Melacak Massa Pendukung Soeharto (1)
"Ada Yang Nawari Uang, Kerja Ringan, Samperin Aja"
Selasa, 19 September 2000
Jakarta (Bali Post) -
PENDUKUNG mantan Presiden Soeharto mulai beraksi secara terbuka menghadapi demonstrasi mahasiswa. Dalam aksinya, pendukung Pak Harto itu tak main-main. Sebab, selain berorasi mereka juga menyiapkan pedang, golok, parang, dan samurai. Bahkan, mereka siap mati untuk membela penguasa otoriter selama 32 tahun di bawah rezim orba itu. Lalu, siapakah mereka? Bali Post melakukan investigasi khusus untuk melacak mereka. Berikut ini kisahnya.
Sekitar 16 metromini bermuatan penuh sesak keluar dari Jalan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Begitu sesaknya, ada juga yang berdiri di pintu, depan dan belakang. Di dasar masing-masing metromini itu bertumpuk pentungan kayu dan batu-batu jalanan. Tidak hanya itu, tiap orang yang ikut dalam rombongan itu terlihat juga membawa samurai, pedang, golok, dan sejumlah senjata tajam lainnya. Selain itu, ada spanduk dan tumpukan poster bernada menolak pengadilan Soeharto juga disiapkan di metromini jurusan Tanjung Priok-Cilincing (P-23) itu.
Di salah satu tumpukan spanduk itu bertuliskan ''Gerakan Orang Islam Bersatu'' -- lebih keren dengan singkatan GOIB. Anehnya, organisasi itu baru sehari dibentuk, sebelum aksi demonstrasi digelar. Tidak ada deklarasi, juga tidak ada AD atau ART. Sebab, organ itu hanya untuk memberi nama aksi demo yang digelar guna mendukung Pak Harto saja. Siapakah mereka? Merekalah pendukung Pak Harto, mantan presiden RI itu. Ke-16 metromini dibagi dua. Satu meluncur ke Jalan Cendana, satu lagi menuju ke tempat pengadilan Pak Harto, di Deptan, Jakarta Selatan. Peristiwa ini terjadi saat dokter pribadi Pak Harto memberikan kesaksian di depan majelis hakim soal penyakit stroke yang diderita Pak Harto selama ini.
Ironis memang, ternyata pendukung Pak Harto adalah orang-orang urban yang berasal dari kawasan paling kumuh di Jakarta. Padahal, Pak Harto adalah mantan penguasa orba. Dia berkuasa selama 32 tahun lamanya. Saat menjabat pun hampir semua kekuatan politik dan militer tunduk padanya. Tetapi, kini setelah lengser, pendukungnya justru kaum miskin yang tinggal di daerah kumuh.
Kalau tidak percaya, pergi saja ke Jakarta Utara. Di sana ada sebuah kampung bernama Kampung Macan. Letaknya di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Nama Kampung Macan menjadi sebutan umum di masyarakat. Sebab, di sana tempat para jagoan dan preman se-Jakarta Utara, khususnya Tanjung Priok.
Memang tak ada yang istimewa dengan kampung ini. Bahkan, kawasan itu tergolong sangat kumuh. Rumahnya berpetak-petak yang terbuat dari kayu hutan. Jalan di sepanjang yang membela rumah itu terlalu sempit untuk ukuran jalan dan berkelok-kelok. Lebih kotor lagi, di sepanjang jalan itu terdapat genangan air got. Warnanya hitam dan baunya menyengat. 'Uss!! Kalau lewat kampung ini, orang sering menutup hidung.
Air tersebut memang bekas air kakus yang mengalir dari rumah berpetak itu. Dulunya kawasan itu bekas rawa-rawa, yang hingga kini masih belum diuruk dengan tanah. Air itu dibiarkan mengalir dari satu rumah ke rumah lainnya. Namun, agar tidak tergenangi air, gubuk-gubuk itu dibuat agak lebih tinggi dengan menggunakan kayu penyangga besar. ''Memang, ada aliran got di sela-sela rumah ini, ya... sekalian buat WC karena tidak ada WC khusus di sini,'' kata Fatimah, yang ditemui Bali Post di rumahnya di kampung itu.
Kawasan ini tergolong sangat menyedihkan. Tidak ada jalan, juga tidak ada penerangan jalan. Yang ada cuma jalan setapak. Itu pun sebenarnya teras sempit rumah petak orang. Sebab, antara rumah yang satu dan rumah lainnya hampir berhimpitan, sesak sekali. Meski begitu, yang menempati rumah petak-petak ini luar biasa banyaknya. Di Kampung Macan, seluas sekitar 10 hektar saja tidak kurang 500 ribu orang tumplek blek di sana.
Tetapi jangan coba-coba membuat gaduh di tempat itu. Sebab, di kampung ini banyak sekali jagoan. Istilah mereka preman. Boleh jadi, kampung ini memang basisnya. Sebab, di situlah para preman berbadan tegap dan kekar itu sering kongko-kongko dan leyeh-leyeh sepanjang hari. Ada yang bermain kartu, ada juga yang judi dan menenggak minuman keras. Para wanitanya banyak yang merokok. Mungkin karena banyak preman itulah, mereka diperalat oleh kroni Pak Harto untuk demo. Sementara wanitanya, banyak yang buangan WTS lokalisasi Kramat Tunggak yang baru saja ditutup. ''Mereka liar di sini, tetapi mau bagaimana lagi,'' kata Sutrisno, tokoh Kalibaru yang sudah 35 tahun tinggal di Priok ini. Para WTS ini kalau malam sering melayani sopir truk yang memuat petikemas di pelabuhan petikemas di Tanjung Priok, tak jauh dari Kampung Macan.
Para preman ini kerjanya cuma meminta uang dari para pedagang. Operasi resminya di Pasar Waru, sekitar satu kilometer dari rumah petak mereka. Tetapi tak jarang mereka sering membuat ulah, seperti minum-minuman keras dan perkelahian antarpreman.
Namun, jangan salah. Sebab, ternyata warga kampung ini memang sudah terbiasa demonstrasi. Sebab, menjadi kuli di pelabuhan sering tidak menjanjikan. Banyak nganggurnya daripada bekerjanya. Tak heran, ketika ditawari ikut demonstrasi dengan bayaran besar, mereka semua ikut. Apalagi, ketua RW-nya sendiri yang mengkoordinir. ''Kalibaru memang daerah sangat miskin, sehingga warganya banyak diperalat untuk melakukan demo. Seperti demo mendukung Pak Harto kemarin itu,'' kata Kapolsek Cilincing Asisten Superintendent Taman Setiawan kepada Bali Post di ruang kerjanya kemarin.
Ketua RW X Kalibaru itu bernama Birin Sanako. Orang biasa menyebutnya Pak Danton. Melalui Pak Danton inilah orang-orang Soeharto membayar warga Kalibaru untuk berdemonstrasi. Anehnya, demonstran itu dibayar tidak sama. Ada yang Rp 20 ribu, ada Rp 23 ribu. Ada juga yang dibayar Rp 50 ribu. Padahal, tidak ada ukuran mengapa mereka harus dibayar berlainan.
Penduduk Kalibaru, juga Kampung Macan, kebanyakan menjadi kuli pelabuhan dan nelayan. Banyak pula yang bekerja sebagai tukang ojek sepeda pancal atau pengayuh becak. Selain itu, ada juga yang menjadi pedagang di pasar. Untuk menjangkau tempat ini memang tidak terlalu sulit. Sebab, angkutan kota juga melewati daerah ini. Hanya, perlu berjalan sekitar satu kilometer untuk bisa sampai ke tempat kumuh itu. Kalibaru terletak persis di belakang sepanjang pelabuhan petikemas Tanjung Priok. Semula kawasan ini rawa-rawa yang dalamnya bisa mencapai lima meter. Namun, karena kebutuhan tempat tinggal bagi para urban dari Jawa, Madura, dan Sumatera, rawa-rawa itu disulap menjadi rumah berpetak-petak yang terbuat dari papan-papan kayu. Ukuran rata-ratanya hanya 3 x 5 meter. Ada yang ditingkat dua tetapi ada juga yang tidak. Rumah-rumah petak itu memang tidak permanen.
Orang Kampung Macan ini bukan sekali ini saja dikerahkan untuk demonstrasi mendukung kelompok tertentu. Sejak Pak Harto lengser, mereka juga sering diajak demo. ''Saat Pak Habibie dulu, kami juga ikut demo,'' kata Mansur, tokoh pemuda yang paling disegani di kawasan Cilincing dan sekitarnya itu. Pemuda bertubuh bongsor itu terkenal dengan nama samaran Ucuy. ''Siapa yang tak tahu Ucuy,'' katanya berlagak.
Yang terpenting buat mereka adalah uang. Bukan aliran politik atau ideologi. ''Cari uang itu susah, kalau ada yang nawari uang dengan kerja ringan, ya... samperin aja,'' ujar Sutrisno, arek Malang yang sukses berdagang bakso ini. Jadi, mendukung siapa pun tak jadi soal baginya. Yang penting itu dapat bayaran. Karena itu, ketika Pak Harto mencari dukungan, warga Kampung Macan pun siap sedia melayaninya. Asalkan, uang sudah harus di tangan saat demo baru start.***
Back
Forward