INFORMASI DARI PAPPU PDI PERJUANGAN
                     Jl. Raya Lenteng Agung No. 99 . Jakarta - Selatan



Kolom Kwik Kian Gie



PDI PERJUANGAN
DAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI




Diterbitkan oleh
Badan Penelitihan dan Pengembangan
Partai Demokrasi Indonesia

Oleh Kwik Kian Gie

Menara gading

Adalah hal yang mengasyikkan membaca berbagai komentar dan analisis tentang diri sendiri oleh para pengamat yang begitu jauh dari kami Dalam hal PDI Perjuangan, setelah selesainya Kongres di Bali, intensitas analisis tentang PDI Perjuangan, terutama tentang Megawati Soekarnoputri meningkat tajam. Ini terjadi tanpa adanya PDI Perjuangan dan Megawati sendiri yang membuat pernyataan- pernyataan yang genit

Kalau kita tengok lebih dalam apa semua sebenarnya yang dilakukan oleh PDI Perjuangan, akan menjadi sangat jelas, bahwa PDI Perjuangan tidak banyak ambisinya. Sejak awal kiprahnya PDI Perjuangan bersifat introvert. Ini tidak berarti bahwa PDI Perjuangan tidak mempunyai kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Hakikat partai politik adalah untuk secara terorganisir ikut serta dalam penyelenggaraan negara. Struktur dan organisasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah melalui partai-partai politik yang masing-masing dianggap mewakili kepentingan dan aspirasi dari kelompok pendukungnya masing-masing. PDI, sesuai dengan tatanan organisasi yang ada, ikut serta di dalam penyelenggaraan negara melalui komunikasinya yang intensif di DPR, MPR dan terutama dalam berbagai dengar pendapat dan diskusi dengan pemerintah.

Sebelum Megawati digusur oleh pemerintah dalam bulan Juni 1996, apa pendirian, sikap dan pikiran PDI tentang berbagai aspek pengurusan negara tentunya terdapat di dalam notulen semua rapat-rapat di DPR, yang dilakukan dengan cermat, disusun secara rapi dan tersimpan secara sistematis dan sangat baik.

Adalah sangat menakjubkan, bahwa cukup banyak pengamat politik itu tidak terlihat pernah mempelajari dengan sungguh-sugguh apa saja yang pernah diperjuangkan oleh PDI dalam lembaga legislatif. Tetapi toh berani mengata- kan bahwa PDI selama dipimpin oleh Megawati tidak pernah mempunyai pikiran apa-apa.

Maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah PDI yang tidak mempunyai konsep dan program, ataukah para pengamat dan pers yang tidak dapat menyimak melalui cara sebagaimana mestinya, yaitu mempelajari notulen rapat-rapat DPR dan menyimpulkan dari sana, apa sebenarnya konsep, program dan pikiran dari PDI yang berbeda dengan pemerintah dan partai-partai politik lainnya di DPR ?

Kemudian kalau dihitung kembali, cukup sering PDI memberkan konperensi pers. Liputannya memang tidak optimal, minat membaca kurang dan ingatan pendek. Maka apa saja yang telah dikernukakan oleh PDI tidak nyantol dalam ingatan.

Megawati tidak punya konsep

Partai politik, di manapun di dunia tidak dapat dipisahkan dari figur sentralnya yang biasanya adalah Ketua Umum. Itulah sebabnya mengapa yang disorot oleh para pengamat politik bukan partai secara keseluruhan, melainkan Megawati Soekarnoputri (MS).

Banyak suara negatif yang dilontarkan tentang dirinya, yaitu bahwa tanpa nama Soekarno di belakangnya, MS hanyalah seorang ibu rumah tangga yang baik, bukan pemimpin bangsa. Dikatakan bahwa dia juga bukan politikus, karena tidak bisa berkompromi.

Kongres di Bali hanya menunjukkan bahwa dia memang mempunyai pendukung yang banyak. Tetapi para pendukungnya itu hanyalah rakyat jelata yang paling rendah kedudukannya di masyarakat, dan paling miskin.

Pendidikannya juga paling rendah, sehingga buat mereka yang penting bukan isi atau tidaknya, tetapi nama, yang lantas berkembang menjadi karisma. Karisma tidak cukup mempimpin bangsa Indonesia. Yang dibutuhkan adalah kepandaian dan pengetahuan yang diperoleh dari perguruan tinggi. Terutama para doktor itulah yang mampu mengendalikan Republik Indonesia. Karisma akan berkembang menjadi kultus individu, yang kalau memimpin negara bangsa lantas menjadi diktator.

Apakah konsep teknokrat baik ?

Indonesia di zaman orde baru memang dikendalikan oleh seorang Presiden yang karismatik dan oleh para intelektual kelas wahid. Majalah Time pernah membuat liputan utama tentang indonesia ketika itu. Antaranya membeberkan seluruh kabinetnya yang bagian terbesarnya terdiri dari Profesor Doktor. Maka oleh majalah Time juga dikatakan bahwa ketika itu, kabinet Indonesia adalah "the most qualified cabinet in the world". Mereka memang berhasil dari puing-puing perekonomian orde lama membangun perekonomian Indonesia menjadi ekonomi dengan penumbuhan tinggi yang berkesinambungan. Bahwa ekonomi dibangun atas dasar utang luar negeri yang berkesinam- bungan juga adalah urusan lain.

Setelah defisit anggaran ditutup dengan utang luar negeri, terus dikatakan bahwa APBN tidak pernah defisit, tetapi berimbang. Definisi ini lambat laun membingungkan, sehingga pada akhirnya, ketika sekarang ini IMF dominan, para pemimpin ekonomi Indonesia terpaksa harus mengakui bahwa pengertian tentang berirnbangnya APBN Indonesia adalah khas Indonesia, karena APBN Indonesia oleh semua ekonom di negara-negara lain, dan juga oleh buku teks dianggap sebagai anggaran yang defisit, dan defsitnya ditutup oleh pinjaman dari negara-negara

IGGI/CGI.

Demikianlah budaya utang lambat tetapi pasti merasuk ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Ibaratnya pemerintah adalah guru dan sektor swasta adalah muridnya, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau gurunya masih sangat hati-hati mengelola utang luar negerinya, sehingga untuk jangka waktu yang sangat lama dapat membayar bunga dan cicilan utang pokoknya tepat waktu, sektor swasta semakin lama semakin tidak terkendali.

Karena pembangunan ekonomi yang didukung oleh utang yang semakin lama semakin membengkak, para pemodal asing silau melihat pesatnya pertumbuhan dan perkem- bangan ekonomi Indonesia, sehingga lupa bahwa sebenarnya ekonomi adalah balon yang diisi oleh "angin" berupa utang luar negeri. Mereka silau, sehingga percaya bahwa ekonomi Indonesia adalah sebuah keajaiban. Lebih banyak lagi modal disodor-sodorkan kepada sektor swasta Indonesia.

Sementara itu, karena budaya kolusi, korupsi, nepotisme dan kroniisme yang berkembang dengan suburnya, di dalam batinnya masing- masing, sedikit pengusaha yang menganggap utang adalah uang yang harus dibayarkan kembali. Bukan hanya itu, utang bahkan dianggap sebagai sesuatu yang diraup sebanyak mungkin, karena toh tidak perlu dikembalikan. Mereka mengetahui bahwa menurut aturan di atas kertas, utang beserta bunganya harus dibayar kembali. Tetapi di dalam batin, mereka yakin, bahwa kalau seluruh Indonesia berutang dari seluruh dunia dalam jumlah yang sangat besar, maka semakin besar harapan akan tercipta situasi dan kondisi bahwa utang tidak akan terbayarkan.

Ketika para pemodal asing mulai sadar bahwa demikian keadaannya, berhentilah arus masuknya modal asing, sehingga investasi beserta dampak multiplier -nya juga berhenti menjadi nihil, kalau tidak negatif. Ekonomi ambruk, rakyat lapar dan pemerintah tidak dapat membiayai dirinya sendiri. Supaya rakyat tidak lapar dan supaya roda pemerintahan tetap bisa berjalan, pemerintah terpaksa harus utang lebih besar lagi dari masyarakat internasional.

Bagaimana kita harus melihatnya ditinjau dari sudut qualified atau tidaknya sebuah pemerintahan ? Apakah dapat dikatakan bahwa keseluruhan kabinet yang oleh majalah Time disebut "the most qualified cabinet in the world" itu ikut bertanggung jawab, ataukah yang bertanggung jawab hanya satu orang sendiri saja, yaitu Presiden Soeharto ? Bagaimana pula kita melihat kompetensi sebuah kabinet ditinjau dari sudut waktu ? Apakah harus dilihat ketika ekonomi masih boom , ataukah ekor yang bagaikan meletusnya ekonomi balon (bubble economy ) juga dianggap masih dalam tanggung jawab dari "the most qualified cabinet in the world"?

Saya ingin menegaskan, bahwa PDI dan Megawati tidak pernah ikut serta dalam formulasi dan pengambilan keputusan kebijaksanaan, karena sejak awal sampai sekarang, pendapat dan pikiran PDI tidak pernah dianggap, apalagi dilaksanakan.

Konsep PDI

Apakah PDI mempunyai pikiran-pikiran tentang hal-hal tersebut di atas ? Ya, tetapi bagi yang ingin mengetahuinya memang dibutuhkan sifat yang rajin, yang mau menyimak kembali notulen dari persidangan DPR dan MPR.

Juga dibutuhkan sifat yang rajin, yang membaca kembali kliping media massa yang meliput konperensi pers oleh PDI. Akan ternyata di sana bahwa di tahun 1987 PDI telah memberitahukan betapa bahayanya korupsi yang ketika itu digambarkan oleh PDI sebagai telah membudaya dengan akar yang dalam dan cakupan segi-segi kehidupan yang sangat luas. Akan terlihat di sana, bahwa PDI telah mem- peringatkan sambil memberikan konsepnya tentang bagaimana mekanisme pasar harus diatur untuk mencegah terperosoknya ekonomi pada liberalisme gontokan bebas dengan dampak survival of the fittest . Terlihat di sana bahwa sudah sejak tahun 1993 PDI berteriak- teriak betapa kredit macet akan merupakan malapetaka kalau tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Megawati sendiri yang atas ideenya sendiri menyuruh Litbang memberi konperensi pers tentang ini di tahun 1993. Akan terlihat dari sana, bahwa PDI telah melontarkan gagasannya bahwa harus dibentuk badan khusus yang menangani kredit macet, harus dibentuk badan khusus yang menampung proyek-proyek dengan kredit macet, harus dibiayai dari APBN mengingat akan besarnya jumlahnya. Keadilan harus ditegakkan dengan mengusut dan menghukum para debitur macet yang penyebab macetnya melanggar hukum dan bersifat tindak kriminal.

Akan terlihat dari notulen di DPR dan kliping media massa, bahwa sejak paket deregulasi Oktober 1988 yang meliberalisir dunia perbankan secara gila-gilaan, PDI telah mengatakan bahwa ini akan membawa malapetaka besar buat dunia perbankan. Telah dikatakan ketika itu, bahwa pedagang kelontong menjadi bankir dan manajer ingusan dari bank asing dijadikan direktur oleh bank-bank swasta. Tetapi semuanya tidak dihiraukan.

Bahwa keadaan seperti yang digambarkan di atas belum membuktikan bahwa PDI dan Megawati mempunyai kemampuan mengurus negara mungkin benar. Tetapi rasanya tidak fair kalau dikatakan tidak mempunyai visi yang jelas tentang masa depan perekonomian Indonesia.

Dalam hubungan ini, tidak berkelebihan kiranya kalau kita mempertanyakan apakah dapat dikatakan sudah terbukti bahwa "the most qualified cabinet in the world" telah gagal total ? Ataukah harus kita katakan bahwa yang salah adalah globalisasi, karena bebasnya modal bergerak ke mana saja ?

Langkah-langkah nyata Megawati tanpa banyak bicara

Bagaimana dengan politik ? Sudah menjadi budaya pula, bahwa di zaman orde baru, orang yang akan memimpin organisasi yang berarti harus mendapat restu dari Presiden. Maka semua orang heran bagaimana Megawati berani menerima pencalonan dirinya menjadi Ketua Umum PDI di tahun 1992, ketika pemerintah jelas-jelas menghendaki Budi Hardjono, dan tidak menghendaki MS ? Maka didekatilah MS dengan berbagai anjuran supaya sowan dan minta restu. MS tidak mengerti, karena dia berpendapat bahwa apa yang tercantum di dalam konstitusi adalah serius dan bukan pura-pura. Maka dia bereaksi dengan mengatakan bahwa di dalam sistem kenegaraan kita, justru Presiden yang harus mendapat restu dari infra struktur politik.

Ketika pada hari pertama, 85 % dari cabang-cabang yang berkongres di Surabaya di tahun 1992 menghendaki Megawati sebagai Ketua Umum, hari berikutnya semua ruang sidang dikunci oleh Caretaker DPP yang sepenuhnya disusun oleh pemerintah.

Dengan demikian, secara legitimasi, MS telah dipilih oleh suasana batin dari bagian terbesar dari warga PDI, tetapi secara hukum masih belum. Terjadilah kesenjangan yang besar antara asas legitimasi yang dianut oleh MS dan asas legalitas yang dianut oleh pemerintah.

MS berpendapat bahwa suasana batin itulah, dan legitimasi yang menentukan, dan bukan kehendak pemerintah yang diwujudkan ke dalam asas legalitas melalui kepalsuan, kemunafikan dan kebohongan. Atas dasar sikap dan pendirian yang dianutnya, 15 menit sebelum izin kongres berakhir, MS menyatakan kepada dunia, bahwa dirinya sudah Ketua Umum de facto dari PDI. Aspek de Jure -nya nanti diatur di Jakarta. Setibanya di Jakarta terjadi -kebingungan yang luar biasa dikalangan pemerintah, karena hal yang demikian belum pernah terjadi sebelumnya. Artinya, belum pernah terjadi sebelumnya bahwa ada orang yang berani berhadapan dan bertentangan pendapat secara frontal dan konsekwen dengan segala akibatnya seperti sikap yang diperlihatkan oleh MS. Semua orang berpikir normal bahwa demokrasi adalah kepura- puraan. Semua orang sadar atau tidak sadar menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kekuasaan dan bukan negara hukum. Tidak demikian dengan MS.

Pemerintah masih mencoba di arena kongres supaya MS berkompromi dengan calon pemerintah Budi Hardjono, di mana seorang pejabat sangat tinggi menawarkan diri sebagai moderator. MS bereaksi dengan mengatakan bahwa dirinya hanya rakyat biasa peserta kongres, sedangkan yang mengajak berbicara adalah seorang pejabat sangat tinggi. Apa haknya, dan bukankah kalau diterima merupakan sikap yang gede rasa ?

Maka setelah mengalami kebingungan dan kekacauan selama beberapa minggu, akirnya pemerintah membiarkan PDI pimpinan MS menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Hotel Garden di Jakarta, di mana MS dikukuhkan sebagai Ketua Umum dari PDI.

Tetapi pemerintah tidak rela bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ditentukan oleh MS. Pemerintah ikut campur sedalam-dalamnya dalam menyusun DPP, di mana "boneka- boneka" pemerintah dimasukkan secara paksa. Inilah para agen yang nantinya memungkinkan MS digusur dari kedudukannya sebagai Ketua Umum.

Akhirnya, Presiden Soeharto menerima kepemimpinan MS di dalarn PDI yang DPP-nya sudah digarap dan diduduki oleh banyak sekali boneka- boneka pemerintah. Sebagai simbol diterimanya kepemimpinan Megawati, DPP yang dipimpin olehnya diterima oleh Presiden Soeharto dalam satu silaturakhmi.

Namun MS menunjukkan sikap yang tidak palsu, yang tidak munafik, dan menganggap Indonesia sebagai negara hukum dan negara yang demokratis.

Maka ketika anggota DPR Aberson M. Sihaloho mengambil inisiatif untuk mencalonkan Megawati sebagai Presiden R.I. dalam persidangan MPR mendatang dengan cara mengedarkan formulir, MS membiarkannya. Aberson tidak di-recall dari keanggotaan DPR, dan juga tidak ditegor maupun dikenakan tindakan disipliner.

Beberapa bulan kemudian mulai beredar desas desus, bahwa Megawati akan digusur dari kedudukannya sebagai Ketua Umum. DPP Megawati tidak pernah bersikap tidak bersahabat terhadap pemerintah kecuali bersikap bahwa R.I. adalah sebuah republik yang demokratis dan R.I. adalah negara hukum.

Sebagai Ketua Litbang, saya diberi tugas oleh Megawati agar meneliti kebenaran desas desus tersebut, dan mengapa dirinya akan digusur. Yang diperoleh dari Litbang adalah informasi bahwa ada laporan masuk ke Presiden Soeharto yang mengatakan bahwa kalau PDI dipimpin oleh Megawati dalam pemilu tahun 1997 diperkirakan akan mendapat 42 % dari seluruh suara. Kalau Fraksi-PDI di dalam persidangan MPR tahun 1998 dipimpin oleh Megawati, akan berani mencalonkan Megawati sebagai Presiden R.I., sehingga pak Harto akan mempunyai tandingan. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kalau Fraksi-PDI di MPR dipimpin oleh Megawati, akan berani menolak pidato pertanggung jawaban Presiden.

Konon kabarnya, setelah menganalisa ini semuanya, diperintahkan bahwa Megawati harus digusur dengan cara apapun juga. Maka cara menggusurnya sangat lucu.

Tadi telah saya singgung, bahwa dalam membentuk DPP, Megawati dipaksa memasukkan boneka-boneka pemerintah. Maka DPP-nya tidak pernah kompak. Ketika para boneka ini diperintah oleh pemerintah untuk menggusur Megawati beserta para anggota DPP lainnya yang punya pendirian sendiri, 16 dari 27 anggota DPP melakukan rapat pada tanggal 3 Juni 1996 tanpa mengundang yang 10 anggota lainnya, termasuk Megawati.

Rapat ini mengambil keputusan untuk menyelenggarakan kongres, dan mereka langsung lari ke Menteri Dalam Negeri yang sudah menungguinya beserta banyak wartawan. Menteri Dalam Negeri langsung menyatakan bahwa keputusan untuk menyelenggarakan kongres adalah sah.

Dengan demikian diselenggarakanlah kongres tanpa mengundang Megawati beserta 9 anggota DPP lainnya. Toh kongres dinyatakan sah, dan pemerintah hanya mengakui DPP bentukan kongres yang palsu ini dengan Soerjadi sebagai Ketua Umumnya.

Bagaimana sikap Megawati ? Kebiasaan dan budaya yang berlaku ketika itu, seperti yang dialami dan dilakukan oleh Soerjadi adalah mengalah, menerima begitu saja. Tidak demikian dengan Megawati. Dia berpendirian bahwa terjadi beda pendapat antara pemerintah dengan DPP-nya yang digusur. Dia berpendirian bahwa di dalam negara hukum, yang harus memutuskan pendapat siapa yang benar adalah aparat keadilan. Maka digugatlah Soerjadi dan kawan-kawan beserta pemerintah. Sampai sekarang masih berlangsung proses pengadilan di 200 tempat di seluruh Indonesia. Sudah ada 7 pengadilan negeri yang menyatakan bahwa yang sah adalah DPP yang dipimpin oleh Megawati. Jadi jauh-jauh hari sebelum ada orang berani melawan pemerintah, Megawati sudah berani melawan pernerintah yang jelas- jelas sewenang-wenang. Tetapi perlawananannya memang tanpa kekerasan dan tanpa ucapan-ucapan yang kasar. Tata bahasanya tetap sopan dan santun, dan jalurnya jalur hukum yang konstitusional.

Pertanyannya adalah apakah ini bukan pencermin dari Megawati yang mempunyai konsep dan pikiran sehat ditambah dengan keberanian bersuara, mengambil sikap dan bertindak untuk membela kebenaran, keadilan dan demokrasi ? Mohon diingat kembali betapa represif dan betapa besar resiko untuk bersikap berani melawan Presiden Soeharto dan pemerintah ketika itu. Memang, sebagai akibatnya, PDI Perjuangan dan Megawati beserta banyak orang lain lagi tidak nyaman hidupnya.

Mereka dipanggil dan diinterogasi selama berjam-jam oleh polisi dan Kejaksaan Agung. Mereka dicekal. Aberson M. Sihaloho divonis penjara. Harjanto Taslam diculik. Banyak tilpun berdering dengan ancaman dan teror. Mohon diperhatikan dan diingat bahwa semuanya ini terjadi jauh-jauh hari sebelum ada gerakan mahasiswa, jauh hari sebelum Soeharto menunjukkan tanda-tanda kelemahan, dan jauh- jauh hari sebelum banyak pahlawan kesiangan tampil menggebu- gebu, ketika keadaan sudah memungkinkan sikap yang demikian tanpa resiko seperti yag diemban oleh Megawati. Apakah ini tidak menunjukkan bahwa Megawati mempunyai karakter, mempunyai pendirian yang teguh, tidak palsu, tidak munafik, dan berani menanggung resiko apapun untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan demokrasi ?

Seperti dikatakan tadi, jauh jauh hari sebelum adanya gerakan reformasi, anggota DPR Aberson M. Sihaloho memobilisasi pendapat di kalangan warga PDI sendiri untuk mencalonkan Megawati sebagai Presiden R.I. Akibatnya adalah bahwa banyak sekali warga PDI yang menanyakan kepada Megawati, apakah dirinya bersedia dan sanggup menjadi Presiden R.I. ? Megawati tidak menjawabnya selama 5 bulan, karena membutuhkan waktu untuk berpikir. Setelah pertanyaan yang bertubi-tubi ini tidak dapat dibendung lagi, Megawati mengatakan bahwa sudah banyak nama yang disebut sebagai cocok untuk menjadi Presiden R.I. Tetapi kalau mereka itu tidak ada yang berani menyatakan dirinya sanggup menjadi Presiden, biarkanlah Megawati yang menyatakan bahwa dia sanggup, bersedia bekerja keras dan memikul tanggung jawab yang sangat besar ini, apabila rakyat memang menghendakinya. Ini terjadi sebelum ada satu orangpun yang menyatakan berani menjadi Presiden. Suasana ketika itu bisa sangat merugikan yang bersangkutan, karena pemerintah ketika itu menganggap sangat kurang ajar kalau ada yang berani menjadi Presiden, sedangkan pak Harto telah menyatakan kesanggupannya menjadi Presiden.

Kejadian berikutnya adalah pada tanggal 1 Maret 1998 ketika Presiden Soeharto mengucapkan pidato pertanggung jawabannya kepada MPR. Ketika itu tidak ada satupun yang menyatakan menolak pidato pertanggung jawaban tersebut. Sore hari pada tanggai 1 Maret 1998 itu juga, Megawati memberi konperensi pers yang menyatakan menolak pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto, karena di dalamnya tidak men- cerminkan keadaan yang sebenarnya.

Tentang harta kekayaan keluarga Soeharto, dalam pernyataan penolakan itu juga Megawati mengatakan hendaknya pak Harto menggugat majalah Forbes yang mengatakan bahwa dirinya mempunyai simpanan sebesar 16 milyar dollar AS di luar negeri. Kalau tidak mau menggugat, maka beliau perlu memasukkannya di dalam pidato pertanggung jawabannya kepada MPR. Ini terjadi jauh sebelum adanya "keberanian" dan eforia "melawan" Soeharto.

Sekali lagi, Megawati memang mengucapkan- nya dengan bahasa yang sopan dan santun, tidak menggebu-gebu dan tidak menghujat.

Ketika eforia penghujatan terhadap Soeharto terjadi di halaman kampus Universitas Trisakti atas tewasnya 4 mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembaki, Megawati datang sebentar hanya memberikan ungkapan belasungkawa. Dia sama sekali tidak berniat ikut berpidato. Tetapi dia didaulat oleh para mahasiswa sehingga memberikan pidato yang sangat singkat menyatakan rasa belasungkawanya. Mengapa ? Karena semua yang perlu diucapkan sudah dikatakan jauh-jauh hari sebelumnya, dan karena hari itu adalah hari duka cita atas tewasnya 4 mahasiswa Trisakti.

Demikianlah ketika para mahasiswa berkumpul di halaman DPR/MPR dan harnpir setiap orang yang terkenal mengucapkan pidato yarig menggebu-gebu menghujat pak Harto, Megawati sama sekali tidak muncul.

Megawati yang dihujat sebagai orang yang tidak memberikan kepemimpinan, ketika kepemimpinannya diharapkan. Saya sempat mempermasalahkannya dengan dia. Dia menanyakan kembali, apa yang masih dapat dikatakan setelah semuanya dikatakan jauh-jauh hari sebelumnya seperti yang dikemukakan di atas ? Dia juga menanyakan kepemimpinan kepada siapa ? Kepada rakyat Indonesia atau kepada para mahasiswa yang berkumpul di halaman DPR/MPR ? Dia juga mengatakan bahwa dia mengetahui apa yang terjadi di sana adalah lebih banyak menghujat pak Harto yang keterlaluan, ketimbang mengemukakan pikiran-pikiran yang konstruktif untuk keluar dari kemelut yang melanda bangsa kita.

Maka pada tanggal 1 Juni 1998, dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila, Megawati menyerukan supaya berhenti menghujat pak Harto dengan bahasa yang demikian kasar dan sudah melampaui batas-batas kewajaran.

Banyak yang tidak paham, tetapi lebih banyak lagi, terutama masyarakat internasional yang menyatakan rasa hormatnya. Megawati yang diinjak, diteror, dirampas hak-hak politiknya dengan cara yang kotor, keji dan berdarah (peristiwa 27 Juli) ternyata tidak ikut menggebu- gebu di dalam efora penghujatan kepada pak Harto. Pemimpin yang tempekah dia ataukah pemimpin yang berjiwa besar ?

Kwalitas Megawati

Yang saya tangkap dari beberapa doktor politik adalah bahwa dengan semua yang saya tulis tadi, Megawati bukan pemimpin. Dia hanya mempunyai nama Soekarno di belakangnya. Seandainya tidak, dia hanyalah ibu rumah tangga biasa. Ini pendapat banyak doktor dalam ilmu politik, dan tidak sedikit yang meraih titelnya di universitas-universitas terkemuka di luar negeri. Sebagai orang yang tidak pemah belajar politik, saya tidak dapat memberikan argumen menentang pendapat mereka. Tetapi sebagai orang yang terus menerus bertukar pikiran dengan Megawati, dan sebagai orang yang terjun langsung di lapangan arena politik, intuisi saya mengatakan bahwa Megawati mempunyai kwalitas yang sangat krusial sebagai panutan dalam zaman yang sedang kita jalani sekarang ini. Jangan salah paham. Saya tidak mengatakan bahwa dia mempunyai segala kwalitas sebagai Presiden R.I., tetapi jelas mempunyai banyak kwalitas yang krusial sebagai panutan.

Apa itu ? Moral yang tinggi, integritas yang tinggi, tidak munafik, berani membela kebenaran, keadilan dan demokrasi tanpa memikirkan sedikitpun apa resiko untuk dirinya. Jujur dan sama sekali tidak pernah terjangkit oleh KKN di masa lampau sampai saat ini. Mengapa saya mengatakan bahwa sifat-sifat dan karakter seperti ini adalah krusial untuk dijadikan panutan ? Karena semua malapetaka yang sedang kita hadapi kalau ditelusuri sampai pada akar-akarnya, penyebabnya adalah moralitas yang rendah, tiadanya integritas, berkecamuknya KKN, kepalsuan, kemunafikan dan kepura-puraan. Beberapa pengamat politik mengatakan bahwa karakteristik dan sifat-sifat vang demikian memang merupakan kekuatan moral, tetapi tidak berarti bisa menjadi Presiden !

Mungkin benar, tetapi siapa yang mengatakan bahwa Megawati ingin menjadi Presiden R.I. ? Megawati hanya memberikan jawaban kepada warganya yang menanyakan apakah dia bersedia bekerja sangat keras sebagai Presiden sambil memikul tanggung jawab yang demikian besarnya? Setelah berpikir 5 bulan lamanya, dia menyatakan sanggup. Setelah itu dia sendiri tidak pernah bicara tentang kepresidenan buat dirinya.

Kongres di Bali tanggal 8-10 Oktober 1998 mengamanat- kan kepada DPP yang baru dipilih supaya mencalonkan Megawati sebagai Presiden R.I. dalam persidangan MPR pada bulan November 1999 nanti. Itu bukan keinginan Megawati.

Berkaitan dengan kepresidenan itu banyak salah paham. Banyak yang mengatakan bahwa Megawati ingin menjadi Presiden, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk itu. Terutama pakar politik luar negeri seperti Wlliam Liddle dan banyak pakar politik Indonesia yang mengata- kan demikian.

Menurut mereka, orang yang ingin menjadi Presiden harus menyatakan dirinya ingin menjadi Presiden. Lantas melakukan kampanye betapa hebatnya dia dan betapa kemampuannya untuk menjadi Presiden. Membentuk panitya pemenangan, menyewa perusahaan public relations yang profesional, pergi ke kerumunan orang-orang dan menyalami mereka sambil minta supaya memilihnya sebagai Presiden.

Megawati tidak melakukan itu semuanya, karena titik tolak pikir dan sikapnya memang tidak mau menjadi Presiden, kecuali rakyat menghendakinya. Maka dia pasif saja melihat apakah rakyat memang menghendakinya atau tidak. Bahwa dia menyatakan dirinya sanggup dicalonkan adalah semata-mata sebagai respons atas pertanyaan yang bertubi-tubi dari warga PDI sendiri. Jadi urusan kepresidenan adalah urusan internal PDI. Bukan urusannya orang lain. Maka mengapa melancarkan kritik ? Mereka yang berpendapat Megawati tidak mempunyai kemampuan memang tidak perlu memilih Megawati, dan menurut ketatanegara- an yang berlaku di negara kita, mereka itu memang tidak dapat memilih Presiden. Yang dapat memilih adalah para anggota MPR.

E!it dan rakyat dalam politik

PDI Perjuangan memang partainya rakyat jelata yang miskin dantertindas. Bahasa mereka sangat sederhana. Banyak pengamat politik yang berpendapat bahwa kepentingannya tidak perlu diperhitungkan.

Politik ditentukan oleh para elit yang vokal dan yang intelektual. Maka dalam menilai para pemimpin PDI Perjuangan sering terjadi salah persepsi, atau gelombangnya tidak sama. Para pemimpin PDI terbiasa berkomunikasi dengan rakyat jelata di seluruh pelosok tanah air. Merekalah yang membanjiri setiap kali ada tokoh PDI yang datang untuk berdiskusi dengan mereka. Jelas bahwa para pemimpinnya mempunyai spesialisasi berkomunikasi dengan rakyat jelata yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia.

Apakah dengan demikian tidak berarti bahwa para pemimpin PDI itu bodoh dan kampungan, karena yang diwakili adalah "orang-orang bodoh dan kampungan" ? Tidak. Kami yang berkecimpung di tengah-tengah mereka mengetahui bahwa rakyat jelata tidak bodoh. Mereka sangat peka dan pandai merasakan apa yang tidak benar, yang tidak adil, yang palsu, yang munafik dan yang pura-pura. Kemampuan mereka merumuskan ke dalam kata-kata yang ilmiah dan teknokratik memang sangat kurang. Adalah tugas dari politisi dari PDI untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh elit kekuasaan, apakah itu pemerintah ataukah para anggota DPR. Namun demikian, karena dasarnya adalah para pemimpin rakyat jelata, dengan sendirinya bahasanya juga lebih sederhana dibandingkan dengan bahasa yang dipakai oleh para profesor doktor.

Apakah ini berarti bahwa mereka lebih bodoh dari profesor doktor itu sehingga tidak patut mengelola dan memimpin partai politik ? Jelas tidak benar. Mereka juga sarjana, yang lantas langsung membaur dengan rakyat jelata yang dibela kepentingannya. Profesor doktor duduk di menara gading di kampusnya masing- masing dan memberikan pendapat dari orang-orang yang tidak pernah mereka kenal, tidak pernah mereka ajak bicara.

Kenegarawanan dan perpolitikan

Banyak analisa mengatakan bahwa PDI tidak lincah, tidak mengerti politik dan karena itu tidak pemah menyaksikan manuver politiknya.

Memang PDI tidak pandai dan tidak paham dengan manuver poitik, kalau yang diartikan adalah ibaratnya menari lenggak lenggok, menari dangdut goyang pinggul supaya menarik perhatian. PDI memang kurang paham memberikan pernyataan-pernyataan yang keras, yang bombastis dan demagogis.

Yang dipersepsikan oleh para pemimpin PDI mengapa menyibukkan diri dalam bidang politik adalah karena negara harus mempunyai organisasi yang dinamakan ketatanegaraan. Dalam konteks konstitusi kita, ketatanegaraan kita adalah adanya rakyat yang boleh memilih partai yang olehnya dianggap dapat menyuara- kan dan membela aspirasinya. Maka kami mengkhususkan diri dalam bagaimana menangkap aspirasi mereka, dan bagaimana merumuskannya supaya bisa dimengerti oleh pemerintah dalam komunikasi antara partai poitik dan pemerintah di DPR.

Dalam hal pengurusan negara dan perpolitikan kami sangat heran dan sulit mengerti mengapa pernyataan Presiden Soeharto pada tanggal 19 Mei 1998 mendapat tentangan begitu keras dari pengamat dan pakar politik yang profesor doktor itu. Presiden Soeharto ketika itu mengatakan bahwa dirinya akan membentuk Komite Reformasi yang diketuainya sendiri. Komite Reformasi akan terdiri dari tokoh-tokoh yang independen. Tugas Komite Reformasi adalah mengubah 5 buah undang-undang dalam bidang politik, supaya memungkinkan diselenggarakannya pemilihan umum secepatnya yang benar-benar demokratis. Atas dasar pemilu tersebut akan terbentuklah MPR yang akan segera memilih Presiden dan Wakil Presiden. Ketika itu nanti pak Harto menyatakan dirinya tidak bersedia dicalonkan menjadi Presiden. Apa artinya ini ? Artinya, MPR bentukan pemilu 1997 tidak diberi peran apapun juga. Mengapa ? Karena pak Harto ketika itu yakin, bahwa MPR bentukan 1997 dianggap palsu oleh rakyat yang dikatakan bodoh itu.

Setiap orang mengetahui, bahwa pemilu tahun 1997, seperti halnya dengan pemilu tahun-tahun sebelumnya adalah palsu, karena kemenangan Golkar didasarkan atas teror mental, intimidasi, penyuapan, dan sebagainya.

Maka PDI menangkapnya dengan positif dan Litbangnya segera memberikan konperensi pers yang mendukung gagasan tersebut dengan catatan bahwa Ketua Komite Reformasi bukan pak Harto, dan supaya undang-undang yang dibahas tiga saja, yaitu yang menyangkut pemilu, partai politik dan kedudukan DPR dan MPR.

Tetapi gagasan Presiden Soeharto buyar, karena para intelektual yang vokal itu mengatakan bahwa yang dikemukakan oleh pak Harto hanyalah manuver politik untuk membeli waktu, agar dia bisa menelurkan akal-akalan untuk melanggengkan kekuasaan- nya.

Apa alternatif yang sekarang diterima ? MPR bentukan pemilu 1996 yang palsu itu, yang di dalamnya ada PDI boneka pemerintah yang sangat palsu itulah yang akan membahas tiga buah undang-undang sebagai landasan pemilu yang direncanakan akan diselenggarakan bulan Juni 1999. Yang diterima oleh para pakar politik itu adalah agenda yang ditentukan oleh DPR palsu dengan pemerintah yang palsu, yang mengatakan bahwa MPR akan bersidang tanggal 10 November 1998 untuk menetapkan tiga buah undang-undang politik, menyeleng- garakan pemilu di bulan Juni 1999 dan MPR baru akan bersidang rnemilih Presiden dan Wakil Presiden bulan November 1999.

Mengapa ada keyakinan bahwa BJ Habibie tidak membeli waktu untuk melanggengkan kekuasaannya melalui berbagai rekayasa dan rencana penyuapan ? Mengapa jarak waktu antara pemilu dan pemilihan Presiden demikian lamanya, yaitu antara bulan Mei dan Novem- ber?

Dengan demikian, kalau skenario dan gagasan yang telah disepakati oleh pemerintahnya Habibie dengan DPR-MPR-nya Harmoko berlangsung, akan tetap saja terjadi kesenja- ngan yang lebar antara legitimasi dan legalitas. Legitimasi adalah dukungan yang sebenarnya dari rakyat, sehingga demokrasinya adalah demokrasi sejati yang mencerminkan kebenaran material. Legalitas adalah yang di atas kertas adalah legal, tanpa peduli, apakah kebenaran formal yang di atas kertas itu didukung oleh kebenaran material dalam bentuk keinginan dan suasana batin rakyat.

Legitimasi dan legalitas

Memang pemerintah sangat senang dengan asas legalitas. Maka dalam kasus PDI yang dipegang adalah asas legalitas, tanpa peduli apakah asas legalitas itu didasarkan atas kepalsuan atau tidak. Tanpa peduli apakah asas legalitas itu mengakibatkan Soerjadi dikejar-kejar dan dilempari batu oleh rakyat atau tidak. Tanpa peduli apakah asas legalitas itu hasil rekayasa, penggarapan, penindasan, penculikan, pembunuhan atau tidak. "Itu adalah zaman orde baru" kata orang. Siapa bilang ? Pemerintah yang menamakan dirinya reformasi pimpinan BJ Habibie masih mempertahankan- nya. Beberapa kebijaksanaan pemerintah orde baru pimpinan Soeharto dikoreksi, tetapi tidak yang satu ini, yaitu yang menyangkut PDI.

Yang menyangkut PDI ini, pemerintah Habibie bahkan membiarkan nalar diperkosa, membiarkan kita menjadi dungu. Mengapa ? Karena pengambilan keputusan oleh mayoritas tanpa mengikut sertakan yang minoritas dianggap sah, legal dan mengikat seluruhnya. Pemerintah Habibie menganggap wajar dan benar adanya Mahkamah Agung yang memisah gugatan PDI menjadi dua, yaitu gugatan terhadap Soerjadi dan kawan-kawan dan gugatan terhadap Pangab, Kapolri dan Menteri Dalam Negeri.

Gugatan terhadap kelompok pertama boleh diteruskan prosesnya di pengadilan, tetapi gugatan terhadap kelompok kedua tidak boleh diteruskan. Alasannya adalah karena pengadilan tidak berhak mengadili kebijak- sanaan pemerintah.

Mengapa situasi yang seperti ini adalah situasi yang dungu ? Karena keputusan Mahkamah Agung yang menjadi yurisprudensi itu menyatakan bahwa di dalam organisasi apapun juga, termasuk Perseroan Terbatas, kalau direksi yang mayoritas mengambil keputusan tanpa mengikut sertakan Direktur Utama dan Direktur lainnya yang bertindak sebagai Sekretaris Direksi dianggap sah, mengikat perseroan dan mengikat anggota direksi lainnya yang tidak diajak berapat.

Mengapa situasi di atas lebih dungu lagi ? Karena pemerintah memang boleh memerintah- kan menculik orang, membunuh orang, ber-KKN-ria, asalkan pemerintah menyatakan bahwa semuanya itu adalah kebijaksanaan pemerintah.

Toh ada suara dari unsur pemerintah yang mengatakan bahwa Soeharto dan keluarganya harus diusut tentang harta kekayaan dan kemungkinan melakukan praktek KKN. Bagaimana kalau pak Harto menyatakan bahwa semuanya memang benar, dan itu dilakukan sebagai kebijaksanaan dari pemerintah yang sah ?

Pemerintah Habibie tidak mau tahu tentang hal itu. Pendirian mereka adalah, pokoknya, saya memang ngawur, tetapi saya berkuasa, lu mau apa ? Pokoknya senjata ada di pihak saya, lu mau apa ? Lantas apa bedanya dengan pemerintah orde baru ?

Banyak pakar hukum yang geleng-geleng kepala tidak mengerti betapa pemerintah telah ngawur sama sekali. Apa artinya onrechtmatige overheidsdaad dan apa artinya pula adanya PTUN ?

Bagaimana pendapat beberapa pakar politik ? Apakah PDI yang ngawur ataukah PDI punya konsep hukum yang membuat pemerintahannya Prof. Dr. BJ Habibie ngawur ?

Notabene, PDI Perjuangan menyelenggarakan sarasehan pada tanggal 28 September 1998 yang mendapat perhatian dan minat sangat besar, di mana PDI Perjuangan mengemuka- kan pokok-pokok pikirannya tentang penyelenggaraan negara yang baik. Pada tanggal 8 Oktober 1998, Megawati di lapangan Japa di Denpasar, Bali memberikan pidato pembukaan Kongres PDI Perjuangan, yang konon kabarnya dianggap berisi dan berbobot. Setujukah beberapa doktor dan profesor doktor dalam bidang ilmu politik ?

Demikianlah saya telah menyinggung sedikit tentang PDI Perjuangan dan Megawati Soekarnoputri dalam kaitannya dengan beberapa butir pikirannya dalam bidang ekonomi, poitik dan hukum. Makium, saya tida pernah belajar politik. Mohon maaf kalau ditinjau dari sudut ilmu politik tulisan ini salah sama sekali.



Saatnya Mengkaji Kembali Standar Akuntansi Indonesia


ANALISIS KWIK KIAN GIE


DALAM program pemulihan ekonomi IMF yang dikenal dengan nama letter of intent disebutkan bahwa Pertamina, PLN, dan Bulog akan diaudit oleh auditor luar negeri. Pelaksanaannya sudah dimulai, yakni Pertamina diaudit oleh Price Waterhouse Coopers. Mereka mengungkapkan terjadinya korupsi sebesar 6,1 milyar dollar AS dalam dua tahun.

Menteri Keuangan Bambang Subianto mengatakan bahwa itu tidak korupsi, melainkan inefisiensi. Lebih membingungkan lagi adalah kenyataan bahwa Pertamina setiap tahunnya tentunya sudah secara rutin diaudit oleh badan audit pemerintah, yang menyatakan bahwa laporan keuangannya menunjukkan kewajaran.

Lantas siapa yang benar? Semuanya benar. Badan audit pemerintah dan akuntan publik yang beroperasi di Indonesia lainnya, termasuk Price Waterhouse Coopers sendiri yang punya kantor di Indonesia, pasti akan menyatakan bahwa di Pertamina tidak terjadi korupsi, dan bahwa angka-angkanya menunjukkan kewajaran. Ini kalau standar dan prosedur yang dipakai adalah standar akuntansi Indonesia.

Maka yang perlu dipertanyakan adalah perintah dan kerangka acuan audit apa yang diberikan kepada Price Waterhouse Coopers terhadap Pertamina? Apakah sama dengan perintah audit dan kerangka acuan yang biasa dipakai dalam hal memberi perintah audit sesuai dengan standar akuntan Indonesia?

SEPERTI sudah sejak lama dan berulang-ulang seringkali dikemukakan, akuntan Indonesia hanya mencerminkan kebenaran formal. Artinya, auditor mencocokkan apakah setiap pos dalam pembukuan ada dokumen dasarnya. Misalnya ada pengeluaran dengan jumlah uang tertentu untuk pembelian barang atau jasa. Maka dalam file dilihat, apakah ada kuitansinya. Kalau ada dan jumlahnya sama, maka dianggap wajar. Apakah harga atau nilai barang wajar menurut harga pasar, oleh akuntan auditor tidak dipermasalahkan. Ini kalau kerangka acuannya adalah audit biasa yang dilakukan berdasarkan Standar Akutansi Indonesia.

Maka bisa terjadi bahwa laporan keuangan yang sama yang diaudit oleh auditor yang sama, hasilnya sangat berbeda, tergantung penugasan dan kerangka acuannya apa. Tidak perlu menggunakan Price Waterhouse Coopers. Kalaupun akuntan Indonesia diberi tugas melakukan audit yang dinamakan audit investigatif, hasilnya akan lain. Dalam audit yang seperti ini, barang tidak dinilai sesuai dengan angka yang tercantum dalam dokumen pembukuan, melainkan berapa harga barang itu di pasaran ketika dibeli.

Aspek lain adalah bahwa audit biasa tidak mesti dibarengi dengan inventarisasi barang secara fisik dan 100 persen. Bisa tidak dilakukan inventarisasi sama sekali. Bisa hanya dilakukan secara sampling. Audit investigatif dilakukan dengan 100 persen menghitung barang yang ada di gudang, apakah sama dengan yang tercantum dalam pembukuan.

Saya pernah mengalami sendiri ketika saya masih pengusaha. Saya mempunyai laporan keuangan yang diaudit biasa oleh kantor akuntan yang terbesar di Indonesia dan mempunyai jaringan internasional. Induknya termasuk dalam lima besar perusahaan akuntan publik di dunia. Akuntan yang sama diberi tugas untuk melakukan acquisition audit atau investigative audit. Caranya mengaudit bukan main. Bukan hanya barang yang ada di gudang dihitung apakah jumlahnya sama dengan yang ada di pembukuan, tetapi semua barang, sampai komponen-komponen elektronik yang sangat kecil diperiksa satu per satu apakah sudah karatan atau belum. Yang sudah karatan dicoret dari pembukuan. Hasilnya tentu sangat buruk. Nilai aset dan net worth perusahaan menurun drastis.

Dengan demikian ada dua laporan keuangan audit tentang perusahaan yang sama, untuk kurun waktu yang sama, oleh perusahaan akuntan publik yang sama. Tetapi yang tercermin dari laporan yang satu dengan lainnya berbeda sangat besar, ibaratnya antara bumi dan langit.

***

SEBELUM Pertamina, sudah terjadi di BPPN. Perusahaan-perusahaan yang demikian banyak jumlahnya itu, yang di bawah penguasaan BPPN, diaudit oleh JP Morgan dan Lehman Brothers. Semua perusahaan itu tentunya mempunyai laporan audit oleh akuntan publik yang bereputasi tinggi. Tetapi hasil pemeriksaan yang dinamakan due diligence itu memberikan gambaran yang jauh lebih buruk dari yang tercantum dalam laporan audit. Nilai perusahaan keseluruhan jatuhnya hanya antara 20 persen sampai 40 persen saja dari yang tercantum dalam laporan keuangan audit biasa.

Dengan pengalaman-pengalaman ini, sikap pemerintah bagaimana? Semua bank yang ingin memberikan kredit sampai saat ini masih mendasarkan analisa kelayakan perusahaan menerima kredit atas dasar laporan keuangan audit yang biasa. Tidak atas dasar due diligence atau investigative audit. Semua investor yang berjual beli saham di Bursa Efek Jakarta juga mendasarkan analisanya pada laporan keuangan audit biasa.

Indikasinya sudah sangat kuat, bahkan sudah terbukti oleh demikian banyaknya perusahaan di BPPN dan Pertamina, bahwa laporan keuangan audit biasa di dalamnya mengandung mark up yang bisa sangat besar jumlahnya. Akibatnya juga sudah dirasakan oleh kita semua, yaitu rusaknya bank-bank karena kredit macet yang sampai ratusan trilyun rupiah.

Yang sangat aneh adalah bahwa demikian banyaknya orang dibiarkan dibuai oleh indahnya angka-angka yang sudah di mark up dan dipoles oleh manajemen perusahaan, yang kemudian dinyatakan sebagai "mencerminkan kewajaran" oleh akuntan publik yang sangat tinggi reputasinya.

Yang lebih mencengangkan lagi adalah lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia mensyaratkan diauditnya Pertamina, PLN, dan Bulog berdasarkan standar akuntansi yang lain dari standar akuntansi Indonesia. Mengapa hanya tiga badan ini saja?

Rasanya sudah waktunya, bahwa pemerintah Indonesia bersama-sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia mengambil prakarsa untuk merumuskan Standar Akuntansi Indonesia baru yang lebih memenuhi kebutuhan zaman reformasi ini, yang lebih jujur, dan lebih mencerminkan kebenaran material.

Sambil menunggu tersusunnya standar akuntansi yang baru tersebut, sesegera mungkin, semua perusahaan harus diaudit lagi berdasarkan due diligence atau investigative audit. Lantas dimasyarakatkan secara luas bahwa laporan inilah yang sebaiknya dipakai oleh stakeholders perusahaan.*



English Version


It's Time to Have A New Indonesia Accounting Standard


By Kwik Kian Gie

The letter of intent agreed by the government and the International Monetary Fund stipulates auditing on state electricity utility PLN, state oil company Pertamina and state logistics agency Bulog by international accountants.

It started with Pricewaterhouse Coopers' audit on Pertamina, which disclosed losses of USD 6.1 billion in corruption over the past two years.

Finance Minister Bambang Subianto said it was inefficiency rather than corruption. Even more confusing was the fact that Pertamina had been audited regularly by state audit agencies, which said the company's financial reports contain no irregularity.

Which on is right? All are right. The state audit agency and public accountants that operate in the country, including Pricewaterhouse Coopers (PWC) that has an office in Indonesia, would say that there was no corruption within Pertamina and there was irregularity in the company's financial report if they employ Indonesia accounting standard.

That questions now; what accounting standard id the PWC employ on Pertamina? Was it the one that followed Indonesia accounting standard? Of course not.

As we have mentioned over and over, Indonesia accounting standard only can only come up with formal truth. Auditors only try to match lists in the books with documents or receipts available. If the documents are there, then the auditors will declare there is no irregularity.

Whether the prices of goods mentioned in financial reports reflect market prices are not an issue to the auditors. This situation happens when auditors employ Indonesia accounting standard.

So, an auditor can come out with two different figures when the auditor employees different accounting standards. We do not need to hire PWC to do that kind of work. If Indonesian auditors are authorized to carry out investigative auditing they will be able to come out with different results.

Audits employing Indonesia accounting standard are not required to do work on goods inventory at all. They could always do it with sampling. Investigative audits have to be conducted by counting all assets available and make sure whether they match figures in financial reports.

I saw experienced such a situation myself when I was still a businessman. I had a financial report to be audited by Indonesia's largest accountancy firm that has international network. It's parent company was one of the world's five largest accountancy firms in the world. The same accountants were also asked to carry out and investigative audit. It was a hell of a work. The accountants did not only count goods stored in warehouse, they also took into account all electronic parts, and checked them to find out which ones were good and which ones were not. The bad ones were written off asset list. The result showed that the net asset value of the company dropped sharply. In that case, there were two audit reports on one single company within the same timeframe.

Earlier, the Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) had also had JP Morgan and Lehman Brothers audit companies placed under the agency. All the company already had financial reports that had been audited by well-reputed public accountants.

But the audit by the two foreign consultancies showed results much worse that reported in those companies' audit. The value of all companies dropped between 20 and 40 percent from that in their own financial reports.

With all this, what should the government do? All banks that plan to extend credits base their analysis on corporate feasibility study. The do not do it based on due diligence or investigative audit. All investors who trade shares on the Jakarta Stock Exchange base their analysis on companies' financial reports.

Yet, investors could still be deceived by marked-up figures in companies' financial reports. We all have seen that many banks have gone under due to debts reaching hundreds of trillion rupiah.

It does seem timely for the Indonesian government together with Indonesia Accountant Association to take an initiative to formulate a new Indonesia accounting standard that lives up to this era of reform. One that ensures greater honesty and truth.

While we are waiting for the new standard, all companies have reaudited based on due diligence or investigative audit. (*)



Senin, 2 November 1998

Catatan untuk RUU Praktek Monopoli


ANALISIS KWIK KIAN GIE

RANCANGAN undang-undang tentang larangan praktek monopoli (RUU-PM) akhirnya sampai juga ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Selama bertahun-tahun orang berteriak tentang perlunya pengaturan persaingan usaha, namun DPR sepertinya tidak mau mendengar. Di saat pemerintah dipaksa harus membuatnya dan harus selesai sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh majikannya, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), DPR tampil dengan hak inisiatifnya untuk menyampaikan RUU-PM itu.

Sendi-sendi utama adalah supaya tidak ada monopoli atau kondisi monopolistik yang diberikan oleh pemerintah, kecuali dalam kondisi dan memenuhi syarat yang dirinci oleh undang-undang. Tidak ada praktek penciptaan kartel ofensif. New entrance atau masuknya perusahaan pendatang baru dalam bidang apa saja tidak dilarang, seperti biasanya dilarang melalui daftar negatif investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman modal (BKPM).

Cara untuk menciptakan monopoli atau kondisi monopolistik sangat banyak, sehingga tidak mungkin dirinci satu per satu di dalam undang-undang. Namun RUU-PM yang sekarang sedang dibahas oleh DPR mencoba merincinya satu per satu, sehingga mengundang banyak pertanyaan, terutama dari kalangan yang benar-benar berdagang.


***

SEBELUM memasuki beberapa materi, ada hal yang sangat strategis dan efektif, yang sama sekali dilupakan. Yaitu adanya ketentuan bahwa setiap orang yang terlibat dalam pembicaraan perencanaan pembentukan kartel ofensif diwajibkan melapor kepada pemerintah. Kalau tidak dan belakangan ketahuan, mereka dapat dikenakan hukuman. Dengan demikian, apriori akan banyak terjaring semua perencanaan, karena bagi para profesional yang disuruh majikan pemiliknya untuk mengotak-atik kartel akan menjadi terlampau besar risikonya kalau tidak melapor, padahal mereka hanya pegawai gajian saja.

Kartel defensif tidak diberi tempat sama sekali. Bagaimana kalau terjadi perang harga yang keterlaluan, sehingga seluruh industri diancam musnah atau merugi? Justru pemerintah perlu memberi kekuatan hukum pada kartel yang defensif seperti ini.

Tentang monopoli sendiri ditentukan, penguasaan pangsa pasar oleh satu atau satu kelompok pengusaha sampai 30 persen sudah dianggap monopoli. Yang dirinci mestinya cara atau praktek dagangnya, bukan penguasaan pangsa pasar. Penguasaan pangsa pasar 30 persen kalau dicapai melalui cara-cara bersaing yang jujur, fair, dan adil harus dibolehkan.

Bagaimana menentukan pangsa pasar yang 30 persen? Setiap menit, setiap jam, setiap hari, bulan atau lebih lama lagi? Penguasaan pangsa pasar setiap saat berubah. Siapa yang menghitung? Apakah akan didirikan biro khusus yang mengolah semua data omzet penjualan dari demikian banyaknya produk? Berarti harus ada wajib lapor tentang volume omzet, dan harus setiap berapa lama sekali? Bagaimana mengukur 30 persen dalam hal persaingan oleh para penyiar TV? Jumlah jam tayang, atau kepadatan pemirsa (kijkdichtheid)?

Pasal 26 melarang penguasaan pangsa pasar sampai 30 persen melalui pemilikan saham. Bagaimana kalau pelaku usaha membeli saham di Bursa Efek yang pangsa pasarnya memang 30 persen, tetapi dia tidak mempunyai kontrol atas perusahaan yang saham-sahamnya dibeli sedikit di sini dan sedikit di sana?

Aspek lain lagi tentang penguasaan pasar yang dibatasi 30 persen. Bagaimana kalau penguasaan pangsa pasar sampai 30 persen diraih dengan menang dalam persaingan yang walaupun sudah dibuat sangat sehat, fair, dan adil? Pangsa pasar 30 persen tidak besar. Maka bisa terjadi bahwa produsen yang excellent dengan hasil produksi yang excellent hanya ada sebesar 30 persen di pasar. Akibatnya adalah memberi peluang kepada yang brengsek untuk tetap laku dijual produknya. Dalam pasar terbuka, produk seperti itu akan digusur oleh barang impor, sehingga barang impor dimungkinkan atas pengorbanan perusahaan excellent yang mencapai pangsa pasar 30 persen.

***

RUU-PM menganggap baru ada monopoli kalau penjual berhadapan dengan banyak pembeli. Aneh. Bagaimana kalau monopoli dibentuk melalui kartel untuk menghadapi pemerintah sebagai pembeli tunggal?

Pasal 6 melarang penjual barang mengikat pembelinya supaya tidak menjual barang sejenis dengan merk lain. Bagaimana dengan praktek yang dianggap sangat wajar dan berlaku umum dalam hubungan keagenan tunggal yang eksklusif? Apakah juga dilarang? Persaingan tidak terganggu dengan adanya banyak agen tunggal yang saling bersaing dengan merek yang dipegangnya masing-masing, walaupun setiap pedagang hanya mengageni satu merek saja.

Pasal 8 melarang mengikat orang yang potensial menjadi pesaing untuk tidak berdagang barang sejenis. Ini juga bertentangan dengan praktek yang ada, di mana manajer kunci dilarang berdagang atau bekerja pada perusahaan pesaing selama batas waktu tertentu setelah meninggalkan pekerjaannya yang lama. Maksudnya supaya tidak menyalahgunakan rahasia perusahaan yang lama, di mana dia memegang jabatan kunci, sehingga mengetahui semua rahasia perusahaan.

Pasal 11 melarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar. Harga pasar itu berapa? Bukankah berfluktuasi sesuai dengan dinamika permintaan dan penawaran atau mekanisme pasar? Lantas kalau banting harga dilakukan sendirian tanpa mengajak pelaku usaha pesaingnya apa boleh?

Pertanyaan untuk pasal 13, apakah benar bahwa undang-undang di Indonesia dapat menjangkau praktek dagang di luar negeri?

Pasal 14 melarang penjual mengikat pembeli untuk menjualnya lagi hanya kepada distributor tertentu saja. Bagaimana kalau PT Dagang dimiliki sepenuhnya oleh PT Pabrik? Apakah PT Pabrik tidak boleh menentukan kepada grosir-grosir tunggal siapa saja PT Dagang boleh menjual? Lagi-lagi, sangat bertentangan dengan praktek dagang yang sudah baku dan terbukti tidak mendistorsi pasar.

Pasal 17 melarang pembentukan monopsoni. Bagaimana kalau para petani yang tercecer lantas membentuk koperasi pembelian, agar pembelian pupuk dan kebutuhan lainnya digabung, sehingga koperasi pembelian menjadi pembeli tunggal yang berkarakter monopsoni menghadapi penjual pupuk yang pedagang besar?

Pasal 18 melarang integrasi vertikal melalui pembentukan kartel. Bagaimana kalau tidak melalui pembentukan kartel? Misalnya pabrik semen memiliki perusahaan kontraktor bangunan?

Pasal 20 ayat b melarang pelaku usaha menghalangi masuknya pesaing. Bagaimana dengan pelaku usaha yang mempunyai anggaran sangat besar untuk melakukan promosi dan iklan besar-besaran, sehingga para pesaingnya apriori menjadi takut masuk ke arena persaingan. Apakah dilarang?

Pasal 20 ayat f melarang pelaku usaha menjadi pembeli tunggal. Bagaimana kalau terjadi secara alamiah, karena memang tidak ada pembeli lainnya yang berminat, mengingat akan demikian unik dan spesifiknya produk yang bersangkutan?

Pasal 23 tidak ada hubungan dan tidak ada relevansinya dengan mekanisme pasar. Semua yang dilarang di sana dengan sendirinya sudah melanggar hukum perburuhan, hukum tentang lingkungan hidup dan hukum tentang perlindungan konsumen.

Pasal 50 ayat d melarang diberlakukannya oleh penjual pengikatan harga secara vertikal (verticale prijsbinding). Ini memang merupakan isu yang kontroversial dan mengundang perdebatan hangat. Tetapi yang berlaku di Indonesia adalah bahwa pedagang TV di Glodok misalnya menjual TV dengan merugi, asalkan mendapatkan uang tunai. Uang tunai ini tidak dibayarkan kepada penjual, karena syarat penjualannya memang dengan kredit tiga bulan. Jadi maksud sebenarnya bukan berdagang TV, melainkan menyalahgunakan uang tunai yang dimungkinkan lewat pemberian kredit yang disalahgunakan. Apakah salah kalau penjual melarang pengecer menjual di bawah harga tertentu? Kalau barang dagangan yang bergengsi dibanting-banting harganya sampai di bawah harga pokoknya, memang merugikan produsen. Produsen tidak boleh melindungi diri?

Demikianlah beberapa catatan, supaya kalau diberlakukan nantinya tidak membuat perdagangan menjadi terkekang dan kacau-balau. *


(c) C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas