Bagian VII
NOTA PEMBELAAN
Rasa keadilan Menggugat
Majelis Hakim yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum,
para pengunjung dan
selurah rakyat Indonesia yang sangat kami cintai
A. PENGANTAR
Hari ini adalah hari dimana Tim Penasehat Hukum yang tergabung dalam TPDI berkesempatan untuk menyampaikan Nota Pembelaan terhadap tuntutan Sdr. Penuntut Umum dalam kasus 'Peristiwa Berdarah 27 Juli 1996'.
Nota Pembelaan ini kami sampaikan dengan penuh kesadaran dan keyakinan terhadap prinsip-prinsip hukum yang murni dari Republik Indonesia sebagai negara hukum, dimana Pancasila sebagai landasan idiil merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Prinsip-prinsip hukum yang murni yang mendasari keadilan sejati sesuai hati nurani rakyat, yang tidak pernah dan tidak akan pernah mengenali arti kata "reka yasa" biarpun langit runtuh.
Jerit tangis dan rintihan pilu Ibu Pertiwi menyaksikan putra-putrinya diombang-ambingkan, digulang-gulingkan kian kemari oleh kesom- bongan kesewenangan kekuasaan, ibarat mentari pagi dengan sinarnya yang gilang-gemilang namun perlahan tapi pasti akan meredup dan akhirnya hilang ditelan kegelapan malam.
Keadilan sejati yang dilandasi kebenaran betapapun pahit dan berat, namun haruslah diwujudkan, ditampilkar secara nyata, merupakan tujuan setiap keputusan demi keadilan.
Keadilan dan kebenaran itulah yang ingin dituntut oleh para terdakwa dalam perkara ini. Keadilan yang berasal dari kebenaran dan kejujuran serta diridhoi ole Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan keadilan yang berasal dari Penguasa yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik.
Demikianlah sekedar pengantar yang ingin disampaikan pada pem- bukaan Nota Pembelaan ini sekedar sebagai renungan bagi kita semua.
Dan kini tibalah saatnya bagi kami untuk menyampaikan pokok- pokok pembelaan dalam perkara ini.
B. PENDAHULUAN
INI MEDAN BUNG !
Pembelaan ini akan dimulai dari penelusuran peristiwa yang terjadi dikota Medan, sebuah kota di Sumatera Utara yang cukup dikenal dan semakin dikenal karena disana dilaksanakan sebuah "drama politik" dengan judul "Kongres PDI ke IV'' atau lebih dikenal dengan sebutan "Kongres Medan".
Kehadiran "Kongres Medan" di kota ini semakin menambah semaraknya perbendaharaan tentang hal-hal yang khas dari kota yang memang mempunyai ciri-ciri dan predikat-predikat khas tertentu. Kata-kata "Ini Medan Bung" adalah ucapan yang sering terdengar apabila kita berada dikota ini, sebuah ucapan yang secara gamblang menggambarkan bahwa di Medan segala sesuatu dapat terjadi yang di lain kota hal seperti itu adalah mustahil. "Kongres Medan" adalah salah satu contoh dari banyak contoh kejadian yang khas Medan. "Kongres Medan" banyak disebut-sebut bukan karena kongres itu berperan sebagai tonggak sejarah dalam pengembangan demokrasi di Indonesia, akan tetapi karena kongres itu adalah hasil sebuah rekayasa politik yang memalukan yang dilakukan oleh Soerjadi- Fatimah Achmad dan kawan-kawannya bersama-sama dengan aparat pemerintah di pusat dan di daerah untuk menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dan kawan-kawannya dari kepemimpinan yang sah Partai Demokrasi Indonesia dan kemudian menampilkan Soerjadi sebagai pimpinan boneka. Rekayasa tersebut dilaksanakan karena Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan partai sulit diatur oleh kekuatan-kekuatan eksternal dan karena ia bertekad memper- juangkan kemandirian dan kewibawaan partai sesuai UUD-1945 dan UU No.3 Tahun 1975 jo. UU No.3 Tahun 1985.
KONGRES MEDAN MELAHIRKAN KONFLIK DALAM TUBUH PDI
Dalam perkembangan selanjutnya "Kongres Medan" yang terkenal itu telah berbuntut lahirnya serangkaian konflik dan pertikaian- pertikaian antara DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri (untuk selanjutnya disebut DPP Mega) sebagai pimpinan yang sah melawan DPP PDI pimpinan Soerjadi (untuk selanjutnya disebut DPP Soerjadi) sebagai pimpinan yang tidak sah, suatu pertikaian ber- kepanjangan antara yang sah melawan yang batil.
Walaupun DPP Mega menyadari sepenuhnya tentang integritas pengadilan di Indonesia yang dalam kasus. kasus yang mengandung muatan-muatan politik umumnya tidak berdaya menghadapi pemerintah dan penguasa, namun ia telah berketetapan hati untuk memilih "perjuangan hukum" sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan hak-hak politiknya.
Lalu lahirlah gugatan-gugatan di berbagai Pengadilan yang diajukan oleh DPP Mega dan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia dengan satu tujuan agar pengadilan di Indonesia yang terkenal dengan sebutan "Benteng Keadilan" itu memberikan keadilan sesuai dengan hukum dan kebenaran, bukan berdasarkan kekuatan dan kekuasaan.
Dalam perkembangan selanjutnya kepemimpinan Soerjadi dihujat dan dipersoalkan keabsahannya. Reaksi dan unjuk rasa bermunculan diseluruh Indonesia. Dimulai dengan pergelaran 'Long March Damai' di Jakarta pada tanggal 20 Juni 1996 yang berbuntut munculnya kejadian yang kemudian dikenal dengan nama 'Peristiwa Gambir', disusul kemudian dengan pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mempermasalahkan keabsahan "Kongres Medan" tersebut serta gugatan-gugatan lain diberbagai tempat diseluruh Indonesia.
MIMBAR DEMOKRASI
Terjadinya 'Peristiwa Gambir' telah melahirkan konsensus antara DPP Mega dengan Pangdam Jaya yang intinya guna menghindari terulangnya kejadian-kejadian seperti 'Peristiwa Gambir' tersebut maka disetujui oleh kedua belah pihak bahwa massa PDI dan simpatisannya biarlah terkonsentrasi dan berkumpul dikantor DPP PDI Jalan Diponegoro No. 58 Jakarta dan untuk mengisi waktu diadakanlah 'Mimbar Demokrasi' yang orang lain menyebutnya sebagai 'Mimbar Bebas'.
Mimbar Demokrasi adalah merupakan pendidikan politik terhadap masyarakat yang menjadi salah satu tugas penting dari partai. Disamping itu 'Mimbar Demokrasi' adalah pula merupakan perwujudan hak berbicara dan mengeluarkan pikiran dan pendapat sesuai ketentuan Pasal 28 UUD 1945.
Berhimpunnya massa PDI dan simpatisannya dikantor tersebut semakin lama jumlahnya semakim banyak sehingga perlu dibentuk satgas untuk menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan. Sekaligus bertugas untuk menjaga kantor tersebut dari serbuan- serbuan dan pengambil alihan secara paksa oleh pihak Soerjadi.
Satgas tersebut pada umumnya adalah utusan dari DPD-DPD dari seluruh Indonesia dan cabang-cabang di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu mereka umumnya bertempat tinggal di kantor tersebut.
Rencana pengambil alihan secara paksa kantor DPP tersebut oleh pihak Soerjadi sudah sering dilansir baik oleh Soerjadi sendiri maupun oleh pihak penguasa, antara lain oleh Panglima ABRI dan Kassospol ABRI sehingga apabila pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan terhadap kantor itu, tidak bisa lain hal itu adalah merupakan realisasi dari pernyataan itu.
Untuk rencana itu pihak Soerjadi telah mempersiapkan sejak lama dalam satu latihan yang intensif di Cibubur sedang persiapan aparat keamanan adalah berupa pemberian fasilitas dll.
KERJASAMA DENGAN APARAT KEAMANAN
Dari fakta-fakta persidangan yang nanti akan dipaparkan lebih lanjut dalam bagian lain dari Nota Pembelaan ini tidak dapat dipungkiri bahwa penyerbuan berdarah 27 Juli 1996 itu adalah merupakan sebuah kerjasama yang terpadu antara kelompok Soerjadi disatu pihak dan aparat keamanan dipihak lain. Kedua-duanya mempunyai tujuan yang serupa tetapi tidak sama. Soerjadi dkk dengan penyerbuan itu bertujuan untuk mengambilalih kantor tersebut sedang aparat keamanan bertujuan untuk mengosongkannya, sebab 'Mimbar Demokrasi' yang dilaksanakan ditempat itu ternyata secara kritis telah mengungkap berbagai kelemahan-kelemahan pemerintah diberbagai sektor.
Akan tetapi tujuan dari Soerjadi dengan penyerbuan itu tidak sepenuhnya tercapai karena walaupun ia mengerahkan "pasukan" yang sangat terampil dan terlatih dengan dibantu sepenuhnya dengan aparat keamanan namun penyerbuan berdarah itu tidak menyebabkan kantor DPP tersebut dapat ia kuasai. Tetapi mengenai tujuan dari aparat keamanan yang melalui penyerbuan berdarah itu telah digunakan untuk mengosongkan tempat itu telah berhasil dengan baik. Sekeliling tempat itu telah dipasang police line. Panggung yang selama ini digunakan untuk 'Mimbar Demokrasi' dengan cepat dirobohkan dan dibongkar.
Jadi tujuan dari aparat keamanan datang di Jl. Diponegoro No.58 pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 itu bukanlah untuk menjaga keamanan atau untuk melindungi para terdakwa yang berada dalam bahaya melainkan adalah untuk membantu Soerjadi mengambil alibi kantor itu dan terutama untuk mengosongkannya agar mimbar demokrasi tidak diteruskan.
PENYERBUAN BERDARAH
Penyerbuannya sendiri yang dilakukan oleh orang orang yang berbaju merah dan tutup kepala merah yang menamakan dirinya pasukan Soerjadi Pendukung "Kongres Medan", telah dilakukan dengan cara brutal dan sadis dalam dua kali penyerbuan. Yang pertama selama kurang lebih satu setengah jam dan yang kedua dalam waktu kurang lebih setengah jam. Kedua dilakukan oleh pasukan merah itu dengan sangat leluasa tanpa ada halangan dari siapapun juga walaupun disekitar areal itu terdapat sangat banyak petugas keamanan dari berbagai kesatuan.
Mereka datang dengan 10 truk penuh lengkap dengan pentungan dan batu-batu. Mereka meloncat dari truk dengan sigap dan terampil. Hanya orang yang terbiasa dengan latihan sehari-hari mampu me- lakukan lompatan seperti itu. Selain berbaju merah akan tetapi juga tutup kepala warna merah. Tidak jelas alasannya kepala itu harus ditutup. Mungkin untuk menutupi sesuatu agar identitasnya tidak terbuka. Selain baju dan tutup kepala yang seragam, celana mereka juga umumnya berwarna gelap sehingga dengan mudah dapat terlihat bahwa mereka adalah suatu kelompok yang terorganisir dan terpadu.
Dalam penyerangan itu petugas keamanan sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk mencegah terjadinya penyerbuan berdarah itu. Sebaliknya mereka lebih bersikap memberi kesempatan atau bahkan melindungi pada penyerbu-penyerbu itu dengan mengadakan pagar betis di kedua ujung jalan Diponegoro sementara hujan batu terus menerus mengancam jiwa dari para terdakwa yang berada didalam gedung.
Adanya kerjasama antara pasukan Soerjadi dengan aparat keamanan lebih dipertegas lagi dengan bukti-bukti bahwa beberapa jam sebelum kejadian itu jalan-jalan sudah diblokir oleh petugas keamanan dengan segala perlengkapannya. Kedua ujung jalan disekitar kantor DPP itu mulai pagi buta tanggal 27 Juli itu sudah tidak bisa dilewati dan kendaraan-kendaraan dialihkan melalui jalan lain. Hanya satu rombongan kendaraan yang boleh lewat yaitu 10 buah truk yang berisi pasukan merah-merah Konvoi penyerbu itu memasuki areal Jl. Diponegoro tanpa hambatan apapun.
SIAPA PASUKAN MERAH ITU?
Kini mengenai pasukan merah-merah yang terdiri dari 10 truk yang mengaku sebagai 'Pendukung Kongres Medan', siapakah mereka sebenarnya. Bentuk tubuhnya tegap-tegap. Geraknya gesit dan lincah. Pada waktu turun dari truk mereka meloncat dengan cara yang sigap. Siapakah mereka itu?
Beberapa saksi menerangkan bahwa sebagian dari mereka adalah penduduk Kapuk yang dibohongi secara tipu muslihat dengan janji akan diberi pekerjaan menjaga tanah di Sentul dengan pembayaran sebesar Rp. 40.000. Saksi yang lain mengatakan bahwa sebagian dari mereka adalah aparat keamanan juga yang diketahui setelah mereka membuka baju merah tersebut seusai penyerbuan berdarah itu ternyata mereka memakai pakaian dari kesatuan tertentu. Selain daripada itu ada pula yang melihat dan mengenali salah seorang diantara anggota pasukan merah itu pada waktu terdakwa diperiksa pada tingkat penyidikan di Polda ternyata ia berada disana diantara penyidik-penyidik itu.
Dalam keadaan hiruk pikuk dan sangat mencekam seperti yang terjadi di jalan Diponegoro itu siapa petugas keamanan dan siapa pasukan Soerjadi sudah tidak jelas perbedaannya. Terlebih-lebih karena pada saat tertentu disela waktu penyerbuan itu antara pasukan merah dan aparat keamanan sering menjadi satu dan disana sini terdapat kerja sama.
Kerjasama antara pasukan Soerjadi dengan petugas keamanan misalnya nampak pada waktu pagar didobrak oleh sekitar 30 orang petugas keamanan dan pada waktu itu disampingnya sudah ber- kumpul pasukan Soerjadi menunggu jebolnya pagar itu. Dan ternyata begitu pagar itu jebol dan roboh maka kedua kelompok itu, kelompok Soerjadi dan kelompok petugas keamanan, secara serentak dan berbarengan memasuki halaman dan kemudian kedalam kantor DPP PDI. Dimulai dengan pekikan-pekikan histeris yang mengatakan: "Bunuh PKI-PKI yang ada didalam! Bunuh PKI!", lalu terjadilah suatu rangkaian penganiayaan dan penghancuran oleh dua kelompok yang datang dari luar terhadap para terdakwa dan teman-temannya yang berada didalam kantor dan barang-barang inventarispun dirusak. Ada yang memakai pentungan ada yang memakai parang. Salah seorang yang menggunakan parang adalah yang pada waktu kejadian itu ia berbaju merah akan tetapi kemudian hari diketahui bahwa ia berada diantara penyidik yang ada di Polda.
KORBAN-KORBAN BERJATUHAN
Korban dipihak para terdakwa dan teman-temannyapun berjatuhan. Ada yang bergeletakan didapur dan ditempat-tempat lain. Beberapa diantaranya meninggal dunia. Semua peristiwa itu terjadi didepan mata petugas keamanan. Penyerbuan pertama dengan menggunakan batu-batu cornblock dan batu-batu bekas coran telah menimbulkan korban jiwa diantara para terdakwa dan teman-temannya. Ada kurang-lebih 30 orang yang menjadi korban. Penyerbuan yang kedua dengan menggunakan pentungan-pentungan dan parang telah menambah jumlah korban dipihak para terdakwa dan teman-temannya. Korban-korban tersebut adalah produk dari penyerbuan yang brutal dan tidak berprikemanusiaan itu. Darah menggenangi ruangan-ruangan dalam gedung itu sehingga terpaksa dilakukan penyemprotan air untuk menghilangkan genangan itu. Akan tetapi mengenai korban-korban ini sama sekali tidak diacuhkan oleh penyidik dan penuntut umum karena dalam dakwaan mengenai hal itu sama sekali tidak disinggung.
KEKUATAN TIDAK BERIMBANG
Menghadapi serbuan itu para terdakwa dan kawan kawannya berada dalam keadaan tidak berdaya. Para terdakwa dan teman-temannya yang berada didalam gedung, mendapat serbuan dari sekitar 200 orang manusia manusia beringas yang langkahnya sigap dan terlatih dengan lempàran batu yang keras laksana lemparan seorang atlit. Ditambah dengan dukungan nyata dari sekian ratus, mungkin ribuan, petugas keamanan terhadap penyerbu-penyerbu itu, jelas hal itu merupakan suat perimbangan kekuatan yang jauh dari seimbang. Akhirny para terdakwa menjadi bulan-bulanan.
Jiwa mereka terancam dan dalam bahaya. Tindakan yang dapat mereka lakukan hanya sekedar membela dir, dengan sekali-sekali membalas lemparan. Itupun dengan memungut batu yang berasal dari penyerbu-penyerbu itu Perlindungan yang diharapkan dari petugas-petugas keamanan itu tidak kunjung datang. Sebaliknya dalam perang batu yang mencekam itu petugas-petugas keamanan yang bertameng itu sering bertindak sebagai perisai melindungj pasukan Soerjadi. Keadaan itu sangat mencekam. Ternyata yang dihadapi tidak hanya pasukan Soerjadi saja akan tetapi juga petugas- petugas keamanan yang secar brutal merangsek masuk kedalam gedung setelah terlebih dahulu menjebol pagar dengan jalan kekerasan. Ketakutan semakin menjadi-jadi. Dalam situasi seperti itu satu-satunya jalan adalah pasrah dengan cara menyerahkan nasib kepada yang Kuasa. Dengan menyerukan pekikan MERDEKA dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, mereka siap menyerahkan jiwa raganya demi kebenaran, keadilan dan hak-hak demokrasi mereka.
Kecurigaan dan ketakutan kepada petugas keamanan menyebabkan para terdakwa dan teman-temannya tidak bersedia menerima tawaran petugas keamanan yang ingin membawa korban-korban itu ke rumah sakit. Kekhawatiran mereka beralasan: takut korban- korban itu tidak akan pernah kembali kerumahnya. Dalam perkem- bangan selanjutnya setelah para terdakwa diangkut ke Polda Metro Jaya, mereka tidak mengetahui lagi nasib korban-korban itu.
Komnas HAM telah mengumumkan hasil temuannya mengenai korban-korban peristiwa berdarah 27 Juli 1996 itu, yaitu:
a. Meninggal dunia 5 (lima) orang.
b. Luka-luka 149 (seratus empat puluh sembilan) orang.
c. Hilang 23 (dua puluh tiga) orang.
d. Ditahan 136 (seratus tiga puluh enam) orang.
PENANGKAPAN DAN PENAHANAN
Kemudian muncullah janji-janji palsu dari petugas keamanan yang menawarkan jasa baik untuk mengamankan dan melindungi para terdakwa dari serbuan-serbuan pihak Soerjadi. Untuk itu mereka dibawa ke Polda Metro Jaya, katanya agar terhindar dari keberingasan- keberingasan penyerbu-penyerbu itu. Akan tetapi apa yang terjadi adalah, setelah mereka sampai di Polda Metro Jaya langsung dimasukkan sel dan ditahan serta dijadikan tersangka.
Disini terlihat bahwa cara penahanan telah dilakukan dengan tipu muslihat suatu cara yang tidak diperkenankan oleh KUHAP dan sangat dicela diseluruh dunia. Selanjutnya, alasan penahanan sangat dicari-cari. Pasal yang dijadikan sebagai dasar penahanan adalah alasan bersifat formalitas semata sedangkan yang sebenar- nya alasan penahan adalah "alasan politis" semata-mata. Ada sesuatu kepentingan politik untuk melumpuhkan kekuatan Megawati Soekarnoputri dan kawan-kawannya dan hal itu sudah dimulai sejak "Kongres Medan". Dan karena para terdakwa adalah kader-kader terpercaya dari Megawati maka merekapun harus dilumpuhkan. Lagipula kesempatan yang baik itu akan digunakan untuk mengadakan tekanan kepada Megawati dan kawan-kawannya agar mereka menerima "Kongres Medan" dan mengakui kepemim- pinan Soerjadi.
Rangkaian tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa memang mengarah pada menciptakan posisi sedemikian rupa agar Megawati dan kawan-kawannya serta pendukung-pendukungnya pada akhirnya menyerah pada tekanan yang datang dari atas. Penahanan terhadap 124 yang menjadi korban 'Penyerbuan Berdarah' tersebut ternyata telah dijadikan "bargaining" tawar-menawar agar Megawati Soekarnoputri dan kawan-kawannya menerima hasil "Kongres Medan". Sudah tentu tawaran tersebut ditolak mentah- mentah karena bertentangan dengan etika moral yang dianut oleh Megawati dan kawan-kawannya.
Kesimpulan dari uraian diatas adalah ditahannya para terdakwa serta dijadikan tersangka dan kemudian menjadi terdakwa dalam perkara ini, bukan karena mereka melakukan tindak pidana melainkan karena kepentingan-kepentingan politik semata-mata.
TANPA DIDAMPINGI PENASEHAT HUKUM
Akhirnya jadilah mereka secara massal sebagai tersangka. Jumlahnya 124 orang. Akan tetapi selama dalam penyidikan tak seorangpun dari antara para terdakwa yang didampingi oleh penasehat hukum. Disini terjadi pemecahan rekor dimana 124 orang sekaligus dijadikan sebagai tersangka dan kemudian terdakwa, jumlah terbesar dalam sejarah hukum di Indonesia yang dalam satu perkara diajukan sebagai terdakwa dan jumlah terbesar pula sebagai tersangka tidak satupun yang berhasil didampingi oleh penasehat hukum.
Didalam berkas ada tercantum pernyataan-pernyataan bahwa mereka-mereka tidak menggunakan bantuan penasehat hukum akan tetapi surat pernyataan itu adalah buatan penyidik yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan baru ditandatangani oleh para terdakwa setelah perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan, bukan sebelum penyidikan terhadap mereka dilakukan.
Disini kembali terjadi pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa secara besar-besaran. KUHAP tidak dihormati dan hak asasi terdakwa dikesampingkan.
PASUKAN SOERJADI MENGHILANG
Dengan telah diangkatnya para terdakwa ke Polda Metro Jaya dan ditahan serta dijadikan tersangka maka timbul pertanyaan: "Lalu kemanakah pasukan merah-merah yang menamakan dirinya "Pendukung Kongres Medan" tersebut?" Laksana embun pagi yang hilang seketika dengan datangnya matahari, maka pasukan merah merah tersebut pun hilang tanpa diketahui rimbanya. Akan tetapi ada saksi yang melihat seusai penyerbuan itu, ada sebagian dari mereka yang naik ke atas truk warna gelap lalu membuka baju merah tersebut dan dari pakaian yang tersisa diketahui ternyata mereka adalah pasukan keamanan juga yang menyamar sebagai pasukan Soerjadi. Saksi lain mengatakan bahwa pada waktu para terdakwa disidik di Polda Metro Jaya ada yang melihat bahwa diantara yang berbaju merah itu yang pada waktu penyerbuan berdarah yang kedua di Jalan Diponegoro ia berbaju merah dan turut melakukan pengrusakan gedung dengan menggunakan parang, ternyata orang tersebut terlihat juga di Polda diantara orang-orang yang melakukan penyidikan itu.
DISKRIMINASI PENERAPAN HUKUM
Lalu mengenai yang lainnya sampai kini tidak jelas identitasnya dan tidak diketahui oleh masyarakat siapa mereka yang sebenarnya. Dari pihak pemerintah sama sekali tidak nampak adanya keinginan untuk mengusut dan melakukan penuntutan hukum terhadap penyerbu-penyerbu tersebut. Bahkan sekedar untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya tidak nampak adanya keinginan dari petugas-petugas hukum di negara ini. Disini terlihat adanya diskriminasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Disatu pihak pemerintah menjadikan para terdakwa sebagai tersangka, ditahan dan kemudian didakwa dalam persidangan ini, padahal mereka adalah orang-orang yang teraniaya yang menjadi korban penyerbuan itu dan seharusnya dilindungi oleh hukum. Sementara penyerbu-penyerbu itu yang dipimpin oleh Soerjadi dan kawan-kawannya sama sekali tidak disentuh oleh hukum bahkan nampak diperlakukan dengan perlakuan istimewa. Disini terlihat pemerintah melakukan diskriminasi dan berpihak dalam pelaksanaan hukum dan ini jelas merupakan lembaran hitam dalam sejarah hukum di Indonesia dimana hukum ternyata sudah menjadi alat kekuasaan karena hukum dijadikan alat untuk menghancurkan lawan-Iawan politik dan sekaligus digunakan untuk melindungi kawan-kawan politik.
Kontes kekuasaan telah dipertontonkan. Prinsip hukum sudah tidak berjalan normal. Kata-kata yang merdu yang mengatakan "Negara Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan" makin lama makin jauh dari harapan. Komnas HAM sendiri dalam temuannya mengatakan bahwa dalam peristiwa 27 Juli tersebut terdapat kenyataan bahwa hukum telah dilaksanakan secara dis- kriminasi. Lagipula dikatakan bahwa penanganan terhadap peristiwa 27 Juli oleh aparat keamanan telah menimbulkan rasa takut dikalangan masyarakat.
Dalam hubungan ini kiranya patut diperhatikan kembali tentang pokok-pokok temuan dari Komnas HAM mengenai penyerbuan berdarah tanggal 27 Juli itu dimana pada peristiwa itu menurut Komnas HAM telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagai berikut:
1. Pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat (freedom of assembly and association).
2. Pelanggaran atas kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
3. Pelanggaran atas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi (freedom from cruel and in human treatment).
4. Pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia (right to life).
5. Pelanggaran asas perlindungan atas keamanan pribadi (right to security of person).
6. Pelanggaran asas perlindungan atas harta pribadi (right to property).
C. TENTANG SURAT DAKWAAN DAN REQUISITOIR
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Penuntut Umum Yang Terhormat,
Sebagaimana kita ketahui, para terdakwa duduk di kursi pesakitan ini akibat surat dakwaan Saudara Penuntut Umum yang telah dibacakan pada hari Kamis tanggal 9 Oktober 1996 yang isinya antara lain para terdakwa didakwa telah melanggar:
Kesatu:
Primair : Pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHP.
Subsidair: Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Kedua : Pasal 218 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dari cara Saudara Penuntut Umum mendakwa terdakwa, terlihat Saudara Penuntut Umum ragu-ragu dan tidak yakin dengan dak- waannya. Terbukti dari surat dakwaan yang dibuat secara kumu- latif alternatif, dan disini terlihat Saudara Penuntut Umum ragu- ragu dengan dakwaan kesatu primair dan kesatu subsidair. Karena Saudara Penuntut Umum sebenarnya sadar jika perkara a quo digelar di persidangan, maka akan sulit bagi Saudara Penuntut Umum membuktikan atau meninggalkan dakwaan kesatu primairnya dan subsidairnya, untuk itulah Saudara Penuntut Umum menjerat para terdakwa dengan dakwaan kedua, melanggar Pasal 218 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Penuntut Umum Yang Terhormat,
Jika kita perhatikan dengan seksama, apa yang kami uraikan tersebut diatas bukan mengada-ada. Terbukti setelah Saudara Penuntut Umum membacakan Requisitoirnya pada hari Kamis (14/11), dimana dalam Requisitoirnya dalam halaman 33 dan halaman 34, Saudara Penuntut Umum berpendapat perbuatan para terdakwa tidak memenuhi unsur dari Pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHP dan unsur Pasal 170 ayat (1) KUHP dan selanjutnya pada halaman 39 Saudara Penuntut Umum memohon agar menyalahkan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana secara bersama-sama dimuka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan kesatu primair dan subsidair selanjutnya membebaskan para terdakwa tersebut dari dakwaan kesatu primair dan subsidair.
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Penuntut Umum Yang Terhormat,
Dalam Requisitoir-nya Saudara Penuntut Umum pada halaman 34 sampai dengan 37, yang pada intinya beranggapan bahwa para terdakwa telah terbukti melanggar dakwaan kedua dan selanjutnya pada halaman 39 Saudara Penuntut Umum memohon agar terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana melanggar Pasal 218 KUHP Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan menjatuhkan hukuman oleh karena itu kepada para terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Sungguh tega Saudara Penuntut Umum yang telah menuntut para terdakwa dengan hukuman yang maksimal. Selain tega, jaksa penuntut umum juga bertindak tidak konsekuen. Karena dalam Requisitoir-nya halaman 38, Saudara Penuntut Umum menyebutkan hal-hal yang meringankan yaitu "Para terdakwa belum pernah dihukum". Namun Saudara Penuntut Umum lupa mempertimbangkan hal yang meringankan tersebut atau mungkin sengaja dilupakan. Ternyata lupanya pun semakin parah. Khususnya bagi Terdakwa Agus Widiyanto yang jelas-jelas sedang lari pagi, karena ketakutan ada serangan men- dadak dari luar gedung terpaksa berlindung dengan cara masuk ke dalam gedung untuk berlindung, tapi nyatanya tetap dikenai tuntutan maksimal: 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu.
Berdasar fakta yang terungkap di persidangan (fakta hukum) tidak pernah ada seruan atau perintah seperti yang diterangkan saksi- saksi yang diajukan Saudara Penuntut Umum yang terdiri dari Saksi Hesti Hardiyanto, Sunarto, Bandiyo, Wagiranto dan R. Sunaryo yang nota bene aparat keamanan. Saudara Penuntut Umum sama sekali tidak mempertimbangkan para saksi a de Charge yang telah menerangkan di bawah sumpah dimana keterangannya terdapat persesuaian dengan keterangan para terdakwa dan barang bukti yang diajukan oleh Saudara Penuntut Umum yang mulia ini. Tapi apa mau dikata? Atau jika meminjam kalimat Majelis Hakim "itu kan wewenang Saudara Penuntut Umum", jadi yah .... kami berharap Majelis Hakim akan melihat, mempelajari dan memper- timbangkan keterangan-keterangan dari para saksi a charge, keterangan para terdakwa dan barang bukti berupa megaphone yang diajukan Saudara Penuntut Umum yang ternyata tidak sesuai dengan bukti dokumen berupa Berita Acara Penyitaan.
D. ANALISA FAKTA
Dengan mengacu pada fakta-fakta hukum yang di peroleh selama dalam persidangan a quo, kini memasuki bagian Analisa Yuridis, dengan 5 (lima) pokok uraian sebagai berikut: (1) Surat Dakwaan (2) Saksi A Charge (3) Visum et Repertum, (4) Barang Bukti dan (5) Unsur-unsur Pasal-pasal dalam Surat Dakwaan.
1. Surat Dakwaan
a. Bahwa para terdakwa masing-masing di dalam persidangan dengan tegas dan tandas pada intinya menerangkan: ''Penyidik telah berhasil memperdaya terdakwa untu tidak didampingi seorang penasehat hukum pada saat terdakwa hendak memberi keterangan dalam BAP penyidikan ".
Bahwa terdakwa diperdaya oleh penyidik dengan cara antara lain penyidik menyatakan: "Bahwa penyidikan ini dilakukan hanya sekedar memenuhi syarat administrasi, nanti dua atau tiga hari kemudian saudara akan dipulangkan, jadi tidak perlu didampirtgi penasehat hukum"; selain itu ada pula penyidik yang menyatakan bahwa: "Apakah saudara punya duit? Dan tahukah saudara bahwa penasehat hukum hanya akan mempersulit jalannya pemeriksaan";
Lebih lanjut ada juga penyidik yang menyatakan: "Apakah saat ini (maksudnya pada saat berlangsungnya pemeriksaan itu) saudara punya penasehat hakum? Nyatanya tokh saudara saat ini tidak mempunyai penasehat hukum, maka jangan mempersulit pemeriksaan dengan menunggu hadirnya penasehat hukum, sebab akan merugikan, saudara sendiri"
Padahal tentang seorang tersangka harus didampingi oleh penasehat hukum sejak pada tingkat penyidikan merupakan perintah undang- undang yang bersifat imperatif yang diletakkan dalam Pasal 56 KUHAP dan diulangtegaskan kembali melalui buku: 'Pedoman Pelaksannan Tugas dan Administrasi Pengadilan', Buku II, diterbitkan Mahkamah Agung Republik Indonesia April 1994, halaman 190, tentang bantuan hukum, butir ke-3.
Lebih lanjut tentang seorang tersangka/terdakwa harus didampingi oleh seorang penasehat hukum adalah hak yang diberikan oleh undang-undang, karena itu menghalangi seorang tersangka untuk didampingi seorang penasehat hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (contra legem), yaitu berten- tangan dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970, Pasal 35 dan 36 jo KUHAP Pasal 54, 55, dan 57.
Oleh karena itu Berita Acara Penyidikan yang diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan dengan undang-undang (contra legem) yaitu dengan cara mengabaikan perintah undang-undang dan hak- hak tersangka yang dijamin oleh undang-undang sebagai terurai di atas, adalah cacat hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum.
Dari Berita Acara Penyidikan yang cacat hukum inilah jaksa penuntut umum membangun surat dakwaannya. Oleh karena itu surat dakwaan yang disusun berdasarkan Berita Acara Penyidikan yang cacat hukum adalah juga bercacat hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum.
b. Selain itu surat dakwaan yang juga memuat dakwa Pasal 218 KUHP harus dikategorikan sebagai surat dakwaan yang cacat hukum, sebab para terdakwa baik dala surat perintah penangkapan dan penahanan maupun dalam Berita Acara Penyidikan tidak pernah dinyatakan atau disinggung-singgung mengenai sangkaan adanya tindak pidana Pasal 218 KUHP yang dilakukan para terdakwa.
c. Bahwa hal tersebut dalam butir 2 di atas, dengan jelas pula dapat dilihat melalui Berita Acara Penyidikan dari para saksi a charge yang nota bene adalah anggota Polri dan telah diulangtegaskan melalui keterangan saksi a charge di bawah sumpah di dalam persidangan yang menerangkan bahwa: "Di tingkat penyidikan saksi tidak pernah ditanya maupun menerangkan tentang adanya perintah dari aparat agar massa baik di dalam maupun diluar gedung DPP PDI supaya membubarkan diri".
Akan tetapi karena kepentingan korpsnya/kepolisian yang telah melakukan penangkapan dan penahan (penyidikan) para terdakwa maka para saksi a charge yang adalah anggota Polri itu berupaya agar para terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan. Karena itu setelah menyadari bahwa para terdakwa tidak dapat dijaring melalui dakwaan ke satu primair Pasal 1 ayat 2 ke-1 KUHP dan Subsidair Pasal 170 ayat 1 KUHP para saksi a charge demi kepentingan korpsnya/Kepolisian lalu mencoba-coba membuktikan dakwaan kedua Pasal 218 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dengan memberikan keterangan di dalam persidangan yang senada dengan keterangan atasanya, yaitu keterangan Wadansat Brim Mayor Sunaryo dengan masing-masing (saksi a charge menyatakan bahwa: "Telah mendengar himbauan dari Wadansat Brimob Mayor Sunaryo kepada massa agar membubarkan diri".
Padahal sekali lagi tentang adanya himbauan untuk ''membubarkan diri" tidak pernah diterangkan ditingkat penyidikan. Oleh karena itu jelas terbukti bahwa dakwaan Pasal 218 KUHP hanyalah suatu rekayasa belaka. Sebab sekali lagi baik terdakwa maupun para saksi a charge baik dalam surat perintah penangkapan dan penahanan serta surat panggilan untuk didengar keterangan sebagai saksi maupun dalam Berita Acara Penyidikan para terdakwa maupun Berita Acara Penyidikan para saksi a charge tidak pernah dicantumkan Pasal 218 KUHP serta tidak pernah ditanya dan diterangkan tentang peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 218 KUHP. Oleh karena itu surat dakwaan a quo yang memuat dakwaan Pasal 218 KUHP harus pula dibyatakan cacat hukum dan harus dibatalkan.
d. Bahwa selanjutnya tentang keterangan saksi a charge sekitar Pasal 218 KUHP harus ditolak karena saksi a charge sebagai anggota Polri nyata-nyata mempunyai kepentingan agar perkara yang telah dilakukan penyidikan itu dinyatakan terbukti dan para terdakwa dapat dihukum. Apalagi yang menerangkan tentang "himbauan untuk membubarkan diri itu" (quod non) bermula dari komandannya/atasannya yaitu Wadansat Brimob Mayor Sunaryo. Oleh karena itu sekali lagi berdasarkan Pasal 185 ayat 6 huruf c KUHAP keterangan para saksi a charge tersebut harus dikesampingkan. Untuk lebih jelasnya kami kutip Pasal 185 ayat 6 huruf c:
"Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sunggah-sungguh memperhatikan:
a. ..
b. ..
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk mem- beri keterangan yang tertentu" (a dan b tidak dikutip).
Oleh karena itu dalam menggunakan keterangan saksi a charge yang nota bene adalah anggota Polri aktif sekali lagi penasehat hukum para terdakwa meminta perhatian Majelis Hakim akan hal-hal yang ditegaskan dibawah ini:
Bahwa dalam menilai keterangan saksi a charge maka dengan mengingat Pasal 185 ayat (6) butir c KUHAP, perlu kiranya di- perhatikan secara khusus:
a) Bahwa saksi sebagai anggota Polri tidak bisa secara murni memisahkan antara pemeriksaan perkara secara obyektif dengan tujuan tunggal untuk mencapai keadilan dengan cara menemukan kebenaran materiil di satu pihak dan kepentingan korps kepolisian sebagai keseluruha dilain pihak. .
b) Bahwa pihak kepolisian mempunyai kepentingan langsung bahwa perkara ini yang sudah mereka gulirkan sampai masuk ke pengadilan, maka demi pamor dan gengsi kepolisian dimata masyarakat dan pertanggungjawaban kepada atasan kasus ini perlu berakhir dengan adanya orang yang menjadi terhukum.
2. Saksi A Charge
e. KUHAP secara tegas telah memberi batasan tentang saksi dan keterangan saksi. Hal tersebut dengan jelas diletakan dalam Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP. Untuk jelasnya kami kutip: Pasal 1 butir 26 KUHAP: "Saksi adalah orang yang dapat memberika keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang, ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri".
Pasal 1 butir 27 KUHAP:
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya".
f. Bahwa tentang dakwaan ke satu primair Pasal 170 (2) ke-1 KUHP dan subsidair Pasal 170 (1) KUHP, para saksi a charge tidak dapat menerangkan bahwa mereka telah melihat para terdakwa inilah, yang telah melakukan peristiwa pidana sebagaimana dimaksud. Hal tersebut dengan tegas telah diterangkan oleh masing-masing saksi a charge di bawah sumpah di dalam persidangan menyata- kan bahwa:
"Saksi tidak melihat para terdakwa melakukan pelemparan, pembakaran, maupun perusakan terhadap gedung DPP PDI ataupun terhadap orang".
Oleh karena itu keterangan saksi a charge ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti menurut`ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP.
g. Selanjutnya mengenai dakwaan ke dua Pasal 218 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP, saksi a charge pun di dalam persidangan di bawah sumpah tidak dapat menerangkan bahwa para terdakwa ini telah melakukan peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 218 KUHP.
h. Bahwa terjadinya peristiwa pidana menurut Pasal 218 KUHP jika "tidak diindahkan suatu perintah untak membubarkan diri yang disampaikan oleh kekuasaan yang berhak, yang telah didengar untuk ketiga kalinya". Hal ini berarti untuk membuktikan bahwa masing-masing terdakwa telah melakukan peristiwa pidana Pasal 218 KUHP, jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa:
a) Sudah ada perintah dari kekuasaan yang berhak.
b) Bahwa perintah itu untuk yang ke tiga kalinya
c) Bahwa masing-masing terdakwa kami ulang masing-masing terdakwa telah mendengar perintah tersebut untuk yang ketiga kalinya. Artinya bukan pendengaran saksi a charge yang dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa telah mendengarnya.
d) Bahwa masing-masing terdakwa tidak mau meninggalkan/ membubarkan diri meskipun ada kesempatan untuk dapat membubarkan diri.
Dalam kenyataanya di persidangan Saudara Jaksa Penuntut Umum melalui keterangan masing-masing saksi a charge tidak dapat membuktikan bahwa masing-masing terdakwa telah melakukan peristiwa pidana dalam Pasal 218 KUHP. Sebab masing-masing saksi a charge hanya menerangkan bahwa saksi telah mendengar, jadi bukan masing-masing terdakwa yang mendengar adanya himbauan/perintah dari Wadansat Brimob Mayor Sunaryo "agar massa membubarkan diri".
Saksi a charge juga tidak menerangkan bahwa: ;
a) Perintah dari Wadansat Brimob Mayor Sunaryo telah diumumkan untuk yang ke tiga kalinya artinya para saksi tidak menerangkan bahwa masing-masing terdakwa telah mendengar perintah itu secara berturut-turut yaitu perintah untuk yang pertama.... perintah untuk yang ke dua kali...perintah untuk yang ke tiga kali....
b) Lebih lanjut saksi a charge pun tidak menerangkan bahwa perintah tersebut telah didengar oleh masing-masing terdakwa untuk yang ke tiga kalinya, yang diikuti dengan perintah jika tidak membubarkan diri akan diambil tindakan tegas. Malahan masing-masing saksi a charge dengan tegas dan tandas menerangkan tidak melihat terdakwa pada waktu ada perintah membubarkan diri di TKP. Bahkan masing-masing saksi a charge menerangkan untuk pertama kali melihat terdakwa di Polda pada saat penyidikan, dus bukan di Jl. Diponegoro No. 58.
c) Para saksi a charge pun tidak menerangkan bahwa saksi telah melihat atau mendengar sendiri bahwa masing-masing terdakwa secara sengaja tidak mengindahkan perintah membubarkan diri yang telah didengar untuk ke tiga kalinya.
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas saksi dan kesaksian saksi a charge harus dinyatakan tidak memenuhi Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP dan harus ditolak.
Singkat kata sekali lagi, masing-masing terdakwa tidak dapat dikatakan telah mendengar suatu perintah hanya berdasarkan pada pendengaran orang lain, ic pendengaran dari saksi a charge yang nota bene adalah anggota polisi yang mempunyai kepentingan agar perkara yang telah dilakukan penyidikan dan kini telah digulirkan di pengadilan berakhir dengan dijatuhi hukuman kepada masing- masing terdakwa. (lihat KUHAP Pasal 185 ayat 6 huruf c).
3. Visum et Repertum
i. Bahwa apa yang disebut sebagai Visum et Repertum yang dilampirkan dalam berkas perkara ini adalah tidak sesuai dengan ketentuan yang diletakkan dalam penjelasan Pasal 133 ayat 2 KUHAP sebab Visum et Repertum adalah keterangan yang diberikan oleh dokter ahli kedokteran kehakiman, sedang- kan keterangan yang diberikan oleh dokter yang bukan ahli kedokteran kehakiman seperti yang dilampirkan jaksa penuntut umum dalam perkara ini hanyalah suatu keterangan bukan, sekali lagi bukan, Visum et Repertum. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai Visum et Repertum dalam perkara ini harus di tolak sebagai alat bukti menurut Pasal 184 ayat 1.
Jika keterangan dokter yang dilampirkan dalam berkas acara pemeriksaan kepolisian disebut sebagai Visum et Repertum itupun harus dikesampingkan dan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti surat karena apa yang disebut sebagai Visum et Repertum itu seolah-olah dibuat tanggal 27 Juli 1996, padahal saksi korban I Made Wiranata sendiri menerangkan bahwa Visum atas dirinya baru dibuat 3 (tiga) hari setelah kejadian berarti tanggs3 30 Juli 1996. Selain itu Visum et Repertum tersebut tidak diisi secara lengkap dasar pembuatan visum tersebut yaitu visum dibuat atas permintaan siapa?, tanggal berapa dan surat nomor berapa?
Berdasarkan fakta hukum tersebut diatas maka apa yang disebut sebagai Visum et Repertum dalam perkara ini harus dikesampingkan untuk tidak dinilai sebagai alat bukti surat.
4. Barang Bukti
Dalam daftar barang bukti yang diajukan penyidik tertanggal 2 Agustus 1996 disitu terlihat dalam tulisan tangan sebagai tambahan daftar barang bukti disebutkan: sebuah megaphone merek TOA merah jambu.
Akan tetapi di dalam persidangan barang bukti yang diajukan tidak sesuai dengan Berita Acara Penyitaan, yaitu megaphone merek TOA yang diajukan di dalam persidangan sebanyak 2 (dua) buah masing-masing berwarna biru dan krem dengan bagian dalam berwarna kuning. Dengan demikian pengajuan barang bukti megaphone didalam persidangan tidak sesuai dengan yang disita atau yang disebutkan dalam barang bukti.
Yang tidak masuk akal lagi (absurdum) barang bukti megaphone merek TOA berwarna krem yang oleh parau saksi a charge dikatakan digunakan oleh Mayor Sunarya ketika memberikan himbauan/perintah untuk membubarkan diri ternyata barang bukti tersebut bukan kepunyaan pihak kepolisian akan tetapi milik DPP PDI yang baru disita setelah situasi terkendali. Jadi adalah tidak masuk akal megaphone yang baru disita setelah situasi terkendali digunakan sebagai sarana untuk memberi perintah membubarkan diri. Dengan demikian keterangan saksi a charge sekitar mengenai adanya perintah untuk membubarkan diri dengan menggunakan megaphone merek TOA berwarna krem yang digunakan oleh Mayor Sunaryo untuk memerintahkan kepada massa untuk mem- bubarkan diri harus ditolak, karena tidak sesuai dengan fakta yuridis. Hal tersebut membuktikan pula bahwa keterangan para saksi a charge di dalam persidangan hanyalah sesuatu rekayasa belaka sekedar untuk mencapai tujuan agar masing-masing terdakwa dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman. Dengan demikian ber- dasarkan Pasal 185 ayat 6 huruf c KUHAP keterangan saksi a charge sekitar mengenai penggunaan barang bukti megaphone merek TOA berwarna krem haruslah ditolak.
Selain itu barang bukti yang diajukan di persidangan secara keseluruhan baik jumlah maupun jenis tidak sesuai dengan daftar barang bukti yang dilampirkan dalam berkas perkara dan juga tidak sesuai dengan materi surat dakwaan, misalnya didalam persidangan diajukan satu buah tongkat bambu runcing padahal dalam daftar barang bukti dikatakan sebanyak 13 buah. Begitupula dengan jumlah batu, didalam sidang hanya diajukan empat buah batu sedangkan dalam daftar barang bukti dikatakan sebanyak 137 buah. Hal yang sama berlaku juga untuk barang bukti lainnya.
Lebih lanjut barang bukti tersebut tidak dapat dipastikan secara hukum bahwa benar barang bukti tersebut adalah barang bukti milik terdakwa dan atau dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan perbuatan seperti yang didakwakan. Oleh karena itu barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum haruslah dikesampingkan.
E. ANALISA YURIDIS
Unsur-unsur Pasal-pasal dalam Surat Dakwaan
Dakwaan ke satu primair Pasal 170 (2) ke-1 KUHP:
Unsur barang siapa
Para terdakwa, yang di dalam surat dakwaan ditempatkan sebagai pelaku dalam melakukan kekerasan bersama-sama di muka umum terhadap orang atau barang yang mengakibatkan lukanya orang dan hancurnya barang di dalam persidangan di bawah sumpah tak seorang saksi pun menerangkan melihat para terdakwa me- lakukan kekerasan terhadap orang atau hancurnya barang. Oleh karena itu unsur barang siapa tidak terbukti. Bahkan baik para terdakwa maupun para saksi a de charge di bawah sumpah di dalam persidangan menerangkan bahwa just para terdakwa beserta kantor DPP PDI yang terletak Jl. Diponogoro No. 58 yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 tersebut dengan pelakunya adalah sekelompok orang yang berpakaian merah-merah dengan tulisan Pro Kongres Medan yang datang dengan membawa gas air mata, pentung kayu, dan batu untuk dijadikan sebagai alat untuk melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal tersebut. Oleh karena itu menempatkan para korba sebagai terdakwa dalam kasus ini adalah "eror in persona".
Unsur di muka umum
Di muka umum menurut unsur ini adalah suatu tempat yang dapat dilihat oleh umum atau ada kemungkinan dapat dilihat orang lain, dengan demikian unsur di muka umum sebagai tempat terjadinya peristiwa pidana yang dilakukan oleh segerombolan orang ber- pakaian merah-merah dengan bertuliskan Pro Kongres Medan yang datang menyerang ke kantor DPP PDI di Jl. Diponogoro No 58 pada tanggal 27 Juli 1996 telah memenuhi unsur tersebut.
Unsur bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang
Unsur ini mensyaratkan perbuatan terhadap orang atau barang itu harus dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih. Bahwa di dalam persidangan saksi a charge menerangkan tidak melihat para terdakwa melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Selanjutnya oleh saksi a de charge dibawah sumpah menerangkan bahwa justru segerombolan orang yang berpakaian merah-merah dengan bertuliskan Pro Kongres Medan yang melaku- kan penyerangan terhadap massa pendukung Ibu Megawati dan gedung kantor DPP PDI, sedangkan para terdakwa beserta teman- temannya yang lain yang berada di dalam kantor DPP PDI tidak menyerang dan hanya menggunakan kursi lipat untuk dijadikan tameng guna menghindari lemparan batu yang datang dari luar gedung kantor DPP PDI. Oleh karena itu unsur ini tidak terbukti.
Berdasarkan uraian unsur-unsur tersebut di atas, penasehat hukum sependapat dengan jaksa penuntut umum yang menyatakan bahwa:
"Bahwa dari fakta yang terungkap dimuka persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi Hesti Mardiyanto, Sunarto, I Made Wiranatha, Wagiranto, R. Sunaryo, yang dikuatkan dengan keterangan terdakwa bahwa tidak terlihat apakah para terdakwa melakukan pelemparan atau tidak kepada massa yang ada diluar gedung.
Sehingga dengan mempedomani Pasal 183, 184,185 (1), (2), (5), (6) KUHAP serta dengan mengingat atas Indubio Proreo, maka kami berpendapat bahwa perbuatan para terdakwa tidak memenuhi unsur kedua dari Pasal 170 (1) ke 2 KUHP ini". (Dikutip dari tuntutan pidana atas nama Terdakwa Oyo Suhara, dkk, hal. 33)
Dakwaan ke satu Subsidair Pasal 170 (1) KUHP:
Pada prinsipnya unsur-unsur dalam Pasal 170 (2)16 1 KUHP adalah sama dengan unsur-unsur dalam Pasal 170 (1) KUHP, kecuali akibat yang ditimbulkan saja yang berbeda. Hal ini berarti uraian kami mengenai unsur-unsur dalam dakwaan ke satu primair Pasal 170 (2) ke KUHP, sepenuhnya berlaku pula kepada dakwaan ke satu subsidair Pasal 170 (1) KUHP. Dengan demikian berarti dengan tidak terbuktinya unsur-unsur Pasal 170 (2) k-1 KUHP dalam uraian di atas berarti Pasal 170 (1) KUH (Dakwaan ke satu subsidair) juga tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Dakwaan ke dua Pasal 218 jo. Pasal 55 (1) KUHP:
Unsur Barang Siapa:
Para terdakwa yang di dalam surat dakwaan ditempatkan sebagai pelaku yang dengan sengaja "tidak mengindahkan suatu perintah untuk membubarkan diri yang disampaikan oleh kekuasaan yang berhak yang telah didengar untuk yang ke tiga kalinya". Akan tetapi di dalam persidangan semua saksi a charge tidak menerangkan bahwa perintah yang katanya telah diumumkan oleh Wadansat Brimob Mayor Sunaryo maupun oleh Wakil Polres Jakarta Pusat dan lain- lainnya telah didengar untuk ke tiga kalinya oleh para terdakwa. Bahkan semua saksi a charge menerangkan tidak melihat para terdakwa di TKP serta menerangkan pula bahwa situasi pada saat itu sangat gaduh sehingga mengganggu pendengaran. `
Bahwa bukti situasi di sekitar TKP sangat gaduh sehingga meng- ganggu pendengaran, dengan jelas dapat diketahui dari keterangan saksi a charge yang satu sama lain secara berbeda menerangkan jumlah himbauan yang didengar oleh masing-masing saksi a charge, misalnya, saksi Sunarto mendengar sebanyak 10 kali, saksi Bandi, mendengar sebanyak empat kali, saksi Wagiranto mendengar sebanyak tiga kali, dan saksi I Made Wiranata hanya menerangkan mendengar tetapi tidak menyebutkan jumlah. Hal ini berarti kalau toch saja, ada himbauan/ perintah dapat saja ada orang yang tidak mendengarnya. Dan karena perintah atau himbauan tersebut tidak secara tegas dinyatakan ini perintah pertama, perintah ke dua dan perintah ke tiga maka bisa saja ada orang yang mendengar satu kali dan yang terakhir.
Bahwa selain itu karena para terdakwa maupun ke lima saksi a de charge secara tegas dan tandas di dalam persidangan menerangkan tidak pernah mendengar adanya himbauan atau perintah untuk membubarkan diri maka unsur barang siapa dalam dakwaan ini tidak terbukti.
Unsur dengan sengaja tidak pergi dengan segera sesudah diperintahkan tiga kali:
"Segera sesudah diperintahkan tiga kali", hal ini berarti kalau toch ada perintah maka perintah tersebut harus secara tegas dinyatakan bahwa ini adalah perintah untuk yang pertama kali, berikutnya ini adalah perintah untuk ke dua kali dan berikutnya ini adalah perintah untuk yang ketiga kali. Sebab jika tidak demikian setiap orang kalau toch ada yang kebetulan mendengar tidak mengetahui perintah itu sudah untuk yang ke tiga kali. Apalagi perintah yang katanya sudah diumumkan untuk yang ke sepuluh kalinya itu tidak diikuti dengan perintah sebagai ancaman bila tidak membubarkan diri padahal adanya ancaman itu merupakan syarat yang diatur dalam undang undang (lihat Buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta penjelasannya khusus Pasal 218 karangan R Soesilo)
Bahwa di dalam persidangan para saksi a charge tak seorang- pun menerangkan bahwa perintah dari Wadansa Brimob Mayor Sunaryo maupun dari yang lain-lainnya telah diumumkan untuk yang ketiga kalinya, dan telah didengar oleh masing-masing terdakwa, artinya para saksi a charge tidak menerangkan bahwa masing-masing terdakwa telah mendengar perintah itu secara berturut-turut yang dinyatakan secara tegas sebagai perintah pertama, perintah kedua dan perintah untuk yang ketiga kalinya.
Bahwa lebih lanjut karena saksi a charge pun tidak menerangkan bahwa perintah tersebut telah didengar untuk yang ketiga kalinya maka para saksi a charge pun tidak menerangkan bahwa saksi telah melihat atau mendengar sendiri bahwa masing-masing terdakwa secara sengaja tidak mengindahkan perintah untuk membubarkan diri.
Bahwa selanjutnya masing-masing terdakwa tidak dapat dikatakan telah mendengar suatu perintah (apalagi untuk yang ketiga kalinya) hanya berdasarkan pada pendengaran orang lain ic. Pendengaran dari saksi a charge dalam situasi yang gaduh dan berjarak lebih kurang 20 m dari tempat para terdakwa berada. Oleh karena itu unsur tersebut harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Bahwa hal lain yang perlu diperhatikan tentang telah adanya "tiga kali perintah" yaitu mengenai penggunaan megaphone merek TOA oleh Wadansat Brimob Mayor Sunaryo. Sebab di dalam persidangan megaphone yang diajukan tidak sesuai dengan megaphone yang didaftar, dalam berita acara penyitaan yaitu di dalam berita acar penyitaan megaphone yang disita adalah sebuah megaphone merek TOA berwarna merah sedangkan megaphone yang diajukan di dalam persidangan sebanyak dua buah masing-masing berwarna abu-abu dan krem. Selain itu karena baik megaphone yang diajukan dalam persidanga maupun megaphone dalam berita acara penyitaan tidak terbukti dalam keadaan baik (dapat dioperasikan) bahka kedua megaphone yang diajukan dalam persidangan terbukti dalam keadaan rusak sehingga keterangan para saksi a charge bahwa telah mendengar perintah untuk membubarkan diri melalui megaphone adalah tida terbukti. Apalagi megaphone merek TOA berwàrna krem yang diterangkan sebagai telah digunakan oleh Mayor Sunaryo untuk memberikan perintah pembubaran adalah milik DPP PDI yang disita setelah situasi terkendali sebagaimana yang telah diterangkan oleh para terdakwa. Oleh karena itu sekali lagi unsur dengan sengaja tidak pergi dengan segera sesudah diperintahkan tiga kali tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Bahwa selain itu seandainya (hanya pengandaian saja) jika perintah membubarkan diri itu telah memenuhi syarat dan masing-masing terdakwa telah mendengarkannya dengan baik, itupun para terdakwa tidak dapat dipersalahkan karena dengan sengaja tidak pergi atau membubarkan diri sebab:
a) Keberadaan para terdakwa di TKP kantor DPP PDI Jl. Diponegoro No. 58 menurut hukum adalah sah karena keberadaan para terdakwa adalah dalam rangka menjalankan tugas sebagai satgas yang menjalankan perintah dari Ketua Umum DPP PDI Ibu Megawati.