Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : INDONESIA-L

PERCIKAN BUDAYA 112/IV/2000

catatan kecil

TAP XXV/MPRS/1966
ADALAH TAP PENGESYAHAN KUDETA MILITER SUHARTO


Bicara Tap 25/ MPRS/1966, tak bisa dipisahkan dengan Surat Perintah Presiden Republik Indonesia 11 Maret 1966, yang kemudian dikenal dengan singkatan supersemar. Kalau tak ada Supersemar tak mungkin lahir Tap 25 itu.

Kisahnya pada 11 Maret pagi 1966, ada sidang kabinet yang dipimpim Presiden Soekarno di istana Jakarta. Ketika sidang baru berlangsung sepuluh menit, Ajudan Presiden mengirim nota kepada Amirmachmud yang waktu itu menjabat Kodam Jaya di ruang sidang. Isi nota itu mengatakan ada pasukan liar di luar istana. Tapi oleh Panglima Kodam cuma dijawab dengan isyarat tak apa-apa.

Karena dua kali mengirim nota tidak digubris, maka Sabur yang ajudan itu langsung mengajukan nota itu kepada Presiden Soekarno yang sedang memimpin sidang. Laporan tersebut oleh Bung Karno segera diedarkan kepada Waperdam (Wakil Perdana Menteri) Dr.Subandrio, Dr Leimina dan Chairul Saleh. Kemudian pimpinan sidang oleh Bung Karno diserahkan kepada Dr.Leimena dan Bung Karno keluar. Karena para menteri gelisah, sidangpun tak lama kemudian ditutup. Dan menurut Amirmachmud Dr. Subendrio lari terbirit-birit mengejar Bung Karno tanpa sepatu. Bung Karno dengan heli menuju ke istana Bogor.

Setelah itu Majen M. Jusuf, Majen Basuki Rachmad dan Majen Amirmachmud pergi membuntuti Presiden menuju ke Bogor. Sebelum ke Bogor mampir dulu di rumah Letjen Soeharto yang waktu itu tak ikut sidang kabinet, karena katanya sakit tenggorokan. Apa tepatnya yang dibicarakan oleh para jendral di rumah Suharto itu, hanya Tuhanlah yang tahu. Kemudian ketiga Majen itu berangkat ke Bogor. Malamnya ketiga orang itu pulang ke Jakarta lagi dengan menggondol "surat wasiat" semacam "Kalimasada" yang kemudian diberi nama "Supersemar".

Supersemar sesuai dengan judulnya adalah surat perintah, bukan pelimpahan kekuasaan. Pada penutup surat perintah itu jelas dikatakan "Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas".

Tapi surat perintah itu oleh Suharto ditafsirkan sebagai "pelimpahan kekuasaan". Paginya tgl 12 Maret 1966, atas nama Presiden Republik Indonesia tanpa konsultasi dengan Presiden yang sesungguhnya, Letjen Suharto membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan ormas-ormasnya. Bahkan apa saja yang diduga ada hubungannya dengan PKI; termasuk taman-kanak-kanak Melati dan PERTUGRI (Persatuan Tukang Gunting Rambut Indonesia) pun dibubarkan..

Lebih seratus organisasi yang dibubarkan daftarnya panjang, termasuk organisasi jaman revolusi yang sudah tidak berfungsi lagi seperti BBM (Barisan Berani Mati) yang dikenal semasa pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945, IM (Indonesia Muda) organisasi nasional yang anggotanya macam-macam dan telah ada sejak tahun tigapuluhan yang kegiatannya tinggal olah raga. Ketetapan lengkapnya dikeluarkan tgl 31 Mei 1966.

Kemudian klik Suharto itu melancarkan pembunuhan massal, penangkapan massal, termasuk menteri-menteri Bung Karno-pun ditangkapi ada yang dihilangkan begitu saja sampai sekarang tak diketahui beritanya oleh para keluarga mereka. Setelah itu klik jendral Angkatan Darat itu merombak keanggotaan MPRS, orang-orang yang pro Presiden Soekarno disingkirkan diganti dengan orang-orang yang pro Angkatan Darat.

Sedangkan secara hukum, baik pembubaran partai dan ormas, maupun penggantian anggota MPRS adalah wewenang Presiden, bukan wewenang jendral Angkatan Darat Suharto. MPRS semacam inilah yang bikin apa yang dinamakan Tap XXV/MPRS/1966 yang isinya antara lain larangan komunisme, Marxisme, Leninisme. Sebelum Tap itu lahir, larangan itu sudah dilaksanakan dengan cara manipulasi supersemar; surat perintah yang ditafsirkan sebagai "pelimpahan kekuasaan".

Jadi jelas jemelas bahwa Tap XXV/MPRS/1966 yang ditetapkan di Jakarta pada 5 Juli 1966 itu, adalah merupakan komponen Supersemar yang dimanipulasi sebagai "pelimpahan kekuasaan", yang dibuat untuk mengelabuhi masyarakat dalam rangka mengadakan kudeta "merangkak" Suharto.

* * *

Kalau sekarang ini masih banyak elite politik yang mengecam Presiden Abdurrahman Wahid, karena Gus Dur mengajukan pencabutan Tap MPRS pengesyahan kudeta Militer Angkatan Darat yang dikepalai Suharto itu, harus disikapi sebagai kenyataan seperti adanya.

Apa artinya itu?

Itu menunjukkan bahwa kekuatan rejim orde baru lengkap dengan ideloginya masih kuat, karena sebagian besar elite politik itu juga produk orde baru, termasuk yang berkaok-kaok demokrasi dan reformasi, bahkan tak sedikit mereka itu yang masa lalunya juga jadi otak atau komponen orde baru.

Militerisme-fasisme yang dikembangkan oleh rejim orde baru dalam sistem masyarakat selama tiga dasa warsa itu, tak bisa diubah dalam waktu singkat. Bahkan elite-elite politik termasuk pimpinan Partai yang menyatakan dirinya demokratispun, reformispun, kebanyakan belum menyadari bahwa selama ini mereka hidup di rawa-rawa militerisme.

Saat ini ada situasi yang ironis, ketika militer resmi sedang berusaha meninggalkan militerisme, si kelompok sipil justru mulai mengembangkannya; karena idologi militerisme yang mereka terima lewat sistem itu, dulu tak dapat kesempatan untuk berkembang karena disumbat dengan ketat oleh kekuasaan, dan begitu kekuasaan mulai goyah mendapat kesempatan untuk njebluk.

Nampaknya jalan menuju demokrasi lewat reformasi masih panjang... Agar tak berlarut-larut, golongan demokratis, terutaama generasi muda yang relatif masih bersih dan segar harus bekerja lebih keras!

Medio Mei 2000
Aini Patria

Back to Top *********************** Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000