Silahkan Logo PDI-P di-klik

Kasus 27 Juli 1996


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000
------------------------------

SOAL 27 JULI TIDAK SESUKSES TIMTIM

(POLITIK): Gus Dur akan kesulitan menyeret sejumlah perwira yang dulu terlibat dalam penyerbuan Kantor DPP PDI, Jakarta Pusat. Gus Dur sukses menggusur Jendral TNI Wiranto dari jabatan Menko Polkam. Sejak awal Gus Dur memang telah mengincar Wiranto karena jendral ini berusaha membangun pengaruh di jajaran TNI dengan menempatkan orang-orangnya di Mabes TNI. Namun, kisah sukses itu tampaknya sulit diulanginya dalam pengungkapan kembali Peristiwa 27 Juli 1996.

Taruhlah, kalau Gus Dur serius mengusut kembali penyerbuan Kantor PDI, 27 Juli 1996 silam ia justru harus berhadapan dengan seorang komandan satuan militer berpangkat seorang kolonel, yang beberapa waktu belakangan ini sangat mendukung kekuasaan Gus Dur dari gangguan pendukung Wiranto harus. Kolonel itu adalah bernama Kolonel Inf Jul Efendi Syarief, Komandan Brigade Infanteri (Brigif) 1/Jayasakti, brigif di bawah komando Pangdam Jaya. Ketika Gus Dur bersitegang dengan Wiranto yang didukung Pangkostrad Letjen TNI Djadja Suparman, Jul memimpin sebuah brigade infanteri yang siap bertempur habis-habisan untuk membela Gus Dur. Tanpa hadangan pasukan Kolonel Jul, mungkin Wiranto sulit digusur, karena ia akan punya posisi tawar yang kuat jika ia diketahui akan gampang menguasai ibukota. Kalau waktu itu Wiranto dan Djaja punya nyali melakukan kudeta, sudah pasti Kolonel Jul akan berada di depan menghadang pasukan Kostrad pimpinan Letjen Djadja. Kolonel Jul adalah lulusan Akademi Militer 1976, kariernya masih panjang, tapi tangannya bersimbah darah para pendukung Megawati.

Brigif 1/Jayasakti memiliki tiga Batalyon Infantri dan satu Batalyon Kaveleri, yakni: Yonif 201/Jaya Yudha (berbasis di Gandaria, Jakarta Timur), Yonif 202/Taji Malela (berbasis di Bekasi), Yonif 203/Arya Kemuning (berbasis di Tangerang dan Yonkav 9/Serbu (berbasis di Serpong, Tangerang). Brigif ini, ketika pecah Peristiwa 30 September 1965 dikomandani oleh Kolonel Inf Abdul Latief. Ketika itu, Letkol Inf Untung amat yakin bisa menguasai Jakarta karena Kolonel Latief mendukungnya. Artinya, kalau pasukan yang memiliki otoritas di ibukota mendukung sebuah usaha kelompok militer menduduki ibukota, maka upaya pendudukan itu menjadi mudah.

Jul Efendi adalah komandan lapangan penyerbuan Kantor DPP PDI, di Jl. Diponegoro, 27 Juli 1996. Waktu itu, ia adalah Komandan Kodim 0501/Jakarta Pusat yang secara teritorial membawahi lokasi Kantor DPP PDI itu. Komandan Kodim Jakarta Pusat, Letkol Inf Jul Effendi, pagi hari 27 Juli 1996, memberi komando ketika ratusan pemuda yang mengenakan kaos warna merah yang diangkut sembilan truk warna kuning, agar segera menyerang kantor DPP PDI. Pasukan Letkol Jul pun mengedrop batu ke pasukan berseragam kaos merah itu. Siatuasi tak menentu. Lalu datang Kapolres Jakarta Pusat, Let kol Pol Abu Bakar mencoba berunding. Ia meminta Kantor DPP PDI dikosongkan namun ditolak warga PDI. Namun, tiba-tiba Letkol Jul kembali memerintahkan "pasukan merah" untuk menyerbu ke dalam yang disusul pasukan polisi di bawah komando Letkol Abu Bakar. Korban pun berjatuhan.

Ini dilema bagi Gus Dur. Di satu pihak, Kolonel Jul adalah komandan lapangan operasi penyerbuan. Di pihak lain, kini justru Jul sempat "menyelamatkan" kekuasaan Mbak Mega dan Gus Dur. Kalau hukum hendak ditegakkan, Jul memang harus ikut bertanggungjawab terhadap kejahatan penyerbuan itu, namun di pihak lain, ia harus diberi penghargaan karena "kesetiaannya" pada Gus Dur dan "pembangkanganya" pada Jendral Wiranto.

---------------------------------------
PEJABAT YANG TERLIBAT PERISTIWA 27 JULI
---------------------------------------

Mantan Presiden RI Jendral TNI (Purn) Soeharto
Panglima ABRI Jendral TNI Feisal Tanjung
KSAD Jendral TNI Hartono
Menko Polkam Jendral TNI (Purn) Soesilo Soedarman (alm)
Kasum ABRI Letjen TNI Soeyono (tidak dilibatkan)
Kasospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid
Asospol Kasospol ABRI Mayjen TNI Suwarno Adiwijoyo
Kapuspen ABRI Brigjen TNI Amir Syarifudin
Pangdam Jaya Mayjen TNI Sutiyoso
Kasdam Jaya Brigjen TNI S. Bambang Yudhoyono
Kepala BIA Mayjen TNI Syamsir Siregar
Pangkostrad Letjen TNI Wiranto
Danjen Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto
Kapolri Jendral Pol Dibyo Widodo
Kapolda Metrojaya Mayjen Pol Hamaminata
Mendagri Letjen TNI (Purn) Yogie S Memet
Dirjen Sospol Depdagri Mayjen TNI Sutoyo NK
Dandim Jakarta Pusat Letkol Inf Jul Effendi Syarief
Kapolres Jakarta Pusat Letkol Pol Abu Bakar Nataprawira
---------------------------------------

Kolonel Jul, sudah pasti akan dibela oleh panglimanya: Pangdam Jaya, Mayjen TNI Ryamizard. Jul, tampaknya akan menjadi kekecualian dalam pengusutan kembali kasus ini. Apalagi, sejumlah jendral yang didiga ikut jadi pelaku penyerbuan itu, seperti Gus Dur sendiri juga akan menghadapi para jendral perancang penyerbuan, yang hingga kini masih berada di pemerintahan: seperti Letjen TNI (Purn) Sutiyoso (Pandam Jaya waktu itu, kini Gubernur DKI Jakarta) dan Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono (dulu Kasdam Jaya, kini Menteri Pertambangan dan Energi).

Kolonel Jul "kacung" dan bosnya adalah Panglima ABRI waktu itu Jendral Feisal Tanjung dan Kasospol ABRI: Syarwan Hamid. Polisi sudah berencana memanggil Faisal dan Syarwan. Lalu, otak pelaku lainnya adalah Mayjen TNI (Purn) Suwarno Adiwijoyo, yang berusaha menyelamatkan diri dengan bergabung ke PAN, juga harus diperiksa. Suwarno Adiwijoyo adalah mantan Asisten Kasospol ABRI tahun 1996 dan mantan Kapuspen ABRI yang ikut terlibat dalam penyerbuan, pembantaian dan penghilangan para pendukung Megawati Soekarnoputri yang bertahan di Kantor DPP PDI, Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Suwarno ketika itu adalah asisten salah satu "arsitek" penyerbuan itu: Kasospol ABRI, Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid. Suwarno adalah lulusan Akmil 1966, satu kelas dengan Syarwan Hamid di akademi untuk perwira Angkatan Darat di Magelang itu. Suwarno kini justru masuk dalam DPP PAN sebagai salah satu ketua. Akankah Suwarno luput dari kejaran? Tampaknya tidak. Karena ia punya peran yang cukup besar dalam rencana dan pelaksanaan penyerbuan kantor itu. Jika ia terseret, Amien Rais, yang menarik jendral itu ke PAN, harus rela menyerahkannya ke pengadilan.

Daftar pejabat militer dan pejabat sipil yang diduga terlibat dalam penyerbuan, penghilangan dan pembantaian para pendukung Megawati Soekarnoputri di Kantor DPP PDI, Jakarta Pusat. (*)
************************************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 06/III/27 Pebruari-4 Maret 2000
------------------------------

"TEKA-TEKI" SUTIYOSO

(POLITIK): Sutiyoso dan para jenderal yang terkait "kasus 27 Juli", takkan 'tersentuh'. Ada apa?

Para jenderal pelanggar HAM masih belum bisa tidur tenang. Belum lagi mereda tuduhan terhadap keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur, mulai lagi serangan dilancarkan pada sejumlah mantan perwira tinggi militer. Kali ini, para jenderal itu dituduh bertanggung jawab terhadap penyerbuan markas Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 27 Juli 1996.

Kasus ini kembali menghangat, terutama setelah Kapolri Letjen Roesdihardjo menyatakan tekadnya untuk mengusut tuntas kejahatan pelanggaran HAM berkenaan dengan peristiwa tersebut. Sebelumnya, seperti diketahui, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi kuasa hukum Megawati Soekarnoputri, pernah mengadukan sejumlah nama yang diduga terlibat kasus 27 Juli itu. Mereka antara lain, mantan Panglima ABRI Jenderal (purn.) Feisal Tanjung, mantan Kassospol ABRI Letjen (purn.) Syarwan Hamid, mantan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo, mantan Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata serta mantan Pangdam Jaya yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta Letjen (purn.) Sutiyoso.

Niat Kapolri ini, tidak dapat dianggap sebelah mata. Paling tidak, hingga Kamis lalu (17/2) Polda Metro Jaya telah mengadakan pemeriksaan pada 17 orang yang dianggap saksi peristiwa 27 Juli atau yang pernah mengadukan kasus itu pada polisi. Memang sampai ditulisnya berita ini belum ada satupun perwira tinggi yang menjalani pemeriksaan. Namun, menurut Roesdihardjo, metode yang digunakan untuk melakukan penyidikan sengaja dilakukan dari bawah ke atas. Dengan demikian, diharapkan bisa terlacak siapa sebenarnya yang memberikan komando penyerbuan pada hari Sabtu pagi kelabu itu.

Bahwa ini menjadi masalah yang benar-benar serius, dapat dilihat pula dari dukungan yang diberikan Menko Polkam ad interim Surjadi Sudirdja pada Kapolri. Tidak tanggung-tanggung, Surjadi malah memerintahkan Rusdihardjo untuk memeriksa semua jenderal yang diduga terlibat kasus itu. "Kalau DPR saja bisa memanggil para jenderal, mengapa Kapolri tidak bisa? Mestinya Kapolri pun bisa memanggil mereka untuk mencari bukti-bukti. Kapolri harus berani memanggil untuk klarifikasi," ujar Surjadi seperti dikutip Media Indonesia. Menurutnya lagi, peristiwa 27 Juli harus diungkap kembali secara tuntas, agar tak ada lagi "kebisuan dalam kehidupan kita." Lebih jauh ia berpendapat, penyelidikan kasus ini tidak ada batas waktunya. "Masa 'sih polisi takut sama jenderal-jenderal?"

Simpatik memang. Namun, masalahnya, banyak orang yang sudah terlanjur skeptis dengan upaya penyidikan berbau politis semacam ini. Berbagai pernyataan keras boleh saja dikemukakan, tapi hingga saat ini, masyarakat belum melihat ada seorang jenderal pun yang dinyatakan bersalah karena melakukan pelanggaran HAM. Wiranto sendiri belum. Bahkan Prabowo Subianto yang dianggap bertanggungjawab pada kerusuhan Mei 1998, hanya dipecat tanpa pernah melewati meja hijau pengadilan.

Pertanyaannya pada upaya pengungkapan kasus 27 Juli ini pun sama: Apakah mungkin mengadili para jenderal?

Pernyataan Surjadi bahwa penyelidikan kasus ini tidak ada batas waktunya. Di satu sisi bisa berarti, kasus ini tidak akan dilupakan. Para penanggung jawabnya setiap saat dapat diperiksa, ditangkap dan diadili. Namun, di sisi lain, ini bisa berarti penyelidikan akan terus menggantung, tanpa pernah dapat diputuskan siapa yang bersalah. Kalau ini yang terjadi, wajar saja bila terdengar nada skeptis terhadap proses peradilan ini. Satu contoh yang membuat munculnya keraguan ini, adalah perlakuan pada Gubernur DKI Sutiyoso. Hingga sekarang, Sutiyoso dianggap sebagai the untouchable atau orang yang tak tersentuh. Padahal, semua orang tahu pada waktu terjadi penyerbuan terhadap markas PDI itu, Sutiyoso yang masih menjabat sebagai Pangdam Jaya, adalah penanggung jawab keamanan ibu kota. Nyatanya, ia tidak "diapa-apakan." Setelah Presiden Soeharto mundur digantikan Habibie, ia malah menjadi Gubernur DKI menggantikan Surjadi Sudirdja.

Bahkan, sampai terpilihnya Gus Dur sebagai presiden di era demokrasi Indonesia, Sutiyoso masih tetap dipertahankan sebagai gubernur.

Bisa saja ini merupakan kebetulan belaka. Namun, siapapun tahu peristiwa 27 Juli bukanlah peristiwa kecil -setidaknya bagi Megawati Soekarnoputri yang kini telah menjadi wakil presiden.

Ada apa sebetulnya?

Apa yang membuatnya bisa selalu selamat dari noda 27 Juli?

Ada macam-macam analisa yang dikemukakan berbagai sumber tentang hal ini. Misalnya, Sutiyoso dianggap pintar melakukan pendekatan pada atasannya. Atau, ia dikatakan memiliki kedekatan khusus dengan Gus Dur, Presiden RI. Lagi-lagi, apekulasi semacam ini tetap saja tidak memuaskan. Soalnya, Wiranto pun dikenal dekat dengan Gus Dur, namun tetap saja ia "dinon-aktifkan". Lantas?

Sumber Xpos mengatakan, Sutiyoso tidak dapat diadili karena pada dasarnya "ia memang tidak tahu-menahu" soal peristiwa 27 Juli. Lho? Menurut sumber tadi, bukan saja Sutiyoso, sejumlah jenderal lainnya termasuk mantan Kasum ABRI (pur.) Letjen Suyono sempat kebingungan dengan "hilangnya kendali" keamanan dari tangan para perwira tinggi ABRI. Sebab, yang bertanggung jawab pada saat itu, tak lain adalah mantan Presiden Soeharto! Ini sesuai pula dengan pernyataan anggota fraksi PDI-P DPR, Sabam Sirait baru-baru ini (18/2) pada wartawan -meskipun Sabam tidak menjelaskan secara detil, mengapa Soeharto dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab.

Operasi penyerbuan markas PDI adalah bukti begitu besarnya kekuasaan Soeharto dalam tubuh militer. Melalui sekretaris militernya saat itu, Mayjen. Saukat Banjaransari, Soeharto sengaja memotong garis komando militer ABRI dan memilih sendiri personil-personil yang dapat dilibatkan dalam operasi penyerbuan. Hal ini menurut sumber Xpos diakui sendiri oleh Saukat Banjaransari (informasi serupa, kabarnya dikemukakan juga oleh mantan Kasum ABRI Suyono). Dengan cara begitu, para perwira yang "kecolongan" itu -seperti Sutiyoso- bakal dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab, bila terjadi penuntutan di kemudian hari.

Kebiasaan memotong garis komando ini, konon sudah dilakukan Soeharto sejak lama. Untuk mengantisipasi membesarnya gerakan oposisi, Soeharto memang memanfaatkan posisinya sebagai perwira tinggi militer di saat awal berkuasa, untuk membuat sistem kontrol yang efektif dalam tubuh militer. Kabarnya, sampai terakhir ia menjabat sebagai presiden, Seoharto bisa memberi komando hingga level Danramil. Itu semua dapat dilakukannya, karena ia mempunyai sumber daya keuangan yang tidak terbatas untuk melakukan kontrol.

Mengingat peliknya persoalan, kini muncul kekhawatiran: jangan-jangan memang bakal tak ada yang bisa diadili. Bukankah sampai sekarang Soeharto masih bebas-merdeka? Nah, Pak Rusdihardjo, kalau belum berubah pikiran, sebaiknya jangan tanggung-tanggung. (*)


Related Message




© 1996 - 2000 Megaforpresident-ri.org . All Rights Reserved