Dikutip dari : Apa Kabar
Date: Tue, 4 Jul 2000 08:54:12 +0200
Sobron Aidit :
KISAH SERBA-SERBI ( 117 )
Hasrat Keluarga Zainab Pulang Kampung
(- Bagian Satu,-)
Zainab umurnya lebih 60, suaminya Amir sudah 68. Anaknya ada dua, yang tertua lahir di Jakarta, yang kedua ini di Moskow. Semua sudah berkeluarga, dan mereka punya cucu 4, bahkan salah seorang sudah beranjak menjadi remaja putri. Dan kalau cucunya ini nanti punya anak, mereka belum-belum juga bisa pulang, maka penamaannya bukan lagi beranak-bercucu di luarnegeri, tapi beranak-bercucu dan bercicit, tambah pangkat satu lagi. Keempat cucunya ini mana tahu soal tanahair, tanah leluhur, segala macam. Bahasa Indonesia saja tidak lurus, dan sudah banyak melupakan atau terlupa apa yang dikatakan yang serba tanahair dan kampunghalaman itu. Tapi Zainab sendiri bersama suaminya yang sudah lama pensiun ini, malah sangat sulit bisa melupakan Indonesia dan kampunghalamannya yang di Palembang itu. Ingat-ingat begini, Zainab sering-sering menghela nafas panjang, Oi mak nasib, dulu jauh di kampung dekat Komering, kini tersuruk di ujung Woerden, Belanda. Betapa perjalanan nasib dan sejarah orang perorang manusia berbelit dan berselukbeluknya.
Mak Zainab dan Pak Amir sering-sering juga kumpul atau sengaja mencari teman-temannya buat berbincang-bincang akan sesama nasib komunitasnya, sama-sama vloehteling, kaum pelarian politik yang sering-sering juga berkumpul. Dengan alasan arisan, paguyuban, kangen-kangenan, dan perayan-perayaan tertentu. Tidak bisa dilupakan, juga termasuk ketika upacara penguburan salah seorang dari komunitas mereka. Dulu hampir setiap bulan ada saja yang bermatian, karena sakitan, karena tua, siapa tahu tahu karena ngenes tak bisa-bisa pulang. Mungkin saja karena mati kerinduan, kekangenan, demikian pikiran Zainab. Seseorang bisa saja mati karena kekangenan dan kerinduan, demikian dia pernah berpendapat.Pada upacara penguburan ini biasanya pada bertemu, dan lalu melepas kekangenan. Karena yang datang ke upacara penguburan itu tidak hanya dari tanah Belanda saja, tetapi ada juga yang berdatangan dari Jerman, Swedia, Perancis dan Belgia. Dan itulah sebabnya ada suara yang menyatakan orang-orang yang berkumpul bersama-sama mengantarkan jenazah itu disebutnya kaum PKI, tetapi yang artinya Perkumpulan Kematian Indonesia. Ya, bisa-bisa saja menamakannya begitu, mungkin tak ada salahnya, tetapi mungkin saja ada dosanya.
Dari banyak pertemuan begitu, biasanya keluarga Zainab dan Pak Amir akan selalu tanya-menanyakan bagaimana tentang masalah pulang kepada semua teman-teman dan kenalannya ini. Teman-temannya ini ada yang sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu, bahkan ada yang sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun. Rasa rindu, melepas kekangenan antara teman senasib, sangat menggugah semangat pulang, kerinduan yang tak putus-putusnya terhadap kampunghalaman. Dan dari saling tanya-jawab, saling cerita begini, tahulah keluarga Zainab, ternyata yang mau pulang itu, yang sangat rindu kampunghalaman itu, cukup banyak. Bahkan sebagian besar punya keinginan pulang seperti dirinya juga. Tetapi yang dilihatnya, dirasakannya, ada perbedaan antara dirinya dan keluarganya dengan teman-temannya itu. Tak dilihatnya ada persiapan buat melaksanakan kemauan dan hasrat pulangnya itu. Sedangkan dirinya dalam keadaan siap, misalnya saja tahun ini akan pulang, okey-okey saja, mereka sudah siap secara teknis. Yang dimaksudkanya teknis itu adalah keuangan.
Diam-diam mereka cukup menyiapkan uang. Mengontrak rumah misalnya di Sumedang kampunghalaman suaminya, atau di sekitar Komering, Sumatra Selatan kampunghalamannya sendiri. Bahkan kalau perlu, termasuk membeli rumah, itupun mereka sudah menyiapkan keuangannya. Mereka bukan orang kaya, tetapi bagaimanapun selama puluhan tahun ini, karena keinginan dan hasrat yang begitu besar buat pulangkampung, tentu saja bisa menyisihkan uang buat itu semua. Dan lagipula, harga gulden kan sampai antara 3000 sampai 4000 rupiah per-gulden. Cukup punya walaupun tidak kaya.
Dan karena banyak tanya sana-sini itu, dan juga banyak mendengar cerita-cerita orang lain, bertambah yakinlah keluarga Zainab bahwa soal pulang kalau hanya dari segi keuangan, mereka bisa mengatasinya, tidak menjadi soal besar. Ada tanda-tanya besar pada diri Zainab, mengapa orang-orang lain itu yang sama-sama mau pulang, tetapi samasekali tak tampak persiapan nyatanya. Hanya kata-kata mau pulang saja, rindu kampunghalaman saja, tetapi samasekali tidak kelihatan persiapan pulangnya. Sedangkan mereka benar-benar sudah siap. Misalnya sebuah rumahnya sudah dijual, sedangkan rumah yang kini didiaminya, mereka kontrak-sewa. Dan anak-anak cucunya sudah samasekali tak ada hubungan teknisnya lagi, dan juga tak ada maksud pulang seperti dirinya. Mereka samasekali tak tertarik apa itu kampunghalaman, apa itu kerinduan, bahkan sudah lama tak mengerti dan lupa akan bahasa Indonesia. Tak tertarik akan hasil kerajinan-tangan dan hasil bumi Indonesia. Bahkan mereka benci bau durian, nangka apalagi bau cempedak yang tajam itu. Tak pernah merasa suka akan papaya, apalagi gudeg. Bahkan mereka mencibir kalau memperhatikan ibu dan neneknya membuat masakan Indonesia.
Cucunya tertawa-tawa lucu ketika neneknya membuatkan cucunya ini kue kebanggaan kampungnya, kelepon, dan ongol-ongol serta cucur. Pikir keluarga Zainab, sungguh sudah lain sangat anak-cucunya ini. Pak Amir lain lagi pembawaannya dengan isterinya Mak Zainab. Pak Amir tidak banyak cakap. Lebih banyak diamnya, tapi banyak menyetujui sikap dan maksud serta cita-cita isterinya. Yang penting baginya yalah : hari tua itu seharusnyalah di kampunghalaman, dan sekerat dua kerat tanah, atau rumahtangga milik sendiri, dan sebidang kecil tanah buat penguburan dirinya dan isterinya, itu saja sudah cukup. Pulang buat menikmati hari tua, dan buat dikuburkan di kampunghalaman,- titik itu saja. Dan ternyata maksud dan hasrat tuanya ini sama dengan isterinya, jadi apalagi gunanya banyak cakap lain,- demikian pikir Pak Amir.
Berkehendak mati dan dikuburkan di tanahair dan kampunghalaman sendiri, nyatanya banyak pengikutnya. Tapi lagi-lagi seperti terpikir pada isterinya Mak Zainab, kenapa mereka yang berkehendak sama itu, tidak tampak persiapan mau pulangnya. Tenang-tenang saja adanya. Tidak seperti mereka berdua ini, bahkan sudah menjual rumah buat modal cari rumah dan tanah, dan buat mati. Sampai sekarang mereka berdua belum sampai menanyakan hal ini kepada banyak temannya. Hanya baru menyimpan pertanyaan saja, mengapa selama ini mereka itu belum menyiapkan segala sesuatu seperti dirinya.
Tapi dari cerita-cerita dan omong-omong santai yang walaupun serius itu tak ada kata atau pesan yang kiranya berlawanan dengan kehendak mereka. Bukankah artinya mereka itu setuju dengan cita-cita dirinya? Beda pokok, orang-orang itu hanya pada kata-kata saja, sedangkan mereka sudah sempat siap sampai menjual rumah buat modal segalanya, termasuk yang terakhir : kuburan mereka berdua.
Melihat semua ini, timbul juga pertanyaan pada dirinya, ada apa ini sebenarnya? Mengapa ada kelainan antara persiapan mereka mau pulang itu dengan pernyataan teman-teman tuanya? Suatu kali mereka mau tahu apa sebabnya. Bukankah katanya kalau mau melangkah itu harus serentak, agar seirama? Yang ini, mau pulang ini lain lagi, tak ada bau-bau serentaknya. Pertanyaan dalam hati yang belum terkeluarkan ini, terus menerus menyembul kepermukaan buat diutarakan ke antara teman-teman senasibnya,-
------------------------Paris 4 Juli 2000,---------------------------------
********************
Date: Tue, 4 Jul 2000 22:35:24 +0200
Sobron Aidit :
KISAH SERBA-SERBI ( 118 )
(- Bagian Dua,- habis )
Ada beberapa surat dari Sumedang dan Palembang, dari saudara sepupu Zainab dan keponakan Pak Amir. Surat-surat itu isinya pada pokoknya menjawab berita yang disuratkan Mak Zainab dan Pak Amir atas hasrat pulangnya itu. Pada dasar isi nafas surat itu, semua menyatakan pikir-pikirlah sebelum pulang menetap di kampunghalaman. Ada pula isi surat itu yang menyatakan : "lho, banyak orang-orang yang di Indonesia ini pada mencari jalan buat keluar Indonesia, tapi kalian malah mau datang. Orang-orang ramai-ramai mau keluar, kalian mau masuk. Apa benar-benar sudah dipikir masak-masak? Apa kalian sudah tahu benar situasi kampunghalaman dan tanahair?", demikian antaranya isi surat yang bertambah membimbangkan hati keluarga Zainab.
Lagi-lagi Mak Zainab perlu mencari teman-teman senasibnya buat bertanyakan banyak soal yang mereka benar-benar belum tahu. Dari cerita-cerita temannya barulah sedikit tahu tentang apa saja yang terjadi dan yang kini ada di Indonesia dan kampunghalamannya. Katanya masih tetap banyak halangan pulang. Ada yang berupa undang-undang dan ketetapan pemerintah sewaktu orba dulu, yang isinya sudah sangat tidak cocok dengan situasi sekarang. Begitu diusulkan buat dicabut, reaksi bukan main banyak dan tajamnya. Masih sangat banyak yang tidak setuju dan menentang pencabutan penetapan dan peraturan itu. Sebab katanya, kalau penetapan dan peraturan itu dicabut, maka komunisme dan orang-orang kiri akan merajalela lagi, akan ada pembrontakan, kekacauan, dan pembunuhan seperti enam jenderal dulu itu.
Mendengar cerita begini Mak Zainab meringis dan marah. "Memangnya sekarang ini sudah tidak ada lagi kekacauan dan pembunuhan itu? Sudah semua daerah menjadi aman?", katanya dengan nada tinggi. "Ya itu memang benar. Tetapi kalau kita-kita ini pulang, sedangkan masarakat yang akan menerima kita itu belum siap dan masih mendendam, bukankah sasaran akan ditujukan kepada kita lagi", kata temannya yang diajak ngobrol itu.
"Mak Zainab tahu tidak bahwa reaksi tentang kepulangan kita itu sudah banyak para penantangnya. Yang berbaju-pakaian putih itu, kaum jihad. Yang kini sudah ribuan dikirim ke Ambon dan bagian Maluku lainnya? Sekarang ini yang justru paling galak dan bermata-gelap itu, tidak hanya aparat serdadu, tetapi juga para preman berjubah-Islam itu. Dulu tahun 65 dan 66 merekalah yang paling banyak membunuhi kaum kiri. Dan kini tampaknya akan sama saja. Para aparat negarapun, para serdadu resmipun sudah tak berkutik menghadapinya. Mereka berdemonstrasi ke istana negara saja pakai golok-tajam mengkilat, dan dibiarkan serdadu pemerintah juga. Bayangkan kalau kita-kita juga nekad pulang yang mereka siap menghadang dan menantang. Jadi cobalah pikir-pikir lagilah! Rindu sih rindu, kangen sih kangen pada keluarga, kampunghalaman, tetapi semua itu kan harus pakai pikiran, penalaran bukan perasaan dan emosi", kata Mak Mariam teman dekat Mak Zainab yang juga termasuk orang yang mau pulang, tetapi tidak mau nekad seperti Mak Zainab.
Sebenarnya Mak Zainab tidak begitu suka akan politik, bahkan pernah dikatakannya dia benci akan politik. Tetapi dia sendiri pada akhirnya menyadari juga, bahwa semua gerak-gerik ulah manusia, termasuk perilaku yang dihadapinya sekarang ini, penuh warna politik. Pada akhirnya ke manapun, di manapun akan bertemu dengan warna politik. Dan terkadang dia lupa, sebenarnya dia sudah jauh masuk ke wilayah politik yang pernah dia benci itu. Lalu ada lagi cerita yang didengarnya dan bacaan yang dilihatnya, adalah benar apa yang dikatakan Mak Mariam dan teman-teman lainnya. Bahwa banyak sekali orang-orang mencari jalan agar bisa keluar dari Indonesia. Sebagai apa saja, sebagai TKI dan TKW, jadi buruh-harian, buruh-lepasan, pengasuh-bayi. Bahkan tidak sedikit mau saja diperisteri secara kontrakan asal saja bisa ke luarnegeri. Bukannya tak didengar dan tak diketahuinya, tidak sedikit yang terjadi, perkosaan, bahkan sampai pembunuhan, dijatuhi hukum-rajam dan hukum-gantung, karena akibat perlakuan para majikan dan penguasa setempat, atau karena antara para pencari-kerja itu. Dan tokh tak berkurang yang tetap berusaha keras mencari jalan ke luar dari Indonesia.
Mengapa semua ini terjadi? Karena di tanahairnya sendiri samasekali tak ada jaminan-kerja, tak ada jaminan-kehidupan. Tak ada keadilan bagi rakyat kecil, tak ada tempat mengadukan nasib. Semua serba tak pasti, yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Orang bisa saja menjadi korban, korban kerusuhan, korban pemerasan, korban konyol yang tak jelas apanya dan bagaimananya. Juga di dengarnya, banyak yang mencari jalan keluar Indonesia, ke berbagai negeri. Ada yang sampai ke Australia, Eropa dan Amerika, bahkan ke mana saja asal keluar Indonesia. Banyak kampung-baru di Perth, Australia, di Melbourne, Sidney dan lain-lainnya. Memang banyak juga orang-orang kaya yang melarikan modalnya, tetapi juga lebih banyak lagi orang miskin yang mencari kehidupan di tempat baru yang masih ada sela-sela demokrasinya.
Yang mau mencari jalan keluar Indonesia buat hidup di tanah-rantau itu bukan saja berasal dari kesulitan hidup perekonomian, kaum migrant, tetapi juga karena politik. Sebab politik di Indonesia terlalu buruk untuk menjadi tempat kediaman yang aman, terlalu kacau. Korupsi dan kolusi yang terbesar di dunia ini, atau di Asia ini adalah di Indonesia, juga termasuk pelecehan
Hak-hak Azasi Manusianya.
Semua ini serba sedikit diketahui juga oleh Mak Zainab dan Pak Amir. Lalu jadinya bagaimana? Sangat rindu dan sangat kangen mau pulang, mau tinggal dan mau mati di Indonesia. Tapi kalau keadaan dan situasinya masih begini apa mungkin bisa pulang sekarang? Tadinya keluarga Mak Zainab merasa sangat gembira, sebab mereka tahu, oleh presiden RI sendiri ditugaskan seorang menteri datang ke Eropa, tepatnya ke Belanda ini, buat katakanlah menjelaskan bahkan "membujuk" agar para perantau-abadi yang sudah puluhan tahun ini, bersedia dan mau pulang. Dan menteri itu tadinya nampaknya bersemangat baik, terbuka bahkan bisa-bisa dikagumi orang-orang tertentu di kalangan teman-temannya sendiri. Tetapi nyatanya seperti peribahasa, belum kering liur di lidah dan bibir, dia sudah berubah langkah. Dialah yang paling anti pencabutan ketetapan dan peraturan orba yang sangat mengekang kehidupan orang-orang kiri itu. Dan tampaklah wajah yang sebenarnya pada diri sang menteri yang termuda itu.
Oleh banyak bertanya kepada teman-temannya dan membaca sendiri berita-berita dari tanahair dan kampunghalamannya, keluarga Zainab lama-lama mengerti juga serba sedikit. Dalam hatinya tergores-jelas, politik yang dulu kubenci pada akhirnya aku mau tak mau masuk juga ke dalamnya. Dan apakah soal bisa tidaknya ketetapan nomor 25 dan peraturan nomor 32 itu dicabut, juga adalah semata-mata soal politik. Termasuk mengapa sekarang ini lebih baik atau terpaksa harus ditunda kepulangan yang sudah bertahun-tahun dirancangkan itu. Semua ini bukankah karena jiwa dan warna politik? Tetapi lalu bagaimana dengan keuangan nantinya? Demikian pikir Mak Zainab, rumah sudah dijual, uang simpanan semakin sedikit, jarak pulang bertambah jauh. Kalau sudah mengingat dan menghadapi semua ini, sungguh tak terasa airmata tuanya pelan-pelan mengaliri pelupuk matanya dan turun ke pipinya yang sudah semakin mengkerut. Terkadang ada terdengar isakan hidungnya menahan tangisan sedih dengan pertanyaan yang tak pernah berjawab. Kapankah kami ini bisa pulang mendiami kampunghalaman sendiri dan berkubur di tanahair sendiri?,-
-------------------------Paris 4 Juli 2000,-------------------------------
Back to Top ********************* Related Message
|