DAULAT RAKYAT 21. Juli 1997
Opini Rakyat Indonesia
Diterbitkan oleh
Partai Uni Demokrasi Indonesia
Terbit setiap hari Senin
Edisi Senin, 21 Juli 1997
Pasal 28 UUD :
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
27 JULI: HARI RAKYAT DIBANTAI
Sabtu pagi 27 Juli 1996 sekitar pukul 6.15 itu sebanyak tujuh truk berwarna
kuning, mirip truk sampah, yang sarat dengan pemuda berkaos merah berhenti
di depan kator DPP-PDI jalan Diponegoro. Para pemuda berkaos merah
bertuliskan "Pro Kongres Medan" itu segera turun, dan dengan bersenjatakan
batu, pentungan dan senjata tajam segera melakukan provokasi terhadap Satgas
PDI dari kubu Megawati yang sedang menjaga gedung DPP-PDI. Para pendatang
ini melempari Satgas PDI ini dengan batu. Di sini serangan yang pertama batu
dimulai.
Lima belas menit kemudian, sekitar 500 personil dari pasukan anti huru-hara
dengan peralatan lengkap, seperti tameng, tongkat dan tabung gas air mata
tiba di tempat yang sama. Mereka membantu serangan batu terhadap gedung PDI
ini. Sepuluh menit kemudian tiba pula ratusan tentara yang dibantu oleh dua
panser. Panser diparkir di bawah jembatan layang kereta api di belakang
kantor Pos Polisi Megaria.
Pada sekitar jam 7.30, Kapolres Jakarta Pusat, Letkol (Pol) Abubakar
Nataprawira mencoba menghentikan perang batu untuk bernegosiasi dengan para
Satgas PDI. Tetapi perundingan gagal. Dua ambulans yang datang untuk
mengangkut mereka yang terluka ditolak Satgas masuk halaman.
Serangan batu kedua dimulai pada jam 8.15. Kali ini hujan batu lebih hebat.
Pasukan anti huru-hara mulai merapat ke pagar tembok, dan dengan komando
Dandim Jakarta Pusat, Letkol Jul Effendi, pagar bagian Timur berhasil
dijebol dan masuklah "pasukan merah" ke dalam gedung. Maka terjadilah
penyerbuan berdarah itu! "Genangan darah itu membuatku merinding. Jeri
tangis dan lolongan serta permintaan tolong terdengar dari mereka yang
terluka. Mereka menyebut-nyebut kebesaran nama Allah", seorang saksi
menceritakan kembali apa yang dilihatnya.
Sekitar setengah jam kemudian tampak sejumlah Satgas PDI dan empat wanita
yang selamat dari penyerbuan digelandang naik ke truk aparat. Sedangkan
puluhan dari mereka yang terluka dan mati ditandu masuk ke ambulans polisi
yang mondar-mandir datang dan pergi.
Seluruh peristiwa tersebut disaksikan oleh belasan wartawan yang memang
sudah bertahan semalaman sebelum penyerbuan. Tetapi mereka diusir oleh
aparat menjelang saat-saat penyerbuan, sehingga akhirnya mereka hanya bisa
menyaksikan dari jarak ratusan meter di bawah jembatan layang kereta api.
Setelah peristiwa penyerbuan berdarah itu, secara berangsur-angsur ratusan
masa mulai berdatangan dan terkonsentrasi di pertigaan Megaria. Mereka tidak
saja dari para anggota dan simpatisan PDI, tapi juga para pemuda dan
pelajar, mahasiswa, aktivis LSM, buruh, pedagang kaki-lima an penduduk biasa
lainnya. Mereka inilah yang selama Mimbar Bebas yang digelar sebulan penuh
sebelumnya berkerumun di sekitar Gedung DPP-PDI. Mereka meneruskan Mimbar
Bebas di bawah jembatan layang, dan berpidato mengecam penyerbuan berdarah
itu. Situasi semakin memanas dengan semakin banyaknya masa yang berkumpul.
Ratusan tentara akhirnya diterjunkan pula di sekitar lokasi dari arah
Bunderan HI dan Cikini.
Pada sekitar jam 14.00 Bambang Widjojanto, Ketua Dewan Pengurus YLBHI, RO
Tambunan, Ketua Tim Bantuan Hukum PDI-Megawati, serta Soetardjo
Soerjogoeritno dari DPP-PDI tampak keluar dari gedung YLBHI menuju ke gedung
DPP-PDI untuk berunding dengan pihak aparat. Belum lama perundingan dimulai
dengan pihak Kapolres, tiba-tiba Letkol Jul Effendi meneriakkan "Majuuu!"
sebagai perintah bagi anak buahnya untuk maju. RO Tambunan berusaha
mencegah, tetapi Jul Effendi tidak peduli, bahkan memberi komando:
"Serbuuu!" ke arah kerumunan masa. Ratusan tentara menyerbu ke kerumunan
ratusan rakyat! Setelah itu terjadilah malapetaka kedua! Kerumunan masa
berhamburan dan tubuh-tubuh bergelimpangan jatuh di jalanan. Masa rakyat
yang masih sempat berlarian ke arah Salemba, Matraman dan Cikini di
sepanjang jalan Diponegoro dan jalan Proklamasi.
Para tentara yang masih kelihatan muda-muda itu dengan kalap mengejar,
menyerang dan menganiaya setiap otrang yang terkejar. Mereka tidak peduli
dengan siapa saja yang mereka temui, pemuda, mahasiswa orang yang sedang
berjalan, tukang-tukang warung, pedagang kaki lima dan semua orang yang
dijumpai di jalanan. Dengan mata beringas mereka berteriak-teriak histeris
menghujat PDI dan Megawati dengan kata-kata kotor sambil mengayunkan pukulan
dari tangan dan kaki mereka.
Setengah jam kemudian mulai terdengar ada letusan dikejauhan. Asap hitam
kelihatan membubung tinggi di arah Salemba. Ada bus yang dibakar di depan
RSCM Tjiptomangoenkoesoemo. Gedung pertanian dibakar pula. Rupanya di daerah
Salemba dan Matraman terjadi pula konsentrasi masa. Rakyat bertahan di sana.
Para tentara terus mengejar. Apa yang terjadi kemudian adalah amukan masa.
Meskipun beberapa gedung dan puluhan kendaraan terbakar, yang nantinya
melahirkan berbagai teori siapa pelaku yang memulai pembakaran itu, tetapi
sampul majalah TIME dan The Economist dengan jelas memperlihatkan foto
seorang pemuda yang sedang melemparkan bom molotov dari tangan kanannya,
tetapi dengan menggenggam sebilah sangkur militer di tangan kirinya.
Baru tiga bulan kemudian, 12 Oktober, Komnas HAM muncul dengan laporan
finalnya tentang korban yang jatuh: 5 tewas, 23 hilang, dan 149 terluka.
Sampai hari ini tidak diketahui nasib 23 orang yang hilang itu. Sangat
diduga mereka telah tewas dan dikubur entah di mana.
Tentu saja angka korban Peristiwa 27 Juli itu sangat kecil dibanding dengan
penyerbuan yang brutal dari para militer kita di Peristiwa Tanjung Priok
(1978), Peristiwa Lampung (1989) dan Peristiwa Santa Cruz (1991) serta
banyak peristiwa lain. Tidak saja orang-orang dewasa yang terbunuh dalam
peristiwa kebrutalan militer itu, tetapi juga wanita, anak-anak, dan bahkan
bayi pun ikut dibantai dengan cara yang amat keji. Rakyat Indonesia tidak
akan pernah lupa atas berbagai peristiwa pembantaian oleh militer terhadap
rakyat kecil sipil Indonesia yang sekedar menuntut-hak-hak mereka yang asasi
itu.
Kejadian demi kejadian itu jelas merupakan pelanggaran terang-terangan atas
hak-hak rakyat untuk hidup secara merdeka dalam alam Indonesia merdeka di
mana rakyatlah yang berdaulat. Kita semua masih ingat akan cita-cita
kemerdekaan, terlebih-lebih karena itu tertulis jelas dalam Mukadimah
Konstitusi: ". . . . Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. . . ."
Untuk mengingat kembali tumpahnya darah rakyat dalam alam kemerdekaan ini,
maka dengan ini kami, atas nama rakyat Indonesia, menetapkan 27 Juli sebagai
Hari Rakyat Berkabung Nasional. Itu adalah tragedi nasional yang tidak boleh
terulang kembali. Tentu saja berbagai peristiwa di mana ribuan rakyat kecil
terbantai sebelum itu jauh lebih besar dan hebat daripada Peristiwa 27 Juli
itu sendiri. Kami tidak ingin memperkecil makna peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Bahkan dalam Peristiwa Lampung hingga sekarang, selain ratusan
dari mereka yang terbantai, masih puluhan dari mereka yang dituduh
"mendalangi" peristiwa itu mendekam di penjara-penjara di Indonesia. Di
antara mereka ada yang harus mendekam dalam penjara seumur hidup di Nusa
Kambangan, tanpa mendapat grasi. Ketika mereka harus masuk penjara banyak di
antaranya masih usia kurang dari 20 tahun. Padahal dalam peristiwa 27 Juli
1996, tidak ada satupun yang sekarang masih meringkuk di penjara.
Kami tidak bermaksud memperkecil makna peristiwa-peristiwa sebelum itu. Kita
hanya tidak ingin peristiwa pembantaian terhadap rakyat kecil itu terulang
kembali setelah tanggal 27 Juli 1996 itu. Kalau suatu ketika nanti, tanggal
7 Februari akan dinyatakan sebagai Hari Jihad Nasional untuk memperingati
Peristiwa Lampung; atau ada hari khusus untuk memperingati Peristiwa Tanjung
Priok dan Santa Cruz, kami akan mendukung pula.
Jakarta, 18 Juli 1997
Daulat Rakyat: Edisi 21 Juli 1997
Dikutip dari [email protected]
INDONESIA-L
Date: 7 Jan 1997 10:26:29 -0000
To: [email protected]
GOSIP NO. 5
"Boleh Percaya. Boleh Tidak. Tapi Sumbernya Orang Dalam Lho"
PENGADILAN PRD DAN POLITIK INDONESIA PENGHUJUNG TAHUN 1996 (2)
'Tidur Panjang' Gerakan Pro Demokrasi
Memasuki tahun 1997, gerakan pro demokrasi Indonesia tetap masih 'terlelap'. Tidak lagi terdengar kegiatan 'hiruk-pikuk' dan aksi protes kelompok 'pemuda jalanan' yang sebelumnya begitu mewarnai perpolitikan Indonesia dari awal sampai pertengahan tahun 1996. Sulit ditebak sampai kapan situasi ini berlangsung. Melihat anatomi gerakan pro demokrasi Indonesia tampaknya sulit diharapkan dalam waktu dekat mereka bisa bangkit, paling tidak baru terjadi sesudah Pemilihan Umum Mei 1997 usai. Itu pun kalau mereka mampu memainkan isyu-isyu yang muncul selama masa kampanye dan ekses kecurangan Pemilihan Umum.
Pengadilan PRD yang saat ini sedang berlangsung adalah contoh. Ini merupakan pengadilan politik yang boleh dikatakan sebagai yang paling sepi dihadiri oleh para aktivis dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Hampir 90 % yang hadir adalah aparat intelijen dengan menggunakan pakaian preman (non seragam). Yang lainnya adalah para wartawan dan pihak keluarga. Lebih tragis lagi pengadilan aktivis PPBI/PRD di Surabaya, hari senin kemarin tanggal 6 Januari, hanya 10 orang yang hadir dalam sidang. Memang hal ini bisa dipahami karena sebagian besar aktivis PRD sedang bersembunyi. Tapi yang tidak jelas kenapa aktivis dari kelompok pro demokrasi lainnya enggan aktif. Seorang aktivis pro demokrasi, berinitial BS, menuturkan kepada reporter Gosip, bahwa ini dikarenakan sebagian besar aktivis dari kelompok pro demokrasi di luar PRD masih terimbas ekses dari pertentangan politik antara PRD dengan kelompok pro demokrasi lainnya sebelum terjadi peristiwa 27 Juli.
Yang tercatat 'sukses' menggalang aksi protes adalah kelompok perempuan yang menamakan diri Solidaritas Perempuan (SP) dengan memainkan isyu perlindungan terhadap migran perempuan atau keselamatan Tenaga Kerja Indonesia di manca negara. Mereka melakukan aksi protes ke Kementerian Luar Negeri serta pada saat pertemuan negara-negara Islam di Jakarta (OKI). Aksi semacam ini memang biasa, tapi yang patut diacungkan jempol adalah karena sebelumnya beberapa waktu setelah peristiwa 27 Juli, kantor SP sempat digrebek oleh tentara dan seorang staf mereka (bernama Wahyu, adik kandung dari penyair Wiji Thukul) diciduk selama beberapa hari. Sehingga dengan aksi itu menunjukkan bahwa kineja organisasi tersebut cukup baik.
Sementara itu beberapa kelompok pemuda lain semisalnya PIJAR yang sebelum 27 Juli cukup menonjol mencoba menunjukkan bahwa mereka masih eksis dengan melakukan beberapa kegiatan seperti aksi protes ke Kedutaan Burma, Malam Anti Nuklir, dan sebagainya. Tapi kegiatan mereka sama sekali tidak mendapat respons dan liputan di media massa. Menurut informasi dari sejumlah wartawan, ada beberapa sebab, pertama, para wartawan enggan meliput kegiatan LSM yang dikategorikan pemerintah 'bermasalah' apalagi belum tentu berita itu mendapat 'lampu hijau' dimuat. Kedua, para wartawan akhirnya tahu bahwa sejumlah LSM hanya menggunakan isyu-isyu itu untuk corong politik. LSM itu tidak sungguh-sungguh menggulirkan isyu tersebut untuk pemberdayaan rakyat. Bahkan menurut wartawan dengan kelompok, kelompok itu sebetulnya tidak pernah terlibat secara konkrit membantu rakyat.
Sedangkan PRD dan kelompok-kelompok yang menjadi afiliasinya boleh disebut menghilang. Meskipun begitu beberapa aktivisnya rajin menggunakan internet untuk melakukan propaganda advokasi peradilan teman-temab mereka. Mereka juga menerbitkan buletin BERGERAK, yang beredar secara diam-diam di kalangan aktivis. Dalam hal internet, hampir sebagian besar posting mereka --yang berhasil dipantau oleh pihak intelijen-- dikirim dari Australia. Yang disiarkan sebagai surat dari penjara, surat dari buruh, dan sebagainya; sebenarnya tidak lain adalah buatan atau rekayasa mereka sendiri. Sementara dalam hal penerbitan buletin cetak di dalam negeri, mereka dibantu oleh sejumlah aktivis dari AJI/ISAI, ISJ, dan aktivis yang bergabung dalam TPHKI (Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia).
Yang ironis, pamor sejumlah LSM yang kerap melakukan advokasi saat ini menurun (seperti YLBHI, WALHI, SBSI dll). Rakyat sekarang cenderung untuk langsung datang ke Komnas HAM untuk mengadukan masalah mereka ketimbang datang ke LSM. Karena mereka tahu bahwa akhirnya LSM-LSM itu juga akan membawa mereka ke Komnas HAM. Apalagi rakyat yang semula meminta bantuan juga mulai tahu bahwa yang dilakukan oleh sejumlah LSM itu tidak lain adalah sekedar proyek yang mendapatkan bantuan dari donor asing. Sehingga mulai populer guyonan yang berkembang di antara aktivis dan rakyat bahwa tokoh-tokoh LSM itu hanyalah 'pemimpin di media massa' bukan 'pemimpin massa'. Apalagi ekspos terhadap sejumlah tokoh LSM sudah bukan rahasia memang karena kongkalikong antara sejumlah wartawan yang kerap nongkrong di kantor LSM dengan tokoh LSM tadi. Banyak tokoh LSM yang muncul diwawancarai oleh media massa sehari-harinya hanya duduk dan bergunjing di kantor tanpa melakukan sesuatu yang konkrit bagi pemberdayaan rakyat. Mereka terlihat sibuk kalau muncul suatu isyu di media massa atau kalau harus merampungkan proyek yang mendapat bantuan dari donor asing.
Di pihak lain ada sejumlah LSM yang 'naik daun' semisalnya YAPUSHAM dan ELSAM. Kedua LSM ini mendapat bantuan cukup besar dari sejumlah donor asing. Menariknya, kedua LSM ini diketuai oleh 2 orang mantan ketua YLBHI. Yang membedakan dari LSM lainnya, kedua LSM ini lebih memfokuskan pada bidang publikasi, pendidikan HAM, dan berorientasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hukum dan HAM. Hanya ELSAM dalam beberapa waktu terakhir ini juga aktif melakukan advokasi, bahkan koordinasi pembelaan peradilan PRD dilakukan oleh ELSAM. Sementara Yapusham dianggap kontroversial karena memberikan penghargaan HAM (Yap Thiam Hien Award) kepada Romo Sandyawan. Romo yang memberikan perlindungan kepada Budiman dkk. di rumah kakaknya di Bekasi. Yapusham juga menerbitkan buletin INDEX yang berisikan kumpulan kliping pelanggaran hak asasi dari sejumlah media massa yang terbit di Indonesia. Data yang mereka kumpulkan sempat menjadi perbincangan di media massa khususnya setelah diskusi "Evaluasi HAM di Indonesia" yang dilakukan oleh CIDES.
Pemilihan Umum 1997
Mendekati pemilihan umum mei 1997 nanti, LSM yang memproklamirkan diri sebagai pemantau pemilu akan diuji kiprahnya. Tercatat ada dua organisasi yang merupakan gabungan dari sejumlah aktivis pro demokrasi yaitu KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) dan KNPP (Komite Nasional Pemantau Pemilu). Organisasi yang terakhir sudah tidak terdengar lagi kegiatannya. Sementara organisasi pertama yang didukung oleh sejumlah tokoh ternama seperti Nurcholish Majid, Ali Sadikin, Gunawan Moehamad, dll; meskipun juga tidak jelas kegiatannya tapi setidaknya masih menerbitkan buletin yang bernama 'Awas'. Menurut salah seorang aktivis mereka, KIPP banyak belajar dan mendapat bantuan training dari organisasi serupa di Thailand yaitu: Pool Watch. Mereka juga mendapat bantuan dana dari NDI, sebuah organisasi 'swasta' di Amerika Serikat. Adapun tokoh di belakang layar yang sukses melancarkan lobby ke kedubes Amerika di Jakarta agar KIPP mendapat bantuan adalah: Marsilam Simanjuntak dan Marzuki Darusman.
Amerika Serikat dalam beberapa waktu terakhir ini memang bersikap kritis terhadap pemerintah Indonesia. Amerika sangat berkepentingan terhadap perkembangan negara yang selama hampir 3 dasawarsa menjadi penyangga stabilitas keamanan modal di kawasan Asia Tenggara. Soeharto jelas bisa diandalkan, tapi bagaimanapun kekuasaannya suatu saat akan berakhir. Karena itu Amerika sadar betul bahwa mereka harus turut aktif memainkan peran dalam mengamankan masa paska kekuasaan Soeharto. Dalam dua tahun terakhir ini bantuan yang dialirkan melalui USAID kepada LSM-LSM dan kelompok-kelompok politik di Indonesia lebih dari 2 juta dolar. Bahkan rencananya pada tahun 1997 ini, USAID akan menutup kantor perwakilannya di Indonesia, ini adalah taktik agar mereka lebih leluasa memberi bantuan dana, tanpa harus kuatir terdeteksi atau ditekan oleh intelijen Indonesia. Apalagi pihak USAID tahu kalau mereka tetap di Indonesia kegiatan dan aliran bantuan mereka harus melalui kantor Kementerian Sekretariat Negara atau Kementerian Dalam Negeri.
Sementara itu, pemerintah Indonesia sudah lama menyadari bahwa mereka perlu melakukan beberapa cara untuk memotong pengaruh LSM. Rejim ini tahu bahwa kegiatan-kegiatan LSM yang 'berbau' politik bisa berjalan dikarenakan bantuan dana yang diperoleh oleh mereka selama ini. Karena itu rencananya RUU LSM yang kontroversial akan disahkan oleh DPR hasil pemilu nanti. Isyu sejumlah 32 LSM bermasalah juga termasuk salah satu cara. Dua LSM besar yaitu YLBHI dan WALHI telah didatangi oleh petugas Direktorat Pajak yang ditugasi melakukan pemeriksaan keuangan kedua LSM tersebut. Malah menurut informasi dari seorang informan BIA nantinya secara resmi pemerintah akan menutup atau menyatakan terlarang beberapa dari 32 LSM bermasalah tersebut.
Soeharto yang menyadari ulah Amerika ini, dengan piawai secara terbuka menyatakan agar lobby dengan Amerika Serikat ditingkatkan. Ia juga memerintahkan kepada Dubes Amerika, Arifin Siregar, agar melakukan lobby intensif terhadap pengusaha, politisi, dan kalangan swasta di Amerika. Seperti biasanya Soeharto menggunakan kartu truf lama yaitu bahaya komunis, ditambah sekarang iming-iming perluasan investasi dan peningkatan arus ekspor ke Indonesia. Dari informasi yang seorang yang bekerja di intelijen Deplu, staf kedubes Indonesia di Washington telah melakukan dialog dengan NDI dan Human Right Watch mengenai pelaksanaan HAM dan pemilihan umum 1997.
Sebetulnya mengenai efektifitas kerja organisasi pemantau pemilu, jauh-jauh hari banyak pengamat meragukannya. Situasi sosial-politik di Philipina atau Thailand jauh berbeda dengan Indonesia. Namfrel di Philipina atau Pool Watch di Thailand memang berkembang sewaktu rejim militer sedang berjaya dan berkuasa di sana. Tapi jelas tidak bisa dianalogkan dan kemudian dioper begitu saja bahwa hal itu bisa dipraktekkan di Indonesia.
Ada beberapa alasan:
- 1. Eksistensi dan kegiatan KIPP tidak didukung oleh partai yang menjadi pesaing. Memang di Indonesia PPP maupun PDI tidak memenuhi syarat atau tidak layak disebut sebagai partai oposisi, tapi bagaimanapun posisi kedua partai itu sangat signifikan karena kedua partai inilah yang pada prakteknya mengetahui bagaimana proses pelaksanaan pemilu termasuk kecurangan yang terjadi.
-
- 2. KIPP hanya bisa berada di luar memantau dan sama sekali tidak dilibatkan mulai dari proses sampai pelaksanaan perhitungan suara.
-
- 3. KIPP tidak mempunyai instrumen yang bisa mengkalkulasi berapa suara yang mencoblos atau terhitung.
-
-
4. Dukungan terhadap KIPP beberapa waktu yang lalu lebih dikarenakan pembesaran oleh liputan media massa, sedangkan rakyat banyak sama sekali tidak tahu keberadaan KIPP.
- 5. Peredaran buletin 'Awas' sebagai sarana sosialisasi seperti yang dipantau oleh reporter Gosip hanya dikalangan terbatas, di kalangan aktivis sendiri.
-
- 6. Mereka yang menjadi operator dari KIPP kebanyakan adalah aktivis 'parlemen jalanan'. Mereka ini, seperti yang sudah sering dikritik oleh banyak pengamat kritis mengenai gerakan pro demokrasi Indonesia, kelemahannya adalah kurang mengetahui manajemen organisasi, menyusun secara sistimatik sebuah program termasuk mensosialisasikannya, mengorganisir dan memobilisir rakyat. Mungkin di antara mereka hanya aktivis PRD sajalah yang cukup baik. Tapi sekarang PRD sedang menghilang. Sehingga hanya orang yang bermimpi yang mengatakan dapat mengerahkan kekuatan rakyat atau melakukan people power di Indonesia melalui LSM.
Lagipula sebetulnya adalah tugas mereka yang mengaku pro demokrasi untuk secara jujur membongkar dan mengritik habis gerakan politik di Indonesia. Karena bukan hanya sekedar tugas berat dan panjang tapi juga mustahil gerakan pro demokrasi mampu melakukan perubahan politik di Indonesia, selama performance organisasi mereka seperti sekarang ini. Perlawanan dan gerak-gerik politik yang terjadi belakangan ini dan juga di masa depan pada dasarnya lebih banyak ditentukan oleh pertentangan di kalangan elit politik, baik sipil dan militer, terutama diwarnai kepentingan politik Soeharto.
INFO-PEMBEBASAN (INFO-LIBERATION)
[The following is a translation of a leaflet sent to ASIET
(Action in Solidarity with Indonesia and East Timor) by the
Peoples Democratic Party (PRD). The original source of the
leaflets and posters was not indicated.]
Recently many Mega-Star-People Democratic Coalition leaflets have
appeared in a number of places around Jakarta, Bogor, Tengerang
and Bekasi. Essentially the leaflets invite the people to attend
a "July 27 Commemoration" action at the PDI (Indonesian
Democratic Party) headquarters on Jalan Diponegoro, Central
Jakarta.
Let's give our support to this action. Our support can be the
duplication and distribution of the leaflet at places near us or
it can also be to promote the action.
The following is an excerpt from the leaflet:
Mega-Star-People Democratic Coalition
Program:
United to replace Suharto, investigate the wealth of the families
of the president and government officials, withdraw the 1985
political laws, withdraw the dual function of the military,
political parties represented in the cabinet, wipe out
corruption, collusion and the conglomerates.
Action against the dictatorship
On July 27, 1997 at 10am, at the PDI headquarters at Jalan
Diponegoro, No 78, we will commemorate the attack on the PDI
offices (in which scores were killed and uncounted others wounded
or missing). But this did not make the people frightened; on the
contrary it caused an explosion of mass anger and pushed forward
the spirit of struggle. The riots which have occurred since then
are clear evidence of this which can no longer be denied. Why did
the riots flare up in the days approaching the elections? Because
the people knew that the elections were nothing more than "window
dressing" for the Suharto dictatorship. The people knew that the
elections were only a political act. Aside from this, people
everywhere also know that the elections are always controlled and
fraudulent.
Now the people must be united! Megawati supporters, United
Development Party (PPP) supporters and all pro-democratic groups
and all of the people must unite to remove Suharto. The tactic
which we will use is to reject the 1997 election results and
demand that the elections be rerun after the withdrawal of the
five political laws. The tool we need to reject the election
results and replace Suharto is a united coalition of all the
forces which support democracy.
Drivers, workers, petty traders and other people -- who's lives
drag on and suffer -- must be aware, that prosperity cannot be
created without democracy in our country. Without political
change do not dream that the lives of our children and grand
children will be better. A government which is just and
prosperous can only be created if the dictatorship is overthrown.
For anyone who wishes this, it cannot be delayed any longer.
Because of this, we must all come and unite ourselves in this
action. As much as possible we must act together, in a street
march. We use this method to attract the attention of the people
of the city and invite them to join in, to increase the strength
and size of our forces. If there is a military/police blockade,
we must break through! So we must tighten our ranks. The action
of RETAKING OF THE MEGAWATI PDI OFFICES can be maintained for a
long time and result in becoming a tactic which is good for
achieving our aim if all of the people take to the streets to
support it.
Leaflet II, printed on A4 paper and pasted up:
COME!
TO THE GREAT ACTION TO COMMEMORATE
"THE BLOODY JULY 27 INCIDENT"
PLACE: IN FRONT OF THE PDI OFFICES
JL. DIPONEGORO 78, CENTRAL JAKARTA
DAY: SUNDAY JULY 27 1997
TIME: 8AM ONWARDS
MEGA WAS BLOCKED, THE PPP CHEATED, THE PEOPLE TRICKED!
(MEGA-STAR-PEOPLE DEMOCRATIC COALITION)
Notes
1. Mega-Star-People (Mega-Bintang-Rakyat): a slogan popularised
during the election campaign calling on pro-Megawati supporters,
the Islamic orientated PPP and broader popular forces to unit in
mass movement to replace Suharto.
2. The different starting times for the action, 10am on the
leaflet and 8am on the poster are as written in the original
posting.
[Translated by James Balowski, ASIET Publications and Information
Officer]
/* Written 4:31 PM Jul 18, 1997 by sarahm in gn:ina.siar */
/* ---------- "SiaR--RAKYAT PRODEMOKRASI ANGGAP ME" ---------- */
From: Sarah Masters
Subject: SiaR--
RAKYAT PRODEMOKRASI ANGGAP MENKO POLKAM DAUR
JAKARTA, SiaR (16/7/97). Sejumlah kalangan yang dihubungi SiaR sepanjang
Rabu (16/7) pagi ini mengatakan bahwa pernyataan Menko Polkam Soesilo Soedarman
dalam ceramah di depan peserta rapat kerja Departemen Pertambangan dan Energi
di Jakarta yang menstigma kelompok masyarakat sebagai telah dipengaruhi faham
komunis adalah barang yang sudah basi. Selain itu, tuduhan Menko Polkam juga
mengindikasikan akan adanya gerakan yang ingin menggagalkan Sidang Umum MPR
dianggap upaya mendaur ulang pola-pola antidemokrasi sebelumnya,
Kelompok yang dituduh Soesilo tak lain adalah kelompok prodemokrasi yang
meliputi akademisi/peneliti, para aktivis LSM, buruh, dan mahasiswa. Kelompok
ini bersepakat menilai pernyataan Menko Polkam sebagai bagian dari upaya
sistematis pemerintah yang mengesankan negara selalu dalam keadaan darurat.
Dengan demikian akan memberi celah atau peluang dan legitimasi bagi aparat
koersif negara seperti polisi dan militer untuk menggunakan pola kekerasan
dalam membungkam suara kritis rakyat yang prodemokrasi.
Dalam ceramahnya, Menko Polkam menyebutkan bahwa paham komunisme telah
menyusup ke berbagai organisasi massa, LSM, dan lingkungan mahasiswa hingga
berbagai kalangan tersebut mesti diwaspadai. Seperti tak pernah peduli dengan
kebodohan aparat hukum ketika menjerat aktivis PRD sehubungan Peristi-
wa 27 Juli, Menko Polkam kembali mengulang-ulang pernyataan para pejabat
sebelumnya, bahwa dari struktur organisasi dan aksi yang dilakukan, PRD identik
dengan PKI pada masa lalu.
Salah seorang peneliti utama LIPI menilai bahwa pernyataan Menko Polkam,
seperti banyak pernyataan para pejabat lainnya tentang dalang kerusuhan
misalnya, mestinya didasarkan kepada bukti dan data-data yang dapat
dipertanggung-jawabkan. Menurutnya, dalam banyak kasus kerusuhan, ketika
situasi reda justru selalu ada pejabat yang menegaskan ada dalangnya.
"Tapi dari satu kerusuhan ke kerusuhan berikutnya, apakah kalian melihat
bukti-bukti, adanya dalang, aktor intelektual atau mastermind yang disebutkan
pejabat sipil dan militer itu. Tidak pernah bukan?" katanya.
Senada dengan peneliti LIPI tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan
Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Hendardi menyebutkan, bahwa filosofi
penyelenggaraan negara Orde Baru dibuat sedemikian rupa agar tetap dalam format
serba darurat. Ia menyebutkan contoh, diakuinya eksistensi lembaga-
lembaga ekstra-judisial seperti Bakorstanas.
"Tetap dipertahankannya perangkat hukum peninggalan kolonial seperti
Haatzaai Artikelen dan perangkat hukum peninggalan pemerintahan Soekarno
seperti UU Subversi, karena pemerintah yang sekarang berkepentingan untuk meno-
pang format penyelenggaraan pemerintahan yang serba darurat," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang aktivis mahasiswa Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID) menyarankan, sebaiknya seluruh komponen rakyat
prodemokrasi tak perlu peduli dengan stigma macam itu pada waktu mendatang.
Penyebabnya, sudah jadi watak rezim Soeharto untuk terus-menerus menteror
rakyatnya agar jadi skeptis dan lalu takut untuk menyusun kekuatan melawan
kezaliman rezim.
"Daripada kita termakan pernyataan Menko Polkam yang memang sudah jadi
tugas dari seorang pejabat rezim totalitarian untuk menakut-nakuti rakyatnya,
sebaiknya kita terus menyusun kekuatan untuk menuju kemenangan rakyat
prodemokrasi terhadap rezim Soeharto yang fasis ini," ucapnya.***
/* Written 4:31 PM Jul 18, 1997 by sarahm in gn:ina.siar */
/* ---------- "SiaR--CILANGKAP-SLIPI REBUTAN KURSI" ---------- */
From: Sarah Masters
Subject: SiaR--
JAKARTA (SiaR, 15/7/97), Meski Pangab Jendral Feisal Tanjung telah
menyatakan bahwa Ketua MPR/DPR akan dijabat pimpinan OPP yang memenangkan
Pemilu, perang urat syarat antara Mabes ABRI Cilangkap dan para petinggi Golkar
di Slipi masoih terus berlangsung. Penyebabnya adalah bentrokan kepentingan dan
terus ngototnya masing-masing pihak yang ingin menempatkan orangnya sebagai
Ketua MPR/DPR. Mabes ABRI Cilangkap pekan lalu secara diam-diam memasukkan nama
Kassospol ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam daftar nama calon anggota Frak-
si-ABRI untuk anggota MPR/DPR Periode 1998-2003.
Sedangkan Harmoko yang dijagokan DPP-Golkar, menurut sejumlah analis
politik, telah memperoleh jalan menuju ke Senayan saat Presiden Soeharto secara
mendadak memberhenti- kan dan kemudian menempatkan Harmoko sebagai Menteri
Negara Urusan Khusus (Meneg Khusus). Sebagai Meneg Khusus, Harmoko ditugaskan
antara lain memberi pembekalan kepada para calon anggota legislatif periode
mendatang,
Tapi keinginan para petinggi DPP-Golkar untuk menempat- kan Harmoko
sebagai Ketua MPR/DPR tampaknya makin tipis, karena pihak Mabes ABRI Cilangkap
juga ngotot untuk memasuk- kan orangnya bercokol di pucuk pimpinan lembaga
legislatif tersebut. Menurut narasumber di DPP-Golkar, untuk menggolkan
tujuannya itu, pihak Cilangkap telah mengajukan semacam proposal berupa
"political guarantee" pada Pak Harto.
Mensesneg Moerdiono sendiri yang tak punya sekutu di kekuatan politik satu
pun, baik ABRI-ICMI mau pun Golkar, tampaknya mendukung Harmoko jadi Ketua
MPR/DPR. Tokoh Dang Dut 97 ini menyatakan, "justru aneh bila lazimnya ketua
MPR/DPR dijabat oleh ketua OPP yang mememangkan Pemilu sekarang justru tidak.
Ini kan justru mengada-ada," ujarnya.
Pihak Cilangkap, lanjut narasumber itu, menyebutkan bahwa masuknya Syarwan
Hamid dan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen TNI Farid Zainuddin dalam daftar
calon Fraksi ABRI sebenarnya dalam rangka mengamankan pelaksanaan Sidang Umum
MPR pada Maret 1998 mendatang. Dan lebih jauh mengamankan posisi Pak Harto.
"Mereka coba meyakinkan Pak Harto dengan power yang dimiliki, sementara jalur
Slipi praktis tidak punya power sejauh mengamankan kedudukan Pak Harto dari
kemungkinan gugatan massa rakyat pro-demokrasi," ucapnya.
Pengamanan itu memang sebuah persoalan penting. Sejumlah pihak khawatir
akan ada lagi interupsi dari anggota Fraksi ABRI dan juga kemungkinan
fait-accompli sebagaimana pernah dilakukan Harsudiono Hartas pada SU-MPR 1993
lalu yang berhasil menaikkan Try Sutrisno sebagai Wapres meski Pak Harto
sebetulnya tidak setuju.
Perseteruan antara Cilangkap-Slipi memang telah terjadi sejak awal ketika
pihak Cilangkap sebenarnya tidak mendukung tampilnya Harmoko sebagai Ketua Umum
Golkar. Tapi, penolakan Cilangkap tersebut gagal karena tampilnya Harmoko
ketika itu didukung selain oleh jalur Slipi dan Birokrasi, juga oleh
putra-putri Pak Harto.
Posisi Harmoko menguat ketika Pangab Jenderal Feisal Tanjung seusai
menghadiri HUT ke-31 Ikatan Kesejahteraan Keluarga ABRI (IKKA) menegaskan bahwa
calon Ketua MPR/DPR berasal dari Golongan Karya sebagai Organisasi Peserta
Pemilu Terbesar (OPP). Menurut sumber di Jakarta, apa yang dikatakan Pangab
merupakan permintaan langsung dari Pak Harto.
Salah seorang pengamat politik di Jakarta menyebutkan, jalan bagi Harmoko
untuk menduduki kursi Ketua MPR/DPR sebenarnya belum aman benar, karena
ternyata Pak Harto dan jalur Birokrasi tampaknya juga mempunyai calon
Alternatif. Salah satu nama yang disebut sebut adalah Menko Polkam Susilo
Sudarman. Nama mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Gafur yang dikenal
oportunis juga disebut-sebuat sebagai orang yang berambisi jadi Ketua MPR/DPR
RI.***
Selanjutnya anda dipersilahkan untuk mengunjungi :
Homepage Pedukung DPP PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri