yang Tuan hendak susun, jika kemerdekaan Tuan punya Indonesia itu suatu hari telah datang?

Sukarno: Cita-cita saya adalah suatu democratische republiek. Bukan soviet republiek.

Hakim (sejurus diam, menyeka keringat mukanya dengan saputangan, melihat arloji sakunya): Sidang pengadilan hari ini ditutup sementara, dan akan dibuka kembali untuk mendengar pembelaan para terdakwa. (Ia mengetukkan palunya pada meja).

suara-suara: Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!

(lampu padam)

panggung: ruang pengadilan yang sama.

Hakim: Tuan-tuan. Sidang pengadilan saya buka kembali (ia mengetukkan palunya tiga kali pada meja). Tuan-tuan sekalian, khususnya Tuan-tuan Sukarno, Gatot Mangkupraja, Maskun dan Supriadinata, sudah mendengar keterangan lebih dari 30 orang saksi. Replik Tuan Jaksa Kepala dan duplik Tuan-tuan Pengacara juga sudah dikemukakan. Sekarang giliran Tuan-tuan Terdakwa mengajukan pembelaan. Apakah Tuan-tuan masing-masing akan mengemukakan pembelaan Tuan?

Gatot: Tuan Sukarno akan mewakili kami sekalian.

Hakim: Saya persilakan Tuan Sukarno.

Sukarno (membawa map besar menuju ke mimbar): Maaflah Tuan-tuan Hakim, kalau kami di dalam pidato ini minta Tuan-tuan punya perhatian sampai berjam-jam lamanya. Atas salah satu pertanyaan Tuan Hakim Ketua kami menjawab bahwa, dengan sikap tengah yang bagaimanapun juga, kami sebagai kaum kiri melihat lebih banyak kejelekan daripada kebagusan di dalam nasib negeri dan rakyat Indonesia sekarang ini. Kami terkenal sebagai pengeritik keadaan negeri dan nasib rakyat yang buruk itu. Tetapi kami tidak pernah mengucapkan kritik yang palsu. Kami tidak pernah meninggalkan sikap yang adil.

Tuan-tuan Hakim yang terhormat,

Di dalam aksi-aksi kami sering terdengar perkataan kapitalisme dan imperialisme. Juga di dalam proses ini, kata-kata ini pun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata "kapitalisme harus dilenyapkan". Kami dituduh membahayakan pemerintah, kalau umpamanya kami berseru "rubuhkanlah imperialisme". Ya, kami dituduh berkata, bahwa kapitalisme sama dengan bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme sama dengan pemerintah yang sekarang!

(Ia diam sesaat, menatap hadirin sebelum meneruskan): Apakah bisa jadi benar tuduhan itu? Tidak, tidak benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme sama dengan bangsa asing, dan bahwa imperialisme sama dengan pemerintah. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme, dan kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme! Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih panjang lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa - melainkan ialah suatu paham, suatu pengertian, suatu sitem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektual yang tidak mengetahui artinya kata itu.

Tuan-tuan Hakim yang terhormat,

Apa arti imperialisme? Imperialisme juga suatu paham, suatu pengertian. Ia bukan seperti yang dituduhkan pada kami itu. Ia bukan amtenar BB, bukan pemerintah, bukan otoritas, bukan badan apa pun juga. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa atau negeri lain. Suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Imperialisme bisa juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri atau bangsa lain. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang. Ia tak usah berupa "perluasan negeri atau daerah dengan kekerasan senjata", sebagai yang diartikan oleh Van Kol, melainkan bisa juga berjalan hanya dengan "putar lidah" atau secara "halus-halusan". Ia bisa berjalan dengan cara "penetration pacifique".

Tuan-tuan Hakim,

Imperialisme tua sekarang ini makin lama makin layu, dan imperialisme modern telah menggantikan tempatnya. Cara pengedukan harta yang menggali untung untuk Negeri Belanda, juga makin lama makin berubah terdesak cara-cara pengedukan baru yang memperkaya modal partikulir. Cara pengedukannya berubah. Tetapi banyakkah perubahan bagi rakyat Indonesia? Tidak, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tidak. Sekali lagi tidak! Banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan makin besar, "pengurasan" Indonesia malahan makin menjadi-jadi ...

suara-suara (gema orang banyak membenarkan, tapi ada juga yang meneriakkan kata-kata): Betul! Itu betul! Hidup Bung Karno!

Sukarno: O, Tuan-tuan Hakim. Memang. Memang zaman modern-imperialisme mendatangkan "beschaving". Zaman modern-imperialisme mendatangkan peri kehidupan "damai dan tenteram". Zaman modern imperialisme memang mendatangkan jalan-jalan yang menggampangkan perhubungan, lampu listrik, telegraf, kedokteran, keteknikan ..., ya kepandaian barang apa saja sampai yang mendekati kepandaiannya jin peri perayangan pun. O, Tuan-tuan Hakim. Memang, sareatnya memang memperdayakan. Bayangannya memang membeliakkan mata. Tetapi adakah semua hal itu didatangkan buat keperluan Kang Marhaen? Tuan-tuan Hakim. Dengar kata-kata Brailsford ini: Anugerah-anugerah pendidikan, kemajuan dan aturan-aturan- bagus yang ia bawa itu hanyalah rontogan-rontogan saja dari ia punya keasyikan cari rezeki yang angkara murka itu!

suara, gemuruh orang bertepuk tangan.

Sukarno beberapa saat menatap hadirin, menyeka bibirnya dengan sapu tangan, sambil membiarkan tepuk tangan mereka mereda.

Hakim Ketua berulang-ulang mengetukkan palunya pada meja.

Sukarno: Tuan-tuan Hakim. Prof. van Gelderen dari Centraal Kantoor van de Statistiek menulis: "Perkembangan perusahaan asing dengan sendirinya cenderung kepada usaha untuk senantiasa, dan berangsur-angsur secara lebih besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok ini: majikan dan kapital, jadi juga keuntungan, untuk bangsa asing; dan kaum buruh, jadi juga upah, untuk bangsa bumiputera. Zij maakt de inheemsche bevolking tot een natie van loontrekkers en darmee van Indië een loontrekker onder de naties."

Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka, dan menjadi buruh antara bangsa-bangsa, Tuan-tuan Hakim, itu bukan nyaman! Itu bukan memberi perspektif pada hari kemudian jika terus-terusan begitu! Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan? Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka. Amboi! Dan berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen?! Menurut Statistisch Jaaroverzicht rata-rata hanya 45 sen sehari bagi buruh laki-laki dan 35 sen bagi buruh perempuan.

Tuan-tuan Hakim. Marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati yang tenang dan tulus: Adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, di mana menjalankan "kemerdekaan" dan "hak" itu dihalang-halangi oleh macam-macam halangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian itu?

Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam halangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka "kemerdekaan" itu tinggal namanya saja "kemerdekaan", "hak" itu tinggal namanya saja "hak". Dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka "kemerdekaan cetak-mencetak" dan "hak berserikat dan berkumpul" itu lantas menjadi suatu omong kosong, suatu paskwil!

suara-suara: Betul! Betul!

Sukarno: Toh ... diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak, tiap-tiap makhluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangankan lagi manusia, jangankan lagi bangsa - walau cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!

suara, gemuruh orang-orang membenarkan sambil bertepuk tangan.

Hakim, mengetukkan palunya berkali-kali, sementara Sukarno sengaja diam sementara lamanya, membiarkan orang berseru-seru.

Sukarno: Seluruh riwayat dunia, menurut perkataan Herbert Spencer, adalah riwayat "reactief verzet van verdrukte elementen!"

suara, gemuruh tepuk tangan orang banyak; kali ini Sukarno yang menenangkan mereka dengan isyarat.

Sukarno: Tuan-tuan Hakim. Seluruh dunia yang tulus hati mengertilah bahwa pergerakan ini ialah antithese imperialisme yang terbikin oleh imperialisme sendiri. Bukan bikinan "penghasut", bukan bikinan "opruiers", bukan bikinan "raddraaiers", bukan bikinan "ophitsers" - pergerakan ini ialah bikinan kesengsaraan dan kemelaratan rakyat! Pergerakan lahir karena di dalam hakekatnya dilahirkan oleh tenaga-tenaga pergaulan hidup sendiri. Pempimpin pun bergerak karena hakekatnya tenaga-tenaga pergaulan hidup itu membikin ia bergerak. Bukan fajar menyingsing karena ayam jantan berkokok, tetapi ayam jantan berkokok karena fajar menyingsing ...

suara, orang banyak bertepuk tangan.

Sukarno: Tuan-tuan Hakim. Apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya 'Ratu Adil'? Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Apakah sebabnya seringkali kita mendengar di desa ini atau di desa itu telah muncul seorang 'Imam Mahdi', atau 'Heru Cakra', atau turunan seorang dari Wali Sanga? Tak lain tak bukan ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu tak habis-habisnya menunggu-nunggu datangnya pertolongan, sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak henti-hentinya pula saban jam, saban menit, saban detik menunggu-nunggu dan mengharap-harap: kapankah matahari terbit?

Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, tidak ada satu rakyat negeri jajahan yang tidak ingin merdeka. Tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa Timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna, maupun bangsa kulit putih.

suara (orang-orang berseru-seru menyahut): Betul! Merdeka! Hidup Bung Karno!

Sukarno: Jadi buat apa pembentukan kekuasaan? Buat apa machtsvorming, mungkin Tuan Hakim bertanya-tanya. Machtsvorming, pembentukan kekuasaan, oleh karena soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht! Seluruh riwayat dunia adalah riwayat pergerakan-pergerakan kekuasaan ini, Tuan-tuan Hakim. Seluruh riwayat dunia, terutama sesudah lahirnya paham demokrasi pada fajar abad ke-19, menunjukkan pembentukan kekuasaan ini. Tiap-tiap partai politik, tiap-tiap serikat sekerja, tiap-tiap perkumpulan adalah suatu pembentukan kekuasaan, suatu pembentukan tenaga.

Sukarno (mengusap wajahnya dengan saputangan, terasa ia sampai pada akhir pidatonya): Tuan-tuan Hakim. Sekarang Tuan-tuanlah yang akan mengangkat kata. Sekarang Tuan-tuanlah, penjabat pengadilan dan penjunjung keadilan yang akan mengambil putusan. Kami tidak memajukan hal-hal yang meringankan, kami tidak memajukan alasan-alasan buat mengentengkan kesalahan. Kami hanyalah membuktikan bahwa kami tidak bersalah.

Kami berdiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Sukarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkupradja, bukanlah sebagai Maskun atau Supriadinata. Kami berdiri di sini ialah sebagai bagian-bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh-kesah itu, sebagai putra-putra Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Putusan Tuan-tuan Hakim atas usaha kami adalah putusan atas usaha rakyat Indonesia sendiri, atas usaha Ibu Indonesia sendiri. Putusan bebas, rakyat Indonesia akan bersukur; putusan tidak bebas, rakyat Indonesia akan tafakur. 'Barangkali sudah kemauan Yang Maha Suci' kata pemimpin India Bal Gangadhar Tilak yang besar itu di depan mahkamah, 'bahwa pergerakan yang kami pimpin itu akan lebih maju dengan kesengsaraan kami daripada dengan kemerdekaan kami'. Tetapi Tuan-tuan hakim. Saya yakin, jikalau kelak Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-sama dengan Sphink dari negeri Mesir, dengan Lembu Nandi dari negeri India, dengan Gajah Putih dari negeri Siam, dengan Liong Barongsai dari negeri Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negeri-negeri lain - wahai, tentu hari-harinya internasional imperialisme itu segera terbilang!

suara-suara pengunjung bertepuk tangan disertai yel-yel: Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno! Merdeka! Merdeka!

lagu: refrein "Indonesia Raya"

(lampu perlahan padam)

Bahan:

1. Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan Penerbitan Chusus No.168 tanpa tahun.

2. Ramadhan K.H., Kuantar ke Gerbang; Pustaka Sinar Harapan 1988.

3. Ir. Soekarno, Mentjapai Indonesia Merdeka; Penerbit "Pentja", 1957.

Back

Forward


(c) 2000 compiled by [email protected]