MENYAMBUT TIM INVESTIGASI GP ANSOR TENTANG PEMBUNUHAN MASSAL 1965
Sumbangan renungan dalam memperingati Hari HAM 10 Desember
A. Umar Said*)
Rupanya, berita yang disiarkan oleh BERNAS (Yogya) tentang permintaan maaf GP ANSOR kepada keluarga para korban pembunuhan massal 1965/1966 betul-betul menarik perhatian banyak orang. Gejala ini wajar, sebab masalah pembunuhan massal 1965 bukanlah masalah kecil. Bukan saja masalah ini bertautan erat dengan sejarah mulai berdirinya Orde Baru, tetapi juga karena masalah pembunuhan massal tahun 1965/1966 adalah duri yang sudah lama bercokol dalam darah-daging bangsa selama lebih dari 32 tahun. Duri ini, dalam jangka waktu yang begitu lama (!!!) telah membikin sakitnya tubuh bangsa, dan penyakit parah ini telah membikin rusaknya hati nurani sebagian bangsa, dan mengotori nalar banyak orang.
Duri besar inilah, yang masih sampai sekarang juga, terus menyebarkan kepedihan hati dan berbagai macam penderitaan, yang bisa ditemukan dalam ratusan ribu keluarga di negeri kita ini. Betapa banyaknya air-mata yang sudah mengalir selama ini! Dan betapa panjang pulalah jangka waktu yang harus mereka lalui penuh dengan berbagai siksaan ini! Ini semua bisa kita hayati ketika kita berkunjung ke rumah-rumah mereka dan berusaha berbicara dari hati ke hati. Segala macam cerita yang menyedihkan bisa kita dengar. Anak-anak yang terpaksa di rawat oleh saudara-saudara orang tua mereka, atau yang tidak dirawat, sehingga hidup mereka terlantar . Para istri yang harus mengarungi sendirian dalam lautan kehidupan yang penuh kesulitan. Sanak-saudara yang menjauhi mereka, karena takut dicap terlibat G30S atau takut dikategorikan dalam golongan yang tidak bersih lingkungan.
Entah, berapa besar jumlah rumahtangga yang sudah menjadi brantakan, dan berapa pula keluarga yang telah dibikin hancur dan cerai-berai. Tidak terbilang jumlah anak-anak yang terpaksa membenci atau tidak mengakui bapak, atau yang terpaksa menyebunyikan jati-diri mereka. Banyak yang merobah nama asli mereka, bahkan tidak sedikit yang terpaksa memutuskan hubungan kekeluargaan. Sungguh, amat keterlaluanlah situasi yang begini ini! Puluhan juta orang, dalam kadar yang berbeda-beda dan dalam bentuk yang beraneka-ragam, telah mengalami siksaan batin, dan dalam jangka yang amat lama pula.
SUARA MEREKA PERLU KITA DENGAR!
Pembunuhan massal tahun 1965/1966, yang kemudian dilanjutkan dengan penahanan para tapol puluhan tahun tanpa pengadilan, dan ditambah lagi dengan perlakuan yang tidak berperikemnusiaan setelah mereka dibebaskan, adalah noda besar dan dosa berat kita sebagai bangsa. Artinya, masalah ini bukanlah sesuatu yang bisa dibangga-banggakan, oleh siapa pun juga yang mengaku dirinya sebagai seorang yang beradab. Masalah besar ini adalah sesuatu yang, apa pun alasan atau dalih yang dipakai, tidak bisa kita biarkan terus merusak hati-nurani bangsa, dan tidak boleh terus meracuni nalar sehat kita semua.
Kita semua perlu menyadari bahwa persoalan ini merugikan kita semua. Pada hakekatnya, dan pada akhirnya, tidak ada yang diuntungkan dengan terus berlangsungnya penyakit yang sudah membusukkan rohani banyak orang ini. Hanya orang-orang yang budi-pekertinya rendahlah kalau menganggap bahwa penderitaan atau siksaan terhadap begitu banyak orang itu adalah suatu kemenangan. Mereka yang menyetujui masih berlangsungnya keadaan yang semacam ini perlu disadarkan bahwa meneruskannya adalah merusak martabat mereka sendiri sebagai sesama mahluk Tuhan, dan bertentangan dengan ajaran agama yang manapun juga. ..
Untuk bisa mendalami masalah serius ini secara menyeluruh, dan menghayati persoalannya secara jelas, perlulah kita semua membuka pintu hati kita masing-masing untuk mendengarkan suara keluarga para korban pembunuhan massal 1965 dan juga para ex-tapol beserta keluarga mereka. Dengan mengetahui sebanyak mungkin keadaan merekalah kita semua bisa menyadari betapa besar dosa kita bersama. Situasi yang tidak berperikemanusiaan ini harus sama-sama kita lawan.
Untuk itu, perlulah sama-sama kita ciptakan suasana supaya mereka bisa (tanpa rasa takut apa pun) dan juga mau mengumandangkan suara hati mereka. Pembeberan berbagai penderitaan yang mereka alami selama ini adalah langkah penting bagi kita semua, untuk bersama-sama menghilangkan duri yang menyakiti tubuh bangsa kita. Sebab, selama masih begitu banyak orang yang terus mendapat perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, tidak pantaslah ita - dan juga tidak berhak!!! - sesumbar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab (dalam bahasa yang lebih polos : jadinya, bangsa kita adalah biadab).
MENYAMBUT LAHIRNYA TIM INVESTIGASI GP ANSOR
Dilatarbelakangi oleh pertimbangan seperti tersebut di atas itulah maka tulisan ini, menyambut hangat isi artikel yang dimuat oleh majalah Gamma (n° 42-2, 12 Desember 2000) mengenai pernyataan pimpinan GP Ansor Yogya, yang diberi judul Dulu musuh kini mesra. Artikel ini antara lain menyebutkan bahwa Nuruddin, tokoh GP Ansor Yogya menjelaskan tentang telah dibentuknya tim investigasi khusus G-30S, yang akan mengadakan penelitian di kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Klaten. Menurut Nuruddin, GP Ansor Yogyakarta telah ditunjuk oleh pusat untuk memulainya, dan bahwa "Rekonstruksi sejarah itu akan menjadi kontribusi bagi sejarah bangsa yang sudah 35 tahun ini (sejak 1965) ditutup-tutupi rezim Orde Baru, dalam hal ini militer."
GP Ansor Yogya saat ini juga sudah mengumpulkan fakta lisan dari sejumlah pelaku sejarah. "Ternyata, yang memberi instruksi pembantaian tersebut kebanyakan tentara," tutur Nuruddin. Sejumlah orangtua mantan aktivis Banser itu umumnya berkisah tentang aksi-aksi mereka yang didahului mobilisasi dari aparat kodim. "Dari situ mereka mendapat indoktrinasi untuk menghabisi orang PKI. Misalnya, dengan menyebut orang itu anti-Tuhan, tidak beragama, tidak berperikemanusiaan, dan menentang NU," jelas Nuruddin.
Periode kritis yang sarat manipulasi rezim militer itu adalah periode 1965--1966. "Misalnya, muncul stigma sejarah bahwa Ansor dan Banser ikut menjadi pembantai orang-orang PKI paling banyak," sambung Nuruddin. "Padahal, dari sejarah kita tahu bahwa G-30-S terjadi adalah akibat konflik di tubuh tentara. Hubungan NU dan PKI sendiri mestinya baik karena sama-sama di Nasakom. Nah, mengapa Ansor dan Banser terlibat pembantaian? Itulah yang akan dijawab dalam proyek penelitian ini," tambahnya. (kutipan selesai)
Apa yang diterangkan oleh Nuruddin kepada Gamma adalah penegasan sekali lagi pernyataan yang telah diberikan oleh pimpinan GP Ansor Yogyakarta kepada redaksi Bernas (tanggal 22 November). Ini bisa diartikan bahwa sikap itu adalah keputusan organisasi, dan bukannya fikiran orang seorang saja. Dan yang patut kita sambut bersama secara positif adalah penegasan yang berbunyi bahwa "Rekonstruksi sejarah itu akan menjadi kontribusi bagi sejarah bangsa yang sudah 35 tahun ini (sejak 1965) ditutup-tutupi rezim Orde Baru, dalam hal ini militer."
Sebab, sudah makin banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sejarah (yang sebenarnya) tentang peristiwa dalam tahun 1965 telah ditutup-tutupi selama 35 tahun oleh Orde Baru (terutama oleh TNI-AD, Golkar serta pendukung-pendukung setianya). Karena itulah maka pemelintiran sejarah atau manipulasi fakta sejarah telah berhasil dalam jangka lama sekali ! mencekoki fikiran banyak orang dengan propaganda palsu dan menyesatkan. Pemalsuan sejarah dan propaganda yang menyesatkan inilah yang telah meracuni sebagian besar masyarakat negeri kita, sehingga terjadi perasaan permusuhan yang laten dan permanen antara berbagai komponen bangsa. Jelaslah kiranya, dari pengalaman selama puluhan tahun yang lalu, bahwa Orde Baru (TNI-AD, Golkar, dan sebagian kalangan Islam) berkepentingan sekali untuk selalu memupuk perasaan permusuhan ini, demi mempertahankan kelanggengan kekuasaan. Atau pun demi tujuan-tujuan lainnya
.
PERLU PENELITIAN SEBANYAK DAN SELUAS MUNGKIN
Langkah GP Ansor untuk membentuk tim investigasi untuk meneliti periode 1965-1966 adalah satu peristiwa penting yang mencerminkan keberanian sebagian angkatan muda bangsa kita untuk mengentaskan bangsa kita dari masa sejarah yang telah dikotori selama puluhan tahun dengan rasa kebencian, permusuhan, pelecehan hak asasi manusia dan pembunuhan demokrasi. Langkah ini juga menimbulkan harapan bahwa citra dunia Islam tidak akan lagi, untuk selanjutnya, selalu di-identik-kan (disamakan) dengan permusuhan terhadap komponen-komponen bangsa lainnya, termasuk golongan kiri.
Wajarlah kiranya, kalau langkah GP Ansor ini ini mendapat kecaman atau, bahkan, perlawanan dari para pendukung setia Orde Baru, khususnya dari golongan-golongan tertentu di kalangan militer (TNI-AD), di kalangan Golkar, di kalangan Islam (sebagian) yang selama ini memang telah diperalat oleh rezim militer Suharto dkk. Dan justru di sinilah letak kontribusi yang besar dari GP Ansor. Karena, kurun waktu yang begitu kelam semasa Orde Baru memang perlu dijadikan objek penelitian yang secermat mungkin, sebanyak mungkin, dan seluas mungkin. Makin banyak fihak-fihak yang melakukan penelitian yang serius mengenai masalah ini, makin besar sumbangannya bagi bangsa, baik untuk generasi yang sekarang, dan, lebih-lebih lagi, bagi generasi yang akan datang.
Oleh karenanya, alangkah baiknya, kalau inisiatif yang telah diambil oleh GP Ansor ini bisa ditiru atau dikembangkan oleh berbagai golongan atau komponen bangsa kita. Sudah waktunyalah, dan juga sudah sepatutnyalah, bahwa universitas-universitas, lembaga-lembaga pendidikan lainnya, termasuk pesantren, melakukan kegiatan yang serupa atau sejiwa dengan yang telah dimulai oleh GP Ansor. Sebab, kegiatan serupa ini merupakan ajakan, atau pembuka jalan bagi generasi muda kita - dan juga angkatan tua, kalau bisa! untuk membiasakan diri memandang persoalan-persoalan bangsa dengan kacamata perikemanusiaan dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan banyaknya kegiatan penelitian yang dilakukan oleh berbagai golongan tentang peristiwa 1965/1966 dan tentang peran tokoh-tokoh penting Orde Baru yang tersangkut di dalamnya, maka wajarlah bahwa akan muncul berbagai pendapat atau pandangan tentang itu semua. Dalam usaha bersama untuk mencari kebenaran sejarah, dialog atau perdebatan besar-besaran yang dilakukan dengan prinsip-prinsip ilmiah dan semangat demokratis, pada akhirnya akan menguntungkan bangsa. Sebab, dalam proses seleksi dan kristalisasi (secara alamiyah), akan makin kelihatanlah, akhirnya, mana yang emas dan mana yang loyang, atau mana yang bunga dan mana yang hilalang yang tidak ada gunanya.
MENEGAKKAN KEBENARAN DARI FAKTA
Mencari kebenaran sejarah tentang peristiwa 1965 adalah pekerjaan besar dan rumit. Ini memerlukan waktu yang panjang, pekerjaan yang serius, kemauan yang tulus, dan juga cara-cara yang tepat. Di samping itu, diperlukan kerjasama - yang tulus juga! - dari berbagai fihak. Sebab, berbagai faktor dalamnegeri dan juga internasional ikut bermain, waktu itu, sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dan itu semua ada saling-kaitannya atau sangkut-pautnya, secara langsung atau tidak langsung, dan dalam berbagai bentuk.
Umpamanya (antara lain!) : sikap kiri Bung Karno yang sejak muda sudah anti-kolonialis dan anti-imperialis, revolusi 17 Agustus yang tidak menguntungkan Belanda (dan Barat umumnya), makin membesarnya kekuatan PKI sejak pemilu 1955, konferensi Bandung, pembrontakan PRRI dan Permesta, kerjasama CIA dengan pimpinan TNI-AD, perjuangan untuk membebaskan Irian Barat, kampanye Ganyang Maysia, diserukannya semboyan Go to hell with your aid, Ganefo dan Conefo, ide Bung Karno tentang poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang, permusuhan pimpinan TNI-AD terhadap PKI yang makin memuncak, lahirnya konsep Nasakom, pertentangan intern-militer antara yang pro Bung Karno dan anti-Sukarno, lahirnya Sekber Golkar, usaha Inggris untuk menggulingkan Presiden Sukarno, lahirnya Supersemar, dan banyak faktor-faktor lainnya lagi.
Demi kepentingan sejarah nasional, semua itu perlu ditelaah bersama-sama oleh berbagai fihak, dalam usaha untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta sejarah. Walaupun tentang berbagai soal itu akan selalu ada pandangan yang berbeda-beda, tetapi setidak-tidaknya ada kemauan dan usaha bersama untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta. Dialog terbuka atau perdebatan serius mengenai persoalan-persoalan itu semua akan merupakan sumbangan penting untuk mencerdaskan bangsa. Sebab, sudah terlalu lamalah bangsa kita telah diperbodoh oleh sistem politik Orde Baru.
REKONSTRUKSI SEJARAH DEMI REKONSILIASI
Dilihat dari berbagai segi, sikap GP Ansor tentang rekonstruksi sejarah dan investigasi terhadap tragedi 1965/1966 merupakan langkah penting untuk memberikan citra yang lain tentang masyarakat Islam di Indonesia. Mudah-mudahan, dengan berpegang teguh kepada tujuan seperti yang sudah dikemukakan oleh pimpinan GP Ansor Yogyakarta, usaha penting untuk pemupukan persaudaraan antar sesama umat ini akan makin bergema lebih luas lagi di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Datangnya angin segar ini sudah menyejukkan hati banyak orang. Oleh karena itu, berbagai fihak perlu mendukung secara aktif ide positif ini, dan perlu mengulurkan kerjasama yang tulus.
Sebagai contoh, kerjasama atau saling pengertian yang sudah dijalin dengan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP) adalah suatu permulaan positif yang menggembirakan, dan perlu dikembangkan terus bersama-sama. Kerjasama yang tulus antara berbagai golongan atau komponen bangsa dalam usaha merekonstruksi sejarah, demi tujuan rekonsiliasi dan reformasi, akan mendatangkan kebaikan bagi kita semua. Dan perlulah kiranya kita ingat bersama-sama, bahwa reformasi yang sedang didambakan oleh bangsa kita adalah terutama reformasi dalam fikiran kita masing-masing. Reformasi (yang sungguh-sungguh) di berbagai bidang tidaklah mungkin tanpa me-reformasi terlebih dulu cara berfikir pola Orde Baru dalam segala bentuknya - yang masih berjangkit di kepala banyak orang.
Dengan semangat yang demikianlah, maka tidak ada persoalan siapa yang menang dan siapa yang kalah, atau siapa yang diuntungkan dan siapa pula yang dirugikan. Yang menang adalah nalar sehat, perikemanusiaan dan peradaban. Artinya, kemenangan kita bersama!
Paris, musim dingin, 10 Desember 2000
*********************
*) (Penulis adalah, sampai September 1965, pemimpin redaksi suratkabar Harian EKONOMI NASIONAL (Jakarta), anggota pengurus PWI Pusat periode kongres 1963, dan anggota Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Sekarang tinggal di Paris).
Untuk kontak dengan E-mail :
============================================
Previous Articles
Related Article