Chairwoman
DPP PDI
(Perjuangan)
Jl. Diponegoro 58
Jakarta
|
Mengenang Saptu Kelabu 27 Juli 1996
BERITA UTAMA WASPADA
RABU, 22 JULI 1998
Menyongsong Peringatan 27 Juli 1996
Mega: Hindari Kerusuhan
JAKARTA (Waspada): Ketua Umum DPP PDI hasil Munas, Megawati Soekarnoputri mengeluarkan perintah harian, antara lain dihindari dan jangan layani provokasi pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin mengancam dan memicu terjadinya keributan maupun kerusuhan.
Dia mengimbau segenap warga PDI dan masyarakat pendukung perjuangan reformasi di seluruh tanah air, dalam memperingati peristiwa ''Sabtu kelabu 27 Juli 1996,'' hendaknya dapat dilaksanakan secara hidmat, tertib, damai serta tawakkal.
Hal tersebut merupakan salah satu pesan harian Mbak Mega yang disampaikan kepada wartawan di Jakarta Selasa (21/7), sehubungan rencana memperingati ''Peristiwa 27 Juli 1996'' di Istora Senayan Jakarta Senin (27/7) mendatang.
Megawati juga berpesan kepada seluruh warga PDI maupun masyarakat pendukung perjuangan reformasi, untuk dapat mempertahankan citra dan semangat perjuangan yang sudah terbina dengan baik selama ini. Sebagai jaminan keselamatan dan ketenteraman masyarakat dengan cara mendisiplinkan diri. Tetap patuh dan taat kepada setiap petunjuk atau arahan dan pimpinan yang bertanggung jawab di lapangan.
Jangan bertindak sendiri-sendiri dan melakukan keputusan lain, kecuali melaksanakan acara memperingati Peristiwa 27 Juli 1996 yang sudah terprogram dan dijadwalkan.
Hormati kehadiran setiap aparat keamanan yang bertugas membantu kelancaran kegiatan tersebut, baik yang menyangkut ketertiban acara, pengaturan lalu-lintas, maupun yang berkaitan dengan usaha-usaha pengamanan pada umumnya. Demikian pesan harian ketua umum DPP PDI Megawati Soekarnoputri.
Persiapan Terus
Meski hingga Selasa petang, Polda Metro Jaya belum mengeluarkan surat izin, tapi panitia kegiatan memperingati dua tahun Peristiwa Sabtu 27 Juli 1996, penyerbuan gedung/kantor DPP PDI 1993-1998, tetap akan menyelenggarakannya di Gedung Istora Senayan Jakarta, Senin (27/7) mendatang.
Menurut ketua panitia Yacob Nuwa Wen, pihaknya sudah mengirim surat pemberitahuan akan diselenggarakan kegiatan tersebut ke Polda Metro Jaya. Bahkan pada prinsipnya telah mendapat green ligth (lampu hijau) dari Kapolda Metro Jaya Mayjen Nugroho D Djajusman, dengan catatan, asalkan PDI harus secara sungguh-sungguh memperhatikan dan mempersiapkan pengamanan sejak keberangkatan, perjalanan dan ke Istora Senayan dan pada saat acara berlangsung, hingga pada saat peserta kembali ke wilayahnya masing-masing.
Sedangkan Kapolri Letjen Pol Drs Roesmanhadi, SH mengatakan, pihaknya tidak akan mengeluarkan izin kepada kelompok yang akan menggelar peringatan peristiwa 27 Juli 1996.
Dia mengakui telah menerima surat permohonan izin untuk itu dari salah satu kelompok PDI. Polri tidak akan mengeluarkan izin kepada kelompok yang tidak diakui oleh pemerintah, tutur Kapolri seraya menyebut dia tidak mengetahui kelompok Megawati apakah PDI atau tidak. Dia hanya mengetahui PDI kelompok Soerdjadi.
5000 Massa
Dalam peringatan nanti, panitia juga telah mengundang Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid.
'Kami sudah mengirim undangan ke Depdagri (Departemen Dalam Negeri). Selain itu, turut diundang unsur pemerintah daerah lainnya,'' jawab ketua panitia Jacob Nuwa Wen kepada wartawan.
Diperkirakan massa yang akan hadir di Istora Senayan nanti sekitar 5000 orang yang datang dari ke lima DPC di Jakarta. Warga PDI maupun simpatisannya pada saat menuju Istora Senayan dilarang menggunakan kendaraan sepeda motor. Bagi peserta yang ingin membawa bendera Merah Putih maupun bendera PDI, juga dilarang benderanya diikat dengan sebatang kayu atau dengan benda sejenisnya.
Dalam menjawab pertanyaan ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Roy BB Janis, SH mengatakan, dipusatkannya peringatan dua tahun Peristiwa 27 Juli 1996 di Istora Senayan, selain warga PDI maupun simpatisannya dapat terkontrol juga untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum.
''Seandainya ada warga PDI maupun simpatisan yang memperingati peristiwa tersebut di Gedung/kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58, itu berarti bukan warga PDI,'' kata Roy Janis. Bagi warga PDI Perjuangan pendukung Megawati Soekarnoputri, gedung DPP PDI tersebut, mempunyai makna tersendiri, tambahnya. (j06/chas)
*************************************************
BERITA UTAMA WASPADA
RABU, 22 JULI 1998
Pemerintah Harus Berani Menyatakan PDI
Megawati Sah, Legal Dan Konstitusional
JAKARTA (Waspada): Sekjen DPP PDI Perjuangan (Megawati) Alexander Litaay mengimbau pemerintah harus mengambil inisiatif terhadap realita yang ada, sehubungan dengan adanya dua nama PDI (Partai Demokras Indonesia) di Indonesia.
''Pemerintah sekarang juga harus berani menyatakan bahwa PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri sah, legal dan konstitusional,'' jawab Alexander Litaay kepada wartawan, Selasa (21/7) di Jakarta, menanggapi adanya dua nama PDI di negeri ini.
Menurut Alexander Litaay jika pemerintah tidak berani mengmbil inisiatif tersebut, maka dikhawatirkan dua nama PDI di negeri ini akan semakin rumit. Mengingat kedua nama PDI tersebut, memiliki bendera dan lambang ''Kepala Banteng'' yang sama.
''Kami berharap masalah ini diselesaikan pemerintah secepatnya,'' tuturnya.
Beda halnya, jika PDI pimpinan Suryadi yang berbau KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) ketika pemerintahan mantan Presiden Soeharto membubarkan diri, tentunya tidak membuat pusing pemerintah sekarang.
''Saya anjurkan PDI Suryadi bentuk partai baru saja. Dari pada nantinya PDI Suryadi dibubarkan oleh rakyat,'' jelas Litaay.
Dari segi hukum, kata Litaay, PDI Megawati memiliki kekuatan hukum dan mempunyai AD/ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga). Bahkan beberapa pengadilan di Indonesia sudah memutuskan, bahwa PDI Megawati lah yang benar dan menang. Disamping adanya dukungan dari rakyat mayoritas warga PDI maupun masyarakat umum.
Dari segi politik, jelas Litaay, PDI Suryadi yang merupakan produk rezim mantan Presiden Soeharto, seharusnya dibubarkan sekarang. Lengsernya Soeharto dari jabatan Presiden RI, seharusnya diikuti mundurnya kepengurusan PDI yang dipimpin Suryadi.
Tentang sudah sejauh mana terhadap kasus dua nama PDI, Sekjen DPP PDI Perjuangan itu mengatakan sudah sampai ditingkat Mahkamah Agung. Untuk itu diimbau, agar Mahkamah Agung harus cepat menyelesaikan kasus ini, sebelum berlangsungnya SI MPR (Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Pemilu (Pemilihan Umum). Jika Mahkamah Agung tidak tanggap juga, maka dikhawatirkan akan semakin membingungkan.
Jawa atau Bali
Menanggapi akan berakhirnya kepengurusan PDI Megawati tahun ini, Alexander Litaay mengatakan pihaknya merencanakan melakukan Kongres Desember mendatang. Namun adanya aspirasi dari daerah, maka kongres rencanya dimajukan sebelum terlaksananya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR), 10 November mendatang. Adapun tempat penyelenggaraannya, juga direncanakan berlangsung di salah satu daerah di pulau Jawa atau di Bali.
''Tunggu saja, kami akan umumkan secara resmi mengenai kongres,'' jelasnya.
Tentang biaya pelaksanaan kongres, sekjen DPP PDI 1993-1998 itu mengatakan masalah dana tidak menjadi hambatan. Sebab, banyak simpatisan maupun para donatur yang ingin memberikan bantuan baik moril maupun materil terhadap pelaksanaan kongres tersebut, kata Litaay. (j06)
*************************************************
Kubu Megawati Jalan Terus
Rencana Peringati Tragedi 27 Juli Tetap Disiapkan
Jakarta, JP.- 24/7/98
Kubu PDI Megawati merasa heran atas keputusan Kapolri dan Kapolda Metro
Jaya yang tidak mengizinkan PDI Perjuangan memperingati ''tragedi'' 27 Juli
yang akan digelar di Istora Senayan, Jakarta. Alasan pelarangan itu,
pemerintah hanya mengakui PDI yang dipimpin Soerjadi.
Lalu, bagaimana tanggapan kubu Mega? ''Kalau alasannya seperti itu,
sudah bisa ditebak bahwa mereka tidak mengerti dan memahami adanya
pemerintah reformasi. Pola pikir mereka sudah jelas masih terbawa pada
era Orde Baru,'' kata Harjanto Taslam, wakil Sekjen DPP PDI hasil
Munas 1993, kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin.
Taslam lalu mempertanyakan berbagai acara yang digelar partai-partai
yang baru tumbuh. Menurut dia, jika pemerintah melarang PDI Perjuangan
karena partai ini tidak memperoleh pengakuan dari pemerintah, mestinya hal
itu juga berlaku pada partai-partai yang baru berdiri.
Taslam membandingkannya dengan partai lain yang baru berdiri karena
partai-partai baru tersebut juga belum memperoleh pengakuan karena masih
didaftarkan ke pemerintah. ''Larangan terhadap PDI Perjuangan yang akan
menggelar peringatan 27 Juli jelas merupakan sikap ketidakadilan. Dan,
sikap ketidakadilan itu merupakan produk Orde Baru,'' kilah Taslam.
Di pihak lain, pernyataan Mendagri Syarwan Hamid yang mengizinkan PDI
Perjuangan memperingati tragedi 27 Juli asal dilakukan tidak secara mencolok
dan cukup di rumah, menurut Taslam, dinilai sebagai pernyataan yang
tidak jantan. ''Itu pernyataan banci. Kalau mau melarang, ya larang
saja. Tetapi, harus jelas alasannya. Jangan melarang dengan alasan
mengada-ada,'' katanya, tegas.
Syarwan pada Rabu lalu khawatir, peringatan yang dilangsungkan secara
mencolok akan menurunkan nilai rupiah. Sebab, dimungkinkan timbul aksi
massa berupa kerusuhan.
Sebenarnya, kata Harjanto, jika alasannya cuma kekhawatiran akan
munculnya kerusuhan, mestinya pemerintah melalui aparat keamanan siap
mengantisipasi. DPP PDI sendiri berani menggelar peringatan 27 Juli
nanti juga dengan perhitungan yang matang. Tidak sekadar menggelar
acara begitu saja.
''Tentunya, jika aparat pemerintah bersunggung-sungguh menjaga keamanan,
saya yakin kerusuhan itu bisa dihindari. Kami dari DPP PDI juga siap mem-
bantu aparat dalam mengamankan kemungkinan munculnya kerusuhan itu,''
paparnya.
Meski ada perbedaan pendapat antara Kapolri, Kapolda, dan Mendagri,
menurut Taslam, tidak ada alasan bagi PDI untuk mengurungkan niat
menggelar peringatan tragedi 27 Juli nanti. Artinya, dari satu sisi, pernyataan
Syarwan dinilai memperbolehkan peringatan asal di sektor keamanan ada
jaminan. Di pihak lain, muncul larangan Kapolri dan Kapolda.
''Tampaknya, pemerintah benar-benar kesulitan mencari alasan untuk
melarang PDI Perjuangan menggelar peringatan tragedi 27 Juli. Akibatnya,
alasan yang dibuat pun jadi berbeda-beda. Karena itu, kami belum berencana
mengurungkan niat itu. Sampai saat ini, kami masih bekerja keras dalam
persiapan menggelar peringatan tragedi 27 Juli nanti di Istora Senayan,''
ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik Arbi Sanit menilai, larangan pemerintah
kepada PDI Perjuangan yang akan memperingati tragedi 27 Juli itu sebagai
alasan yang bernuasa politis.
Arbi tidak melihat larangan itu berkaitan dengan masalah keamanan atau
belum diakuinya PDI pimpinan Megawati oleh pemerintah. ''Larangan itu
lebih disebabkan sikap ABRI yang tidak ingin namanya tercemar. Dan, polisi
tampaknya ingin menyelamatkan nama ABRI,'' ujarnya.
Ia menilai begitu karena melihat latar belakang munculnya tragedi 27
Juli di DPP PDI Jalan Diponegoro. Kemudian, munculnya perpecahan
di partai berlambang kepala banteng itu sehingga memunculkan perseturuan
besar antara kubu Soerjadi dan Megawati.
Dari perseteruan ini, ia melihat para pejabat pemerintah dan kalangan
ABRI mendorong pemerintah untuk tidak mengakui kubu Megawati.
''Jadi, larangan ini tidak bisa dipisahkan dari kasus lama. Apalagi ABRI
baru-baru ini namanya tercoreng, berkaitan dengan aksi kekerasan dan
penculikan,'' tutur Arbi.
Seperti halnya Taslam, Arbi pun mengecam larangan tersebut. Ia
menganggap larangan dengan alasan yang terkesan dicari-cari itu mem-
buktikan bahwa mereka masih berpola pikir Orde Baru.
Dengan kata lain, larangan itu merupakan pelanggaran yang tidak sesuai
lagi dengan cita-cita Zaman Reformasi. (ado)
*************************************************
Copyright(c) 1996 SUARA MERDEKA
Berita Utama
Jumat, 24 Juli 1998
Kwik Sesalkan Larangan Peringatan Tragedi 27 Juli
SALA -Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PDI
Perjuangan, Drs Kwik Kian Gie, menyesalkan larangan
peringatan dua tahun tragedi 27 Juli di Istora Senayan Jakarta.
Saya sangat menyesalkan pelarangan itu. Saya heran, mengapa
harus dilarang.
Mengapa istighotsah NU yang massanya begitu besar diperbolehkan,''
kata dia kepada wartawan menjelang seminar Masalah Pri dan Nonpri
Dewasa Ini'' di Graha Wisata, Sala, kemarin. Hadir juga dalam
seminar itu Dr Nurcholish Madjid.
Kwik juga merasa heran terhadap alasan pelarangan itu, yakni
karena PDI pro-Mega tidak diakui oleh Pemerintah, bukan karena
alasan keselamatan. "La, kalau tidak diakui, kapan mau diakui?
Ini kan zaman reformasi. Presiden saja turun, masak Soerjadi lebih
kuat dari Soeharto?'' ujarnya.
Sepengetahuannya, massa PDI yang akan menghadiri peringatan
itu bakal diangkut dalam bus tertutup, dan setiap bus diberi tanda
gambar PDI. Kalau ada pengacau yang bukan dari armada
tersebut, jelas bukan orang PDI.
Kemarin, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Drs Noegroho
Djajoesman kembali menegaskan, pihaknya tetap tidak
mengizinkan adanya pelaksanaan peringatan dua tahun tragedi 27
Juli itu. Alasannya, karena tidak sesuai dengan peraturan.
"Dan yang pokok lagi, kami melihat dari berbagai pihak tidak
menginginkan adanya kerusuhan lagi di Jakarta,'' katanya, kemarin,
setelah memimpin upacara serah terima jabatan Kapolres Metro
Jakarta Utara dari Letkol Pol Drs Rismawan kepada Letkol Pol Drs
Setyanto SH.
Mantan Kapolda Jateng itu secara tegas mengatakan, akan
mencegah peringatan itu. "Bila sudah dilarang, berarti ya kita
cegah. Namun jika membandel, akan berhadapan dengan
undang-undang yang berlaku dan akan ditindak tegas,'' katanya.
Kerusuhan Rasial
Saat berbicara di depan peserta seminar di Sala itu, Kwik Kian Gie
juga menyinggung soal kerusuhan di Jakarta dan kota-kota lain
medio Mei lalu. Dia menyimpulkan, kerusuhan memang diarahkan
kepada warga negera keturunan Tionghoa.
Saya dan beberapa kawan sejak lama mengkhawatirkan hal itu
akan terjadi.''
Menurutnya, kerusuhan rasial di Indonesia sudah terjadi sejak
zaman Belanda. Misalnya, di kawasan Tanah Abang terjadi
pembantaian orang-orang Tionghoa oleh Belanda. Kemudian di
kawasan Angke, juga terjadi hal serupa. Saat pendudukan Jepang,
pembantaian orang-orang Tionghoa juga terjadi dengan berbagai
alasan. (D11,P44,bu-29t)
Copyright(c) 1996 SUARA MERDEKA
*************************************************
Pius Ngotot Minta Soeharto Bertanggung Jawab
Jakarta, JP.- 24/7/98
Salah seorang korban penculikan, Pius Lustrilanang, ngotot bahwa mantan
Presiden Soeharto harus bertanggung jawab atas kasus penculikan para aktivis.
Sebab, sejak kasus tersebut terjadi hingga Soeharto turun, mantan presiden
itu tidak melakukan langkah apa pun untuk mengungkap kasus ini secara
tuntas.
''Padahal, dia punya kemampuan secara hirarkis untuk menghentikan dan
mengungkap kasus ini. Saya khawatir, dia sebenarnya mengetahui langsung
dan membiarkan kasus ini berlarut-larut. Sebab, penculikan ini memenuhi
kepentingan politik Soeharto untuk bertahan sebagai presiden,'' ujar
Pius ketika mengadakan jumpa pers di kantor PBHI (Perhimpunan Bantuan
Hukum dan HAM Indonesia), kemarin.
Menurut Pius, dirinya melihat ada unsur politik di balik penculikan para
aktivis. Dan, itu harus dilihat sejak hilangnya Sonny, Yanni Avri, Dedy Hamdun,
Noval, serta Ismail. Mereka adalah lima di antara dua belas korban penculikan
yang hingga saat ini belum pasti nasibnya.
Nasib kedua belas korban penculikan tersebut memang belum diketahui.
Masih hidup ataukah sudah tewas mereka. Namun, kecurigaannya bahwa
kelima orang itu sudah meninggal makin kuat ketika Dan Puspom ABRI Mayjen
TNI Syamsu Djalal menyatakan ke-12 korban lain tidak ditemukan di Markas
Kopassus Cijantung.
Seperti halnya pernyataan Andi Arief, yang dia sampaikan di Polda Metro
Jaya tiga kali itu sudah cukup memberikan kesaksian pada Tim Pencari Fakta
(TPF) ABRI untuk mengungkap kasus ini secara gamblang dan mengembalikan
ke-12 korban lain.
Pius menyatakan hal sama. Menurut dia, kesaksian yang dia sampaikan di
Komnas HAM pada 27 April lalu sudah lebih dari cukup. ''Pada dasarnya,
saya tidak menolak panggilan Dan Puspom Syamsu untuk memberikan kesaksian
lagi. Tetapi, yang saya sampaikan di Komnas HAM sudah lebih dari cukup.
Dan, sebelum saya memenuhi panggilan tersebut, saya ingin bertemu langsung
dengan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto,'' tegasnya.
Dalam kesempatan itu juga, Pius menyatakan bahwa Dewan Kehormatan
Militer dibentuk untuk menyelesaikan kasus penculikan ini lantaran ada beberapa
orang jenderal terlibat.
Namun, menurut Pius, jika dilihat berdasarkan pengalaman kasus pembantaian
di Dili, Timor Timur, saat itu dipakai upaya penyelesaian internal dan tertutup
serta tidak diketahui dan dikontrol publik.
''Saya sendiri menekankan agar kasus ini diselesaikan lewat pengadilan
militer yang bebas dari intervensi. Jika perlu, juga bisa mengundang utusan PBB
untuk menjamin bahwa penyelidikan ini berjalan transparan. Kasus ini
juga sudah menjadi perhatian masyarakat internasional,'' ungkapnya.
Hal senada diungkapkan kuasa hukum Pius, Hendardi. Menurut dia, ABRI
saat ini sudah tidak memiliki keabsahan lagi untuk menyelidiki kasus itu.
Ada fenomena Puspom ABRI mengasumsikan bahwa pelaku penculikan ini
adalah oknum, bukan institusi. Dan, ada kepentingan-kepentingan politik
yang besar di belakangnya.
''Kami juga menganggap kasus ini harus dibuktikan dalam bentuk
pembuktian terbalik bahwa ada rangkaian peristiwa yang satu sama lain
berkait, antara kasus penculikan, kasus trisakti, dan kasus kerusuhan
13-15 Mei lalu,'' tegasnya.
Hendardi lalu menambahkan, ketiga peristiwa itu mengandung satu
kepentingan politik dan pola yang sama, yaitu kekerasan. Dan, ini diduga
bertujuan membuat masyarakat secara psikologis merasa tidak aman dan
itu merupakan sasaran antara ketiga peristiwa ini.
''Yaitu, untuk mencari sebuah legitimasi baru bagi pemerintah bahwa
rakyat membutuhkan rasa aman dari pemerintah, khususnya ABRI. Dan,
saat itu konteks negara sedang dalam krisis ekonomi dan dilanjutkan dengan
krisis politik,'' tambahnya. Untuk menyelesaikan kasus ini, tutur Hendardi,
perlu dibuka alternatif keterlibatan PBB dalam pengusutan kasus penculikan. (mik)
|