Berikut di bawah ini adalah naskah tulisan Hersri Setiawan yang disampaikannya pada tgl. 23 September 2000 yang lalu dalam saresehan "Mawas Diri : Peristiwa September 1965 dalam Tinjauan Ulang" di Forum Sejarah Bangsa Mahasiswa RI di Kastil Arenberg (gedung Univ.Katolik), Leuven, Belgia. Dalam forum itu berbicara pula Sitor Situmorang, Carmel Budiardjo, Prof. Coen Holtzappel, Dr Paul Moedikdo dan Nani Nurrachman.
Hersri Setiawan: Sekitar G30S (1/2)
(Sebuah Renungan Pribadi) - 1.
ADA tiga butir soal diharapkan oleh Sdr-Sdr Penyelenggara Forum Diskusi Sejarah Bangsa agar tercakup di dalam uraian saya. Pertama, pengalaman apa dari "Tragedi September 65" yang paling menyakitkan dan meninggalkan luka batin mendalam buat saya dan keluarga. Kedua, bagaimana saya mengolah kenyataan pahit dalam masa itu, dan dalam masa-masa berat sesudah peristiwa tragis itu. Ketiga, pelajaran apa yang dapat ditarik bagi generasi sekarang dari pengalaman pribadi saya tersebut.
Saya akan berusaha memenuhi harapan itu. Tidak butir demi butir, tetapi dalam satu rangkaian uraian.
Pertama, agar uraian ini tidak menjadi berketiak-ular, karena begitu banyak pengalaman menyakitkan dan luka lahir-batin yang kami sekeluarga harus dukung dan tahan.
Kedua, agar dari uraian ini akan tampil satu sosok "aku ialah aku", yang dari situ akan menampak bagaimana kami menghadapi dan mengolah kenyataan pahit itu, dan pertanda-pertanda apa yang bisa ditarik sebagai jembatan dan alat untuk berefleksi. Tidak atau belum usah sebagai pelajaran. Tetapi cukup sebagai kaca benggala saja.
Peristiwa G30S 1965, yang oleh Bung Karno disebut "Gestok", Gerakan Satu Oktober, adalah peristiwa politik. Saya bukan "orang politik". Apalagi tokoh politik! Saya sekedar awam yang berusaha sadar politik. Mengapa berusaha sadar politik? Karena saya ingin mepertahankan hidup saya dari gempurannya kehidupan. Karena saya tidak ingin hidup disindir oleh pepatah "timun wungkuk jaga imbuh" atau "si bongkok dimakan sarung". Politik bagi pemahaman saya ialah semacam ars, art, kiat atau siasat. Siasat untuk survive. Untuk merebut hidup saya sendiri, karena hidup saya adalah seratus persen hak saya. Buat saya, yang orang awam dan bukan politikus, politik saya tempatkan di dalam - dan saya perlakukan sebagai - kesadaran kebudayaan. Bukan saya genggam di tangan kekuasaan untuk merampasi hak orang lain.
Maka dalam menyikapi peristiwa sejarah dan peristiwa politik masa lalu pun, saya konsekuen pada pendekatan dan sikap saya terhadap politik yang demikian itu. Peristiwa G30S 1965, atau peristiwa apa saja lainnya, akan selalu saya sikapi dengan sikap kebudayaan, sikap sejarah, sikap politik sebagai kiat hidup bukan kiat kekuasaan. Saya tidak ingin melihat masa lalu dari titik tolak "aku benar dan kamu salah." Sejarah bukan apologetika. Karena itu saya tidak mau ikut hanyut dalam hura-hura salah kaprah "pelurusan sejarah". Semakin sejarah diluruskan, semakin ia menjadi bangunan kuasi ilmiah yang totaliter. Demokrasi dan HAM ialah panji-panji reformasi di Indonesia yang gagal. Tetapi sejatinya, "demokratisasi" dan "HAM-isasi" sejarah, harus menjadi keprihatinan masyarakat dunia semesta paska-penjajahan.
Pada akhir tahun 1987 kami sekeluarga bertiga - istri, anak dan saya - bereksodus ke negeri Belanda. Indonesia, negeri indah yang kami cintai, kami tinggalkan. Mengapa? Karena tidak ingin "dimakan sarung" itulah! Selaku et-Pulau Buru, yang sudah mengalami segala kecuali mati, saya tidak sedikit pun gentar menghadapi penindasan dan penghinaan rezim Suharto. Juga almarhum istri saya, sebagai perempuan Belanda, tentu sadar benar apa konsekuensi dari pilihannya: hidup di Indonesia yang di bawah sepatu militer, dan menjadi istri seorang et-Buru yang hidup ibarat telur di ujung tanduk. Tetapi kami mempunyai seorang anak. Dan kami tidak akan membiarkan anak itu menjadi kurban "hukum renteng", manifestasi "hukum" dari "budaya" tak berbudaya, yang bernama "tumpas kelor". Hukum dan budaya yang tak berbudaya itu itu akan sangat mungkin terjadi setiap saat, jika istri saya meninggal dunia. Dengan paspor Belanda yang tetap dipertahankannya, ia bukan sekedar berperanan sebagai istri bagi suaminya dan ibu bagi anaknya. Tetapi sesungguhnya ia ibarat perisai sosial politik rumah tangga kami.
Ia sesungguhnya mencintai Indonesia. Tetapi bahkan untuk Cinta pun Indonesia tidak memberi sempat dan tempat. Saya kutip dari buku Ruth Havelaar1:
Keinginannya mati di Indonesia, dan dikubur di bawah makam Ibu Mertuanya ..., sayang terpaksa harus ditanggalkannya. Setahun sebelum tutup umur ia kembali ke tanah kelahirannya. Tetapi keinginannya menyelesaikan tulisan-tulisannya sebelum mati, memang telah terpenuhi
... Dua puluh hari sebelum ia meninggal, pada 2 April 1989 di Kockengen, ditulisnya kata-kata terakhir kisahnya:
"Selamat tinggal Indonesia, kukirim bagimu harapanku, air mataku, dan cintaku ..." Adakah negeri lain di planet bumi ini, di suatu jaman yang disebut jaman moderen, bahkan untuk mati pun orang tidak punya kemerdekaan? Tetapi itu benar sudah terjadi di sebuah negeri bernama Indonesia, dan tidak hanya terkena pada seorang Ruth Havelaar. Ia hanyalah Jitske Mulder. Seorang wong cilik di tengah rakyat tertindas yang tak terbilang.
Barangkali perlu saya ingatkan, sekali peristiwa, menjelang saat terakhir hidup Bung Karno. Orang tahu pejuang terbesar Indonesia ini ingin diistirahatkan sebagai penyambung lidah rakyat, di tanah Priangan yang subur tempat ia bertemu dengan si petani Marhaen2. Tetapi Pangdam Siliwangi berkata: "Bumi Siliwangi terlalu suci untuk menerima mayat Sukarno!" Bayangkanlah! Bahkan seorang besar seperti Bung Karno, tidak punya hak memilih tempat di mana ia mati!
Itu sebabnya saya pernah menulis cerita pendek "Tikus". Ada seekor tikus mendekam di saluran pembuangan air dapur rumah kami di Tebet Jakarta Selatan. Istri saya, melihat tikus gemuk besar itu, tentu teringat cerita saya tentang tapol ketika di Buru. Bagi tapol Buru tikus ialah daging santapan yang gurih lezat. Maka, demi melihat tikus itu, diserunya saya agar datang membawa pemukul untuk membunuhnya. Benar. Saya sudah berancang-ancang. Tongkat saya angkat tinggi-tinggi, disaksikan istri yang berdiri di jendul pintu dapur. Tetapi yang terjadi bukan hantaman keras kayu pemukul ke kepala tikus. Tangan saya justru gemetar. Saya melihat tikus itu tidak bergerak. Juga tidak bersuara. Hanya matanya kerdap-kerdip berbicara. Mungkin karena sakit, sudah uzur, atau kedua-duanya. Tongkat pemukul terlepas dari tangan. Tikus itu saya pegang ujung ekornya. Bukan untuk saya banting di ubin. Tapi saya bawa keluar, dan saya buang di sebuah kapling kosong. Biarlah ia mati tidak karena siksaan. Biarlah ia mati tanpa terampas cintanya. Biarlah ia mati tanpa terampas hidupnya. Biarlah ia mati dalam kemerdekaan.
Bagi saya hal itu - pembatasan dan perampasan atas cinta, hidup dan mati - bukan sekedar menimbulkan luka batin yang amat sangat mendalam. Lebih dari itu! Itulah sejatinya wajah telanjang dari jiwa jahiliah, yang hanya patut diprihatini. Dan selanjutnya, jika mau, dilawan melalui jalan panjang proses penyedaran. Seperti jaman aufklaerung memberi proses kecerahan pada kegelapan jaman tengah. Seperti jalan Muhammad ketika menggugah Jazirah Arabia yang terkubur dalam kejahiliahan.
Sampai sekarang ini saya masih sering mimpi tentang jaman penindasan di Jawa dan jaman perbudakan di Buru. Beramai-ramai telanjang mandi bersama di sekitar satu sumur, beratap langit berdinding angin; melihat teman senasib "dipermak"; dikejar-kejar untuk ditangkap; sampai sekitar 1 - 2 tahun lalu bahkan masih suka mimpi, diikat berdiri di tiang eksekusi, di depan satu regu tembak. (Saya memang pernah dihukum direndam membujur di got, dari lepas magrib sampai tengah malam. Karena dituduh mendalangi dua kawan tapol yang lari dari unit, Heru Santoso dan Bonar Siregar. Dua serdadu menodongkan karaben sambil menginjakkan kaki mereka dari dua sisi got, agar tubuh saya tidak bersembul dari air). Tetapi setiap kali saya mimpi demikian, anehnya, pada detik-detik terakhir menjelang peluru maut menghambur, timbul kesadaran di tengah masih tidur. Untuk tidak mati ditembak, saya lalu berusaha jaga dan bangun.
Seorang teman yang saya ceritai mimpi saya itu, dengan maksud baik, membawa saya konsultasi pada seorang parapsikolog. Parapsikolog ini menasihati, agar saya biarkan mimpi itu berkembang sampai selesai. Sehingga, katanya, dengan demikian saya akan terbebas dari impian traumatis itu. Nasihat saya dengar, tetapi tidak saya lakukan. Karena saya tidak sependapat dengan "teori trauma", yang dia pakai sebagai dasar nasihatnya. Mengapa? Karena saya tidak merasa menderita trauma akibat pengalaman pahit masa lalu itu. Mengapa tidak? Karena segala pengalaman pahit masa lalu itu, bagi saya, merupakan konsekuensi logis belaka dari pendirian dan sikap politik yang saya ambil secara sadar. Bagaimana impian tentang kepahitan itu harus diterangkan? Barangkali bisa melalui teori Freud3 atau Jung4? Tetapi ini bukan bidang saya, dan juga bukan tujuan sarasehan kita sekarang.
Pada tahun 1958, saya mulai terjun dan sekaligus giat membangun Lekra cabang Yogya. Justru karena saya sadar, Lekra bukan sekedar tempat seniman dan kaum suka hibur berhimpun dan berkenes-kenes. Lekra adalah organisasi dari satu gerakan kebudayaan. Gerakan. Jadi tentu saja ia punya cita-cita dan tekad. Cita-cita dan tekad apa? Menggugah rakyat agar sadar budaya. Selanjutnya, sesudah rakyat sadar tentang budayanya, menjadikan kebudayaan rakyat subjek di negeri sendiri. Dengan begitu Lekra adalah organisasi gerakan kebudayaan yang berpolitik, sekaligus juga organisasi politik yang khusus bergerak di bidang kebudayaan. Jadi di situlah saya berdiri, dan dari situlah saya memandang dan menyikapi segala soal dan pengalaman. Sudah saya katakan, Peristiwa G30S jelas peristiwa politik. Sebagai peristiwa politik hendaknya juga ditilik dari pendekatan politik, dinilai dan ditimbang dengan batu timbangan politik. Di dalam kehidupan politik wajar saja, ada sejumlah kepentingan yang berbeda-beda dan bahkan bertentang- tentangan. Konsekuensi dari hal yang wajar ini, juga wajar jika masing-masing kepentingan itu menggalang kekuatan, dan dengan kekuatan itu masing-masing saling adu siasat. Adu langkah-langkah politik untuk memenangkan kepentingannya sendiri-sendiri.
Kenyataan yang demikian itu - yaitu bahwa Peristiwa G30S adalah peristiwa politik, dan bahwa kehidupan politik selalu mengandung berbagai kepentingan yang berbeda - harus diterima seperti adanya. Singkirkanlah selera suka atau tidak suka, pro atau kontra, menerima atau menolak terhadap adanya kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan itu. Masalah selera baru kita beri tempat, ketika kita hendak menetapkan pilihan. Maka berbicaralah selera kita tentang program masing-masing kekuatan kepentingan politik itu, dan bagaimana sepak terjang masing-masing kekuatan politik itu di dalam melaksanakan programnya.
Dengan menyadari kedudukan, sikap dan pendirian sendiri, serta mengakui dan menerima tragedi berdarah G30S sebagai peristiwa politik seperti adanya, maka saya tidak terkejut ketika suatu hari saya ditangkap penguasa. Apakah penguasa itu? Penguasa ialahsatu, atau gabungan beberapa, kekuatan politik yang menang adu kekuatan. Peristiwa G30S benar telah menimbulkan akibat dahsyat. Tetapi dengan kemauan menerima dan menyikapinya demikian, saya lalu mengerti dan membenarkan Bung Karno. Di tengah gelumbang amok Kesatuan Aksi, Kostrad dan RPKAD, dengan tenang Bung Karno mengatakan, peristiwa G30S hanyalah ibarat satu rimpel di tengah lautan. Satu ucapan yang secara dangkal diartikan lawan-lawan Bung Karno, di satu pihak sebagai bersimpati pada Dewan Revolusi/G30S/PKI, dan di pihak lain sebagai melecehkan matinya enam jendral dalam satu ujung malam.
(bersambung ... 2)
Back to Top ********************* Related Message
|