Date: Thu, 29 Apr 1999 14:30:57 +0700 (WIB)
From: "M. Haryanto S. Juwono"
To:
Subject: Debat Presiden
Penilaian debat capres adalah usaha sia-sia juga dilansir oleh pemberitaan
media-media formal di Indonesia. Salah satunya adalah apa yang
ditampilkan oleh Duta (korannya NU atawa PKB -yg tidak mengirim wakil
dengan alasan belum ada capres pasti), yang menyimpulkan bahwa debat
kemarin hanya menjadi ajang saling ejek. Penilaian yang sangat subyektif,
mengingat "saling ejek" hanya bumbu yang pada ujungnya disadari oleh
capres-capres kita. Berapa lama sih ( baca %) dari keseluruhan acara yang
memakan waktu 2.5 jam itu ? Ketika diingatkan , mereka pun sadar dan
saling meminta maaf. Terbuka. Di depan publik. Apa tidak mengesankan ?
Cobalah untuk mendewasakan pikiran dengan menempatkan sesuatu pada
kapasitasnya. Ajang debat capres kemarin bukan merupakan ajang formal
yang digelar oleh lembaga pemilu, tapi digelar oleh mereka-mereka yang
punya idealisme untuk menumbuhkan demokrasi di negeri ini. Dan jalan itu
pun masih sangat panjang.
Satu hal yang perlu dicatat, kita dibukakan mata dengan melihat bahwa
sosok-sosok capres itu sangat manusiawi. Bisa terejek, bisa tergelak, dan
bisa mengakui kekhilafan secara terbuka, dan minta maaf pada saat itu
juga. Ini satu contoh saja. Banyak hal lain yang bisa dipetik dari debat
kemarin, kalau mau kita kaji lebih jauh. Desakralisasi posisi presiden
sudah layak dilakukan, dengan mengubah UUD 45. Tapi banyak juga mereka
yang tidak mau mengubah konstitusi tersebut, dan menggunakan tameng
reformasi. Apalagi menggunakan dalih budaya timur.
Sangat naif kalau kita mengharapkan hasil pada saat sekarang ini juga dari
ke-4 capres kemarin. Hasilnya nanti, kalau mereka sudah terpilih. Dari
debat kemarin kita bisa memiliki pijakan awal untuk menilai mana dari
mereka yang qualified untuk jadi pemimpin negeri ini.
Sekarang ini, kalau harapan anda akan ketidaksia-siaan adalah untuk hal
yang kongkrit seperti Soeharto diadili, tujukan ke Ghalib. Kalau minta
kasus Banyuwangi, Ciamis, pemboman Istiqlal tuntas, minta ke Roesmanhadi +
Wiranto + Feisal Tanjung. Kalau ingin kasus Ambon dan Sambas
diselesaikan, ajukan ke Wiranto. Kalau ingin bobol-nya JPS ( hampir
setengah yang melenceng koq dibilang bocor ?) diusut, minta ke Ginanjar.
Kalau ingin itu semua terjadi, propose ke Habibie. Bukan kepada ke-4
capres kemarin yang saat ini berada di luar kekuasaan.
Kalau semua itu tidak bisa, ya mari ikutan berupaya bagaimana bisa
mengganti Habibie dkk. Daripada cuma mengomentari debat itu suatu hal
yang sia-sia.
Marilah berupaha agar satu dari 4 calon yang debat kemarin bisa menjadi
presiden. Baru nanti kita lihat Soeharto diadili (berikut
kroni-kroninya), berbagai kasus kerusuhan terungkap, siapa yang mendesign
bom di istiqlal terungkap. Penyaluran JPS tidak jadi ajang promosi
politik. Kerusuhan-kerusuhan tidak ada lagi, karena sang dalang telah
tertangkap. Bank-bank busuk dihabisi. Koruptor-koruptor diadili.
Ah...indah sekali.
Wassalam.
Andriansyah B
**************************************
Date: Thu, 29 Apr 1999 14:47:41 +0700 (WIB)
From: "M. Haryanto S. Juwono"
To:
Subject: Debat Presiden
Malam itu saya nonton berita debat Capres. Ada hal yang menarik dari acara
ini, terutama saya melihat dari ketidakhadiran boss PDIP yaitu Mbak Mega.
Saya sampai sekarang masih sangat yakin bahwa undangan debat capres dari
rekan-rekan mahasiswa UI akan 'menjebak' Mega. Bila undangan tersebutt
diterima, jelas dia akan kewalahan menghadapi 'pengadilan' tokoh-tokoh
akademisi/orang-orang kritis. Dengan demikian semakin jelas kelemahan
mendasar yang dimilikinya selama ini, yaitu tidak didukung intelegensi
yang cukup dan selama ini dia ada karena 'dimanfaatkan dan memanfaatkan'
orang-orang yang ada disekelilingnya. Namun bila dia tidak hadir, jelas
keraguan kita selama ini tentang kemampuan dia akan semakin mendapatkan
bukti autentik. Saya rasa inilah "jebakan jitu" untuk menyaring kualitas
sesungguhnya seorang capres.
Herannya, dan memang mungkin itulah yang terbaik, banyak alasan
dikemukakan. Semua alasan, sayangnya terasa dibuat-buat dan mengada-ada.
Katanya debat tidak sesuai budaya timur. Apakah bertindak brutal dan
'menelanjangi' kaos perempuan lebih merupakan budaya timur ? Katanya debat
tidak diatur oleh UUD 45. Betul-betul jawaban lucu karena acara
konsolidasi partai yang digembor-gemborkan oleh PDIP jelas juga tidak
diatur oleh UUD 45. Katanya panitia debat dipertanyakan. Katanya, katanya
dan seribu katanya yang tidak logis yang semakin menunjukkan kualitas
kepemimpinan Mega di PDIP. Belum berkuasa saja sudah terlalu pintar
membual dan berkelit seperti ular dalam menghadapi kenyataan yang
memojokkan serta terlalu cerdas mencari-cari alasan pembenar untuk sesuatu
yang salah. Bagaimana kalau berkuasa nanti, saya yakin akan melebihi Orba
karena (mungkin) kita akan kembali ke Orla dimana Bung Karno menerapkan
'demokrasi terpimpin'.
********************************************************
Subject: Debat Capres itu - ah, kok seperti "adu jangkrik" saja sih.
Assalamu'alaikum wr. wb.
(salam tersebut saya tujukan kepada peminat apakabar@ yang beragama
Islam).
Kepada yang lain: Salam Persaudaraan.
Merdeka!
Sekali lagi tentang forum debat capres.
Persoalan serius jangan dilakukan lewat cara "adu jangkrik"!
Saya ucapkan terimakasih kepada para organisator forum apakabar@ dan
saudara-saudara yang telah memberikan tanggapan, baik yang pro maupun
yang kontra debat capres, atas tulisan saya berjudul "Penolakan Mbak
Mega yang arif dan bijaksana" di forum apakabar@ ini.
Saya sangat menghargai semua tanggapan terhadap tulisan saya dimaksud,
baik kepada yang pro maupun yang kontra terhadap hakekat tulisan
tersebut.
Ada seorang (nama anonim) yang terhormat mengemukakan pandangannya
dengan kata yang kurang sedap menilai cetek terhadap tulisan saya itu.
Tetapi, alhamdulillah, lebih banyak yang menyatakan bagus, salut atas
pendirian saya itu. Pada umumnya, saudara-saudara yang menyatakan
ketidak setujuannya dengan pandangan saya tentang debat capres itu
bernada amat simpatik, mengemukakan argumen-argumennya (ada yang panjang
ada yang singkat) dengan baik dengan alasan-alasan yang mendasari
pemikirannya, mengapa mereka itu pro debat capres Sedang bagi mereka
yang menyatakan setuju dengan pendapat saya, mengemukakan dasar
pikirannya lebih pendek karena hanya mengemukan beberapa butir pikiran,
sebagai tambahan terhadap pendapat saya dan ada yang cekak aos - salut,
saya acungkan jempol, excellent statement dan sebagainya dengan tanpa
mendasarinya dengan argumen. Saya maklumi ini, karena mereka setuju
dengan hakekat pikiran saya dengan argumen-argumen yang saya kemukakan
dan mereka menganggap tidak perlu memberikan tambahan.
Menarik untuk disimak kembali, dua pendapat tentang perlunya forum
debat capres:
(1) pendapat sdr. Arif Budiman, (2) pendapat sdr.Deplu dan (3) pendapat
sdr. Smash Net.
ad (1):
Lagi-lagi Mbak Mega mau dipojokkan ..., tulis sdr Arif Surachman,
memulai tanggapannya. Saya kira, lanjut Arif Surachman, tidak ada yang
ingin dipojokkan dalam debat presiden yang sudah terlaksana itu. "Saya
melihat bahwa debat presiden sangat menunjukkan sejauh mana kekritisan
seorang calon presiden dalam menghadapi beberapa kritikan dan lontaran
yang dilemparkan kepadanya. Jadi sebetulnya tidak ada alasan dan tidak
ada paksaan bagi Mbak Mega untuk ikut debat tersebut, hanya lebih baik
kalau dia ikut. Rakyat kan perlu juga (punya hak!) tahu sejauh mana
calon presidennya (kalo memang dia pengen jadi presiden) punya visi dan
misi yang jelas (tidak hanya untuk partainya)", tulis Arif Surachman.
ad (2):
"Nga usah ente membela-bela salah satu capres lalu mejelek-jelekkan
capres lain. Saya ini dulu Golkar (terpaksa) tetapi sekarang masih belum
menentukan partai mana yang akan saya pilih (pasti saya akan pilih salah
satu dari 48)", tulis seorang oponen atau penyanggah anonim dengan adres
bid2<.>
(Karena sdr anonim tersebut di adres E-Mailnya ada kata deplu saya sebut
saja sdr ini sdr Deplu). Mengenai debat partai, lanjut sdr Deplu, salut
buat capres yang ikutan. Mega jelas ngga berani kalau berhadapan dengan
audiens, sebabnya pendidikannya kurang, beliau terkenal karena bapaknya.
Ini anggapan saya selama ini. Nah untuk melihat kapasitas ibu Mega yang
sesungguhnya untuk bisa meyakinkan saya agar nyoblos pdip, bagaimana
caranya? "Apa hanya melihat jalan-jalan penuh dengan posko gotong royong
yang tidak jelas manfaatnya, bahkan mungkin dipakai bermain judi kalau
malam hari, banyaknya bendera merah dengan lambang kornet beef di
mana-mana?", demikian cetus sdr Deplu dalam tanggapannya terhadap
tulisan saya itu.
ad (3):
"Pikiran anda ternyata sungguh cetek .... memang tdk ada keharusan untuk
ikut debat tsb, tapi kehadiran capres ke forum tersebut akan memberikan
gambaran kepada calon pemilih tentang tingkat intelektualitas, emosi,
dan pandangan mereka. Saya berani bertaruh bahwa Mega tdk datang karena
ketidakmapuannya dalam mengeluarkan pendapat.
Tambahan argumentasi
Tadinya akan saya tulis risalah ini dengan cara yang dilakukan oleh sdr
Arif Surachman, yakni dengan menjawab argumen-argumen tentang
pendiriannya menyokong debat capres. Tetapi. kalau itu saya lakukan
artikel ini akan menjadi terlalu panjang dan bertele-tele dan barangkali
juga akan membosankan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya kemukakan
tambahan argumentasi saya saja tentang mengapa saya tidak mendukung atau
menolak samasekali debat capres.
Dus sekali lagi, saya tekankan, bahwa yang tidak saya setujui adalah
debat capres, bukan melulu debat. Atau secara lengkap saya katakan: Saya
tidak setuju terhadap digelarnya debat antara calon presiden. Mengapa?
Seperti dikabarkan di berbagai media massa, misalnya di [Indonesia-L]
Perspektif-Politika; tertgl. 23 April 1999)
salah satu kelompok kalangan intelektual UI, tepatnya Forum Salemba
(Forsal) Universitas Indonesia, mengajukan gagasan untuk menggelar apa
yang disebut forum Debat Capres. Gagasan yang sama, juga telah lebih
dulu dikemukakan oleh Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung
(KM-Bandung). Dikabarkan, bahwa forum yang digelar KM-ITB sebenarnya
lebih dimaksudkan untuk sekedar dengar pendapat antar calon presiden
partai. Alasannya dengar pendapat lebih memudahkan khalayak untuk
menggali isi pikiran calon presidennya. Sebenarnya, undangan sudah
disebarkan ke 48 parpol agar mereka mengirimkan seorang capresnya. Toh
tidak semuanya setuju. Sebagian besar malah tak menjawab, sebagian lagi
menolak ...[Indonesia-L] Perspektif-Politika, ., 23/4).
Menurut koordinator Forsal, Agus Haryadi, forum debat capres itu
diadakan dengan maksud agar rakyat tahu berbagai aspirasi dari calon
presiden. "Saya sangat khawatir jika ada orang yang menjadi pimpinan
nasional tanpa melalui proses elektoral yang jernih dan terbuka, akan
muncul diktatorial dengan wajah lain. Padahal dalam debat bukan
benar-salah yang jadi soal, tapi aspirasi, " ungkap Agus Haryadi.
Dari pemberitaan tersebut di atas, salah seorang organisatornya
mengklaim forum debat sebagai sarana proses elektoral, dus semua capres,
tidak dipaksa, tetapi dengan sukarela turut serta dalam debat capres
itu.
Dan bagaimana pada kenyataannya?
Pertama, perlu kiranya terlebih dahulu, secara singkat saya komentari
tentang argumentasi dari mereka yang pro tentang perlunya forum debat
capres. Simaklah, argumentasi pokok dua pendapat dari mereka yang pro
digelarnya forum debat capres, yang telah saya kutip di atas, yakni dari
yang terhormat sdr.Arif Surachman dan sdr Deplu, sdr Smash Net serta
sdr. Agus Haryadi, koordinator Forsal.
Simaklah dengan baik apa yang dikatakan oleh Arif Surachman (lihat ad 1)
di atas itu, yang menandaskan: "Saya melihat bahwa debat presiden sangat
menunjukkan sejauh mana kekritisan seorang calon presiden dalam
menghadapi beberapa kritikan dan lontaran yang dilemparkan kepadanya.
Jadi sebetulnya tidak ada alasan dan tak ada paksaan bagi Mbak Mega
untuk ikut debat tersebut, hanya lebih baik kalau dia ikut".
'Kan gamblang toh, saya lama menyimak dua kalimat di atas itu.
Membacanya berulang-ulang, yah apa yang anda katakan, itu mah tetap saja
sdr Arif Surachman yang budiman, mengharuskan Mbak Mega menuruti kemauan
para penggagas forum debat capres, dus dipaksa (sukarela!) ikut serta
dalam debat. Anda memaksa secara halus untuk memenuhi keinginan para
penggagas bagi terlaksananya forum debat capres itu. Dan ujung-ujungnya
anda bersama semua yang pro debat capres toh memojokkan Mba Mega dan
bahkan berusaha mem-fait accompli-nya untuk ikut sebagai peserta debat
capres. Dan kalau tidak mau menghendaki kemauan anda-anda itu, maka
"sah"lah anda-anda mengkritik Mbak Mega dan yang tidak simpatik malah
meneriakkan Mbak Mega dengan melontarkan kritikan tajam (bahkan caci
makian kasar) terhadapnya. Para pelontar kritik itu tidak peduli siapa
yang mereka caci maki itu, adakalanya dengan kata-kata yang sangat
menyinggung ego pribadinya! Ketahuilah, bahwa bagaimanapun Mbak Mega itu
adalah seorang Ibu dan bahkan seorang Nenek dari seorang cucu perempuan
yang baru saja dilahirkan oleh putri tercintanya, beberapa bulan yang
lalu; tetapi itu tentu saja bukan berarti Mbak Mega tidak bisa
dikritik.Beliau adalah seorang wanita yang diintimidasi, hak-hak
asasinya diinjak-injak, dicoba dengan berbagai cara kekerasan dan
tekanan moril yang bertubi-tubi agar karier politiknya hancur lebur oleh
rezim Orba Soeharto yang sangat represif, yang para kroninya itu masih
terus bertengger di pemerintahan, yang status quo sekarang ini!
Telaah saja itu, kritik yang dilontarkan oleh sdr Deplu, yang saya sitir
di atas di ad (2). Di sini tidak usah saya ulangi lagi dan tidak perlu
kiranya saya ulas atau komentari kritikan sdr Deplu itu. Yang jelas,
Mbak Mega seperti yang telah saya katakan akan tetap survive dan dengan
tegar menghadapi segala tantangan dan rintangan apapun yang dilaluinya
dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat
Indonesia.
Bacalah makian kepada Mbak Mega yang saya sitir di ad (3) di atas. Tidak
usah saya komentari mengenai (maaf beribu maaf) moral dari dua orang
yang mengidentifikasi dirinya dalam "imil"nya sebagai yang saya sebut
sdr.Deplu dan sdr.Smash Net tersebut di atas.
Kedua, bagaimana hasil kongkret forum debat capres, yang berhasil
digelar tepat pada waktunya, yakni tanggal 27 April 1999 bertempat di
salah satu Aula Fakultas Kedokteran UI Salemba itu?
Komentar pers yang saya baca dengan cermat mengenai jalannya debat
capres dimaksud adalah umumnya positif, bahkan boleh dibilang dinilai
sangat positif. Meskipun begitu, saya kritis menanggapi berita dan
komentar koran-koran yang telah saya baca yang bernada positif terhadap
forum debat capres itu.
Keterangan yang saya dapat dengan membaca koran tentang reportase
jalannya debat capres (27/4) di Aula Fakultas Kedokteran UI di Salemba
itu tidak memberikan gambaran tentang kehebatan dan kegunaan forum
tersebut dilanjutkan!
Dalam babak pertama Forum debat capres, yang diikuti oleh empat orang
yang dicalonkan oleh partai politik masing-masing itu, setiap capres
diberikan waktu selama beberapa menit untuk mengemukakan visi,
aspirasinya kalau ia terpilih menjadi presiden.
Kemudian dalam babak kedua, berlangsung studi kasus dari pemandu debat
atau moderator, yang dipandu oleh dosen UI Eep Saefullah Fatah, juga
Imam Prasojo dan Harkristuti Harkrisnowo. (Maaf kepada Bung Eep, nama
anda di koran ada yang menulis Saefulloh ada yang mencetak Saefullah -
yang bener yang mane nih!)
Rupanya, Emha Ainun Nadjib dan Miriam Budiardjo, yang seharusnya
bertindak selaku audiens tidak hadir. Nama mereka tidak disinggung dalam
pemberitaan. Yang hadir dan membacakan do'a di acara penutupan forum
debat capres, Taufik Ismail.
Jadi babak ketiga acara debat capres berjalan tanpa Emha dan Miriam.
Dan bagaimana komentar Aep Saefullah Fatah tentang forum debat itu?
Bisa dibaca di DetikCom (27/4) a.l. sebagai berikut:
Debat itu memang tidak menghasilkan kesimpulan, karena memang bukan
rapat. Namun, tambah Eep, dari debat itu bisa dilihat kualitas calon
pemimpin bangsa di masa depan tersebut.
Ditanya tentang penilaiannya sepintas, Eep mengatakan bahwa dari segi
kerendahan hati, ia memilih Didin Hafidhuddin karena bisa memberikan
imbauan pada capres lain agar tidak saling arogan.
"Untuk gagasan, saya menilai semua capres siap dengan gagasan. namun,
untuk kemampuan berdebat saya menilai Yusril dan Amien paling siap, ini
bisa dilihat dari kecepatannya yang tinggi mendebat lawan bicara", kata
Eep. "Tapi yang terpenting biar rakyat yang menilai calon presidennya",
tambah Eep.
Menilai jalannya perdebatan di forum debat capres (27/4) itu, makin
tegas saya katakan: Sungguh arif dan bijaksana Mbak Mega tidak hadir
dalam forum dimaksud. Forum debat capres tersebut tidak ada kegunaan
prasktisnya selain, kita mengetahui misalnya tentang arogansi ya Amien
Rais, ya Yusril Mahendra. Tentang penilaian Eep tentang kecakapan kedua
orang capres dimaksud dalam berdebat, ya pantes saja, wong kedua orang
itu dosen. Kalau dosen engga bisa ngomong dan berdebat sudah lama dia
dikeluarin dong dari jabatannya sebagai dosen atau guru besar.
Bagaimanapun kepandaian mereka berdua dan juga tentang kerendahan hati
Didin Hafidhuddin (menurut Eep), masih belum bisa menjawab apakah mereka
itu orang nyang (eh, yang) cocok jadi presiden. Malah dengan arogansi
yang diperlihatkan (menurut keterangan pers tentunya!) mereka berdua
itu, orang akan bertanya-tanya mereka yang begitu arogan itu apa orang
mau memilih mereka jadi presiden?
Sementara itu (juga menurut pers) materi debat calon presiden dinilai
sejumlah kalangan tidak fokus. "Tampaknya antara panitia, panelis dan
para calon presiden tidak siap dengan acara itu. Semrawut Tapi sebagai
sebuah permulaan, cukuplah", kata salah seorang pengamat yang hadir di
tempat itu. Pengamat ini juga menilai, bahwa dari empat kandidat yang
hadir dalam debat itu masih kurang memahami panggung debat. Mereka
dinilai masih sering menunjukkan sikap kekanak-kanakan dan emosional
dalam mengahadapi serangan dari pihak lain.
"Belum ada calon presiden yang cakap berdiplomasi dalam menghadapi
pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan. Mereka justru mengeluarkan
sikap aslinya, main kayu. Mereka masih perlu belajar berdiplomasi dan
menahan diri", ujar pengamat ini (Indonesia Daily News, 28/4).
Menambah penilaian pengamat "anonim" tersebut di atas, benarlah saya
kira apa yang dikatakan oleh Katib Aam PBNU Dr KH Said Aqiel Siradj,
yang menilai, bahwa untuk figur calon presiden mendatang, masyarakat
mencari pemimpin yang bisa dipercaya dan bukan sekadar yang mampu
berdebat. Kemampuan seorang menjadi capres tidak sebatas dari
kemampuannya berdebat (Harian Umum Suara Merdeka, 28/4).
Dalam kaitan ini, acara debat capres, yang disponsori kelompok
intelektual muda Forsal yang saya hormati, bagaimanapun ia dibumbui
dengan keterangan-keterangan muluk dan kelihatannya amat logis itu untuk
mengetahui visi, aspirasi ataupun program, kemampuan berdebat ataupun
intelektual mereka dsb., adalah secara sadar atau tidak menggiring
mereka para calon presiden itu ke "tabung bambu tempat pertikaian"
sebagai menggiring jangkrik saja layaknya!
Maaf beribu maaf, kepada saudara-saudara profesor (maha guru!) dan
doktor serta para sarjana lainnya (termasuk sdr Dr Sri Bintang Pamungkas
yang saya hormati) kok mau-maunya anda-anda ini diadu dan digirng ke
arena "tabung sempit" sebagai jangkrik?!
Saya samasekali tidak ingin mengajukan kritik apapun kepada sdr Amien
Rais, tetapi ide debat ini saya baca di berbagai media adalah merupakan
ide Amien Rais! Kalau memang demikian saya sayangkan!
perlu diingat, tidak semua cara yang kelihatannya baik berlaku di
Amerika Serikat bisa diterima dengan baik di Indonesia. Saya bukan tidak
setuju mengenai soal debatnya. Yang tidak saya setujui adalah acara
debat antara calon presiden berhadapan dengan calon presiden. Paling
tidak pada tahap sekarang ini, debat capres tidak ada urgensinya. Saya
tidak curiga terhadap Amien Rais, tetapi kalau benar usul untuk
melaksanakan debat capres itu datangnya dari dia, bisa kita kira-kirakan
apa yang hendak dicapainya itu. Pekerjaan Amien Rais sehari-harinya
adalah sebagai profesor, dengan kata lain dia itu sebagai Guru Besar
atau Maha Guru, maka pantaslah kalau dia mengusulkan ide adu debat
dimaksud. Dengan begitu, kalau debat capres dilaksanakan maka dia
mengharapkan akan mendapat nilai tambahan (plus) lagi buat menghantarnya
ke kursi singgasana kepresidenan RI yang diinginkan! Tentu saja,
keinginan Amien Rais itu sah-sah saja.
Tetapi, kenyataan setelah terlaksananya debat capres itu, senjata
(yakni usul debat capres) nya itu adalah merupakan senjata bumerang!
Yang mencuat keluar sekarang setelah terjadinya debat capres (27/4) itu
sifat arogansinya kelihatan dan juga seperti kritik yang dilontarkan
Yusril Mahendra: "Kok calon presiden tidak tahu sejarah"? Tentu saja
semua itu penilaian yang ekstrim. Tapi sisi ekstrim ini toh terlontarkan
setelah debat. hal itu konsekuensi logis buat Amien Rais, tentunya.
Kalimat-kalimat saya di atas tentu akan bisa disalahterimakan oleh para
pendudukng Amien Rais. Dan karena itu akan bisa terjadi
bentrokan-bentrokan itu jadi meluas: dari yang pro dan kontra debat
capres menjadi, misalnya dengan tulisan saya yang sedikit menyinggung
Amien Rais itu bisa saja diartikan bahwa seolah-olah saya anti Amien
Rais. Padahal bukan demikan maksud persoalannya. Saya tidak pernah
bertindak atau menulis yang mengkritik Amien Rais. Kalau saya
menyinggung naman beliau di ruang ini, hanyalah karena saya tidak setuju
dengan ide debat capres. Itu saja!
Dan lihat saja apa yang terjadi. Dengan penolakan Mbak Mega, yang
menyatakan tidak bersedia menjadi peserta debat capres, diluar melalui
berbagai media massa, baik elektronik maupun media cetak, di antara para
pendukung/pro debat capres itu ada yang secara arogan mengkritik dan
menyerang pribadi Mbak Mega! Untuk apa? Siapa yang diuntungkan?
Dalam konteks ini, menarik apa yang dikemukakan oleh sdr Sidik Pamungkas
empat hari yang lalu (26/4) di forum apakabar@ ini, sbb: "Juga ada
indikasi bahwa acara debat antar kandidat calon presiden bakal
dipaksakan, yang tidak setuju bakal dipaksakan, yang tidak setuju bakal
dapat celaan hebat secara besar-besaran alias kolosal, dengan tujuan si
bakal calon jadi rusak namanya dan bahkan diharap kader/simpatisan sang
calon ngamuk. Rekayasa ini dibuat secara global, yaitu dengan cara
mempengaruhi beberapa pihak yang berbeda kubu untuk menekankan
terlaksananya acara tersebut. Baik di kelompok mahasiswa , cerdik pandai
yang belum terwadahi (sehingga seolah-olah dari pihak netral), beberapa
tokoh politik tertentu .... serta diharapkan adanya dukungan dari
sebagian masyarakat akan pentingnya acara tersebut. Buat politikus yang
memperkirakan acara ini akan menguntungkan dia, atau politikus yang tahu
bahwa dia hanya pelengkap keramaian (partai peliharaan status quo,
otomatis sang pimpinan hanya mengharap imbalan harta atau posisi jabatan
eselon satu atau dua .... masa bodoh mau menang atau kalah debat.
Syukur-syukur bisa menyeret hancur calon serius), bakal sangat antusias
untuk menyukseskan acarab tersebut".
Dengan masih akan dilanjutkannya acara debat capres (27/4) tersebut pada
waktu yang dekat, sebelum Pemilu 7 Juni 1999 dilaksanakan, maka
prakiraan di atas harus tetap menjadi perhatian dari mereka yang tidak
setuju dengan acara debat capres.
Jalan keluarnya
Dari apa yang telah diutarakan Mbak Mega melalui Ketua-Ketua PDI
Perjuangan tentang ketidaksediaannya memenuhi undangan panitia debat
capres (27/4) tidaklah dia menolak berdialog ataupun berdebat. Yang Mbak
Mega tolak adalah forum debat capres! Menurut Kwik Kian Gie, masalah
diskusi atau debat calon presiden itu adalah serius. Kalau ingin
menggali konsep dan program dari seorang calon presiden, PDI Perjuangan
berharap dicarikan forum yang lebih serius. Misalnya, seorang calon
presiden di wawancarai televisi secara mendalam, kemudian disiarkan
secara langsung kepada masyarakat. Hal seperti itu telah dilakukan oleh
televisi Singapura (CNBC) yang mewawancarai Megawati mengenai
program-programnya (Kompas, 28/4).
Megawati sekarang ini sibuk melakukan konsolidasi partai ke
daerah-daerah di seluruh Indonesia. "PDI Perjuangan adalah partai yang
sudah established dan sudah memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Karena itu, Mbak Mega lebih banyak memfokuskan perhatiannya kepada
konsolidasi cabang-cabang tersebut secara lebih menyeluruh", kata Kwik.
Jadi jelaslah, kalau dia disuruh memilih berdebat di forum debat capres
(27/4) yang lalu itu, akan seribu kali lebih berguna bekerja keras turun
ke "lapangan" untuk konsolidasi partai dari pada mengikuti "forum adu
jangkrik" yang saya kemukakan tersebut di atas!
Sebabnya logis, bukan karena takut debat. Tetapi manfaatnya lebih besar
melakukan konsolidasi partai, yang sampai hari ini masih dicoba
diporakporandakan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan politik yang
dijalankan oleh PDI Perjuangan dibawah pimpinan Megawati Sukarnoputri.
Harus diingat, kekuatan partai kedalam adalah basis kesuksesan dalam
perjuangan. Mbak Mega secara jeli mendahului pekerjaan ini, lebih-lebih
menjelang pemilu akan datang ini. "Megawati lebih mementingkan bertemu
rakyat yang lebih luas untuk menarik suara mereka agar bisa memenangkan
pemilu. Dan untuk itu tindakan yang jitu!
Kalau Mega dinilai menghindari mahasiswa atau kelompok intelektual,
menurut Kwik, itu tidak benar. Sebab PDI perjuangan sudah beberapa kali
melakukan seminar dan mengundang kelompok intelektual (Kompas, 28/4).
Tentang menyandang nama Bapaknya
Kadang-kadang saya heran, cukup banyak oponen yang mengkritik Megawati
mengatakan bahwa Mbak Mega bisa terkenal karena nama bapaknya. "Mega
jelas ngga berani kalau berhadapan dengan audiens, sebabnya
pendidikannya kurang, beliau terkenal karena nama bapaknya", demikian
tulis sdr Deplu di atas.
Sdr Deplu yang dulu ikut Golkar (katanya terpaksa) itu dan juga beberapa
oponen Mba Mega lainnya, tidak pernah melihat betapa semua putra-putri
Bung Karno ditekan, ditindas, diintimidasi dan dilarang terjun ke dalam
kancah politik oleh penguasa Orba, di mana Golkar adalah merupakan
partainya pemerintah. Sehingga dalam keluarga putra-putri bung Karno itu
terpaksa, karena mendapat tekanan dan intimidasi yang keras dari
penguasa Orba, pernah ada kesepakatan untuk tidak terjun ke dalam arena
politik. Kemudian setelah terdapat perubahan pandangan mereka itu, maka
masih di zaman Orba, beberapa putra dan putri Bung Karno, yakni Guntur
Sukarnoputra, Rachmawati, Sukamawati dan Megawati mencoba terjun dalam
percaturan politik. Dan ternyata mereka semua tanpa kecuali mendapat
tekanan-tekanan yang teramat dahsyat dari penguasa Orba. Guntur
Sukarnoputra ternyata tidak kuat menahan gempuran-gempuran dan
intimidasi yang dilakukan Orba terhadap dirinya. Lihat sajalah, apakah
Sdr.Guntur Sukarnoputra bisa menanjak ke "permukaan", seperti halnya
Megawati? Demikian juga saudara-saudara Mbak Mega yang lainnya, meskipun
mereka juga giat dalam berbagai kegiatan politik, tetapi tidak sesukses
apa yang dicapai oleh Mba Mega. Padahal semua mereka juga menyandang
nama basar Bung Karno. Dengan mengemukakan fakta tersebut, saya hanya
ingin memberikan bukti bahwa kedudukan Mbak Mega sebagai Ketua PDI
Perjuangan bukanlah terutama sekali dia menyandang nama bapaknya, tetapi
memang Mbak Mega pribadi mempunyai kemampuan yang cukup memadai untuk
menjadi seorang politikus yang handal dan disegani, bahkan menjadi
pemimpin yang dicintai rakyat!
Mengakhiri tulisan ini, saya teringat do'a yang diucapkan sdr Taufik
Ismail ketika menutup acara debat capres (27/4) yang lalu itu. "Ya
Allah, semoga Engkau memberikan bangsa kami presiden yang ikhlas,
cerdas, rendah hati, adil, dan memihak rakyat", bunyi do'a Taufik
Ismail. Membaca do'a tersebut sungguh cocok, menurut pendapat saya, sdr
taufik Ismail ini mengaharapkan Megawati Sukarnoputri jadi presiden RI,
sebab apa-apa yang dibacakannya itu sangat cocok dengan
kharasteristiknya Mba Mega. Amin!
Merdeka!
Wassalam,
A.Supardi Adiwidjaya
********************************************
Subject: Re:Debat Capres. Tak usah emosi!
Anda korban "adu jangkrik"!
Sdr M.Aris Budiwahyono,
Janganlah terlalu emosionil. Nanti anda bisa sakit jantung. Bisa shok.
Dengan cara anda demikian ini tidak akan menyelesaikan persoalan.
Masalah pemilihan presiden adalah persoalan yang amat serius. Dan saya
berpendapat bahwa membuka atau menggelar forum debat antara capres tidak
ada gunanya selain akan menimbulkan pro dan kontra yang tajam.
Buktinya?! Kalau anda menanggapi tulisan saya saja dengan cara yang
telah anda tulis, toh dengan mudah saya kembalikan kata-kata anda
tersebut terhadap anda sendiri.
Tetapi tidak saya lakukan itu! Bagaimana, kalau yang berhadapan langsung
antara massa PDI-Perjuangan yang tidak terima pemimpinnya dihujat dengan
massa misalnya partai A yang juga merasa dirinya benar? Bisa saling baku
hantam dan akan timbul korban, yang mungkin korban jiwa.
Gontok-gontokan semacam inilah yang sekarang tengah terjadi di berbagai
wilayah tanah air dengan ditopengi agama!
Bersabarlah. Jangan kekanak-kanakan!
Saya telah menulis sebuah artikel lagi dengan subject: Debat Capres itu
- ah, kok seperti "adu jangkrik" saja sih (30/4) di forum apakabar@.
Kalau anda emosionil, anda bisa berabe! Jangan seperti Orba dibawah
Soeharto yang main intimidasi, main culik, main aniaya dan bahkan
membunuhi orang-orang yang tidak bersalah, menganiaya, menyiksa dan
bahkan membunuh orang-orang yang karena tidak setuju bahwa negeri kita
digadaikan Orba kepada pihak asing! Dikemanakan uang pinjaman yang lebih
dari 100 milyar dolar As itu oleh rezim Orba dibawah Soeharto?!?! sedang
keluarga Cendana ini adalah termasuk keluarga terkaya di dunia?!
Memilih presiden, atau katakanlah untuk mengetahui visinya tidak bisa
dilakukan dan dipaksakan agar melalui debat "adu jangkrik" atau istilah
gedenya forum debat "adu jangkrik", eh forum debat capres!
Saran saya sekali lagi, tulislah dengan baik apa yang menjadi
"unek-unek" anda di ruang apakabar@. Anjuran saya jangan unek-uneknya
saja, tetapi bagaimana solusinya agar kemelut yang tengah melanda negeri
kita, masyarakat kita ini bisa kita atasi. Belajarlah menghormati
pendapat orang lain. Anda kan, saya kira menginginkan agar demokrasi
ditegakkan di tanah air kita? Nah tunjukkanlah bahwa saudara adalah
seorang demokrat, seorang yang menghormati HAM. Cara anda menulis satu
kata terhadap saya tidak fair dan jauh dari menyelesaikan persoalan.
Sekali lagi, persoalan pemilihan presiden adalah persolan yang amat
serius. Melalui debat meminjam istilah yang terhormat Bung Banteng
Suropati, "adu jangkrik" tidak akan menemukan solusi dan bisa memilih
presiden yang cocok. Praktek debat capres buat saya telah menunjukkan
bukti, bahwa kalau toh kita memang tidak cocok dengan Amien Rais, atau
tidak cocok dengan Yusril Mahendra atau tidak cocok dengan Mbak Mega
dll., ya jangan memilih mereka. Kalau kita menghormati demokrasi, ya
jangan dikekang. Silahkan pilih yang lain!
Yang saya persoalkan, mengapa orang perorangan ataupun kelompok
mengkritik dan bahkan menghujat (dengan kritikan yang amat menyinggung
ego pribadi!) Mba Mega, karena dia berpendapat bahwa debat capres tidak
perlu dan dia menyatakan diri tidak mau ikut!
Ya setuju debat capres, silahkan teruskan adakan debat capres itu! Itu
hak kalian. Tetapi jangan mengkritik, apalagi menghujat orang lain!
Kalau siapa saja, kelompok apa saja tidak setuju dengan pandangan
politik Mbak Mega silahkan jangan pilih dia, pilihlah orang lain. Ini
demokrasi. Ini negara hukum. Hormatilah itu. Jangan menghujat orang,
karena dia menganggap bahwa forum debat capres tidak perlu!
Yang bilang perlu debat capres, sekali lagi, jalankan, teruskan! Tetapi
sekali lagi jangan menghujat orang yang tidak setuju forum capres itu
digelar!
Kalau mau jujur, untuk mengetahui visi Megawati yang menjadi Ketua PDI
Perjuangan itu, bacalah pidato-pidatonya, wawancara-wawancaranya di
media massa! Kalau belum punya mintalah kepada bagian penerangan PDI
Perjuangan. Omong kosong kalau hanya ingin mengetahui visi Megawati
harus melalui forum debat capres!
Forum debat capres yang kelihatannya baik di Amerika Serikat, belum
tentu baik di terapkan di Indonesia! Paling tidak untuk situasi dan
kondisi masyarakat kita sekarang ini. Lihatlah, sekarang telah terjadi
bunuh-bunuhan di beberapa daerah Indonesia. Jangan membangkitkan
emosi-emosi negatif yang tidak ada bau-baunya dengan kepentingan untuk
mendapatkan solusi dari kemelut yang melanda Indonesia sekarang ini!
Omong kosong, kalau orang yang pinter berdebat bisa cocok dijadikan
presiden.
Kalau ada kelompok (dan para pendukungnya) yang merasa bisa menemui
calon presiden melalui forum debat capres silahkan jalan terus. Kalian
pilihlah orang atau capres yang cocok dengan kalian!
Ketahuilah pilihan kelompok A, belum tentu, kalau tidak dikatakan pasti
tidak, cocok dengan pilihan kelompok B ataupun kelompok C dan
seterusnya.
Ini demokrasi! Adalah hak Mbak Mega untuk menolak tidak ikut sebagai
peserta forum debat capres! Apapun alasannya, mengapa dia dikritik?
Mengapa dia dihujat?
Kalau saya kelihatan membela Mbak Mega, saya samasekali bukan anggota
PDI Perjuangan.
Saya akui saya simpati kepada perjuangan Mbak Mega. Menurut pendapat
saya dialah sekarang ini orang yang pandangan politiknya, sepak terjang
perjuangannya untuk menegakkan hukum dan keadilan di tanah air amat
teguh dan konsekwen diperjuangkan dalam praktek.
Kalau saya di forum apakabar@ ini kelihatan tegar membela Mbak Mega,
saya hanyalah mau menunjukkan bahwa jangan semena-mena menghujat orang.
Hormatilah HAM , yang dalam hal ini hak asasinya Megawati Sukarnoputri!
Itu saja tidak lebih. Saya jadi merasa adanya kepentingan politik
tertentu di balik gelar debat capres, dilihat dengan menggebu-gebunya
kritik dan bahkan sudah hujatan terhadap Mbak Mega dengan penolakannya
buat keikutsertaannya dalam forum tersebut.
Kita tunggu saja babak selanjutnya.
A.Supardi Adiwidjaya
E-Mail:
*****************************************************
Subject: Re: Tanggapan tentang Debat Calon Presiden
Sdr.Sakur Yth.,
Saya tidak tahu apakah Sakur ini nama anda sebenarnya atau anonim.
Terimakasih atas surat anda, yang berisi tanggapan anda atas tulisan
saya. Meskipun anda tidak setuju dengan pendapat saya, anda menulis
dengan baik; memberikan argumen-argumen yang menurut anda mendasari
pendapat anda pribadi bahwa Mba Mega kayaknya kurang mempunyai kemampuan
komunikasi seperti untuk itu.
Cara anda berkomunikasi adalah amat saya hargai. Anda menghargai
pendapat orang lain, meskipun pendapat lawan bicara atau korespondensi
anda tidak sama atau bahkan bertentangan dengan pendapat. itu menandakan
anda dewasa dalam berfikir; menghormati pendapat orang lain; anda
seorang yang berfirkiran demokratis. Makin banyak orang yang seperti
anda, berbicara dengan saling toleransi akan baik suasana pergaulan kita
semua.Artinya segala persoalan kita perbincangkan, kita perdebatkan
dengan sebaik-baiknya, dengan mengurangi emosi yang berlebihan, maka
kita akan bisa mencari solusi yang baik atau tepat untuk memecahkan
suatu persoalan. Kalau masih belum ada persetujuan bersama, tentang
masalah tersebut dicari komprominya. Kalau masih belum ada persetujuan
ditunda dulu. Dst.
Ada seorang bernama M.Aris Budiwahyono (),
misalnya, menanggapi dengan menulis "imil" tiga buah yang akhirnya bisa
dibaca hanya dengan satu kata yang tidak enak di dengar/dibaca. Dia
benar-benar menunjukkan kemarahan luar biasa, meluapkan emosinya. Saya
masih menghargai sdr Aris tersebut, karena tidak menyembunyikan nama dan
bertindak jantan. Suratnya saya balas secara langsung melalui imilnya
dan imil apakabar@ (1/5). Mudah-mudahan bisa anda baca dalam beberapa
hari lagi.
Apa sebabnya hal itu saya ceriterakan pada anda? Dapat anda bayangkan,
kalau melaui imil saja sudah mengumbar emosi yang demikian tinggi.
Bagaimana kalau berhadapan? Bukan suara yang maju, tetapi bisa kepalan
tangan atau tendangan kaki!
Melalui media massa, melalui imil-imil, terlihat jelas bhwa dengan
penolakannya itu Mbak Mega oleh beberapa orang (saya tegaskan beberapa
orang!) tidak hanya dikritik, tetapi bahkan di hujat. Dengan menulis
atau mengatakan bahwa pendidikan Mba Mega rendah, jelas karena takut
berdebat, misalnya, apakah hal itu tidak menyinggung perasaan dan ego
seorang Ibu bahkan seorang Nenek (!) seperti Mbak Mega itu? Yah, memang
itu konsekuensi Mba Mega, tetapi apakah adil dia menerima hujatan
demikian itu (?), karena dia tidak mau menuruti kemauan para organisator
forum debat capres?!
Saya yakin penghinaan itu tidak akan diterima oleh para pendukung setia
Megawati. Dan bagaimana kalau penghinaan itu terlontarkan sewaktu debat
capres? (Dalam praktek di forum debat capres yang digelar 27/4 yang
lalu, dua orang capres telah menunjukkan arogansinya dengan menuduh
kepada yang satu "bagaimana kok capres tidak tahu sejarah", sedang yang
lain bilang "bahasa Inggrisnya jelek") Tidak ada yang bisa menjamin,
bahwa di debat capres akan terjadi debat kusir, perkataan kasar, saling
menyerang dan sebagainya. Mungkin di forum sendiri hanya akan terjadi
pelecehan-pelecehan ataupun gontok-gontokan dengan kata-kata. Tetapi
massa rakyat, pendukung-pendukung setia capres apakah mau menerima
dengan tenang tanpa emosi mebiarkan capresnya di hina?! Tentu saja hal
yang saya kemukakan ini, saya ambil contoh ekstrimnya. Yang penting,
bagaimana kalau hal itu terjadi? Siapa yang bisa menjamin itu tidak bisa
terjadi. sekali lagi saya katakan, "gontok-gontakan dengan kata-kata di
dalam forum tidak jadi soal, tetapi bagaimana kalau merembet ke massa?
Tentu ini tidak kita harapkan.
Cobalah anda terangkan kepada saya, mengapa kerusuhan, bunuh-bnuhhan
bisa terjadi (dengan berlindung dibalik atau memakai topeng agama!) di
wilayah Ambon, yang asal mulanya dari Ketapang, Jakarta;
kerusuhan-kerusahan yang berbau etnis. Orang-orang atau kelompok orang,
yang sudah "kesurupan" itu sepak terjangnya sudah membabi buta apapun
mereka tidak peduli. Ditambah dengan kalau saudaranya dibunuh apakah
orang yang saudaranya atau kerabat dekatnya atau kawan dejkatnya dst
dibunuh mereka akan rela?! Terjadilah spiral, saling bunuh membunuh!
Bagaimana dengan sial Ketuhanan yang Maha Esa", yang seharusnya kita ini
saling toleransi meskipun berbeda agama? Dikemanakan sila "Kemanusiaan
yang adil dan beradab"? Dimana ditaruh sekarang ini "Persatuan
Indonesia"?
Berapa banyak Mbak Mega mendapat kritikan, yang sebagian besar saya
menilai tidak pada tempatnya dan tidak benar. Tetapi, alhamdulillah,
Mbak Mega tidak pernah kena terprovokasi. Dia selalu menujukkan jiwa
besarnya. Dia seorang yang manusiawi, konsisten dengan segala apa yang
dikatakan diperbuat, berani dan pantang mundur. Semua gerak dan
sepakterjangnya tidak asal jadi, tetapi secara baik diperhitungkan,
untuk mencari solusi yang tepat.
Sekarang kongkret soal debat capres.
Anda menulis: "Saya pikir, debat merupakan salah satu indikator untuk
mengukur seberapa jauh kemampuan dan visi calon presiden. kemampuan
meyakinkan audiens, sanggahan secara cepat, akurat dan cerdas serta
berbagai kemampuan lainnya yang disimpulkan sebagai kemampuan
berkomunikasi".
Pertama, cobalah anda telaah apa yang dikatakan Katib Aam PBNU Dr KH
Said Aqiel Siradj, yang menilai bahwa untuk figur calon presiden
mendatang, masyarakat mencari pemimpin yang bisa dipercaya dan bukan
sekadar yang mampu berdebat. Kemampuan seorang menjadi capres tidak
sebatas dari kemampuannya berdebat (Harian Umum Suara Merdeka, 28/4).
Kedua, apa yang anda katakan tersebut di atas, kalau masalah debat (!)
saya sependapat dengan anda, tetapi bukan debat antara calon presiden.
Itupun bukan satu-satunya forum, kalau sekedar untuk ingin mengetahui
visi seorang capres, bisa dengan jalan mengadakan seminar, wawancara
serius.
Perdebatan antara individu yang saling berkepentingan dan bahkan kalau
individu tersebut mempunyai ambisi yang menggebu-gebu yang diperdebatkan
bukan masalah bagaimana mencari solusi serius agar masyarakat Indonesia
ini keluar dari kemelut berbagai bidang sekarang ini.
Si Q, yang misalnya ambisius jadi capres, tentu akan mencari
pertanyaan-pertanyaan yang dia kuasainya betul-betul, hal itu sekedar
untuk menunjukkan kepada publik bahwa dia pinter. Atau kalau mendapat
pertanyaan yang relatif sulit, akan dia putar dengan jawaban yang
"mirip", dsb.
Ketiga, dari berita-berita yang saya terima tentang debat capres (27/4)
itu, pendapat yang anda tulis (termasuk apa yang saya kutip di atas)
tidak terjawab secara hakiki. Beberapa persoalan yang mencuat, seperti
pertanyaan yang ada hubungannya dengan merokok, atau yang lebih keren
masalah sistim parlementer dan beberapa pertanyaan lainnya - atau
tidak/belum aktuil dan cara menjawab masing-masing capres tidak bisa
disimpulkan orang itu pinter atau tidaknya. Yusril Mahendra tentu akan
lebih baik menjawab soal sistem parlementer, yang hal itu sekarang
sedang dia kumandangkan sebagai gagasannya untuk mengagantikan sistem
presidentil. Dengan adanya "baku hantam" atau saling ejek antara dua
capres, lebih menguatkan keyakinan saya bahwa debat capres tidak ada
urgensinya! Dan tidak selamanya apa yang baik dipraktekan di Amerika
Serikat, yakni debat capres itu, akan bisa diterima begitu saja di
Indonesia.
Anda mengatakan: "Kemampuan berkomunikasi bagi seorang figur publik,
apalagi seorang presiden adalah hal yang sangat mutlak dan prioritas.
Karena, hampir sebagaian besar waktu yang digunakan oleh Presiden adalah
berbicara, baik dalam rapat, pidato kenegaraan, temu wicara, dialog
dengan rakyat dst.
Hal-hal yang anda kemukakan tersebut selalu, sehari-harinya dilakukan
oleh Mbak Mega baik sebagai Ketua PDI Perjuangan, maupun sebagai
pribadi. Saya tidak usah komentar panjang mengenai hal ini, saya percaya
100% atas kemampuan Mbak Mega!
Pendapat anda yang anda tujukan kepada saya, menambah keyakinan saya.
Anda menulis: "Bung Pardi, saya salut dengan konsistensi anda dalam
membela dan menghormati Ibu Megawati yang kita ketahui bersama telah
menunjukkan ketokohannya sebagai figur yang secara berani dan konsisten
menentang orde baru".
Anda katakan: "Apa sih susahnya menghandiri acara debat tersebut? Dengan
terus menerus menghindari acara debat yang merupakan indikator kamampuan
komunikasi capres bersangkutan, maka saya kira sah-sah saja kalau banyak
kalangan terpelajar akan menganggap Ibu Mega memang kurang mempunyai
kemampuan berkomunikasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh seorang
capres".
Saya setuju sah-sah saja kalau anda atau mahasiwa atau kelompok
mahasiswa tidak percaya kalau Mba Mega tidak mempunyai kemampuan
berkomunikasi. Itu adalah hak anda dan kelompok mahasiswa yang tidak
setuju dengan beliau. Ini masalah demokrasi dan hak asasi. Tidak ada
yang memaksa anda atau kelompok mahasiswa untuk mempercayai Mbak Mega.
Tetapi apa hak seseorang itu menghujat dan mengkritik yang tidak pada
tempatnya?
Di antara kita ada perbedaan yang hakiki. Saya katakan tidak perlu debat
capres, anda katakan perlu dengan seribu alasan masing-masing! Nah,
bagaimana mencari jalan keluarnya?
Kita seyogyanya mencari jalan keluar yang lebih baik yang bisa kita
setujui bersama. Misalnya, apa yang anda kehendaki tentang agar Mbak
Mega muncul berkomunikasi dan berdebat. Dalam konteks ini, misalnya,
telah dikeluarkan jalan keluarnya oleh salah satu Ketua PDI Perjuangan
Kwik Kian Gie: "Kalau ingin menggali konsep dan program dari seorang
calon presiden, PDI Perjuangan berharap dicarikan forum yang lebih
serius. Misalnya, seorang calon presiden di wawancarai televisi secara
mendalam, kemudian disiarkan secara langsung kepada masyarakat. Hal
seperti itu telah dilakukan oleh televisi Singapura (CNBC) yang
mewawancarai Megawati mengenai program-programnya (Kompas, 28/4).
Kemudian Kwik Kian Gie menambahkan, bahwa kalau Mega dinilai menghindari
mahasiswa atau kelompok intelektual, itu tidak benar, sebab PDI
perjuangan sudah beberapa kali melakukan seminar dan mengundang kelompok
intelektual.
Bung Sakur yth.,
Saya ulangi, forum debat capres menurut pendapat saya secara
esensial/hakiki tidak sepenuhnya benar kalau dianggap sebagai forum yang
bisa secara lengkap dan jitu menentukan bahwa seorang calon presiden itu
memenuhi syarat atau tidaknya sebagai presiden nanti. Apalagi kalau yang
akan dicapai adalah untuk mengetahui visi, konsep, program seorang
capres bisa melaui seminar, misalnya. Dalam seminar kan para peserta kan
berdebat. Waktunya bisa panjang dan masalah yang dibahas lebih bisa
difokuskan kepada hal-hal yang serius atau urgent, yang ada gunanya
untuk mencari jalan keluar bagi masyarakat Indonesia yang sedang dilanda
kemelut berbagai bidang.
Jawaban saya tentu masih belum memuaskan anda.
Oleh karena itu saya siap berkomunikasi dan bekerjasama dengan anda.
Horamat saya,
A.Supardi Adiwidjaya
E-Mail:
*****************************************************
Tabloid Perspektif
No. 27/I/29 April-5 Mei 1999
Rubrik Politika
----------------------------------------------------------------------------
Mengelus Calon Presiden (Debat Capres)
Di mana seorang presiden bisa diperoleh? Di debat kandidat presiden!
Tentu saja, jawaban itu bukan untuk diartikan secara harfiah. Itu cuma
imaji yang muncul dari acara debat calon presiden yang digelar Forum
Salemba (Forsal) Universitas Indonesia, Se lasa (27/4) di Kampus UI
Salemba. Empat tokoh yang menyiapkan diri dan disiapkan masing-masing
partainya memimpin bangsa ini telah memberi wacana baru bagi demokrasi:
politik bukanlah momok.
Saling sepak dan saling jegal sah-sah saja muncul di antara calon.
Namun dari proses itu, menurut anggota panelis Eep Saefulloh Fatah, paling
tidak ada kesediaan masing-masing calon dengan rendah hati untuk datang,
menyampaikan gagasan kepada publik d an siap pula untuk "dibantai" oleh
forum. "Tapi seluruh calon capable," komentar Eep usai memandu debat itu.
Acara itu rencananya menghadirkan tujuh capres mewakili partai
masing-masing. Selain Amien Rais (Amanat Nasional), Sri Bintang Pamungkas
(Uni Demokrasi Indonesia), Didin Hafidhuddin (Keadilan) dan Yusril Ihza
Mahendra (Bulan Bintang) yang hadir, ada t iga nama lain yang dijagokan
untuk meramaikan debat. Mereka adalah Budiman Sudjatmiko (Rakyat
Demokratik), Akbar Tanjung (Golkar) dan Megawati Soekarnoputri (PDI
Perjuangan).
Sayang, Budiman tak mendapat izin Menkeh untuk sejenak keluar LP
Cipinang. Akbar sendiri menyertai Presiden BJ Habibie bertemu PM Australia
John Howard di Bali, sementara Mega enggan hadir. Alasan PDI Perjuangan,
debat kandidat presiden itu tak sesuai
budaya Timur.
Sejak awal, situasi pertarungan tampak antara Yusril dan Amien.
Barangkali emosi itu adalah kristalisasi perpecahan kedua tokoh Islam itu
tatkala hendak mendirikan parpol. Ketika itu, keduanya urung bersatu
sehingga membentuk partai sendiri.
Maka, saat memasuki sesi saat setiap kandidat berhak mempertanyakan
pernyataan atau kebijakan kandidat lain, kesempatan itu disambar Yusril
untuk menohok Amien. Yusril menyudutkan Amien soal perkataan Sekjen PAN
Faisal Basri tentang perlunya kabinet H abibie didemisionerkan. Juga,
berkenaan dengan pengertian koalisi pemerintahan dengan membagi kekuasaan
di kabinet menurut versi PAN.
Amien yang datang sekitar setengah jam lebih lambat dari jadwal semula
mencoba mempermainkan emosi Yusril. "Saya kira pertanyaannya berat, tapi
ternyata enteng sekali," ujar Amien sambil tersenyum. Toh penjelasan Amien
mengenai koalisi kekuasaan yang ia maksudkan, tak memuaskan Yusril. Pakar
hukum tata negara yang memilih hengkang dari UI karena berpolitik praktis
itu memaparkan teori-teori tata negara mengenai koalisi.
Suhu debat memanas ketika Yusril menyengat dengan pertanyaan,
"Bagaimana mungkin seorang kandidat seperti Anda tidak tahu sejarah tata
negara kita?" Menyadari situasi yang membahayakan dirinya, Amien membalas,
"Wah, suhunya sudah mulai arogan. Yusril ini sebenarnya adik saya jauh,
bahkan saya tahu Yusril ngomong bahasa Inggris saja belum lancar," tandas
Amien sambil mempertahankan senyum di wajahnya. Lantas, perdebatan beralih
ke saling tuding siapa lebih arogan dari siapa.
Melihat gelagat yang tidak baik itu, Didin berusaha mendinginkan
suasana dengan menyatakan agar para kandidat tetap menjaga kebersamaan dan
tidak menganggap lawan bicaranya sebagai musuh. Yusril pun meminta maaf
kepada Amien, dan Amien menerangkan bah wa kendati bersuara keras, mereka
masih dalam koridor kesamaan tujuan.
Toh saling sodok antara panelis dan kandidat tetap seru. Misalnya,
tudingan kecenderungan untuk tampil tunggal (one man show) dari Eep kepada
Sri Bintang. PUDI dikatakannya identik dengan Bintang, karena ia anggota
KPU, calon legislatif, ketua umum DP P sekaligus calon presiden.
"Bagaimana PUDI akan mengubah sistem kalau Anda hanya berjalan sendirian?
Bukankah ini menimbulkan kediktatoran yang justru sangat Anda benci?"
tandas Eep.
Ada pula pertanyaan dari mahasiswa kedokteran UI lewat panelis Imam
Prasodjo kepada Yusril, yakni, "Bagaimana kalau Anda jadi presiden dan
diminta melakukan kampanye anti merokok demi kesehatan?" Sayang, Yusril
terpancing. Semua tahu, bekas asisten me nsesneg ini tergolong perokok
berat. Dengan pembawaan khasnya yang meledak-ledak, Yusril menandaskan
kalau seorang calon presiden dijegal karena ia seorang perokok, "Demokrasi
macam apa yang kita terapkan?" tandasnya. "Apakah tak ada pertanyaan dari
mahas iswa kedokteran yang lebih bermutu dari itu?" Aula debat pun
diwarnai sorakan riuh.
Amien juga tak luput dari pertanyaan yang menyerempet eksistensinya
sebagai kawulo Ngayogyakarta sekaligus politisi yang anti feodalisme.
"Bung Amien menentang feodalisme Soeharto, tapi mengapa tak pernah
terdengar menentang feodalisme Sultan di Yogya karta?" tanya Eep.
Seperti tak ingin kalah kocak Amien menegaskan, feodalisme di
Yogyakarta hanya anak cabang dari feodalisme di pusat. "Saya ingin
mengikis feodalisme yang di pusat dulu, nanti feodalisme di daerah bisa
disikat ramai-ramai," ujarnya disambut tepuk tanga n meriah.
Secara umum, debat kandidat ini terbilang sukses dari segi
penyelenggaraan, kendati masih banyak yang perlu disempurnakan seperti
tata cara debat, materi dan kualitas tim panelis. Amien tampil lumayan,
Bintang bergaya rasional, Yusril tegar sedangkan Didin cenderung bermain
sebagai solidarity maker.
Ada harapan, debat semacam ini dikembangkan oleh institusi lain yang
dinilai lebih netral dan dapat dipercaya. "Saya mendengar beberapa
kandidat tidak datang karena menganggap Forsal dianggap kurang kompeten
dalam menyelenggarakan acara debat ini," ta nggap Presidium Forsal,
Berlian Idriansyah. Bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 1995 ini,
dengan begitu, setidaknya dapat terekam di benak masyarakat soal karakter
calon pemimpin mereka saat ini.
Forum serupa sebelumnya digelar Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Bandung,
22-23 April lalu. Bentuknya dengar pendapat, dihadiri Amien Rais, Ahmad
Sumargono (PBB), Didin Hafidhuddin, Bintang Pamungkas, Ida Nasim (PRD) dan
Deliar Noer (PUI). Karena berbentuk
dengar pendapat, kandidat hanya berhadapan dengan peserta, bukan dengan
capres lain. Merasa kurang puas, Presiden KM ITB Vijaya Fitriyasa berjanji
menggelar debat kedua Mei mendatang. "Dijamin lebih seru," tegasnya.
Apapun, banyak pihak yang menunggu-nunggu penampilan Mega. Animo ini
setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, Mega dianggap calon pemimpin yang
setara dan ditunggu-tunggu khalayaknya, dan kedua, ada keraguan masyarakat
akan kapasitasnya sepanjang ia m asih menyembunyikan diri.
Menanti Mega
Vijaya pun sempat dibuat uring-uringan, karena sedari awal panitia KM
ITB bermaksud membikin format debat. Perubahan terjadi semata-mata
diniatkan untuk mengantisipasi kehadiran Mega. Toh Mega tak kunjung hadir.
"Ini mengecewakan," ujar Vijaya.
Bagaimanapun, debat capres tak cuma mengukur tingginya kadar
intelektualitas dan adu konsep. Diperkirakan ada korelasi yang kuat antara
suara pemilih dan kehadiran seorang capres di acara debat, apalagi dengan
kepastian terpilihnya mereka menggantikan
Habibie nanti. Namun setidaknya, debat macam begini diperlukan untuk
menyejukkan tensi politik yang belakangan lebih banyak diwarnai darah,
kekerasan dan kebencian.
******************************************************
Related News
[ Home | Related News | Related News | Related News ]
[ Related News ]
|
|
|