Megawati
Chairwoman
DPP PDI
(Perjuangan)
Jl. Diponegoro 58
Jakarta

| 'Berita -1' | 'Berita -2' | 'Berita -3' | 'Berita -4' | 'Berita -5' | 'Berita -6' | 'Berita -7' |



SOEHARTO DIDUGA ADA DI BALIK PERGANTIAN JAKSA AGUNG

JAKARTA (SiaR, 16/6/98), Presiden BJ Habibie memecat Jaksa Agung,
Soedjono Chanafiah Atmonegoro, Senin (15/6) kemarin. Tak disebutkan apa
alasan pemecatan itu, namun ada dugaan kuat, dipecatnya Atmonegoro karena
keputusannya untuk mengusut harta kekayaan Soeharto dan harta para pejabat
lainnya.

Sebagai pengganti Atmonegoro ditunjuk Mayor Jendral Andi Mohammad
Ghalib, Kepala badan pembinaan Hukum ABRI/Oditur Jendral ABRI. Menteri
Sekretariat Negara, Akbar Tanjung pun, yang mengumumkan penggantian itu, tak
bersedia mengatakan apa alasan dipecatnya Atmonegoro.

Tindakan yang diambil Kejaksaan Agung membentuk tim pengusutan harta
kekayaan Soeharto menurut sumber SiaR berlawanan dengan niat ABRI untuk
melindungi Soeharto. Tindakan Atmonegoro lainnya yang tak disukai ABRI
adalah mengusulkan pembebasan tapol lebih banyak lagi, independensi
Kejaksaan Agung dan pemisahan kepolisian dari ABRI.

Soeharto sendiri yang masih berpengaruh di kalangan ABRI, terutama
Pangab Jendral Wiranto, tak menyukai Atmonegoro yang pernah menolak
perintahnya. Atmonegoro menolak perintah Soeharto sebelum presiden 32 tahun
itu mengundurkan diri, untuk menangkap Amien Rais. Atmonegoro waktu itu
mempertanyakan alasan hukum penangkapan Amien Rais.

Pemecatan Atmonegoro mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan
spekulasi bahwa pengaruh Soeharto masih sangat kuat dalam
kebijakan-kebijakan ABRI dan pemerintahan Habibie.

Tanda-tanda pengaruh kuat Soeharto sebenarnya sudah muncul ketika
Wiranto akan mencopot Letjen Prabowo dari jabatan Pangskostrad. Untuk
pencopotan itu, Wiranto harus meminta ijin Soeharto yang ketika itu baru
beberapa hari mundur dari jabatannya.

"Bahkan Eddy Soedradjat pun datang ketika Soeharto memanggilnya ke
Cendana untuk urusan Golkar," kata sebuah sumber.***

*************************************************
PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA

Oleh: Alam Puteri

Setelah Soeharto berhasil diturunkan dari kedudukannya sebagai
Presiden, maka Pasal 28 UUD 1945 kembali dihidupkan. Pasal 28 tersebut
berbunyi, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya diatur dengan undang-undang". Hal
itu terbayang dari suara-suara untuk melahirkan partai-partai politik,
baik dari kalangan nasionalis, agama maupun kalangan pekerja. Ditambah
pula dengan sikap Junus Yosfiah, Menteri Penerangan yang mencabut
Permenpen No 01/1984 dan memberi kebebasan kepada wartawan untuk memasuki
salah satu organisasi wartawan, yang sesuai dengan hati nuraninya.

Memang ada yang memperkirakan bahwa kemerdekaan untuk mendirikan
organisasi, bersidang dan berkumpul, mengeluarkan buah pikiran dengan
lisan dan tulisan semacam konsesi sementara dari Habibie untuk mencapai
popularitas. Sebab, jika Habibie terang-terangan menolak diberlakukannya
Pasal 28 UUD 1945 akan mencolok benar bagi umum, bahwa Habibie dalam
berpolitik merupakan foto-kopi dari Soeharto. Tentu desakan agar dia
segera turun, akan makin gencar.

Pada 1998 ini, usia Pasal 28 UUD 1945 itu telah memasuki 53 tahun.
Satu usia yang cukup panjang. Dalam masa 53 tahun itu, pasal 28 UUD 1945
pernah mengenal masa revolusi fisik ( 1945-1950); masa Demokrasi
Parlementer ( 1950-5 Juli 1959); masa Demokrasi Terpimpin ( 1959 -1965),
masa Demokrasi Pancasila (1966 - 1998) dan masa Kabinet Reformasi.

Perjalanan Pasal 28 UUD 1945 adalah mengenal pasang dan surutnya,
sejalan dengan pasang dan surutnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Mari
lah kita ikuti perjalanan Pasal 28 UUD 1945 tersebut dan dari mana ia
berasal?

ASAL-USUL PASAL 28 UUD 1945

Penulis sangat terbantu dengan tulisan Sutan Ali Asli yang
berjudul: Sedikit lagi tentang Pasal 28 UUD 1945" (Merdeka, 8/7/95).
Menurut Sutan Ali Asli berdasar riwayatnya, konon Pasal 28 ini datangnya
dari Bung Hatta. Ide ini tanpa rumusan konkrit. Karenanya oleh Soepomo
diminta rumusan tersebut pada Bung Hatta. Konsep asli dari Bung Hatta
berbunyi, " Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan,
hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam
Undang-Undang."

Komentar Soepomo atas rumusan Hatta itu, "Kalau begini bunyinya,
sebetulnya menyatakan ada pertentangan antara rakyat dengan negara. Tapi
yang dimaksud oleh tuan Hatta sebetulnya, supaya pemerintah membuat UU
tentang hal itu dan sudah tentu hukum yang menetapkan hak bersidang itu
tidaklah nanti ada UU yang melarangnya."

Rumusan Bung Hatta itu sama sekali tidak menyebut "kemerdekaan".
Hanya berbicara soal hak yang diakui oleh negara dan ditentukan oleh UU.
Rumusan Bung Hatta itu diperbaiki oleh panitia, dengan menangkap esensi
pikiran yang dikehendaki oleh Bung Hatta, yaitu kemerdekaan. Rumusan
Panitia kemudian berbunyi, "Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk
untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dll diatur dengan UU." Dalam rumusan ini kemerdekaan disebutkan.

Rumusan panitia itu tidak segera diterima, mengalami perdebatan
lagi. Setelah kata dan lain-lain, diganti dengan dan sebagainya.
Rancangan itu diterima dan ditempatkan pada Pasal 27 sebagai Ayat 3.

Namun persoalannya belum selesai. Pada rapat-rapat hari terakhir
berdasarkan usul Tan Eng Hoa, ayat 3 itu dilepas dari Pasal 27, ditetapkan
menjadi Pasal 28. Sedang redaksinya mengalami perobahan atas usul
Djayadiningrat, hingga jadi pasal yang bunyinya yang kita warisi sekarang.

Demikian lah sekelumit tentang asal-usul Pasal 28 UUD 1945
tersebut. Sekarang mari kita masuki masa dipraktekannya.

DI MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950)

Tak berapa lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
diumumkan, Presiden Soekarno mengemukakan idenya untuk membentuk sebuah
Partai Nasional. Sebelum ide Presiden Soekarno diwujudkan, maka pada 3
November 1945 keluar "Maklumat Pemerintah" tentang Partai Politik. Isinya
anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.

Dalam maklumat pemerintah itu disebutkan "Berhubung dengan usul
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan
kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai
politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat
perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan
masyarakat.=20

Pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa
waktu yang lalu, bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik, karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan
yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Selain itu,
pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan rakyat pada Januari
1946.

Maklumat pemerintah ini ditandatangani oleh Wakil Presiden
Mohahmad Hatta, Anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai
politik ini adalah mengamalkan Pasal 28 UUD 1945.=20

Sesudah imbauan pemerintah ini maka bermunculan lah partai-partai
politik di tanah air, yang kemudian dikenal dengan nama Masyumi, PNI,
Partai sosialis, Partai Buruh Indonesia, PKI, Parkindo, PKRI, PSII, PIR,
partai Murba. Sebagai catatan perlu dikemukakan PKI sendiri, sebelum
Maklumat Pemerintah dikeluarkan pada 21 Oktober 1947 telah muncul ke
permukaan. Partai-partai yang lahir dalam suasana perang kemerdekaan
tersebut, mandiri, mereka hidup dari anggotanya. Umumnya partai-partai
ketika itu mempunyai Badan Usaha sendiri guna membiayai organisasinya.
Selain daripada itu, di antara partai-partai itu ada yang mempunyai
badan-badan kelaskaran seperti Ikayumi dengan Hizbullahnya, PKI dengan
Lasykar Merah-nya.

Pada 1946 berdiri organisasi Persatuan Perjuangan (PP) di bawah
pimpinan Tan Malaka. PP terkenal dengan minimum programnya, yaitu
"Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%". Mereka menolak kompromi yang
dilakukan PM Syahrir, karena dianggapnya tak sesuai dengan isi minimum
programnya.

Pada 26 Juni 1946 PM Syahrir diculik di Solo oleh kelompok militer
di bawah pimpinan Soedarsono, Komandan Divisi III, di dalamnya termasuk
Komandan Militer Surakarta, Soeharto dan Komandan Batalyon Abdul Kadir
Yusuf. Pada tanggal 1 Juli 1946, 14 orang para pemimpin sipil dari
kelompok tersebut ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Di
antara yang ditangkap tersebut ialah Chaerul Saleh. Adam Malik, Buntaran
Budhiarto dan Moh Saleh. Yamin dan Iwakusuma Sumantri sempat lolos.

Pada 2 Juli 1946 para pemimpin sipil yang ditangkap itu dibebaskan
dari penjara Wirogunan oleh pasukan Soedarsono dan dibawa ke markas
Resimen Soeharto di Wijoro. Malam itu juga mereka siapkan surat-surat yang
akan dipaksakan ditanda-tangani Presiden Soekarno besok paginya. Isinya
memberhentikan Kabinet Syahrir. Besok paginya, rombongan Suedarsono
berangkat ke Istana. Soedarsono gagal memaksa Presiden Soekarno, malah ia
ditangkap. Itulah yang dikenal kudeta 3 Juli 1946 yang gagal di
Yogyakarta.

Sungguh pun begitu jelasnya tersangkutnya tokoh-tokoh PP dalam
penculikan PM Syahrir dan kudeta 5 Juli, namun pemerintah tidak sampai
membubarkan PP.

Pada Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta, di antara programnya
melakukan rasionalisasi ketentaraan. Hendak membentuk tentara yang
profesional. Awal September 1948 terjadi penculikan dua orang kader PKI-di
Solo, kemudian diculik pula sementara perwira Panembahan Senopali. Sedang
Komandan Divisinya, Butarto yang anti rasionalisasi telah dibunuh secara
gelap sebelumnya. Meletuslah pertempuran di Solo. Xemudian berkembang ke=
Madiun.

Peristiwa Madiun ini oleh Pemerintah Hatta dikatakan
pemberontakan= PKI, sedang oleh pihak PKI dikatakan provokasi Hatta untuk
melaksanakan red drive proposal dari Amerika. Sebab, ketika itu PKI sedang
menyiapkan Kongres fusi antara PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh. Yang
direncanakan akan dilangsungkan pada 5 Oktober 1948.

Betapa dangkalnya alasan tuduhan Hatta tersebut dapat diketahui=
melalui pidatonya di sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948
untuk "pemberian kekuasaan penuh" pada Presiden Soekarno, guna menumpas
apa yang dikatakan pemberontakan PKI tersebut. Ini lah antara lain yang
dikatakan Hatta, "Tersiar pula berita - entah benar entah tidak - bahwa
Muso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr Amir Syarifuddin
perdana menterinya."(Mohammad Hatta kumpulan pidato 1942-1949, pen.Yayasan
Idayufi 1981, hal: 264).

Satu kenyataan yang tak dapat disangkal, meski pun telah terjadi
peristiwa Madiun, hak hidup PKI tetap terjamin. Ini menunjukkan
berperannya Pasal 28 UUD 1945.

DI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER ( 1950-1959)

Konferensi Meja Sunder yang berlangsung di Den Haag pada 1949, =20
telah berhasil melahirkan Republik Indonesia Serikat(RIS). RIS ini tidak
berumur lama. RI Kesatuan segera terbentuk, dengan UUD 1950. Mukadimah UUD
1950 ini praktis mengoper Mukaddimah UUD 1945.=20 Menurut Drs AK
Pringgodigdo SH dalam "Kata Pengantar" dari tiga UUD, yang diterbitkan
oleh PT Pembangoenan, Jakarta, 1966, dikatakan bahwa: "Jika dilihat dari
sudut sejarah, maka UUD 1950 ini telah merupakan suatu perbaikan dari pada
dua UUD yang berlaku lebih dulu" (UUD 1945 dan UUD 1949 RIS -pen).

Bab I dan pasal 1 dari UUD 1950 ini dengan jelas menyatakan bahwa RI
yang merdeka dan demokratis ini ialah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan. Kedaulatan rakyat RI adalah di tangan rakyat dan
dilakukan oleh pemerintahan bersama-sama DPR.

Mengenai kemerdekaan berorganisasi, bersidang dan berkumpul, serta
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, seperti yang terdapat
dalam Pasal 28 UU3 1945, maka dalam UUD 1950 ini ditampung dalam dua
pasal, yaitu Pasal 19 dan Pasal 21.

Pasal 19 berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 21 berbunyi: "Hak penduduk atas
kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan UUD".

Dengan UUD 1950 ini, partai-partai yang terdapat dalam masa
revolusi fisik, juga dapat terus berjalan. Menurut buku "Kepartaian dan
Parlementaria Indonesia" yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun
1954, partai-par- tai yang ada ketika itu, pertama, ialah yang berdasarkan
kebangsaan. Antara lain PNI, Harindra, Partai Tani Indonesia,
Permai(Partai Persatuan RaLcyat Harhaen Indonesia), Partai Serikat
Kerakyatan lndonesia (SlCI), Partai Wanita Rakyat, Partai Kedaulatan
Rakyat (PKR), Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR), Partai Kebangsaan
lndonesia (Parki), Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM), Partai Rakyat
Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN) dan Partai Republik.

Yang ke dua adalah yang berdasar pada keagamaan. Antara lain PSII,
Partai Katolik, Partai NU, Partai Politik Islam Perti (Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah), Masyumi dan Parlindo.

Yang ke tiga adalah yang berdasarkan sosialisme, yaitu PKI, PSI,
Partai Murba dan Partai Buruh.

Pada 17 Oktober 1952 Jenderal Nasution menghadapkan moncong meriam
ke Istana Merdeka, untuk memaksa Presiden Soekarno membubarkan Parlemen,
di mana partai-partai memainkan peranan yang penting di lembaga parlemen
tersebut. Aksi ini juga ditunjang oleh demonstrasi massa di bawah pimpinan
Dr Mustopo yang PSI. Presiden Soekarno dengan tegas menolak tuntutan
Jenderal Nasution tersebut, Bung Karno tak mau jadi diktator.

Meski pun Peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal itu didukung oleh=
PSI, melalui Dr Mustopo, namun PS1 juga tidak dibubarkan oleh Presiden
Soekarno. Hanya jabatan KASAD dicabut dari Jenderal Nasution.

Dengan UUD 1950 ini berlangsung kah pemilihan umum yang
demokratis= pada tahun 1955. Pemilu untuk memilih an=9Cgota-anggota DPR
dan Konstituante.= Hasil pemilu untuk DPR menunjukkan adanya 4 besar di
Indonesia yaitu PNI, Masyumi,= =20 NU dan PKI. Pada tahun 1957
diselenggarakan pemilu untuk DPRD-DPRD dan= hasil- nya suara yang terbesar
di Jawa didapat oleh PKI.

Sidang Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD yang baru bagi
RI. Karena masing-masing pihak, baik pihak yang menghendaki negara
berdasarkan Islam maupun yang menghendaki berdasarkan Pancasila sama-sama
tak bisa memperoleh 2/3 suara, sebagai syarat untuk bisa ditetapkannya
sebagai kepu tusan.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya "Islam dan masalah
kenegaraan", yang terbit 1985 mengatakan "Dalam menolak Pancasila dan
mempertahankan Islam sebagai dasar negara, partai-partai Islam bersatu,
sebagaimana telah disebut kan di muka."(hal: 145)

Jadi, jelas partai-partai Islam menolak Pancasila dalam=
Konstituante. Kegagalan Konstituante menetapkan dasar-dasar negara ini
menyebabkan Presiden Soekarno, atas dorongan Jenderal Nasution,
mendekritkan kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Konspirasi terdapat
antara Presiden Soekarno dan Jenderal Nasution karena sama-sama
berkepentingan kembalinya ke UUD 1945. Bagi Presiden Soekarno dengan
kembali ke UUD 1945 terbuka baginya untuk lebih berkuasa, sedang bagi
Nasution terbuka pintu bagi ABRI masuk dalam kekuasaan, yang sudah
dicita-citakannya sejak Peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal itu.

(Bersambung)

*************************************************
PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA:

DI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1965)

Segera setelah Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945,
maka ia membubarkan DPR hasil pemilihan umum yang demokratis di tahun 1955
itu. Dengan demikian apa yang ditolak oleh Presiden Soekarno, sewaktu
moncong meriam dihadapkan ke Istana Merdeka 17 Oktober 1952, kini
dijalankan sendiri oleh Presiden Soekarno. Itu adalah tindakan yang berbau
tidak demokratis pertama yang dilakukan Presiden Soekarno setelah kembali
ke UUD 1945.

Kemudian Presiden Soekarno membentuk DPRGR dengan mengangkat
anggota- anggotanya dari partai-partai yang ada dan dari
golongan-golongan, termasuk dari pihak A3RI. Padahal menurut UUD 1945,
ABRI tidak termasuk dalam kategori golongan yang dimaksud UUD untuk
diangkat dalam lembaga legislatif.

Yang dimaksud golongan ialah Serikat Sekerja, koperasi dan badan
kolektif lainnya. Ini merupakan penyimpangan ke dua dari Bung Karno
setelah kembali ke UUD 1945. Tampaknya itu untuk memenuhi kehendak
Jenderal Nasution. Di masa Demokrasi Terpimpin ini Presiden Soekarno
terus mempertahankan prinsip persatuan berdasarkan Nasakom. Presiden
Soekarno mengusahakan supaya persatuan Nasakom itu bisa dijabarkan dalam
semua kehidupan. Seterusnya pada pidato 17 Agustus 1959 lahir Manifes
Politik atau disingkat Manipol. Memperingati setahun Manipol ini, Ketua
CCPKI Aidit mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengemukakan telah
lahirnya kapitalisme birokrat di- bumi Indonesia. Kapitalisme birokrat ini
ialah orang-orang yang menggunakan birokrasi negara dan menjadi kapitalis.

Tampaknya pihak militer tersinggung dengan pernyataan Aidit itu.
Menurut pihak militer, hal itu adalah penilaian sepihak. Karena itu Aidit
diperiksa oleh Kodam Y Jaya. Penyelesaian soal juga memakan beberapa waktu
lamanya. Dengan adanya panggilan semacam itu, menunjukkan Pasal 28 UUD
1945 mulai dikebiri oleh pihak militer yang berkuasa. Tak ada lagi
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan.

Di masa Demokrasi Terpimpin ini lah meletusnya pemberontakan
militer yang dipimpin oleh para tokoh Masyumi dan PSI. Pemberontakan itu
terkenal dengan nama PRRI/Permesta.

Oleh karena Partai Masyumi dan PSI tidak mau mengutuk
pemberonbakan PRRI/Permesta tersebut, maka kedua partai tersebut
dibubarkan dan dilarang berdirinya. Pemberontakan PRRI/Permesta ini dapat
dikalahkan pemerintah Sesuai dengan politik Jenderal Nasutions yang ketika
itu menjadi Menteri Pertahanan merangkap Penguasa Perang Pusat, maka sikap
terhadap kaum pemberontak hanya diserukan supaya "kembali ke pangkuan ibu
pertiwi". Artinya, semua pemberontak tidak diganjar hukuman, termasuk
yang bertanggungjawab atas penyembelihan besar-besaran terhadap kader PKI
di Sumatera barat. Selain itu semua, kecuali sejumlah perwira penting
dipensiunkan, diterima kembali ke dalam TNI. Para pemberontak juga diberi
uang "kembali ke pangkuan ibu pertiwi". Sejumlah tokoh utama dan para
perwira penting yang dipensiunkan diberi modal Kerja. (MR Siregar,
"Tragedi Manusia dan Kemanusiaan", Amsterdam, 1993, hal 61-62).

Di masa Demokrasi Terpimpin ini pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 tidak se
perti di masa revolusi fisik. Ketika itu tidak diwajibkan partai-partai
untuk mencantumkam Pancasila dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
tangganya. Pada masa Demokrasi Terpimpin itu dijadikan keharusan .

DI MASA DEMOKRASI PANCASILA (1966 - Maret 1998)

Di masa Demokrasi Pancasila Soeharto, Pasal 28 UUD 1945 sejak awal
telah dilumpuhkan. Tak ada lagi kebebasan bagi warga negara untuk beror-
ganisasi, bersidang dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan
tulisan. Malah di pedesaan diberlakukan konsep massa mengambang
(depolitisasi). Partai yang boleh berdiri hanya yang akan menjadi
perpanjangan tangan penguasa. Demikian pula organisasi massa yang akan
menjadi perpanjangan ta- ngan penguasa di bidang yang bersangkutan.
Misalnya di kalangan buruh yang boleh berdiri hanya SPSI; di bidang pemuda
yang boleh hanya KNPI; di bidang wartawan yang boleh hanya PWI dan
sebaginya.

Juga kebebasan mengeluarkan pendapat dikungkung benar. Bila ada
yang berani melancarkan kritik pada penguasa, bisa dituduh menghina kepala
ne- nagara dan penjara tantangannya. Malah dalam kampanye Pemilu
saja,jurukam- penye tidak diperkenankan mengkritik kebijakan pemerintah
yang anti-rakyat. Rakyat disuruh menerima apa saja yang diingini
pemerintah.

Agar Soeharto dapat berbicara bahwa segala tindakan yang
dilakukannya Adalah konstitusional, sesuai dengan UUD 1945, maka
diciptakannya Konsensus Nasional pada 1967 yang melumpuhkan UUD 1945.
Konsensus Nasional tersebut diimplementasikan dalam lima UU politik Tahun
1985 yang menjamin dia tetap berkuasa selama ia mau.

Benar lah apa vang dikatakan Penjelasan UUD 1945 bahwa yang sangat
penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya negara, adalah semangat para
penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskip un
dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila
semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu
bersifat perseorangan, UUD itu tentu tidak ada artinya dalam praktek.
Sebaliknya meski pun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat
para penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak akan merintangi
jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat.

Ya, karena semangac penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan
Demok- rasi Pancasila adalah fasis, maka jalannya UUD yang baik, Pasal 28
yang de mokratis, menjadi tidak demokratis, menjadi tidak baik.

Sekadar perbandingan antara sikap Presiden Soekarno dengan Demokrasi
Terpimpinnya terhadap kaum pemberontak PRRI/Permesta, dengan sikap
Jenderal Soeharto dengan Demokrasi Pancasilanya terhadap G30S bisa
dikemukakan antara lain bila dalam Demokrasi Terpimpin, yang dipimpin
Presiden Soekarno meski pun PRRI/Permesta terang-terangan melakukan
pemberontakan, toh tidak ada satu orang pun kaum pemberontak yang
dijatuhkan hukuman. Mereka semua diberi "uang" kembali ke pangkuan ibu
pertiwi.

Sedang sikap terhadap G30S dari Jenderal Soeuharto, pemimpin
Demokrasi Pancasila bertentangan seperti siang dengan malam, dengan sikap
Presiden Soekarno. Ini lah yang dikatakan Manai Sophiaan, "Ratusan ribu
orang yang pernah ditahan karena kasus (G30S -pen) direnggut dengan
"Instruksi Menteri Dalam Negeri No 32/1981", di mana ditetapkan banyak
ketentuan yang harus ditaati. Untuk menyebutkan sebagian kecil saja
daripadanya, antara lain adalah

1. Keharusan mencantumkan kode ET (Eks tapol) pada KTP. Pencantuman kode
ET ini mengakibatkan dihambatnya yang bersangkutan dalam mencari
pekerjaan
dan semua pasar kerJa akan takut menerimanya.

2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru,
wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dsb yang tidak diperinci,
sehingga sangat elastis.

3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin
menimbulkan kerawanan di bidang sosial politik, sosial ekonomi, sosial
budaya dan Kamtibmas.

4. Untuk bepergian dalam negeri meninlrgalkan kelurahan/desa tempat domisilinya
lebih dari 7 hari, harus dengan ijin khusus. Warganegara biasa tidak
memerlukan perijinan itu.

5. Untuk beperpergian ke luar negeri atau melakukan ibadah haji, harus
mempunyai kondite baik dan ada jaminan tertulis dari seseorang/instasi yang
dapat dipertanggungjawabkan bahwa yang bersangkutan akan kembali ke daerah
domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas
setempat.

Padahal mantan tapol G3OS PKI ini puluhan ribu ditahan belasan tahun
tanpa proses hukum, karena tak terbukti keterlibatannya dalam G30S. Mereka
dianggap terlibat tidak langsung karena menjadi anggota dan simpatisan PKI.
Padahal keanggotaan mereku dalam PKI adalah legal, sah, ketika peristiwa
itu terjadi.

Sedang sesungguhnya G30S itu tak akan terjadi, bila Jenderal Soeharto
tidak membiarkan Kkolonel Latief melancarkan operasinya di pagi hari 1 Oktober
1965, setelah Kolonel Latief melaporkan akan melancarkan operasi tersebut. Jadi,
meletusnya G30S adalah karena kepentingan Soeharto untuk menjadi orang
pertama di Indonesia.

DI MASA KEBINET REFORMASI (Mulai Mei 1998 - ...)

Setelah Demokrasi Pancasila Soeharto ditumbangkan, maka Pasal 28 UUD
1945 secara berangsur-angsur mulai diberlakukan. Telah diijinkan membikin
persiapan lahirnya partai-partai politik, begitu pula kebebasan mengeluarkan
pendapat dengan lisan dan tulisan mulai diakui dan itu tercermin dari ijin
yang diberikan kepada wartawan oleh Junus Yosfiah selaku Menteri Penerangan.
Akan tetapi mereka tetap melarang berdirinya PKI, padahal larangan ter-
hadap PKI di tahun l966 itu adalah tidak sah. Baik dilihat dari UUD 1945,
maupun dilihat dari pernyataan Presiden Soekarno yang tidak mengakui pelerang-
an atau pembubaran PKI oleh Jenderal Soeharto, dengan memanipulasi Supersemar
sebagai pelimpahan kekuasaan. Supersemar adalah "surat perintah", bukan
"pelimpahan kekuasaan".

Jadi, sikaP Kabinet Reformasi terhadap PKI, masih sama dengan sikap
Demokrasi Pancasila Soeharto yang telah ditumbangkan itu. Kabinet Reformasi
bukannya melaksanakan Pasal 28 UUD 1945 secara murni dan konsekuen, malah
mengkhianatinya.

KESIMPULAN

Pasal 28 UUD l945 tidak akan berjalan sebagaimana semestinya, jika
penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan tidak demokratis, melainkan
bersemangat fasis. Karena itu wajar saja bila Pasal 28 UUD 1945 tidak berjalan
sebagaimana mestinya, sebab sejak awal berkuasanya, Pasal 28 itu telah
dilumpuhkan oleh Soeharto melalui Konsensus Nasional. Kefasisan Soeharto
tak diragukar lagi, telah sesuai dengan definisi fasisme yang disusun Setneg,
dan dimuatkan dalam buku "G30S Pemberontakan".

Sebab bila Pasal 28 UUD tidak dilumpuhkannya, Soeharto tak akan
dapat berkuasa lama, apalagi 32 tahun. Ia segera akan dijatuhkan rakyat.
Kebusukannya akan tersiar luas di media massa, baik tentang
kemunafikannya, tentang kemanipulatorannya, tentang keotoriterannya maupun
keserakahannya. Dengan telah dilumpuhkannya Pasal 28 UUD 1945, maka
leluasa lah Soeharto selama 32 tadun atas nama konstitusi berbuat sesuka
hatinya. MPR/DPR sebagai lembaga tinggi negara dihinanya melalui 60%
anggota yang diangkatnya, bukan dipilih melalui Pemilu. Calon-calon
anggota MPR/DPh dilitsusnya, dibekali dengan tidak boleh ini dan itu.
Praktis mereka diteror oleh klik yang berkuasa agar taat dan tunduk, agar
semua diterima secara aklamasi dan bertepuk tangan serentak seperti
kurcaci.

Malah Pasal 33 UUD 1945 yang mengatakan "perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan" ditafsirkannya sebagai
usaha persekongkoian berdasarkan nepotisme dan koncoisme.

Karena itu apabila Kabinet Reformasi BJ Habibie masih melanjutkan
politik Soeharto yang tidak konstitusional dari, barangkali juga perlu
untuk direformasi, hingga terbentuk kabinet yang benar-benar demokratis,
kabinet yang secara murni dan konsekuen melaksanakan UUD 1945, termasuk
Pasal 28-nya. Kabinet Reformasi harus bisa mereformasi Orde Soeharto
secara total.***

*************************************************

Kabar dari PIJAR


NERACA HAK ASASI

Diterbitkan oleh Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan
Jl. Salemba Raya No. 49, Jakarta pusat 10440
Telpon. 62-21-3925285 Faksimili : 62-21-3917760
Email : [email protected]
==================================

Pengantar redaksi:
Berikut kami sajikan UU No.5/PNPS/1963 ttg Kegiatan Politik. UU ini 
sekarang sedang digunakan untuk menjerat para aktivis pro demokrasi 
Indonesia yang melakukan aktivitas politik. Seperti diketahui bahwa UU ini 
dibuat oleh rezim Soekarno untuk mempertahankan sistem Demokrasi Terpimpin. 
UU ini kami tulis ulang sesuai dengan aslinya (termasuk penggunaan ejaan 
lama).

**********************************


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No. 28, 1963. POLITIK KEGIATAN. Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 5 
tahun 1963, tentang Kegiatan Politik (Pendjelasan dalam Tambahan-Negara 
tahun 1963 No. 2544).


Presiden Republik Indonesia

Menimbang: bahwa untuk mengamankan djalannja Revolusi Indonesia dalam me  
nudju susunan masjarakat jang adil dan makmur, perlu adanja bimbingan 
terhadap kebebasan demokrasi dalam keadaan Tertib Sipil sesuai dengan 
ketentuan dalam RESOPIM tentang Keamanan dan Kegiatan Politik dan 
ketentuan-ketentuan dalam ketetapan M.P.R.S. No.I/MPRS/1960 tentang 
Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai garis-garis besar daripada 
Haluan Negara;

Menimbang: bahwa peraturan ini adalah dalam rangka penjelesaian Revolusi, 
sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden;

M e m u t u s k a n  :

Menetapkan:
Penetapan Presiden tentang Kegiatan Politik.

Pasal 1

(1)  Jang dimaksud dengan Kegiatan Politik dalam Penetapan Presiden ini, 
ialah kegiatan-kegiatan jang langsung atau tidak langsung dapat 
mempengaruhi Dasar dan Haluan Negara serta pelaksanaannya.
(2)  Kegiatan Politik jang dilakukan oleh badan-badan jang dibentuk oleh 
Pemerintah tidak diatur oleh penetapan ini.

Pasal 2

Kegiatan Politik tersebut dalam pasal 1 harus:
(1)  Ditudjukan kepada pelaksanaan usaha-usaha pokok revolusi.
(2)  Dalam batas-batas Demokrasi Terpimpin dan Resopim
(3)  Tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.

Pasal 3

Barangsiapa akan mengadakan Kegiatan Politik jang berupa 
rapat-rapat/pertemuan-pertemuan atau demonstrasi-demonstrasi, diwadjibkan 
dalam waktu tiga kali dua puluh empat djam sebelumnja memberikan hal itu 
kepada Kantor Polisi setempat dan Pengurus Front Nasional setempat disertai 
dengan keterangan-keterangan sedjelas-djelasnya tentang tudjuan, sifat dan 
tjara pelaksanaannja.

Pasal 4

Para pengikut rapat umum dan demonstrasi politik dilarang membawa segala 
matjam bentuk sendjata dan/atau alat peledak.

Pasal 5

Barangsiapa melakukan Kegiatan Politik dengan tjara rapat-rapat, 
pertemuan-pertemuan, demonstrasi-demonstrasi, melakukan pentjetakan, 
penerbitan, pengumuman, penjampaian, penjebaran, perdagangan atau 
penempelan tulisan-tulisan berupa apapun djuga, lukisan-lukisan, 
klise-klise atau gambar-gambar, jang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana 
tersebut dalam pasal 2 Penetapan ini, dihukum dengan hukuman pendjara 
setinggi-tingginja lima tahun.

Pasal 6

Barangsiapa tidak memenuhi kewadjiban jang dimaksud dalam pasal 3 atau 
melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam pasal 4 Penetapan ini, dihukum 
dengan hukuman kurungan setinggi-tingginja satu tahun.

Pasal 7

Petugas Kepolisian dapat membubarkan, menghentikan atau mengambil tindakan 
lain terhadap Kegiatan Politik jang melanggar ketentuan-ketentuan dalam 
Penetapan ini.

Pasal 8

(1)  Tindak pidana tersebut dalam pasal 5 Penetapan Presiden ini adalah 
termasuk kedjahatan.
(2)  Tindak pidana tersebut dalam pasal 6 Penetapan Presiden ini termasuk 
pelanggaran.

Pasal 9

Barang-barang jang digunakan dalam tindak pidana tersebut dalam pasal 4 dan 
5 Penetapan Presiden ini, dapat dirampas atau dimusnahkan.

Pasal 10

Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1963. Agar Supaja 
setiap orang dapat mengetahuinja memerintahkan pengundangan Penetapan ini 
dalam penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

    Ditetapkan di Djakarta
          pada tanggal 7 Mei 1963
       Presiden Republik Indonesia

                 SUKARNO

       Diundangkan di Djakarta
       pada tanggal 7 Mei 1963
          Sekretaris Negara

            MOHD. ICHSAN

*************************************************
RALAT:
======
Dalam bagian pertama tulisan ini, saya menulis:

"Dalam kaitannya dengan krisis ekonomi ini malah pemerintah juga
sempat menerapkan Dewan Mata Uang. " seharusnya: "Dalam kaitannya
dengan krisis ekonomi ini malah pemerintah juga sempat merencanakan
untuk menerapkan Dewan Mata Uang."
=========================================

Pasal 27 ayat 1:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.

Pasal 27 ayat 2:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.

Komentar:
-------------

Fakta berbicara bahwa pasal (27 ayat 1) ini dalam praktek mempunyai
pengecualiaan.
Hukum berlaku untuk semua orang kecuali orang kaya, mempunyai
kedudukan/jabatan, atau yang dekat dengan mereka.

Fakta berbicara bahwa tidak segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu. Penguasa cenderung berperilaku "above the law".

Fakta berbicara bahwa hukum di Indonesia bisa dibeli! Akibatnya hukum
hanya berlaku untuk orang yang mempunyai strata sosial yang lebih
rendah. Orang miskin, atau yang lebih miskin tidak akan pernah menang
melawan orang yang lebih kaya di Pengadilan. Orang yang lebih berkuasa
(termasuk dan terutama pemerintah) tidak pernah kalah dari orang yang
tidak mempunyai kuasa, atau rakyat jelata di Pengadilan. Hukum menjadi
komoditi di gedung pengadilan. Tidak hanya pada tingkat Pengadilan
Negeri, tetapi juga Pengadilan Tinggi. Bahkan tak terkecuali -- sangat
memprihatinkan -- Mahkamah Agung! Saking bobroknya sistem peradilan di
Indonesia sampai-sampai terkenal dengan sebutan "Mafia Peradilan".
Muncul parodi-parodi seingkatan: KUHP = Kasih Uang Habis Perkara;
Hakim = Hubungi Aku Kalau Ingin Menang, dan seterusnya.

Drama-drama yang menyayat hati hampir tiap hari kita baca tentang
pelecehan-pelecehan praktek hukum di Indonesia, mulai dari polisi,
jaksa, dan hakim, yang menindas rakyat yang secara ekonomi maupun
sosial lemah. Padahal justru di tangan merekalah ditentukan tegaknya
pelaksanaan hukum. Lihatlah kasus Kedungombo, Kasus Ohee, Kasusu
Marsinah, Kasus Bantul, Kasus Penyerbuan Kantor PDI, Kasus Perburuhan,
Kasus Muchtar Pakpahan, Penyerobotan/Perampasan Tanah, Kasus
Pembredelan Media-Media Cetak, Kasus Penangkapan tanpa Prosedur Hukum
yang Benar dan Jelas terhadap Para Demonstran, dan lain-lain.

Di Pengadilan apa yang benar menjadi salah, dan apa yang salah menjadi
benar. Hitam bisa menjadi putih, dan putih bisa menjadi hitam.

Yang tidak ditolerir hukum, bisa ditolerir hakim. Contoh: Pengabulan
Ketua MA atas permohonan peninjauan kembali oleh Kejaksaan terhadap
putusan kasasi MA sendiri yang membebaskan Muchtar Pakpapahan. Padahal
menurut hukum hak untuk itu hanya disediakan oleh UU untuk terdakwa,
atau keluarga terdakwa.

Kebobrokan-keborokan seperti ini disebut guru besar Universitas
Airlangga sebagai "Pembusukan Hukum!".
Kemudian pemberlakuan-pemberlakuan negatif terhadap WNI Keturunan Cina
yang akhir-akhir ini semakin intens. Sehingga boleh dikata mereka di
bidang sosial-politik, dan pemerintahan merupakan warga kelas dua.
Gerakan-gerakan anti Cina yang seolah menyebar meratas di berbagai
kota di Jawa dan Sulawesi, merusak dan membakar bangunan-bangunan
milik orang Cina, merupakan contoh-contoh nyata.

Dalam mengurus surat-surat yang berhubungan dengan birokrasi selalu
diminta berbagai syarat-syarat tambahan yang terasa sangat merepotkan
dan mengada-ada, plus biaya-biaya tambahan yang jauh lebih besar
daripada biaya resmi. Kartu identisas setiap WNI Keturunan pun diberi
kode-kode khusus.

Boleh di kata tidak ada tempat bagi WNI Keturunan di pemerintahan.
Sehingga mereka pun tidak ada pilihan lain selain berdagang. Setelah
sukses di dagang, mereka dijadikan sasaran kecemburuan sosial dan
selalu menjadi kambing hitam dalam berbagai persoalan. Termasuk dalam
krisis ekonomi sekarang ini. Padahal mereka pun adalah korban dari
krisis tersebut. Hal ini seolah-olah menjadi sesuatu yang biasa dan
sah, ketika ada pula indikasi-indikasi yang menunjukkan adanya
rekayasa-rekayasa tertentu untuk mengkambinghitamkan WNI keturunan
oleh orang-orang di pemerintahan sendiri, dan "dibantu" oleh beberapa
media cetak.
-------------------------------------------------------------

Pasal 28:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Komentar:
-------------

Omong kosong jika dikatakan ketentuan pasal ini sudah benar-benar
diterapkan. Contoh paling nyata adalah tidak adanya kebebasan pers
dalam menurunkan berita-berita yang bernada negatif terhadap
pemerintah sekalipun itu merupakan suatu fakta. Media yang yang berani
melawan arus, diancam dengan sanksi pembredelan. Selama Orde Baru,
sudah puluhan media cetak yang menjadi korban pembredelan. Tempo,
Editor, dan Detik adalah contoh yang paling faktual dan aktual.

Dalam perkembangannya memang ada tekad pemerintah untuk tidak
melakukan pembredelan terhadap tulisan-tulisan yang dianggap
"menghina" pemerintah. Tetapi ini hanya merupakan "manuver ganti cara
untuk menekan pers." Todongan ancaman dan penekaran sudah beralih
kepada perorangan. Siapa yang berani melakukan "penghinaan" dan
sejenisnya akan dipaksa dicopot sebagai pengurus di media tersebut,
dicabut keanggotaan PWI-nya (sama saja dengan mematikan kariernya
sebagai wartawan), dan dihukum penjara. Sehingga para wartawan pun
ciut nyalinya untuk menurunkan tulian-tulisan yang bernada tajam
kepada pemerintah. Jalur pengadilan hanya merupakan manuver politik,
karena sudah bukan rahasia lagi kalau pemerintah pun dengan sangat
gampang intervensi terhadap vonis pengadilan. Padahal apa yang disebut
"menghina" sebenarnya merupakan suatu kritikan yang mempunyai
landasan yang kuat yang seharusnya dijadikan input bagi pemerintah.

Seminar dan berbagai pembicaraan ilmiah yang berkaitan dengan
kebijksanaan pemerintah yang dinilai sensitif pun dilarang. Bukan itu
saja berbagai kegiatan budaya yang menyerempet-nyerempet itu pun
selalu dilarang. Contoh pementasan drama "Marsinah Menggugat" selalu
dilarang pemerintah. Pada intinya pemerintah tidak boleh dikritik,
atau dibuka kejelekannya.

Pendapat/tulisan orang yang vokal, kritis, dan berani terhadap
pemerintah hampir pasti dikenakan hukuman penjara. Dituduh subversi
atau menghina pemerintah.
Terjadilah vonis hukuman terhadap pemikiran seseorang. Terjadilah
vonis terhadap intelektual.

Orang pun pada takut untuk mengeluarkan pendapat baik lisan, maupun
tulisan.
Maka muncullah media-media alternatif tempat rakyat mengeluarkan
uneg-uneg-nya yang selama ini hanya bisa disimpan di dalam hati. Media
X-Pos, Independent, INDONESIA-L, adalah beberapa contoh.

Akhirnya yang tiap hari kita baca dan kita dengar di media massa
adalah apa-apa yang baik-baik saja dari pemerintah. Komentar, opini,
dan pujian pun terasa semu.
------------------------------------------------------------------------------------


Salam
Lion

*****************************

Subject: Penyelewengan-Penyelewengan terhadap UUD 1945 (Bagian 3 -- Habis)
To:

Pasal 29 ayat 1:
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Komentar:
-------------

Apakah poilitik menghalalkan segala cara, politik kambing hitam,
politik rekayasa, penahanan orang tanpa proses hukum yang jelas,
penindasan, penganiayaan, korupsi, kolusi, manipulasi, berbohong
kepada rakyat, memperkaya diri sendiri dan keluarga, menggunakan
fasilitas/keuangan negara untuk kepentingan pribadi, dan lain
sebagainya mencerminkan praktek negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa?

Yang ada adalah praktek memperalat agama untuk mencapai tujuan politik.
-----------------------------------------------------

Pasal 29 ayat 2:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.

Komentar:
-------------

Prakteknya telah terjadi banyak sekali aksi perusakan dan pembakaran
gedung gereja/klenteng beserta segenap isinya yang seolah-olah jika
mendengar kabar tentang itu sudah merupakan sesuatu yang biasa saja
saking seringnya.

Kesulitan membangun rumah-rumah ibadah gereja; semuanya harus melelaui
proses izin yang berbelit-belit. Adanya larangan-larangan melakukan
ibadah kebaktian Kristen di rumah-rumah pribadi, atau lingkungan
tertentu. Alasan yang acapkali dilontarkan pemerintah (pejabat daerah
setempat) adalah karena rumah bukan tempat ibadah. Padahal Tuhan
sendiri tidak pernah berkata demikian. Beribadah kepada Tuhan adalah
bebas di mana saja saja, tidak harus di tempat ibadah tokh. Alasan
lain karena mayoritas di pemukiman tersebut penduduk non-Kristen. Lalu
kenapa? Apakah ibadah tersebut mengganggu mereka? Mengapa tidak ada
toleransi tentang ini? Biarlah orang-orang tersebut bebas beribadah
menurut keyakinannya. Memangnya kalau hanya ada sedikit orang Kristen
di tengah-tengah pemukiman non-Kristen lantas tidak boleh beribadah?
Harus pergi jauh-jauh baru boleh beribadah? Toleransi dan kebebasan
beragama macam apa pula ini?
-------------------------------------------------

Pasal 33 ayat 1:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan

Komentar:
-------------

" ..... sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan."
Sering diterjemahkan menjadi sebagai usaha bersama alias kolusi demi
kepentingan keluarga penguasa/presiden dan konco-konconya.
----------------------------------------------------

Pasal 33 ayat 2:
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

Pasal 33 ayat 3:
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Komentar:
Karena penguasa sudah berprinsip seperti Raja Luis XIV: " l'Etat c'est
moi" ("negara adalah aku"), maka keluarga merekalah yang menguasai
hajat hidup orang banyak, berikut bumi, air, dan kekayaaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sekecil-kecilnya kemakmuran rakyat.
---------------------------------------------------------

Pasal 36:
Bahasa Negara ialah bahasa Indoensia.

Komentar:
-------------

Berbahasa Indonesia bukan hanya berbahasa saja, atau asal berbahasa
Indonesia, tetapi harus secara "baik dan benar". Sayang banyak pejabat
negara, tidak terkecuali presiden sendiri mempunyai bahasa Indonesia
yang rada kacau. Lihat saja hobby mereka yang menggunakan kata "dari
pada" dengan tidak pada tempatnya. Presiden juga tidak menglafal
akhiran "kan" dengan baik, tetapi selalu dengan "ken.'"

Kegiatan pemerintah untuk menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia
beberapa waktu lalu dengan menertibkan penggunaan kata-kata asing
(khususnya bahasa Inggris) terhadap iklan-iklan billboard, nama toko,
nama perusahaan, dan sejenisnya, bukannya menumbuhkan kesadaran
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi sebaliknya
semakin mengacau-balaukan. Sehingga rakyat pun menjadi semakin
bingung. Semuanya karena aparat yang katanya sebagai penertib pun
sendiri tidak mempunyai pengetahuan bahasa Indonesia yang cukup.
Kesannya "hantam kromo."

Misalnya kompleks perumahaan Green Ville "ditertibkan" menjadi "Gren
Vil". Entah bahasa Indonesia dari mana itu?!
Nama-nama yang sebenarnya merek produk di billboard-billboard-pun
"ditindak/ditertibkan." Seperti merek Pioneer, National dan General!
Lucu, konyol, dan sekaligus mengemaskan.
-----------------------------------------------------------

Pasal 37 ayat 1 dan 2:
Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota
MPR harus hadir.

Pasal 37 ayat 2:
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada
jumlah anggota yang hadir.

Komentar:
--------------

Ketentuan penutup dalam UUD 1945 itu sendiri menyatakan dirinya bukan
barang keramat dan terbuka kemungkinan untuk diubah, atau dicabut
asalkan memenuhi syarat tersebut di atas.

Keterangan resmi dari pemerintah selama ini seolah-olah hendak
mengkeramat UUD 1945 itu, yang katanya tidak boleh diubah oleh
siapapun. Mengubahnya sama saja dengan mengubah negara! Mungkin
pernyataan ini mempunyai maksud-maksud tertentu, atau yang mengatakan
sebenarnya tidak pernah membaca UUD 1945.
---------------------------------------------------------

PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA:

UMUM
......

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam UUD ialah:
I. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtssaat).
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Komentar:
-------------
Kenyataannya dalam praktek yang dijalankan pemerintah selama ini:
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kekuasaan (machtsstaat),
tidak berdasarkan hukum (rechtsstaat). Yang berkuasa yang selalu
menang. Yang berkuasa berada di atas hukum. Bahkan dia adalah hukum
itu sendiri.
--------------------------------------------------------------

II. Sistem Konstitusional
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar),
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Komentar:
-------------

Kenyataannya presiden memegang kekuasaan absolut. Sedangkan konstitusi
berada di bawahnya dan diterjemahkan sesuai dengan seleranya. Buktinya
adanya penyimpangan-penyimpangan substansial seperti yang saya
sebutkan di atas, misalnya peniadaan pemungutan suara, yang
jelas-jelas disebut sendiri dalam konstitusi/UUD 1945 itu.

Apa yang dikatakan adalah undang-undang. Semua harus menurutinya tak
terkecuali MPR!

Sidang Umum MPR yang antara lain memilih dan mengangkat presiden
(Soeharto) tidak lebih dari alat legalitas semata untuk mempertahankan
status quo, dan penghalusan dari "presiden seumur hidup" yang
mempunyai kuasa tanpa batas. Ditambah dengan menghidupkan kembali TAP
MPR No. VI Tahun 1986 dengan dituangkan ketentuan pelimpahan wewenang
penuh kepada presiden tersebut dalam TAP MPR No. V Tahun 1998!

RRT yang dikenal sebagai negara komunis saja membatasi masa jabatan
presidennya hanya dua periode.
-------------------------------------------------------------

III. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR (die gesamte
Staatgewalt liegt allein bei der Majelis)

3. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat, ....... Presiden yang diangkat oleh Majelis,
tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah "mandataris"
dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden
tidak "neben", akan tetapi untergeordnet" kepada Majelis.

Komentar:
-------------

Ketentuan UUD 1945 tentang ini dianggap sebagai naskah skenario sebuah
sandiwara belaka. Yang baru saja dipentaskan dengan baik dari tanggal
1 -11 Maret 1998 lalu.

Yang terjadi MPR yang tunduk kepada presiden, bukan sebaliknya.

Untuk "bertanya" presiden, para anggota MPR itu bukannya memanggil
presiden ke sidang umum MPR, tetapi merekalah yang harus
berbondong-bondong datang dan bersujud di kediaman presiden.
Mengiyakan apapun yang disabdanya.
--------------------------------------------------------

VI. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak
bertanggung jawab kepada DPR.

Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara .......
tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.

Komentar:
-------------

Yang aneh luar biasa para menteri itu juga anggota-anggota MPR yang
mengangkat dan meminta pertanggungjawaban presiden dan memecatnya
bilamana perlu.
--------------------------------------------------------------------

VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan
"diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas.

Komentar:
------------

Kenyataannya presiden sekarang ini salah satu diktator besar di dunia.
Apa yang dikatakan adalah undang-undang yang harus ditaati.
Menentangnya, mengkritiknya, mengecamnya, adalah suatu dosa yang
membawa pelakunya ke penjara.

Majalah Forbes pun mengkategorinya sebagai salah satu diktator terkaya
di dunia.

Atau mungkin saja dalam membaca ketentuan dalam UUD 1945 ini
dia/mereka lupa, atau melewati kata-kata negatifnya. Mungkin yang
terbaca pada naskah UUD 1945 di atas adalah sbb:


"VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia
"diktator", artinya kekuasaannya tidak terbatas."


---------------------------------------------------------------
Di atas telah ditegaskan, bahwa ia bertanggung jawab kepada MPR.
Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.

Komentar:
-------------

Bagaimana bisa bertanggung jawab kepada MPR kalau anggota-anggota MPR
adalah juga bawahan-bawahannya; menteri, ABRI, gubernur, para pengurus
Golkar, dan lain-lain yang juga dalam jabatan-jabatannya itu
bertanggung jawab baik langsung, maupun tidak kepada presiden?
Sedangkan anggota-anggota MPR yang lain juga berada di bawah pengaruh
dan kontrolnya?

==============================

Demikianlah kita melihat bahwa semboyan dari pemerintah (presiden)
yang katanya _ akan _ menjalankan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, secara selurus-selurusnya, tidak lebih dari
retorika-retorika saja.

Selain itu pengulangan kalimat-kalimat itu, yang dengan begitu saja
diikuti oleh para pejabat lain, baik yang rendah, maupun tinggi,
menimbulkan pula tanda tanya: "Jadi selama ini UUD 1945 memang belum
dijalankan secara murni dan konsekuen?"

Ini terlihat dari kata "akan" yang selalu berada di tengah-tengah
kalimat patriotik itu. "Akan"
'kan berarti belum dijalankan tetapi "baru ingin", "baru mau"?.

Dan memang jawabannya yang tepat adalah UUD 1945 selama ini belum
dijalankan secara selurus-lurusnya. Bahkan sebaliknya telah terjadi
banyak penyimpangan-penyimpangan seperti yang saya coba bahas di atas.
***

Salam
Lion

*************************************************
Subject: DPR Sebenarnya yang Mana?
To:


Siapakah sesungguhnya DPR kita saat-saat ini?
Apakah sekumpulan orang, yang biasanya bersidang di Gedung MPR/DPR,
Senayan itu? Ataukah yang lain?
Walaupun secara formal di konstitusi disebut bahwa merekalah DPR kita,
merekalah yang menjalankan fungsi DPR itu , namun ternyata
bukti berbicara lain!
Dalam posting ini kita batasi saja pandangan kita tentang fungsi
budgeter dari DPR itu (Pasal 23 ayat 1 UUD 1945).

Bagaimana bukan saja kita yang di Indonesia, tetapi dunia telah
menyaksikan bersama, bagaimana kualitas DPR itu ketika Presiden
Soeharto menyampaikan RAPBN 1998-1999. Selesai presiden membaca pidato
tentang RAPBN itu, anggota-anggota DPR itu dengan penuh semangat dan
tegas memberi komentar yang isinya sama: RAPBN yang disampaikan
Soeharto itu amat sangat realistis. Oleh karena itu harus diterima,
dan tidak perlu ada revisi. Revisi apa? Sudah memang harus begitu kok!
Kira-kira mereka berkomentar begitu.

Misalnya saja yang disorot pada waktu itu tentang kurs rupiah terhadap
dollar AS, yang ditetapkan sebesar Rp 4.000 per dollar AS. Misalnya
Tanri Abeng (sekarang juga Menteri Pendayagunaan BUMN), Miranda Gultom
(juga direktur BI), semua mengatakan sangat realistis. Tanri Abeng,
bahkan secara meyakinkan mengatakan Rp. 4.000 itu teramat sangat
realistis. Katanya dia sudah menghitung berdasar teori pariti dan
memperoleh ekuilibrium Rp. 3.500 s.d. Rp. 4.000 per dollar AS. Oleh
karena itu angka Rp. 4.000 sangat realistis, yang tidak realistis
adalah gejolak yang terjadi sekarang. Sukamdani Sahid Gitosardjono,
bahkan mengatakan angka yang lebih pantas adalah Rp. 3.300 per dollar
AS!

Fakta kemudian berbicara ternyata yang tidak realistis bukan hanya
gejolak itu, tetapi juga penalaran dari para anggota DPR tentang RAPBN
itu. Lihatlah bagaimana kemudian patokan pertumbuhan ekonomi 1998-1999
yang ditetapkan sebesar 4% ternyata mandek, alias berjalan di tempat.
Bahkan boleh dikatakan minus. Demikian pula laju inflasi yang
ditargetkan sebesar 9%, ternyata melonjak amat sangat luar biasa: 20
persen lebih!

Padahal dengan melihat kondisi moneter dan perekonomian Indonesia yang
semakin lama semakin memburuk, maka seharusnya RAPBN yang disampaikan
presiden yang terlalu optimis pada waktu itu ditolak, dan harus
direvisi. Tetapi itulah DPR Indonesia. Yang anggota-anggotanya pada
ciut nyalinya ketika bertemu Soeharto, yang katanya selalu sungkan,
dan mengiyakan apa saja yang dikatakan pemerintah. Mungkin-mungkin
saja banyak dari mereka yang mantan pekerja stempel. Sehingga lembaga
ini juga disebut sebagai "lembaga tukang stempel."

Dari fakta-fakta seperti ini kita bisa melihat bahwa DPR yang ada
sekarang ini memang tidak menjalankan fungsinya secara baik. Apalagi
jika mau dikatakan mewakili aspirasi rakyat. Bagaimana bisa dibilang
mewakili, jika ada rakyat yang datang mengadu, mereka tyidak pernah
diterima secara baik-baik. Bahkan terkadang diusir, atau dengan
berbagai alasan; sedang rapatlah, sedang sibuklah, sedang tidak berada
di tempatlah, ketua komisinya, melarikan diri dari pintu belakang.
Menghindar!

Untung masih ada IMF! Dan lembaga keuangan internasional inilah untuk
saat ini di sektor budgeter secara de facto boleh dikatakan telah
mengganti fungsi DPR yang memble itu. Mereka datang, dan mendesak
pemerintah untuk lebih rasional dalam menyusun RAPBN-nya. Setelah
pemerintah (baca: presiden) menyetujui untuk melakukan revisi, eh,
lagi-lagi para anggota DPR itu berubah pendapat lagi mengikuti
pemerintah. Katanya dari keadaan yang ada memang RAPB itu mesti
sedikit direvisi! Anggota DPR, atau bebek sih?

Jadilah beberapa revisi, antara lain; patokan dollar AS dijadikan Rp.
5.000 per dollar AS. Itu pun sampai detik ini belum mampu mencapai
angka tersebut. Apalagi sebelumnya, yang Rp. 4.000.
Laju pertumbuhan ekonomi pun direvisi menjadi nol persen. Alias di
tahun anggaran 1998-1999 ini tidak ada pertumbuhan ekonomi.
Kenyataannya memang demikian. Bahkan sampai ada gejala-gejala minus.

Dalam perkembangan kemudian di pasar minyak internasional, ternyata
harga minyak anjlok menjadi sekitar 11 dollar AS per barrel. Padahal
di sektor ini pemerintah sudah mentargetkan pendapatan dalam RAPBN
sebesar 18 dollar AS per barel! Maka ramailah kembali orang berbicara
tentang kemungkinan direvisi lagi RAPBN kita. Tetapi ketika melihat
tidak ada respon dari pemerintah. Beberapa anggota DPR sudah angkat
bicara dengan menyatakan tidak perlu ada revisi lagi!

Dari IMF sendiri ada sedikit menyinggung tentang kemungkinan revisi
anggaran, apabila harga minyak terus mengalami keanjlokan seperti ini.

Sekarang kita melihat perkembangan nanti. Bagaimana jika kemudian atas
desakan IMF lagi, pemerintah merevisi RAPBN lagi khususnya yang
menyangkut minyak, dan perpajakan, yang akhir-akhir ini ramai
diperbincangkan.

Apakah IMF kembali berfungsi sebagai DPR Indonesia?***

Salam
Lion

*************************************************
52 TAHUN MEMANIPULASI KONSTITUSI (1/4)

Oleh: Alam Puteri

Menyambut pengesahan MPR atas Jenderal Soeharto sebagai Presiden
RI periode 1998-2003, Media lndonesia tampil dengan Editorialnya yang
berjudul "Perjalanan panjang sebuah pengabdian" (11/3/98). Dalam tulisan
itu antara lain dikemukakan, bahwa sampai dengan masa bakti 2003, Pak
Harto tercatat sebagai tokoh yang dipercaya memimpin negara dan bangsa ini
selama 37 tahun tanpa terputus-putus sejak 1966. Sebuah pengabdian yang
teramat panjang.

Roman Soeharto, kata Editorial MI tsb, tidak saja terjalin kental
dalam negeri, tapi juga manis dalam kancah pergaulan global. Bila pemimpin
negara lain yang berkuasa hampir sama atau lebih lama dari Pak Harto, apa
lagi bukan dari sebuah kerajaan, berbenturan dengan kampiun-kampiun
demokrasi barat karena tudingan diktator dan otoriter--dan karena itu
diganjar embargo dan berbagai sanksi, sebaliknya Pak Harto menikmati
kemesraan unik dengan Barat.

Secara langsung atau tidak langsung editorial MI ini hendak
mengatakan bahwa selama masa pengabdian yang panjang dari Pak Harto
tersebut, beliau disenangi oleh kampiun-kampiun demokrasi Barat yang
kapitalis. Kampiun-kampiun demokrasi barat tersebut tentu tidak akan bisa
bermesraan yang unik dengan Presiden Soeharto sekira sepak terjang
Presiden Soeharto tidak menguntungkan mereka. Bila merugikan, tentu juga
akan dituduh diktator dan otoriter, akan diganjar embargo atau
sanksi-sanski.

Kiranya jelas, pengabdian panjang dari Presiden Soeharto adalah
menguntungkan kampiun-kampiun demokrasi Barat atau kapitalis Barat.
Mungkin karena itu pulalah, maka editorial MI tsb mengatakan: kita tetap
ingin menyak- sikan:

- Pak Harto yang demokratis, jauh dari sifat otoriter;
- Pak Harto yang terbuka, mau menerima kritikan dan masukan, bukan yang
alergi terhadap kritikan;
- Pak Harto yang tetap lembut dan penyabar, bukan yang gampang tersinggung;
- Pak Harto yang tetap hidup bersahaja, bukan yang menyukai kemewahan;
- Pak Harto yang selalu mendahulukan kepentingan bangsa, bukan kepentingan
pribadi dan keluarga;
- Pak Harto yang murah senyum, teh smiling general, bukan dengan angry general.

Adalah penting untuk mengetahui dimana letak kuncinya maka
presiden Soeharto berhasil berkuasa selama 32 tahun tanpa terputus-putus,
malah kalau sampai tahun 2003 menjadi 37 tahun.

Untuk itu lah mari kita menoleh sejenak ke belakang:

MEMANIPULASI SUPERSEMAR DAN MPR

Seperti diketahui, sejak 1 Oktober 1965 kekuasaan secara de facto
telah berada di tangan jenderal Soeharto. (Lihat 4 petunjuk Jenderal
Soeharto pada Presiden Soekarno tertanggal 1 Oktober 1965 melalui kolonel
Bambang Widjanarkodalam buku "G30-S Pemberontakan PKI", hal: 146-147 ).

Langkah berikut yang diayunkan jenderal Soeharto setapak demi
setapak merebut kekuasaan de jure. Untuk tujuan itulah maka tanggal 11
Maret 1966 pasukan Kostrad dan RPKAD (tanpa memakai identitas) menyelusup
kedalam demonstrasi pemuda dan mahasiswa di Istana Merdeka, ketika sedang
berlang- sungnya sidang kabinet.

Menurut Frans Seda "pengepungan" istana Merdeka itu berdasarkan
strategi jenderal Soeharto untuk membuat panik Sidang kabinet dan kemudian
menangkap Subandrio (lihat pengakuan Frans Seda dalam Tempo 15 Maret
1986).

Sesuai dengan strategi Soeharto, maka setelah presiden Soekarno
mendapat laporan adanya "pasukan liar" di sekitar istana, demi keamanan,
presiden Soekarno diterbangkan ke Bogor. Tiga orang jenderal utusan
Soeharto menyusul Presiden Soekarno ke Bogor, dengan membawa pesan agar
Soeharto diberi kekuasaan yang lebih besar. Hasilnya, lahir Surat Perintah
1l Maret (Supersemar).

Supersernar itu mereka anggap sebagai "pelimpahan kekuasaan" dari
pre- siden Soekarno kepada Soeharto. Padahal, Presiden Soekarno cukup
jelas menya-takan dalam pidato kenegaraannya 17 Agustus 1966 bahwa
Supersemar bukanlah "transfer of authority". Supersemar adalah perintah
pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintanan. Perintah pengamanan
keselamatan pribadi presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden
(Presiden Soekarno:"Amanat Proklamasi IV-1961-1966, hal: 200).

Dengan memanipulasi Supersemar sebagai "pelimpahan kekuasaan",
mereka bubarkan PKI, mereka tangkap sejumlah menteri, mereka tangkap dan
ganti se jumlah anggota DPRGR/MPRS dari PKI, PNI, Partindo dan pendukung
Presiden Soekarno lainnya. Penggantinya adalah kelompok jenderal Soeharto.
Rupanya Jenderal Soeharto sudah merasa jadi presiden, sehingga berhak
mengangkat anggota DPRGR/MPRS.

DPRGR yang "tidak konstitusional" itulah yang menuduh Presiden
Soekarno melanggar GBHN, karena tidak mau membubarkan PKI dan menuntut
MPRS melangsungkan Sidang Istimewa guna menyingkirkan Bung Karno dari
kedudukannya sebagai Presiden. Sesunguhnya yang melanggar GBHN adalah
DPRGR itu sendiri, karena GBHN yang berlaku ketika itu adalah GBHN
Manipol/Usdek.

GBHN yang persatuannya berdasarkan Nasakom. Membubarkan PKI sama
artinya dengan menentang GBHN, apalagi tidak ada bukti bahwa PKI yang
mendalangi G30S, seperti yang dikemukakan Dewi Soekarno dalam tabloid
Detik No 030, tahun 1993.

Begitu pula MPRS yang lahir dari Dekrit Presiden kembali ke UUD
1945 tertanggal 5 Juli 1959 tidak lah sama fungsinya dengan MPR menurut
UUD 45. MPRS, menurut Presiden Soekarno dalam amanat negaranya tertanggal
10 November 1960, berfungsi sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain,
yaitu sebagai alat revolusi dan tidak berwenang mengubah UUD 1945 serta
memilih Presiden dan wakil Presiden.

Menurut Tumakaka, MPRS adalah semacam Komite nasional. Ini sesuai
dengan fasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, artinya berkedudukan sebagai
pembantu pesiden. Karena itu pulalah maka Ketua dan wakil-wakil ketuanya
berkedudukan sebagai menteri ex officio. Namun demikian, jenderal
Nasution, sebagai Ketua MPRS (yang sudah direvisi berdasar penyalahgunaan
Supersemar) menerima usul DPRGR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPRS.

Melalui pidato pembukaan Sidang Istimewa MPRS tertanggal 7 Maret
1967, jenderal Nasution seakan sebagai "presiden" mendekrit kan perubahan
fungsi MPRS, dari sebagai pembantu Presiden menjadi sepenuhnya seperti
MPR. Padahal belum ada MPR yang lahir dari pemilu, seperti yang ditentukan
UUD 1945. Tindakan jenderal Nasution yang seakan sebagai Presiden tsb,
tercermin dari pidatonya yang antara lain berkata:

"Sidang I, II dan III berbeda dengan Sidang Umum IV (sidang
istimewa). Tiga Sidang Umum berdasarkan Penpres dan wewenangnya pada
azasnya masih dibatasi kepada penentuan GBHN....dengan sidang Umum IV
telah kembali ke MPRS, maupun Presiden, DPR, kekuasaan kehakiman dan
kekuasaan pemerintahan pada posisi wewenang menurut UUD 1945 dan bukan
lagi menjadi pembantu presiden/PBR sebagaimana hakikat sebelum itu
(memenuhi panggilan tugas 7, hal: 163-164). Dekrit jenderal Nasution
(yang bukan Presiden) bertentangan dengan fasal 4 aturan peralihan UUD
1945, yang berbunyi, "Sebelum MPR, DPR, DPA dibentuk menurut UUD ini,
segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite
Nasional. MPR yang dimaksud pasal IV itu belum terbentuk, karena belum ada
pemilihan umum untuk itu. Yang ada hanya MPRS, hasil Dekrit 5 Juli 1959
dari Presiden Soekarno.

Dengan "dekrit" yang tidak konstitusional dari jenderal Nasution
itu, MPRS menarik mandat dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan
pemerintahan yang diatur dalam UUD 1945 dan mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai pejabat presiden.

"Dekrit" Jenderal Nasution yang tidak konstitusional itulah yang
melapangkan jalan bagi Jenderal Soeharto dari kekuasaan de facto menjadi
kekuasaan de jure tanggal 12 Maret 1967.

Jelas kiranya bahwa jenderal Soeharto dapat berkuasa terus hingga
kini, dimungkinkan dengan berhasilnya mereka memanipulasi Supersemar dan
memanipulasi MPRS. Supersemar yang hanya pelimpahan tugas pengamanan,
mereka terjemahkan menjadi pelimpahan kekuasaan. MPRS yang bukan MPR
sesunguhnya menurut UUD 1945 oleh Nasution dikatakan sebagai MPR.

[bersambung]