Pakorba
Silahkan Logo Pakorba di-klik

Serba - Serbi sekitar TAP MPR No. XXV/1966

Related Articles : Tempo Interaktiv






ASA - Catatan Sepotong Sejarah Kelam Bangsa

DIKABARKAN, bahwa Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Sumarsono SH mengingatkan agar masyarakat mewaspadai gejala munculnya gerakan komunis. Indikasi itu terlihat dengan maraknya gerakan yang mengatasnamakan kemanusiaan di berbagai daerah akhir-akhir ini. "Gerakan semacam itu kini muncul di beberapa daerah seperti di Sala, Boyolali, Klaten, dan Tegal dan itu sudah kita antisipasi," katanya. Dia mengatakan, indikasi munculnya gerakan komunis dan partai kekiri-kirian saat ini banyak tokoh eks Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendirikan yayasan berkedok pembela kemanusiaan, seperti adanya yayasan korban Orde Baru dan yayasan penelitian pembunuhan (lihat: "Suara Merdeka", edisi 26 September 2000).

Kabar (tentang "peringatan" Mayjen TNI Sumarsono SH) tersebut di atas perlu mendapat tanggapan. Tuduhan Mayjen TNI Sumarsono terhadap mereka, yang aktif dalam gerakan untuk membela kemanusiaan, seperti (meminjam istilah yang digunakan sang PANGDAM IV/Diponegoro itu) "yayasan korban Orde Baru" dan "yayasan penelitian pembunuhan", sebagai kegiatan dari banyak "tokoh eks PKI" dan merupakan "indikasi munculnya gerakan komunis dan partai kekiri-kirian" tidak bisa dinilai lain, selain lagi-lagi suatu usaha dari oknum pro status quo (baca: oknum, yang sayangnya masih bercokol aktif sebagai pejabat tinggi saat ini, pro Orba bertopeng "reformasi") untuk meng"komunis"kan siapa saja yang benar-benar gigih berjuang bagi tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di Indonesia. Dalam kaitan ini, sikap dan pernyataan dari Mayjen TNI Sumarsono SH tersebut di atas tidak berlebihan kiranya jika saya nilai sebagai sikap dan pernyataan seorang pejabat, yang berjubah reformasi, tetapi kenyataan "pernyataan atau peringatannya" adalah jelas-jelas pro status quo! Ya, pro status quo. Betapa tidak. Sebab, politik yang "mengkomuniskan" segala pikiran demokratis (anti penindasan dan pro HAM demi tegaknya demokrasi dan hukum) adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendirian para pentolan rezim apa yang dinamakan Orde Baru - sebuah orde yang sebenarnya usang.

Praktek selama 32 tahun berkuasanya Jenderal (purn) Soeharto bersama kliknya (yang tidak lain adalah rezim Orba itu) menunjukkan betapa jahat dan kejamnya politik yang dengan segala cara meng"komunis"kan semua kekuatan yang anti kekejaman dan anti penindasan Orba. Sungguh sebuah lelucon yang samasekali tidak lucu dan patut disayangkan, bahwa di tengah pergolakan perjuangan reformasi, antara lain, anti politik kekejaman Orba demi tegaknya demokrasi, hukum dan HAM di bumi Nusantara, masih saja ada oknum (yang nota bene pejabat tinggi, lagi-lagi militer AD) yang bisa secara terbuka dan leluasa menjajakan komoditas rongsokan "komunistofobi"!

"Peringatan" Mayjen TNI Sumarsono SH tentang apa yang dinamakan "bahaya komunis" tidak bisa diartikan lain, selain usaha seorang oknum pro status quo (baca: pro Orba) untuk meng"komunis"kan semua pejuang kemanusiaan. Dan tindakan demikian itu paling tidak harus kita nilai sebagai usaha menghambat perjuangan rakyat untuk reformasi. Meng"komunis"kan setiap orang (yang berjuang membela harkat manusia demi tegaknya demokrasi dan hukum dengan jalan damai tanpa kekerasaan) adalah jelas-jelas mengkhianati sila kedua dari Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab!

Dan kalau kita mau jujur sejujurnya, betapapun usaha klik Orba untuk menunjukkan "kebiadaban" para pelaku apa yang dinamakan Gerakan 30 September 1965, namun di depan mata kita tidak terbantahkan betapa biadabnya kelakuan atau sepakterjang para pendiri Orba dan para pengikutnya terhadap siapa saja yang tidak setuju dengan politik anti demokrasi Orba. Penguasa Orba dengan semena-mena melakukan penculikan dan penghilangan nyawa alias membunuh dengan kejam siapa saja yang berani secara terbuka menentang politik anti demokrasi dari penguasa Orba dibawah Jenderal (purn) Soeharto.

Ratusan ribu orang tanpa prosedur hukum, tanpa proses pengadilan, dimasukkan ke dalam penjara, ada yang di "pulau-Buru-kan" dan bahkan ratusan ribu orang takbersalah telah dibunuh dengan kejam dengan tuduhan standar - "terlibat G30S" - tanpa proses pengadilan apapun! Padahal kenyataan menunjukkan sejelas-jelasnya, ratusan ribu dari mereka, yang dipenjarakan dan bahkan dibunuh dengan kejam itu, tidak ada kaitannya dengan apa yang dinamakan G30S/PKI itu!

Bukankah para pentolan Orba berkoar-koar dengan propaganda bahwa Bung Karno terlibat dalam G30S dan bahkan beliau dituduh sebagai "dalang" G30S?! Bung Karno, tanpa proses pengadilan, akhirnya di asingkan dan diisolir dan dikerangkeng sebagai seorang tahanan rumah oleh Jenderal Soeharto!

Dan alangkah bedanya, bak siang dan malam, antara Bung Karno dan Soeharto.

Kalau Bung Karno semasa hidupnya secara jantan dan kesatria siap menghadapi proses pengadilan, namun Soeharto sebaliknya takut menghadapi pengadilan atas dirinya dan berbuat sekuat tenaga dengan segala cara untuk mematahkan proses pengadilan atas dirinya itu! Hal itu terlihat jelas dalam praktek saat ini, betapa Soeharto dan para kroninya melakukan segala usaha dan cara agar proses pengadilan terhadap gembong Orba ini tidak terjadi!

Kekejaman anti kemanusiaan

Tentang kekejaman anti kemanusiaan yang dilakukan rezim Orba sudah menjadi rahasia umum. Dalam kaitan ini, patut kiranya kita baca dan simak buku berjudul "Palu Arit di Ladang Tebu" yang diterbikan oleh "Kepustakaan Populer Gramedia" (Th. 2000), karangan Hermawan Sulistyo. Dalam konteks ini, di bawah ini saya salinkan resensi buku dimaksud yang ditulis oleh  A. ARIOBIMO NUSANTARA, yang dimuat di SUARA PEMBARUAN DAILY (edisi Rabu, 27 September 2000) sebagai berikut:

Meski pintu demokrasi dan reformasi telah berusaha dikuak oleh pemerintah pasca-Orde Baru, masyarakat masih merasa risih bila harus bicara tentang peristiwa-peristiwa seputar G-30-S/PKI. Lihat saja, ketika Presiden Abdurrahman Wahid menyarankan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966, kontan muncul tanggapan pro-kontra di masyarakat. Kebanyakan mengkhawatirkan kebangkitan kembali PKI di bumi Indonesia. Perspektif tunggal bahwa penggal sejarah tersebut merupakan titik balik dari zaman gelap Orde Lama menuju zaman yang lebih baik di bawah Orde Baru -- yang ditengarai karena ''kekejaman'' PKI -- agaknya masih melekat erat di benak masyarakat.

Akibatnya, pada masa itu tidak banyak pelaku ataupun saksi sejarah yang berani secara terbuka bersaksi. Baru setelah muncul pemerintahan pasca-Orde Baru ini terjadi ''arus balik'' historiografi; terbit beragam catatan pribadi maupun studi baru tentang peristiwa Gestapu. Salah satu catatan penting tentang Gestapu adalah hasil penelitian Hermawan Sulistyo, yang kemudian menjadi disertasi.

Buku Palu Arit di Ladang Tebu ini adalah edisi Indonesia disertasinya di Arizona State University (ASU) yang berjudul The Forgotten Years; The Missing History of Indonesia's Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966). Suatu topik yang menantang, karena disiapkan di tengah situasi politik Indonesia yang belum memungkinkan untuk mengekspos hasil penelitian ilmiah (tentang PKI) secara terbuka serta kelangkaan dokumen tertulis tentang peristiwa sensitif tersebut.

Meskipun demikian, penulisnya sempat menyaksikan sepotong sejarah kelam bangsa kita, buku ini bukan bagian dari ''arus balik'' historiografi itu. Seperti dikatakan di Kata Pengantar, ''Fokus studi ini bukan pada politik nasional atau peristiwa Gestapu, juga bukan mengenai percobaan kudeta atau kontra kudeta atau mengenai operasi militer. Buku ini juga tidak membahas partai politik. Sebaliknya, studi ini berusaha melukiskan dan menganalisis berbagai ketegangan dan konflik sosial yang mendahului terjadinya pembunuhan pasca Gestapu (halaman xi)".

Boleh dibilang, penulis berusaha merekonstruksi kembali kejadian masa lampau yang hingga kini masih menyisakan kesenjangan pemahaman mengenai kejadian traumatis itu di tingkat nasional dan daerah. Bagi Hermawan, dorongan untuk mengangkat topik ini sangat kuat, sebab semasa kecil (1965-1966) hampir setiap hari ia menyaksikan Bengawan Madiun dan Kali Brantas mengalirkan puluhan mayat tanpa kepala. Berita yang sampai ke telinga anak-anak sebayanya, mayat-mayat tanpa kepala itu milik anggota, atau simpatisan PKI yang oleh masyarakat waktu itu dijuluki ''orang jahat''. Mereka -- yang umumnya bekerja untuk sejumlah pabrik gula -- dibantai di kebun-kebun tebu hingga di pabrik gula guna pembersihan anggota maupun simpatisan PKI.

Pembunuhan Massal Terbesar

Beruntunglah peneliti senior di Puslitbang PPW-LIPI ini tidak menyerah pada kelangkaan sumber pustaka, tetapi juga mengumpulkan sumber primer dan sekunder langsung dari lapangan. Ketekunan bergerak sedekat mungkin ke arah para pelaku utama dalam permainan politik di Jombang dan Kediri (1965-1966) memandu pembaca untuk ''menggerumuti masa lalu'' ke dua tempat yang menjadi killing filed (ladang pembantaian) massal. Dalam catatan sejarah dunia, pembantaian anggota dan simpatisan PKI yang terjadi di dua tempat itu boleh dibilang sebagai salah satu pembunuhan massal yang terbesar -- tetapi termasuk yang paling sedikit dipelajari. Sayang, seperti dikatakan Hermawan, hampir tidak ada sarjana Indonesia yang mempunyai kesempatan atau lebih tepatnya keberanian untuk meneliti topik ini. Akibatnya, tidak ada studi dari perspektif lokal selain sejarah resmi, yang dikenal sebagai ''buku putih''.

Buku ini terbagi dalam tujuh bab sebagai penjabaran atas kerangka yang menekankan pentingnya kesinambungan sejarah dalam menjelaskan dan menilai sebab-akibat pembantaian. Dalam Bab II yang membahas historiografi peristiwa Gestapu dan pembantaian massal misalnya, penulis mengemukakan berbagai teori, interpretasi dan spekulasi mengenai pelaku Peristiwa Gestapu.

Kalau selama ini ''sumber resmi'' menyodorkan PKI sebagai pelaku tragedi nasional itu, ternyata banyak sumber memiliki versi yang berlainan -- disajikan lengkap dengan bukti dan analisis empiris-ilmiah. Ada lima alternatif pelaku, atau setidak-tidaknya pihak yang mungkin terlibat dalam Gestapu adalah (1) PKI, (2) Angkatan Darat (3) Soekarno (4) Soeharto dan (5) Jaringan Intelijen CIA (halaman 47-61). Meskipun demikian, diakui hampir mustahil menarik kesimpulan pasti tentang siapa yang paling mungkin berada di balik peristiwa berdarah Gestapu. Memang bukan masalah itu yang menjadi pusat perhatian buku ini. Tetapi, malam pembantaian para jenderal di Jakarta rupanya menjadi pemicu berbagai ketegangan dan konflik di bawah permukaan menjadi lebih keras dan memastikan.

Maka, Bab II itu mengantar pembaca memasuki Bab III-VI yang merekonstruksi pembantaian massal yang terjadi di Jombang dan Kediri pasca-Gestapu.

Malangnya, tidak ada catatan pasti mengenai jumlah korban yang sesungguhnya, kecuali angka-angka estimasi yang diperoleh dari sumber pustaka dan wawancara lapangan. Tentang kesimpangsiuran angka pasti korban pembunuhan massal tersebut bisa kita maklumi setelah membaca buku ini. Betapa situasi saat itu sangat mencekam dan tidak memungkinkan untuk mengadakan pencatatan resmi.

Apalagi dokumentasi foto. Karena, di samping pembunuhan lewat ''operasi teratur'', muncul pula pola ''operasi tidak teratur'' yang (menurut pengakuan para mantan algojonya) konon lebih banyak memakan korban. Tak heran bila ketika mengumumkan jumlah korban yang tewas, hampir dengan suara berbisik Soekarno menyatakan jumlahnya ''lebih besar dari yang terjadi dalam Perang Vietnam sekarang ini.'' ''Apakah kematian enam orang jenderal harus dibayar dengan harga ini?'' ia bertanya. (halaman 196).

Jangan Terulang Lagi

Meskipun demikian, teater pembantaian massal bukannya lantas berakhir, tetapi terus berlangsung -- paling tidak hingga Agustus 1966, pembantaian berlangsung secara sporadis di beberapa tempat. Bagaimana dampak drama ini pada sektor ekonomi?

Bab VI antara lain menyinggung bahwa seluruh pabrik gula di Jombang dan Kediri mengalami kerugian besar. Situasi politik tidak cukup kondusif untuk memulai musim tanam baru, sementara tebu yang siap dipanen tidak terawat baik dan banyak buruh tidak mau lagi bekerja di pabrik gula. Tetapi yang paling memilukan adalah pekerja baru tidak memiliki keterampilan seperti yang dimiliki pekerja yang terbunuh! Satu generasi pekerja tebu terbunuh sia-sia.

Membaca buku ini, kita seolah menemukan kembali sepotong sejarah kelam bangsa yang selama pemerintahan Orde Baru tidak pernah ditorehkan ke dalam ''sejarah resmi''. Peristiwa Gestapu hanya dieliminasi pada peristiwa yang terjadi di Jakarta - pembunuhan enam jenderal oleh PKI - dan menyimpan rapat-rapat peristiwa pasca-Gestapu. Karena itu, bila membaca buku ini dengan hati nurani boleh jadi kita akan mafhum pada rujukan moral politik Gus Dur, ketika menyarankan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966.

Buku ini pun pantas menjadi rujukan dalam penulisan ''versi resmi'' sejarah bangsa di masa yang akan datang agar sejarah kelam itu tidak lagi terulang.

Demikianlah resensi buku berjudul "Palu Arit di Ladang Tebu" (karangan Hermawan Sulistyo) oleh A. ARIOBIMO NUSANTARA.

Semoga bermanfaat.

Wasalam,

A.Supardi Adiwidjaya

Back to Top ********************* Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2002
Last Update on October 29th. 2002