From: "Erlangga Vishnushakti" <>
To:
Subject: Wiranto, Wiranto A. dan Bob Hasan
Date: Tue, 17 Mar 1998 06:59:37 PST
Jendral Wiranto mengatakan bahwa ABRI siap dialog dengan mahasiswa
secara sungguh-sungguh (genuine). Tetapi, petinggi ABRI memberikan
kondisi asal aktivitas mahasiswa tetap tidak melanggar 'boundary'.
To be honest this statement is tendensius. Pertama, secara historis
petinggi ABRI pernah mengusulkan kepada LIPI untuk mempelajari apakah
peranan sipil ABRI (dwifungsi) perlu, dan ABRI akan genuine dan honest
(jujur) untuk mendengarkan dan mengimplementasikannya. Tetapi sewaktu
mendengar hasil negatip, ABRI memeti-eskan studi LIPI yang dilakukan
dua-tiga tahun yang lalu. Dimana arti 'genuine' dan 'honest' itu? Kedua,
arti dialog dengan mahasiswa perlu ditafsirkan hati-hati. Kegiatan
menentang rezim yang sekarang dilakukan di kampus tidak hanya dilakukan
oleh mahasiswa, tetapi oleh seluruh sivitas akademika. This is
tendensius! Devide et impera? Ketiga, hati-hati dengan statement "asal
aktivitas mahasiswa tetap tidak melanggar 'boundary'" (baca di AFX
news). Well, if you have good mind, let us dissect this statement.
Statement 'Aktivitas mahasiswa' telah keliru secara persepsi, karena ini
adalah aktivitas sivitas akademika. 'boundary', apa artinya ini? Apakah
physical boundary (lingkungan kampus) ataukan intelectual boundary
(semua kegiatan berpikir). Kalau yang terakhir yang dimaksudkan, lalu
siapa yang menentukan dan bagaimana? Apakah ABRI akan mengatur cara
berpikir kita? Ini sangat berbahaya sekali! Juga statement Wiranto
secara keseluruhan 'ASAL masih dalam boundary'. Disini ditekankan kata
ASAL, karena ini menunjukkan prakondisi. Kata ASAL MASIH DALAM
BOUNDARY berarti tidak harga mati, dan dialog menjadi berbentuk
perundingan. Karena bersifat perundingan berarti hasilnya harus mengikat
secara hukum. Kita harus hati-hati dalam hal ini, mengingat apakah
ABRI mau diikat secara hukum melihat pelecehannya kepada LIPI.
Saya melihat statement Jenderal Wiranto warnanya sama dengan statement
Wiranto Arismunandar (baca di AFX juga), apakah ini kebetulan? Wiranto
A. mengatakan "students have to think first before they act". Saya pada
prinsipnya setuju ini. Masalahnya kembali, siapa yang harus menciptakan
kerangka atau acuan berpikir? Apakah Wiranto, apakah Wiranto A., apakah
rezim, apakah ABRI? Kedua, pernyataan Wiranto A. juga melecehkan
akademisi secara umum, karena statementnya dapat diartikan mahasiswa
tidak bisa berpikir dan dengan demikian dosen/professornya tidak bisa
berpikir sehingga tidak bisa mengajarkan cara berpikir kepada
mahasiswa. Ini suatu arogansi ego yang tidak pantas diucapkan seorang
yang bergelar professor, apalagi menteri PK. Setiap orang mempunyai cara
berpikir unik dan mempunyai persepsi berbeda terhadap peristiwa alam dan
kemasyarakatan. Kita tidak bisa menuduh orang lain tidak berpikir kalau
dia mempunyai cara berpikir yang lain dengan kita. Ini salah satu inti
demokrasi, yang tentu tidak bisa diterima oleh sistim fascis. Begitu
pula secara psikologis; setiap kegiatan masa membutuhkan leader, bahkan
perusahaan dan lembagapun membutuhkan leader. Kalau tidak , akan terjadi
anarki. Masalahnya ialah apakah leader tersebut mewakili aspirasi yang
dia pimpin secara adil dan demokrat. Ini tidak berarti yang dipimpin
kemudian tidak berpikir. Kalau memang demikian pendapat Wiranto A.,
berarti dia mencoreng keningnya sendiri, dia lebih suka memimpin orang
tidak berpikir, dan silahkan ganti semua pegawai PK dan dosen Perguruan
Tinggi Negeri dan Swasta dengan batang kayu.
Aksi 'brainwashing' ternyata tidak hanya dilakukan oleh petinggi ABRI
dan seorang professor, pedagangpun juga melakukan hal yang sama. Siapa
dia kalau bukan Bob Hasan! Membaca koran dan internet, saya kaget tidak
ada yang mengkritik secara tajam statement dia yang intinya ialah
"monopoli diperlukan untuk komoditi yang menguasi kepentingan umum atau
orang banyak". Kita terbuai oleh kata-kata KEPENTINGAN UMUM dan
DIPERLUKAN ORANG BANYAK. Dan we stop thinking! Statement dia
sangat bahaya buat masyarakat, pedagang pri maupun non-pri, karena
kebutuhan hidup kita akan dikontrol oleh beberapa gelintir orang atau
lembaga.
Contoh; air minum merupakan kepentingan orang banyak, jadi perlu
dimonopoli. Kayu, karena dipakai untuk perabot dan rumah, menguasai
kepentingan umum jadi perlu di monopoli. Kertas, entah itu untuk koran,
bungkus kacang, buku tulis, jelas diperlukan orang banyak berarti harus
di monopoli. Sandal jepit, sepatu, baju, pakaian dalam, pembalut wanita,
pasti dibutuhkan orang banyak jadi harus dimonopoli. Sikat gigi, pasta
gigi, korok kuping, tusuk gigi juga dibutuhkan orang banyak maka harus
dimonopoli. Cengkeh, rokok, tahu, tempe, kedelai, kecap, susu, telur,
mie, ayam, pasti diperlukan orang banyak karena itu perlu dimonopoli.
Musik, film, elektronik, kendaraan umum, mobil, becak, pesawat terbang,
bajaj, pasti diperlukan semua orang jadi harus dimonopoli. Bahkan udara
untuk bernafas dibutuhkan oleh seluruh manusia, kalau bisa di meter
pasti akan dimonopoli. Ini akan membuat bangkrut usaha bisnis baik pri
maupun non-pri! Saya kira yang diperlukan oleh segelintir kecil orang
hanyalah tiang gantung untuk menggantung ....
Kita harus kritis disini, bahwa goal kita dikikis pelan-pelan tanpa kita
sadari. Dulu kita memperjuangkan penghapusan monopoli, kolusi, korupsi,
dan nepotisme. Belakangan ini, isi media dan internet, juga slogan
perjuangan civitas akademika (anda bica cek sendiri), hanya
memperjuangkan penghapusan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Jarang
monopoli disinggung lagi, padahal ini incaran IMF paling utama. Sekarang
bahkan $uharto diam-diam mau mengikis lagi; hanya korupsi dan kolusi
yang perlu diperhatikan sebagai masalah.
Mungkin enam bulan lagi, "business as usual".
Wassallam
erlangga
To:
Subject: Dialog ABRI dan Mahasiswa.
Date: Wed, 18 Mar 1998
Ajakan dialog yang belum lama ini ditawarkan oleh petinggi ABRI kepada
masyara kat luas khususnya para mahasiswa yang saat ini banyak melakukan
gelombang aksi unjuk keprihatinan mendapat tanggapan yang sangat beragam
di berbagai pihak. Keinginan petinggi ABRI untuk bersedia berdialog dengan
unsur-unsur mahasiswa yang tengah menuntut adanya perubahan merupakan
suatu hal yang posi tif bila ditilik dari niat dan tujuannya, yaitu keinginan untuk
turut bersama- sama mencari solusi pemecahan masalah. Akan tetapi ajakan
dialog tersebut da pat pula disebut sebagai 'kurang lazim' dilakukan mengingat
isu yang menjadi tuntutan para mahasiswa saat ini menyangkut persoalan-
persoalan prinsip serta berkaitan langsung terhadap proses berjalannya
kehidupan bernegara termasuk di dalamnya kualitas individu pemimpin dalam
kabinet pemerintahan. Seperti penga- laman yang sudah-sudah bila muncul
aspirasi dari kelompok mahasiswa maupun masyarakat yang mencoba
memberikan kritik ataupun menuntut adanya pertanggungjawa ban terhadap
sebuah permasalahan negara sikap untuk meredam keinginan tadi lebih
banyak dipilih oleh pihak keamanan ketimbang membuka saluran dialog.
Tawaran dialog oleh petinggi ABRI ditanggapi oleh banyak pihak sebagai
sesuatu yang mungkin hanya bersifat basa-basi belaka, namun sikap
pesimistis tersebut tentu bukannya tanpa alasan sebab semua pihak bersikap
untuk lebih bijaksana dalam menanggapi tawaran tadi dengan belajar pada
pengalaman sebelumnya. Bila melihat niatan ABRI untuk berdialog dengan
mahasiswa pada situasi Indone sia yang seperti ini tentunya bukan
persoalan basa-basi lagi yang dijadikan alasan oleh ABRI untuk membuka
saluran dialog tersebut, dan juga para mahasis wa hendaknya bersikap
mengesampingkan kemungkinan tawaran tersebut hanya sebuah basa-basi
belaka tetapi dengan tidak melupakan tema sentral dan perjuagan yang hendak
mereka capai dengan tetap menunjukkan sikap konsisten terhadap apa yang
mereka tuntut selama ini. Kesiapan dan kesungguhan pihak-pihak yang ingin
ber dialog benar-benar tengah diuji disini apakah nantinya dapat dicapai
sebuah ke sepakatan ataupun bentuk-bentuk solusi bagi perbaikan yang
diinginkan.
Banyak pertanyaan bermunculan tentang ajakan dialog tersebut, salah
satunya se ring pula termuat dalam analisa para netter di forum apakabar
ini yang berang gapan bahwa mungkin tawaran tadi hanya sebuah basa-basi
yang tidak akan memberi kan hasil terhadap aspirasi mahasiswa atau bahkan
dianggap sebagai suatu jeba kan pihak ABRI bagi upaya membendung/
meredam dan bukannya menerima aspirasi mereka para mahasiswa.
Segala hal mungkin saja terjadi, termasuk kemungkinan diatas yang
menganggap tawaran dialog sebagai suatu jebakan untuk maksud-maksud
tertentu dari pihak petinggi ABRI. Salah satu mekanisme dialog yang
ditawarkan oleh petinggi ABRI kepada para mahasiswa baru-baru ini, dan
kebetulan didukung pula oleh MENDIK BUD yang baru dilantik, adalah dialog
tertutup dan para mahasiswa dibatasi anta ra 3-5 orang sebagai
perwakilannya. Menanggapi mekanisme tersebut sudah barang tentu para
mahasiswa akan berfikir apakah cara-cara seperti itu dapat efektif serta
apakah aspirasi mereka akan benar-benar dapat tersalurkan. Belum lagi ide
mekanisme tersebut diperkirakan banyak kalangan dan juga para netter
disini telah menduga bahwa kemungkinan adanya keinginan pihak ABRI untuk
'menekan' ataupun mempengaruhi para wakil-wakil mahasiswa tadi dalam
dialog tertutup ter sebut nantinya, sehingga yang seharusnya mereka
memperjuangkan aspirasi ribuan mahasiswa yang mereka wakili justru mereka
berbalik menjadi 'agen-agen' kepan jangan tangan pihak keamanan guna
meredam aksi keprihatinan rekan-rekannya di kampus. Lagi-lagi pentingnya
dialog transparan-lah yang sebenarnya diharapkan para maha siswa bila
memang pihak ABRI bersedia untuk melakukan dialog. Sementara pihak ABRI
lebih mementingkan terlaksananya sebuah dialog tertutup dan terbatas hanya
kepada para wakil mahasiswa, dimana ke-efektifannya masih dipertanyakan
banyak orang, sedangkan pihak mahasiswa menginginkan adanya sebuah
dialog yang betul-betul menghasilkan sebuah perubahan tanpa harus diikat oleh
sebuah meka nisme pihak keamanan tadi yang masih dipertanyakan
efektifitasnya.
Hingga saat ini banyak kalangan masih memperkirakan apabila tawaran dialog
para petinggi ABRI tadi dapat diterima, maka bagaimanakah bentuk
mekanisme pelaksa naanya nanti hingga aspirasi para mahasiswa tersebut
setidaknya dapat diakomo dir dan mencapai sasarannya. Tentunya setiap
orang akan mencoba menggambarkan mekanisme yang hendak dilaksanakan
kelak dengan mempertimbangkan segala aspek untung dan ruginya dalam
hubungan dialog tadi. Hal ini mengingat gelombang aksi keprihatinan
mahasiswa dan kelompok intelektual lainnya tengah berlangsung di hampir
seluruh universitas/perguruan tinggi baik negri maupun swasta yang melibatkan
jumlah massa yang tidak sedikit. Bila nantinya ribuan massa mahasiswa tadi
hanya diwakilkan oleh katakanlah 5 hingga 10 orang rekan mereka untuk ber
dialog maka tidak tertutup kemungkinan justru timbul banyak persepsi yang
ber kembang di kalangan mahasiswa tentang independensi serta idealisme
para wakil mereka dalam memperjuangkan aspirasi perubahan tadi. Argumen
ini tentunya tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya dimana delegasi
mahasiswa sebuah PTN dipim pin oleh ketua senatnya diterima oleh fraksi
ABRI di gedung MPR senayan pada saat hari-hari SU MPR masih berlangsung.
Cukup menarik peristiwa tersebut jus tru berlangsung ditengah-tengah
gencarnya pihak keamanan memberi maklumat bahwa sannya segala bentuk
aksi yang melibatkan pengkonsentrasian massa serta upaya- upaya kelompok
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi pada saat SU MPR tengah berlangsung
maka akan dianggap sebagai pelanggaran ketertiban umum dan dengan itu akan
berhadapan langsung dengan pihak keamanan. Tidak dapat dipungkiri setelah
delegasi mahasiswa tadi diterima oleh fraksi ABRI di MPR berkembang
persepsi di kalangan luas para mahasiswa dan bahkan rasa saling curiga
diantara mereka melihat kenyataan dimana rekan-rekan delegasi mereka
begitu 'mulus' dapat memasuki kompleks gedung MPR di senayan yang dijaga
ekstra ketat itu. Milihat kemungkinan lain sebagai contoh dibentuknya
badan-badan perwakilan maha siswa diseluruh daerah di Indonesia kemudian
merekalah yang nantinya berdialog dengan wakil-wakil pihak ABRI didaerah
masing-masing, hal inipun masih dapat dianggap rentan terhadap kemungkinan
'pengaruh' dan 'tekanan' bahkan 'pembelokan' ide-aspirasi awal yang pada
akhirnya justru akan membuyarkan semangat serta program-program maupun
agenda yang telah disepakati bersama para mahasiswa seluruh Indonesia,
yang mana sebenarnya pengkoordinasian aspirasi senada para mahasiswa di
seluruh wilayah itulah yang penting untuk terus dipertahankan dan juga
terus mengembangkan kekompakkan tanpa lupa meningkatkan kewaspadaan diri
terhadap segala kemungkinan inflitrasi dari pihak-pihak yang
berkepentingan untuk memecah-belah aksi mehasiswa belakangan ini.
Patut disadari memang tawaran dialog dari petinggi ABRI terhadap
suara-suara mahasiswa diharapkan oleh banyak masyarakat bukan hanya akan
menjadi acara sere monial yang sifatnya hanya menampung suara tetapi tidak
ada realisasinya, akan tetapi memang benar-benar membuahkan hasil konkrit
kearah perubahan dan perbaikan. Dilain hal bagi para mahasiswa yang
kiranya akan menerima tawaran dialog tadi tentunya akan lebih bijaksana
bila sebelumnya mereka memikirkan kembali tawaran tersebut, atau mencoba
mencari dan menawarkan alternatif meka nisme dialog yang lain kepada pihak
ABRI yang tentunya mekanisme tersebut dapat diterima seluruh pihak dengan
menekankan pada sifat keterbukaan serta trans paran diketahui prosesnya
oleh seluruh pihak, dan pula tanpa melupakan untuk melibatkan wakil-wakil
mahasiswa dalam jumlah yang proposional sehingga tercip ta di kalangan
para mahasiswa rasa terwakilkan yang sebenarnya. Bentuk koalisi antara
para mahasiswa yang prihatin dengan para tokoh-tokoh ma syarakat yang
concern terhadap kondisi kehidupan bangsa selama ini dapat pula dijadikan
barisan perwakilan aspirasi mahasiswa yang nantinya akan duduk bersa ma
dalam dialog terbuka dengan pihak ABRI, alasan ini lebih banyak didasari
oleh kesamaan pandangan dalam melihat problematika kehidupan negara antara
ke lompok tokoh masyarakat tadi dengan para mahasiswa, yang mana bila
gabungan dua unsur tersebut terwujud akan semakin memperkuat posisi dalam
memperjuangkan aspirasi dalam dialog nantinya.
Kini harapan kembali kepada para pemimpin bangsa ini baik pemerintah di
kabi net dan para petinggi ABRI untuk benar-benar tulus dan ikhlas
menerima masukan dan menanggapi aspirasi masyarakat luas dan mahasiswa
yang menuntut adanya per baikan dan perubahan konkrit/nyata dalam segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang paling tidak dalam jangka
pendek adalah pengupayaan penyelama tan perekonomian bangsa dan
pengembalian kepercayaan masyarakat luas terhadap pemerintah saat ini.
Bisa dipahami suara-suara pemerintah yang menginginkan dari pihak
mahasiswa yang kini tengah bersuara agar jangan hanya meneriakan hal-hal
yang tidak dibarengi oleh sumbangan pemikiran sebagai solusi untuk me
nyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini, tetapi perlu juga diingat
mungkin berbagai pemikiran para tokoh masyarakat maupun mahasiswa yang
selama pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan semacam seminar,
diskusi, perdebatan ser ta hasil-hasil penelitian/pengembangan bagi
terciptanya kinerja aparatur dan sistem pemerintahan kearah yang lebih
baik apakah telah ditanggapi, diterima serta dijalankan dengan baik dan
semestinya?, sementara itu entah disadari atau tidak oleh pemerintah
tuntutan reformasi politik dan ekonomi, turunkan harga sembako, kembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan suksesi kepemimpinan
nasional dll merupakan bagian dari bentuk jalan keluar yang ditawarkan
oleh mereka para mahasiswa dan mendesak untuk segera dilaksanakan.
Sekian.
AR'jkt.
From: Ratu adil <>
Date: Wed, 18 Mar 1998 16:28:30 EST
To:
DARI RATUADIL:
DEWAN JENDRAL YG DIBANTAI PKI DLM DAFTAR CIA
Selama 34 tahun ini kita tidak habis berpikir, kenapa kok ketujuh jendral
TNI itu saja yang diculik dan dibantai PKI dalam G30S sedangkan masih
banyak jendral lainnya tidak diculik ?
Menurut info dari "orang dalem" ternyata ketujuh jendral itu adalah anggota
Dewan Jendral yang sudah menyiap siagakan penghancuran PKI dengan
segala macam taktik dan strategi. Konspirasi ini dilaporkan oleh CIA sedang-
kan dalam markasbesar CIA di Langley sudah menunggu tidak lain daripada
Larry Chin, CIA analyst yang merupakan matamata RRC. Karuan saja semua
rahasia CIA diketahui oleh RRC yang pada gilirannya memberikan perintah
kepada PKI sayap DN Aidit untuk memfitnah ketujuh jendral itu sebagai para
konspirator anti-Sukarno dan menghabisinya.
BK memang sudah lama mengetahui para jendral yang menentang politik NA-
SAKOM nya karena jendral Ahmad Yani sendiri dengan blak blakan menen-
tangnya. BK bangga komandan pasukan pengawal istana Cakrabirawa Letkol
Untung telah melaksanakan "dirty job" baginya tanpa diperintah lagi.
Tapi TNI punya berbagai Plan untuk menghadapi PKI: Plan A, Plan B, dsb.
Plan B adalah Kostrad di bawah pimpinan jendral Suharto dan RPKAD di
bawah pimpinan jendral Sarwo Eddhie yang dalam 24 jam saja berhasil
menggulung habis G30S dan PKI seluruh Indonesia.
Sekarang Allan Nairn memegang dokumen Pentagon yang membuktikan
kolusi dan konspirasi Pentagon dengan ABRI untuk menindas rakyat sejak
tahun 1992, sesaat sesudah pembantaian masal Santa Cruz. Nairn mung-
kin memegang daftar para jendral ABRI dalam konspirasi Pentagon itu.
RATUADIL
Date: Thu, 19 Mar 1998 20:16:46 +1100
From: Chai Finnegan <>
To:
Subject: Gen. Wiranto and the Vietnam War
Gen. Wiranto and the Vietnam War
Jakarta, Kompas Online, Thursday, 19 March 1998:
"No Compromise for Radical Groups. The military (ABRI) commander
General Wiranto clarified that his side will take a clear stance
without compromise towards various movements by radical groups which
wanted to enforce their wish dramatically, revolutionary and
destructively. Nevertheless, persuasive-dialogic-educative methods
will continuously be put forward in facing each problem."
My advice to Gen. Wiranto is to read the history books again and again.
History tells us that "when the PEOPLE demand political, social and
economic changes, no amount of military might, power and oppression
can stop it. It is a matter of WHEN not IF". The people has to decide
on "how" to achieve these changes.
Dwi-Fungsi.
Indonesia has always been under military rule since Independence. This
is the fact the Indonesian people must face and confront soon. My view
is that the doctrine of "Dwi-Fungsi" for the Arms Forces has not been
greatly beneficial to the Indonesian Nation. I would go for the 20/80
rule. It has been 20% beneficial and 80% not. It is now an irrelevant
doctrine for the next century. It has turned Indonesia into a
submissive nation. Collectively the people has lost the ability to
think and take accountable action themselves.As an institution,
the Arms Forces has lost sight of what "Dwi-Fungsi" is all about.
The other side of the "Dwi" is basically: "I can do anything as I like,
especially making money". I cannot think of any other countries in
the World that have such a doctrine. There are a lot of military
regimes, but none has such a doctrine. No wonder Indonesia is
in such as a mess.
The Lesson of Vietnam War.
What we are hearing and seeing now is the People are demanding
political, social and economic changes. If this is really the case,
they will get it. No amount of military might can stop it. Gen. Wiranto
should study again the lessons of the Vietnam War. Unless, I am
completely wrong about the Indonesian people. If so, they deserve what
they get. There is no good of praying to God to salvage the nation,
God only help those who help themselves.
regards - Chai Finnegan
From: RBBaowollo <>
Date: Thu, 19 Mar 1998 13:50:42 EST
To:
Subject: ABRI dan Ajakan Dialog
ABRI dan Ajakan Dialog
Robert B. Baowollo, Universitas Hamburg
Pendahuluan:
Mula-mula Menhankam/Pangab Wiranto yang menyerukan dialog dengan
masyarakat kampus, lalu giliran KSAD Subagyo memperluasnya menjadi
"dialog dengan semua pihak". Bagi semua yang berpikir positip dan konstruktif,
seruan tersebut adalah kata kunci dan langkah pembuka menuju pemulihan
kehidupan berbangsa.
Apapapun kepentingan masing-masing pihak di belakang kata "dialog" tersebut,
namun dialog merupakan satu-satunya langkah awal mengetahui persepsi masing-
masing pihak terhadap situasi yang sedang berkembang. Kita bisa kehilangan
banyak energi dan waktu, bahkan jatuh korban yang sesungguhnya bisa dihindari,
hanya karena kita tidak mau memanfaatkan wahana dialog sebagai kebijakan
pendekatan pemecahan permasalahan pada tingkat awal -- yang alhamdulillah bisa
berujung pada kesediaan melakukan rekonsiliasi demi kebaikan bersama.
Bagaimana memandang "dialog" sebagai wahana yang bermanfaat di tengah kiris
ekonomi dan politik yang bersumber dari krisis kepercayaan: masyarakat tidak
percaya kepada pemerintah dan semua penjelasan retorik pemerintah sementara
pemerintah cenderung mencurigai semua gerak dan inisiatip masyarakat? Tanpa
memperparah persoalan dengan mengaitkan ketidak-mampuan DPR sebagai
infrastruktur komunikasi politik di negeri ini maupun sikap over-acting aparat
keamanan (atau ketidak-berdayaan struktural?) yang lebih bertindak sebagai
satpam penguasa dan pengusaha (yang saling berkepentingan, baik sebagai
institusi maupun sebagai pribadi) -- sebenarnya semua pihak yang berbeda
pendapat selama ini telah menjadikan iklim ketidak-percayaan sebagai media
bebas ekspresi. Artinya semua pihak telah mengeluarkan "uneg-uneg" dengan
berbagai cara tetapi tidak ada yang mau secara serius menangkap "uneg-uneg"
itu sebagai kontribusi sosial dalam upaya menciptakan tatanan sosial yang
lebih akomodatif untuk semua pihak. Orang menyampaikan pesan lewat media ini
bukan karena ia percaya pada keampuhan murni wahana dialog tetapi lebih karena
ia tidak percaya pada kejujuran dialog formal. Jadi wahana dialog kita itu
adalah semacam "udara bebas", media bebas tanpa sensor dan tanpa ketentuan
wajib baca dan wajib percaya, apalagi wajib melaksanakan pesan yang
disampaikan. Dalam "quasi media dialog" seperti itu -- seperti yang dilakukan
-- orang diberi otonomi berdialog tanpa harus ketemu subyek.
Juga tidak perlu meminta Habermas untuk menguji bentuk komunikasi semacam ini
apakah dapat memberi kontribusi bagi suatu "pertemuan" pemikiran bagi sebuah
konsep masyarakat demokratis. Kita tunggu apakah akan terjadi keajaiban dialog
diujung discourse ini.
Dialog dan Kepercayaan: atau cost sejarah?
Tak ada orang yang mau masuk hutan rimba bersama dengan orang yang tidak
dipercayainya, apalagi kalau dari awal, berdasarkan pengalaman dan terbukti
berkali-kali ada indikasi kuat bahwa partner jalannya itu tidak bisa
dipercaya. Karena inisiatip dialog tersebut datang dari militer maka ada
baiknya militer juga mau mengetahui, seperti apa kepercayaan yang dimiliki
masyarakat terhadap mereka. Hanya dengan demikian maka ABRI dapat mengambil
titik start yang tepat. Merelatifkan pengalaman ketidak-percayaan masyarakat
terhadap ABRI (akibat konsep pendekatan keamanan dalam pembangunan?) yang
lebih berpihak ke atas dan masih mengklaim diri sebagai pihak yang harus
didengar, tidak akan menolong apa-apa.
Persoalan yang dihadapi saat ini bukan saja ketidak-percayaan masyarakat
terhadap ABRI dalam hal sebuah dialog yang substansial, tetapi masyarakat
sendiri telah hidup sekian lama dalam iklim saling curiga, saling tidak
percaya dan sosok militer bukanlah sosok yang bersahabat dalam pengalaman
keseharian. Ajakan ABRI bagi suatu dialog harus dimulai dari penciptaan iklim
bersahabat seperti disebutkan di atas. Dan tentu saja ABRI sangat mampu untuk
itu. Tetapi bagaimana reaksi dan respons masyarakat terhadap setiap ajakan
bersahabat dari ABRI adalah suatu proses panjang dan harus ditunggu dengan
sabar. Apalagi iklim ketidak-saling-percayaan itu tidak saja dalam aras
hubungan ABRI dan masyarakat tetapi juga antar sesama kelompok masyarakat
sipil akibat orientasi dan kepentingan kelompok. Tak ada pihak yang mau
berbicara terbuka dalam dialog dengan orang yang belum dikenal, apalagi yang
diragukan kesungguhannya untuk taat pada etika dialog.
Apa yang diharapkan dari masyarakat sipil dalam tema "dialog" ini? Adalah
tidak fair kalau masyarakat sipil hanya menuntut kesungguhan dan kejujuran
dialog dari ABRI saja. Tanpa harus bernostalgia secara retorik bahwa ABRI itu
berasal dari rakyat dsb. dst. namun kenyataan menunjukkan bahwa dalam strategi
pembangunan yang mengedepankan kestabilan telah terjadi ekses ketidak-
percayaan lapis masyarakat menengah dan ketakutan masyarakat lapis bawah
kepada militer. Artinya masyarakat sipil dan militer selama sekian tahun telah
membentuk relasi atas-bawah yang tidak berimbang. Sebenarnya "relasi atas-
bawah" itu bisa diterima sebagai suatu dialektika dialog yang berjalan dan de
facto menunjukkan adanya relasi sekalipun frontal. Sayang kedua pihak sudah
saling berhadapan -- suatu prasyarat dimulainya sebuah dialog -- tetapi tidak
saling berbicara dalam persamaan status komunikator dan komunikan. Bahkan
yang terjadi adalah friksi-friksi sosial-politik dalam masyarakat lebih banyak
merupakan faktor pengundang turut campur-tangannya militer yang datang demi
stabilitas.
Pertanyaan kita ke depan:
Kita lebih percaya pada kekuatan dialog dari pada berhadapan tetapi tidak
saling berbicara. Kondisi obyektif kita mungkin belum sejauh itu, tetapi kita
juga percaya bahwa semakin banyak anggota ABRI yang memiliki latar belakang
akademik yang tinggi, pengalaman inertaksi sosial dan demokrasi dalam
masyarakat luas, bahkan internasional, maka cepat atau lambat intelektual yang
memimpin ABRI akan memiliki kesadaran etika dialog yang sama dengan
intelektual sipil: suatu prasyarat dialog dalam kondisi obyektif kita dimana
ABRI sebagai suatu kekuatan sosial-politik masih dominan peranannya. Kita
doakan, semoga di hari-hari esok ABRI lebih banyak mempergunakan power of
reasoning ketimbang ancaman libas, gebuk, sikat, dll. dalam pendekatan
pemecahan masalah dalam suatu masyarakat yang civilized. Juga tidak perlu ada
kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil terhadap sesama warga sipil yang
dengan sukarela menjadi intel swasta untuk konsumsi intel resmi. Dan tentu
saja saya juga berharap, seruan dan ajakan ABRI untuk dialog adalah kesadaran
untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat ini secara
elegant dan credible. Taruhannya adalah kepercayaan!
Hamburg, 19 Maret 1998
From: Ratu adil <>
Date: Wed, 18 Mar 1998 14:35:58 EST
To:
DARI RATUADIL:
NAIRN: CLINTON KONTROL INDONESIA LEWAT ABRI
Tuduhan Allan Nairn, wartawan Amerika yang pernah digebug ABRI dalam
peristiwa Santa Cruz telah berhasil menyelundup ke Jakarta dan memberi-
kan konperensi pers yang mendapat liput an media masa yang hebat, de-
mikian kantorberita Kyodo.
Menurut Nairn, tidak banyak diketahui bahwa Presiden Bill Clinton berlawanan
dengan politik Kongres, telah memperkuat ABRI untuk menindas rakyatnya
sendiri. Pentagon telah memberikan latihan militer mulai dari operasi koman-
do sampai latihan para perwira yang kini memegang pimpinan pengawal is-
tana, Kostrad, kunci komando strategis AD yang memperkuat rezime di Ja-
karta. Pelatih dari Baret Hijau, komando angkatan udara dan marinir adalah
para pelatih ABRI dan ia mempunyai dokumen Pentagon untuk membuktikan-
nya.
Jubir State Department Rubin langsung menyangkal Nairn dan mengatakan
latihan militer AS itu tidak meliputi crowd control.
Memang kita semua mengetahui bahwa militer AS telah mengadakan latihan
bersama dengan ABRI, tapi apakah tujuannya untuk melakukan penindasan
rakyat seperti yang dituduhkan Allan Nairn yang konon mempunyai bukti
dokumen Pentagon ? Sejak zaman pra-G30S Pentagon lewat DIA (Defense
Intgelligence Agency) mempunyai hubungan erat sekali dengan ketujuh jen-
dral yang telah diculik dan dibantai PKI, kalau hubungan istimewa itu diterus-
kan sampai saat ini memang masuk akal juga. Tapi kita tidak punya bukti
untuk memperkuat tuduhan itu, cuma Allan Nairnlah yang katanya memiliki
dokumen itu. Sedangkan logika kita mengira bahwa pemerintah liberal De-
mokrat Clinton membantu perjuangan demokratisasi bukan mempertahankan
rezime diktatur militer yang menindas rakyat selama 32 tahun ini.
RATUADIL