********************************

From:             KdP Net 
Subject:          WALHI: Siaran Pers - Orde Baru harus 
                  menunjukkan kedewasaannya dalam berdemokrasi
Date sent:        Fri, 13 Feb 1998 12:20:28 +0700
Send reply to:    [email protected]

Kabar dari PIJAR


From: walhi
Sent: Thursday, February 12, 1998 5:25 PM


ORDE BARU HARUS MENUNJUKKAN KEDEWASAANNYA
DALAM BERDEMOKRASI

PERNYATAAN KEPRIHATINAN WALHI MENGENAI UCAPAN 
DAN TINDAKAN PEJABAT SIPIL DAN MILITER YANG MELANGGAR 
HAK AZASI MANUSIA DEMI MENSUKSESKAN SIDANG UMUM MPR.


Seperti biasanya menjelang sidang umum, suhu politik memanas dan keadaan
terasa lebih repressif. Hal ini terbukti dari berbagai benturan yang
terjadi belakangan ini. Di Palu empat puluh orang mahasiswa, pedagang kaki
lima, tukang becak, dan aktivis LSM ditangkap karena melakukan rally
secara damai menuntut diturunkannya harga sembilan bahan pokok.
Kantor-kantor LSM diobrak-abrik tanpa surat tugas. Di Jakarta sembilan
belas peneliti dari LIPI diberi surat peringatan oleh Menristek karena
mengeluarkan pernyataan mengenai situasi ekonomi dan politik Indonesia.
Kino GOLKAR dilarang menyebutkan nama Calon Wakil Presiden. Demonstrasi
dilarang. Seminar dan pertemuan-pertemuan dilarang. Banyak lagi
ucapan-ucapan dan tindakan yang dikeluarkan dan dilakukan oleh pejabat yang
melanggar hak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. 

Padahal sidang Umum MPR mestinya merupakan suatu peristiwa yang sangat
penting bagi bangsa Indonesia, karena saat inilah secara formal pemegang
kedaulatan rakyat tertinggi akan melakukan tugas-tugasnya memilih Presiden
dan Wakilnya dan menetapkan GBHN. Kesempatan ini mestinya harus digunakan
untuk membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk mendengar aspirasi rakyat
agar demokrasi tampak berjalan secara substansial dan bukan hanya
formalitas belaka. Tetapi kenyataannya, selama 30 tahun Orde Baru berdiri,
Sidang Umum MPR merupakan suatu peristiwa yang penuh tekanan intimidasi dan
ancaman-ancaman fisik dan psikis kepada rakyat yang mencoba menyuarakan
aspirasinya. Suasana menjadi tegang dan diliputi ketakutan. Peristiwa yang
semestinya menjadi ajang kedaulatan rakyat, justru menjadi ajang unjuk
kekuatan dan pamer kekuasaan. Sebaliknya kelompok-kelompok yang mendukung
kekuasaan diberikan keleluasaan untuk melakukan demonstrasi atau unjuk rasa
bahkan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kebencian yang bersifat SARA.

Dengan alasan mensukseskan Sidang UMUM MPR, semua ancaman dan
tindakan-tindakan yang berbentuk intimidasi dan tindakan ilegal /
inkonstitutional dihalalkan. Sebuah ironi dalam demokrasi " Orde Baru"
kemudian terjadi, sidang umum harus diamankan, kedaulatan rakyat dan
kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat dikorbankan. Orde Baru
seharusnya sudah bisa lebih dewasa dalam menjalankan azas-azas demokrasi
sesuai dengan janji pada awal berdirinya. 

Berdasarkan kenyatan-kenyataan kami tersebut menyerukan :
1. Kepada pejabat sipil dan militer untuk tidak mengeluarkan ancaman
ataupun intimidasi bagi kelompok masyarakat, termasuk didalamnya peneliti,
pengajar di universitas, ORMAS dsb., yang mengeluarkan pernyataan yang
kritis termasuk pernyataan untuk mendukung Presiden selain Jendral
(Purn.)Suharto, dan Wakil Presiden yang diinginkannya 
2. Kepada kelompok masyarakat dan media massa untuk tidak mengeluarkan
pernyataan yang menimbulkan kebencian terhadap suatu ras, suku, agama dan
golongan tertentu.
3. Kepada pemerintah untuk mencabut larangan berkumpul selama acara
berkumpul itu tidak menimbulkan keonaran dan atau menggunakan kekerasan.
4. Kepada KOMNAS HAM untuk mengambil langkah dan kebijakkan yang perlu agar
prinsip-prinsip demokrasi dan HAM dihormati oleh semua aparat pemerintah
tanpa ada kekecualian.

Dalam keadaan krisis ekonomi seperti sekarang ini, dimana rakyat kehilangan
penghasilan, pekerjaan, hanya kebebasan berbicara dan pendapatlah
satu-satunya yang tersisa untuk tetap bisa merasakan sebagai manusia yang
bermartabat.

Jakarta, 11 Februari 1998


Emmy Hafild                                     Nursyahbani Katjasungkana
Direktur Badan Eksekutif                        Ketua Dewan Nasional

********************************

[email protected]
Thu, 12 Feb 1998 17:42:57 -0700 (MST) 

Date: Thu, 12 Feb 1998 
To: [email protected]
Subject: Prediksi Semi Siklus Polibius R I

=== PREDIKSI SEMI SIKLUS POLIBIUS R I ===

Diiringi suara gema takbir di malam menjelanng datangnya Hari 
Raya Idul Fitri 1418 H itulah saya memulai menuliskan coretan-
coretan ini, di mana pada saat itu banyak para tokoh/pemimpin
umat islam pada ramai memperdebatkan kapan tepat saat datangnya
Hari Raya Idul Fitri 1418 H tsb, sebelumnya dua organisasi terbe-
sar islam yaitu Muhammadiyah dan NU telah memutuskan suatu kese-
pakatan, bahwa Hari Raya tepat jatuh pada tgl 29-Januari-1998 
sedang pihak para penyelenggara negara tetap bersikukuh pada 
kalender yang menentukan bahwa Hari Raya jatuh pada tgl 30-Janu-
ari 1998, tapi Alhamdulillah ternyata berdasarkan pengamatan saya 
ternyata banyak umat islam merayakan sholat Idul Fitri pada tgl 
29-Januari-1998 namun dalam hati kecil saya timbul suatu perta-
nyaan, mengapa di saat tidak adanya visi kesimpulan prediksi 
tepat jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1418 H, di tubuh umat islam 
Indonesia ini, kho tidak ada salah satupun tokoh/pemimpin umat 
islam di Indonesia ini yg menghimbau/menganjurkan agar segenap 
lapisan umat umat islam baik militer maupun sipil untuk memohon 
petunjuk kepada TUHAN lewat sarana ibadah sholat istikharah ? 
atau karena telah menurunnya nilai-nilai keyakinan umat islam 
kepada TUHAN nya, atau mungkin telah meningkatnya sifat egosen-
trisme dan arogansi para tokoh/pemimpin umat islam di negara 
tercinta saya ? bukankah Rosulullah Muhammad SAW pernah mengajar-
kan kepada kita, agar kita menjauhi sifat-sifat yg penulisannya 
menekankan huruf O yaitu : sOmbOng, bOhOng, egO, sOk, sembrOnO, 
cerObOh, bOrOs, (maaf kalu agak kasar,) bOdOh, tOlOl..dll..dsb.

Kalau Presiden pertama R I Bp. Ir Soekarno pernah mengatakan " 
Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghormati/Menghargai Jasa-
Jasa Para Pahlawannya " sedang kalau kita ingin memperluas makna-
nya bisa menjadi " Umat Islam Yang Besar Adalah Umat Islam Yang 
Menghormati/Menghargai Begitu BesarNya Jasa-Jasa Para Nabi Dan 
Rosul Nya ". Penghormatan/penghargaan jangan hanya sekedar forma-
litas ucapan, perlu pengimplementasian dengan penuh kesadaran dan 
keikhlasan hingga menumbuhkan nilai-nilai luhur dari kemantapan 
moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebenarnya apa yang saya sampaikan lewat tulisan ini bukan 
tulisan yang berbau politik, kalau toh isi dari penyampaian 
tulisan saya ini mengandung unsur politik, ya kebetulan saja, 
soalnya istilah dalam hal isi penyampaian ini tidak ada lagi 
kalau tidak apa yang dinamakan Politik. Lagi pula saya juga bukan 
seorang seorang politisi/politikus, saya hanyalah seseorang yang 
berusaha untuk menjadi seorang pengikut Rosul yang paling setia 
di antara berjuta-juta umat islam di Replubik ini. Mengapa saya 
katakan bahwa diri kami bukan seorang politikus/politisi ? 
karena sejak saya dihadirkan TUHAN di sebagian bumi yang bernama 
Indonesia hingga sekarang, saya tiada pernah dengar suatu 
kata/ucapan dari para tokoh/pemimpin umat islam di Republik 
Indonesia al: Bp.Amien Rais, Bp. Gus Dur, Bp. Nurcholis Madjid, 
Bp. Tarmizi Taher, Bp. Hasan Basri ..dll..dsb yang mengatakan 
secara langsung maupun lewat sarana media informassi 
tulisan/elektronik, bahwa Rosululloh Muhammad SAW seorang politi-
kus/politisi yang piawai sepanjang masa, jadi tidak etis bila
saya memproklamirkan diri menjadi seorang politikus/politisi,
soalnya saya kan ingin menjadi pengikut Rosul yang paling setia.


Kalau toh, saya dikatakan seseorang yang belajar berAmar Makruf 
Nahi Mungkar bolehlah, karena subtantif dari suatu perjuangan 
pergerakan umat islam yang sebenarnya ya, Amar Makruf Nahi Mung-
kar dan yang namanya Muhammadiyah, Nu, ICMI, Persis, KISDI, 
PPP..dll..dsb organisasi-organisasi keislaman itu kan hanya wadah 
yang berlabel produk islam untuk mutu dan kwalitasnya sangat 
tergantung dari sejauh mana dari organisasi-organisasi keislaman 
dalam memahami subtansi dari pengertian dari Amar Makruf Nahi 
Mungkar serta mengimplementasikan sebaik mungkin dalam kehidupan 
sosial masyarakat di negara kita yang multi etnis dan heterogen 
ini.

Saya menghimbau kepada segenap umat islam di Indonesia agar 
sebaiknya tidak ikut-ikutan atau bila perlu meninggalkan organis-
asi-organisasi keislaman yang mana para pemimpin/ketuanya kurang
memahami arti dari Amar Makruf Nahi Mungkar. Salah satu contoh 
organisasi keislaman yang Ketua Dewan pembinanya kurang memahami 
arti dari Amar Makruf Nahi Mungkar yaitu ICMI, kalau tidak salah 
Ketua Dewan pembinanya kan Pak Harto yang juga merangkap ketua-
ketua lain,al: Ketua Dewan Pembina Golkar, Ketua Dewan Pemantapan 
Ketahanan Ekonomi/Moneter ....dll...dsb ketua, dan secara tidak 
langsung ternyata Pak Harto ini juga menjadi Ketua Dewan Penbina 
Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Dewan Pembina Majelis Permusya-
waratan Rakyat ( Ketua Dewan Pembina DPR dan MPR ), atau keliha-
tannya Pak Harto ini ingin menjadi Ketua Diktator Indonesia, 
ha..ha...ha...

Masa' orang seperti Pak Harto kho' dijadikan Ketua Dewan Pembina 
ICMI,moso' yo panthes orang seperti Pak Harto kho' dijadikan 
ketua Dewan Pembina Cendekiawan Muslim, masa' orang yang masih 
benar-benar fanatik dengan istilah-istilah "Keprabon Mandhek 
Pandhito Lengser" kho' dijadikan ketua Dewan Pembina Cendekiawan-
Muslim, Cendekiawan Muslim seperti apa, ya yang dibina Pak Harto 
ini? mungkin Cendekiawan Muslim yang bersedia ditukari nilai-
nilai keluhuran/kesucian islaminya dengan materi duniawi, atau 
Pak Harto lagi mencoba memanipulasi subtantif pengertian Muslim 
di jaman Rosul dengan pengertian Muslim di jaman sekarang/modern, 
atau bisa jadi Muslim dalam tubuh organisasi ICMI itulah Muslim 
semi jahiliyah era globalisasi dalam binaan Pak Harto.

Pak Harto dulu, awal berdirinya Orde Baru mempunyai 3 (tiga) 
yaitu : 1) Harta. 2) Wanita. 3) Tahta (Jabatan 
Presiden).Wanitanya (Bu Tien Suharto) sudah diambil TUHAN, ini 
bisa kita lihat buktinya di makam Astana Giribangun Jawa Tengah. 
Hartanya sekarang diminta sedikit demi sedikit oleh TUHAN, ini 
bisa kita lihat buktinya dengan kondisi krisis moneter yang belum 
kunjung terselesaikan sampai sekarang di negara kita hingga rela-
relanya Pak Harto sampai menggadaikan negara kesatuan R I kepada 
IMF, benar-benar ironis bumi perthiwiku.........?.....?....?... 

Eenhaaah, tinggal tahta/jabatan Presiden nya nih, yang akan 
diambil sama TUHAN , tapi bisa jadi TUHAN akan mengambil secara 
koprehensif dengan diambilnya Ruh/nyawa e Pak Harto lewat peran-
tara Malaikat pencabut nyawa/Ruh.

Soalnya saya juga kasihan juga sih, sama Pak Harto, orang yang 
sudah tua/uzur kho' diberi beban pikiran begitu buanyak berupa 
jabatan-jabatan ketua, belum lagi mikirin kondisi krisis 
ekonomi/moneter di negara kita, tapi itu semua juga kesalahan Pak 
Harto sendiri, yang waktu kemaren-kemaren kurang memperhatikan 
saran, masukan dan kritikan dari para pakar/ahli ekonomi dan 
moneter, ya begitu itu Pak Harto, keras kepala, kalau tidak TUHAN 
sendiri yang mukul kepalae ngga' mbuka'-mbuka'pikirane...!.. 

Menurut prediksi saya, masa-masa tumbangnya kepemimpinan/ke

kuasaan Pak Harto sudah dekat, tanda-tanda ini bisa kita lihat 
seperti saat-saat akan tumbangnya masa kepemimpinan Bung Karno 
(Presiden pertama R I), pada saat-saat akan tumbangnya masa 
kepemimpinan Bung Karno diiringi dengan krisis Ekonomi salah 
satu contohnya yaitu dengan sulitnya rakyat mendapatkan kebutuhan 
pokok terutama beras, tidak ingatkah kita pada sejarah akan 
tumbangnya Orde Lama di mana rakyat musti antri untuk mendapatkan 
beras. Pada saat itu (Orde Lama) juga para kyai/ulama membuat 
statemen yang menginginkan agar Bung Karno untuk menjadi Presiden 
seumur hidup. Untuk kondisi seperti itu mulai tampak ada kemiri-
pan dengan keadaan situasi dan kondisi di saat sekarang dengan 
terimplementasi lewat tajamnya kenaikan harga-harga kebutuhan 
pokok/sembako terutama beras, tapi untung Pak Harto masih merela-
kan mengambil tabungan hasil yang berbau korupsinya yang disimpan 
di Bank untuk mengimport beras dari negara Malaysia dan Vietnam. 
Kita semua juga tahu ketika Direktur Bank Dunia menegur Mentamben

IB.Sudjana masalah pinjaman PLN hingga akhirnya pihak Bank Dunia 
tidak bersedia memberi pinjaman buat PLN, gimana komentar Pak 
Sudjana, Pak Sudjana kan ngomong gini, Biarlah Bank Dunia tidak 
bersedia memberikan pinjaman dana, karena pemerintah bersedia 
memberikan subsidi ", EHnaah...dana yang disediakan untuk menyub-
sidi PLN ini juga uang rakyat yang dikorupsi Pak Harto yang 
disimpan di Bank Swiss, mari kita sama-sama lihat, sampai sejauh 
mana Pak Harto merelakan harta-harta timbunannya yang dikeruk 
dari bumi Perthiwi ini untuk bisa terwujudnya kesejahteraan 
rakyat yang lagi dilanda krisis yg diakibatkan oleh Pak Harto dan 
dinasty nya.Kalau sampai Pak Harto eman untuk merelakan harta-
harta timbunannya untuk kepentingan rakyat banyak hingga memaksa-
ka untuk menaikkan harga-harga sembako dan menaikkan sarana 
kebutuhan-kebutuhan untuk fasilitas masyarakat banyak al: Lis-
trik, BBM, Air minum .....dll...dsb...,maka kita tinggal menunggu 
saat-saat kehancuran Rezim Suharto.

Waktu masa-masa akan tumbangnya masa kepemimpinan Bung Karno 
dulu Para Kyai dan Ulama pernah membuat statemen yang mengingin-
kan agar Bung Karno untuk bersedia menjadi Presiden seumur hidup, 
waktu kemaren peristiwa ini terulang lagi dengan ada 
kemiripan .Masih segar kan ingatan kita membaca berita di koran 
ketika 200 kyai dan ulama berkumpul di pondok Ashidiqiyah milik 
KH. Nur Muhammad Iskandar SQ, untuk melakukan do'a politik dan 
make' nyumbang-nyumbang emas segala ke istana negara,..Alhamdu-
lillah ternyata para kyai dan ulama kita pada kaya-kaya, tapi 
kalo' saya amati kondisi ekonomi umatnya dipelosok-pelosok daerah 
hati saya secara tidak sadar terucap innalillah dan astaghfirl-
loh,....

Pak Harto termasuk klasifikasi seorang tipe pemimpin yang 
dipengaruhi cukup kental dengan tradisi culture Jawa, menurut 
perjalanan sejarah berdirinya kekuasaan kerajaan raja-raja di 
pulau Jawa, tiap-tiap masa peralihan/pergantian kekuasaan raja-
raja dijawa rata-rata dibarengi/diiringi dengan jatuhnya korban 
jiwa yang tidak sedikit, maksud saya , tiap-tiap 
pergantian/peralihan kekuasaan raja-raja di Jawa selalu terjadi 
kurang manis dan Demokratis, salah satu contohnya, berapa korban 
yang terenggut tiap pergantian raja di Jawa yang ikut melibatkan 
keris karya Empu Gandring. Dan orang-orang yang berpengaruh dalam 
jalannya roda pemerintahan/kekuasaan raja pada waktu itu biasanya 
juga dari kaderisasi angkatan perang (red sekarang ABRI), salah 
satu bukti contohnya adalah Patih Gajah Mada,..dll..dsb cerita 
kerajaan di Jawa. Korban jiwa dari lahirnya masa peralihan/per-
gantian kepemimpinan/kekuasaan raja di Jawa yaitu dinamakan 
Tumbal.

Tradisi budaya Jawa inipun masih agak tampak dan kentara 
ketika masa peralihan/pergantian dari kepemimpinan Bung 
Karno(Presiden pertama R I) ke Pak Harto. Siapa-siapa yang menja-
di Tumbal (korban) dari masa peralihan kepemimpinan/kekuasaan 
Bung Karno Ke Pak Harto, yaitu 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi ( 6 
(enam) Pati dan 1 (satu) Pama/ Lettu Piere Tendean). Menurut 
hitungan ramalan sekenanya saya, Insya ALLAH tepat dan kena 
beneran, Pak Harto hingga mampu mencapai puncak pucuk kekuasaan 
kursi kepresidenan dengan membutuhkan 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi 
sebagai Tumbal, bila saya kurskan dengan masa konstitusi kepemim-
pinan Presiden di negara kita yaitu tiap pelantikan/masa bhakti 
jabatan Presiden di Negara kita membutuhkan waktu 5 (lima) Tahun 
sekali, sedang bila kita kalikan masa pelantikan jabatan presiden 
di Negara kita (red dulu Nusantara) yaitu 5 tahun sekali dengan 
7 (tujuh) Pahlawan Revolusi sebagai Tumbal, menjadi 35 (tiga 
puluh lima) dan angka ini sesuai dengan masa kepemimpinan/kekua-
saan Pak Harto. Setelah Sidang Umum MPR Maret 1998, Pak Harto 
akan menginjak ke Masa Kepemimpinan yang ke 35 (tiga puluh lima) 
tahun, berhubung dikarenakan salah satu Tumbal dari ke Tujuh 
Pahlawan Revolusi tersebut bukan Jendral ( Pati ) yaitu Lettu 
Piere Tendean, maka kesimpulannya, Pak Harto, (Insya ALLAH) tidak 
akan mampu memimpin R I ini secara penuh 35 (tiga puluh lima) 
Tahun, kalau saya prediksi secara tajam, masa kepemimpinan Pak 
Harto berakhir sekitar bulan-bulan di tahun 1999, prediksi kesim-
pulan ini kami tarik dari tampak makin takkaburnya hingga hampir 
dikultuskannya Orde Baru yg mayoritas apa yang dinamakan angkatan 
'66 (Eksponen '66), kalau angka 66 dibalik akan menjadi angka 
99,Bingo...! tepat di tahun '99 itulah saat-saat tumbangnya apa 
yang dinamakan angkatan '66 dengan Orde Baru yang diagung-
agungkan/dikultuskan oleh mayoritas para penyelenggara negara 
dengan ketakkaburan yang prima berusaha untuk di abadikan hingga 
melebihi sang sumber dari segala mukjizat yaitu Al Qur'an yang 
merupakan dasar utama dari sumber-sumber pemikiran saya. Mana ada 
di dunia ini segala apa dari sumber produk bentuk dari pemikiran-
pemikiran manusia yang bisa dijadikan selamanya (abadi) baru 
khususnya Orde Baru , jangan mimpi dong, Pak, nanti TUHAN yang 
akan membangunkan/menyadarkan mimpi-mimpi Irasional anda, kurang 
percaya, tunggu aja,Insya ALLAH, sejarah nanti yang membuktikan 
kalau teori prediksi saya tepat, untuk saat ini saya masih tetap 
sabar untuk belajar dari Kitab/Buku yang disusun oleh Sang Guru 
Maha Besar Saya yaitu Al Qur'an.

Kalau kita kembalikan lagi ketepatan apa yang pernah dira-
malkan/diprediksikan Joyoboyo, bahwa pemegang kekuasaan tertinggi
setelah masa bentuk kekuasaan kerajaan di Nusantara ini namanya 
diakhiri dengan huruf hingga membentuk kalimat " NoTo No / Na 
GoRo, soalnya saya kurang faham yang dimaksud Joyoboyo, NoGoRo 
atau NaGoRo, baiklah saya prediksikan dua-duanya saja, kalau yang 
dimaksud Joyoboyo adalah NoGoRo, berarti masa kepemimpinan pasca 
Suharto ini kalo' tidak Pak Hartono (Menteri Penerangan) ya, Pak 
Try Sutrisno (WaPres), tapi mudah-mudahan aja Pak Try Sutrisno, 
soalnya kalo' Pak Hartono nanti larinya arah kekuasaan pemerin-
tahan negara kita tidak jauh berbeda dengan Pak Harto dikarenakan 
nama kedua orang ini identik dengan Harto/Harta, berarti kedua 
orang ini sama-sama penimbun harta/rakus akan materi, bisa jadi 
kalo' kursi kepresidenan dipegang Pak Hartono krisis Moneter di 
negara kita semakin gawat dan is death moneter negara 
kita,...ha....ha...ha...

Karena saya bukan seorang Pakar ekonomi / moneter seperti Bapak 
Anwar Nasuytion dan Bp. Didik J.Rachbini, saya sedikit mengetahui 
sebab-sebab dari krisis moneter di Indonesia ini, dan saya tetap 
berpegang kepada suatu pepatah " Akibat Tak Akan Terjadi Tanpa 
Ditimbulkan Oleh Suatu Sebab " Sebagian sebab penyebab timbulnya 
krisis Moneter berkepanjangan di negara kita ini yaitu, Pak 
Suharto = Pak Suka Harto/Harta ( orang penimbun harta terbaik di 
R I). Super Semar = SUharto PERilakunya SEperti MARcos.Kalo' 
TIMOR = Tommy Itu Memang Orang Rakus. Kalo' BIMANTARA = Bambang 
Itu Memang Anak Nepotis Terdidik Agak RAkus. sedang kalo' Tutut 
(mbak Tutut) = Tujuan Uang Tujuan Uang Terutama. Mbak Tutut 
termasuk sebagian contoh figur seorang istri yang kurang terhadap 
suami, masa' istri kho' ngga' bisa memenuhi kewajibannya sebagai 
istri dengan baik, lihat aja, saya sampe' kasihan dengan Pak 
Indra Rukmananya selalu ditinggal pergi ama mbak Tututnya. Itulah 
tidak enaknya menjadi keluarga Pak Harto, lihat aja ketika Pak 
Indra Rukmananya ingin memenuhi cinta kasih sejatinya dengan 
Dice, habis Dicenya dibantai, So pasti pembantaian itu di otaki 
oleh mbak Tutut, Pak De kan cuman kambing yang dicat hitam ama 
mbak Tutut. Demikianlah sebagian sebab-sebab krisis moneter yang 
saya ketahui dan saya sampaikan lewat tulisan yang berbau sastra 
komedi. 

Kita kembali kepada prediksi kepemimpinan negara kita, 
kalau kepemimpinan pasca Suharto tepat jatuh keakhiran nama "No" 
atau Pak Try Sutrisno, Insya ALLAH akan lebih baik dari keadaan 
sekarang, sebab kalau saya artikan nama Pak Try Sutrisno, Try = 
coba/ mencoba, dan Sutrisno = benar-benar Trisno/Cinta. Jadi Pak 
Try Sutrisno adalah salah satu sosok figur seorang pemimpin yang 
mencoba benar-benar mencintai rakyat, bangsa dan NegaraNya. 
Bilamana Pak Try Sutrisno bisa menjadi Presiden Pasca Suharto 
nanti masalah kolusi, korupsi, monopoli (mirip jaman VOC),oligop-
oli dan budaya nepotisme grafiknya agak bisa ditekan serta masa-
lah krisis moneter di negara kita sedikit bisa teratasi.

Kalau ramalan yang dimaksudkan Joyoboyo adalah NaGoRo, 
Uwah..!.saya sedikit bingung mencari siapa figur yang tepat untuk 
menjadi Presiden pasca Suharto, yang akhiran nama seorang figur 
pemimpin tersangkut huruf "Na", kan rada sulit, kalo' umpama saya 
ambil seseorang yang bernama Pak IB. Sudjana (Mentamben) juga 
ngga' mungkin, kalo' seandainya Pak IB.Sudjana menjadi 
Presiden.Uwaah...,udah, kaga' bakalan jadi Negara Indonesia 
ini,bisa hancur Indonesia ini, coba saja kalo' kita kaji ulang 
perjalanan Pak IB.Sudjana semenjak menjadi Menteri Pertambangan 
da Energi, lihat saja sejauh mana keterlibatan Pak IB.Sudjana 
dalam Kasus mega kolusi busungnya Busang beberapa waktu lalu, 
serta ditegurnya Pak IB Sudjana ama Direktur Bank Dunia masalah 
pinjaman dana untuk PLN.

Setelah saya selami bilamana ramalan/prediksi yang dimaksud 
Joyoboyo adalah NaGoRo atau dengan kata lain pemimpin/Presiden di 
negara kita setelah Bung Karno dan Pak Harto, namanya diakhiri 
dengan huruf "Na", maka dengan rada diluar masuk akal ternyata 
jatuh kepada Mbak Tutut dengan dipengaruhi nama suaminya yaitu 
Mbak Siti Hardiyanti Rukmana, soalnya bila kita kaji ulang, Pak 
Harto dalam memilihkan suami/istri buat anak-anaknya juga tidak 
gegabah, Pak Harto kan juga musti minta nasehat dan petunjuk ama 
penyihir-penyihir yang berkedok penasehat spiritualnya. Dasar 
dari usaha mbak Tutut dalam mencapai kursi kepresidenan di negara 
kita kelak, dengan mengandalkan materi/uang dan sedikit bumbu 
elit nepotisme. Pendeknya, mbak Tutut mencoba mengakomodasi ABRI 
dan Golkar dengan mengandalkan materi/uang yang dikeruk dari bumi 
perthiwi ini hingga terwujud keinginan hawa nafsunya untuk mendu-
duki jabatan Presiden. Kita bisa lihat sebagian aktivitas mbak 
Tutut dalam menggembar-geborkan Gerakan Cinta Rupiah lewat media 
massa dan elektronik beberapa waktu lalu, kalau kita ikuti Gera-
kan Cinta Rupiah ini, kita tidak menyadari dibimbing untuk 
menjadi tidak lebih dari seorang pengemis, lihat aja pengemis, 
pengemis kan sangat mencintai rupiah, bahkan kesangat cintaanya 
pengemis kepada rupiah tak perlu diragukan lagi,ha....ha...ha... 
Pengemis identik dengan kemiskinan berarti kesimpulannya, mbak 
Tutut adalah seseorang yang mengalami kemiskinan Moral. Ucapan 
Insya Allah dan Alhamdulillah yang pernah terucap di mulut mbak 
Tutut di media massa-media massa tidak lebih hanya manipulasi 
kalimat suci TUHAN kita untuk kepentingan pemenuhan hawa nafsu 
busuknya. Bilamana dengan mengandalkan uang dan materinya mbak 
Tutut (mbak Siti Hardiyanti Rukmana) ini sampai mampu menduduki 
kursi kepresidenan, maka bersiap-siaplah menghadapi masa perali-
han/pergantian kekuasaan yang akan memakan korban/Tumbal jauh 
lebih banyak dari sejarah masa-masa peralihan/pergantian kekua-
saan/kepemimpinan sebelumnya yang pernah terjadi di Nusantara 
kita yang sedikit terikat akan prediksi ramalan Joyoboyo (NoTo 
Na/NoGoRo). Soalnya bilamana kelak mbak Tutut sampai mampu mejadi 
Presiden pasca Suharto, saya yakin masa kepemimpinannya tidak 
lebih dari 5 (lima) Tahun/satu Pelita.

Saya akhiri sampai di sini dulu tulisan yang mengandung 
sedikit prediksi masa transisi peralihan/pergantian kepemimpinan 
masa depan negara kita ini. Saya juga menghimbau kepada segenap 
para Demokrator-Demokrator sejati dan ikhlas dalam memperjuangkan 
kejujuran,kebenaran dan keadilan di negara kita ini untuk lebih 
merapatkan barisan dan sabar guna menyongsong saat bakal terjadi-
nya guncangan yang cukup dahsyat menjelang masuknya tahun 1999 
nanti. Saat tahun 1999 itulah gerakan perjuangan Evolusi lewat 
kesabaran kita akan melahirkan apa yang dinamakan dengan Revo-
lusi. 

Dan khusus buat Bapak Bintang saya mohon bersabarlah 
Pak,Negara/para penyelenggara Negara mampu memanipulasi fitnah 
lewat kedok UU Subversif dan memenjarakan jasmani Bapak, tapi 
pihak penyelenggara negara tiada mampu sedikitpun memenjarakan 
Hati dan Rochani Bapak untuk terus berjuang menegakkan 
kejujuran,kebenaran dan keadilan atau dalam istilah agama islam 
ber Amar Makruf Nahi Mungkar, Insya ALLAH Bp. Bintang akan menda-
patkan bebas murni dari TUHAN, nanti di tahun '99/ terbalik nya 
angkatan/Eksponen '66 menjadi angkatan '99.

Di bulan Idul Fitri ini juga saya ingin mengucapkan Selamat 
Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf Lahir dan Bathin saya bilamana 
dalam tulisa saya ini maupun tulisan kemaren-kemaren ada 
kata/ucapan yang mengandung kesalahan/kekhilafan baik yang saya 
sengaja maupun yang tidak saya sengaja, serta simpanlah tulisan 
saya ini guna untuk membuktikan Insya ALLAH kebenaran prediksi 
dan ramalan saya ini, untuk perhatiannya tak lupa saya haturkan 
banyak terima kasih.

Wassalamu'alaikum...Wr...Wb....

Surabaya; 10-Februari-1998

Disusun oleh : Khidir,Sil. 

******************************

[email protected]
Thu, 12 Feb 1998 18:21:38 -0700 (MST) 

Posted at 2:40 p.m. PST Thursday, February 12, 1998

Suharto orders crackdown on protesters; new military chief named

By Geoff Spencer
Associated Press Writer

JAKARTA, Indonesia (AP) -- With food riots on the increase across the
country, President Suharto ordered the military to move against
anti-government activists he accused of plotting Indonesia's
"disintegration." 

Suharto demanded the crackdown after warning that "political temperatures
are rising" before an election next month that the longtime leader is
almost certain to win. 

His order to senior military officers in the capital came as 500
protesters, angry at the rising prices and joblessness brought on by the
country's economic woes, rioted against Chinese storekeepers in Jatiwangi,
100 miles east of Jakarta. 

Witnesses said the protesters attacked shops along a 50-yard section of
the town's main street, burning at least 13 stores and damaging 30 others. 

"They were angered because of the soaring prices of food, cooking oil,
milk and spare parts for vehicles," one resident said. 

Sixteen people were arrested, and the ethnic Chinese owners of the stores
went into hiding, police said. 

The Chinese community makes up only 4 percent of the sprawling
archipelago's 202 million people, but Chinese merchants dominate commerce
and are widely blamed for price increases caused by the gutted value of
the country's currency, the rupiah. 

Earlier in the capital, Suharto admitted in a speech to armed forces
chiefs that "the economic crisis has yet to be overcome." 

Suharto warned that unidentified activists would try to use the discontent
caused by the crisis to threaten order before the March election. 

He accused the activists of "acting destructively and passing it off as
democracy." 

"They disseminate rumors that make people worry, pit one group against
another, and do things that confuse the people and undermine the country's
stability," he said. 

His announcement came a day after police detained about 140 protesters in
Jakarta's biggest anti-government demonstration since the value of the
rupiah began plummeting seven months ago, causing soaring inflation and
unemployment, and threatening hundreds of companies with bankruptcy. 

Suharto, 76, is Asia's longest-serving leader. He has governed for 32
years and is expected to win a seventh five-year term when a 1,000-member
electoral college-like assembly votes in March. 

Despite riots in more than a dozen villages and towns in recent weeks over
rising prices and unemployment, Suharto has ignored growing calls from
opponents and pro-democracy groups to step down. 

Instead, he is aggressively trying to bolster his position, ordering the
military and police Thursday to "take strong action against those who act
unconstitutionally, especially action that could lead to national
disintegration." 

In an apparent effort to tighten his control of the military, Suharto also
named a new armed forces commander, his former aide and current army chief
of staff, Gen. Wiranto. 

He also designated his son-in-law, Maj. Gen. Prabowo Subrianto, the army's
strategic command chief -- a key position held by Suharto himself when he
put down an alleged communist coup in 1965 and took power a year later. 

******************************************

Received on Fri Jan 30 02:17:10 MET 1998

POKOK-POKOK PIKIRAN EKONOMI-POLITIK PBHI (1/3)

JAKARTA (SiaR, 27/1/98) PBHI pada Senin 26 Januari 1998 menghadap
Fraksi Karya Pembangunan MPR. Mereka menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam
rangka reformasi politik dan ekonomi sebagai alternatif pemecahan krisis yang
sedang terjadi di Indonesia.

Berikut adalah pokok-pokok pikiran itu yang dikutip secara lengkap
sesuai aslinya.

Redaksi SiaR
------------

Pokok-Pokok Pikiran, Reformasi Ekonomi dan Politik

KRISIS MONETER DAN AKIBAT YANG DITANGGUNG RAKYAT INDONESIA

Sebelum berfluktuasi di bulan Juli 1997, nilai tukar rupiah sebesar
2.400 per dollar AS. Kemudian berfluktuasi antara Rp. 2.450 hingga Rp. 2.750
per dollar AS. Sebulan berlalu, Agustus, mata uang baht Thailand merosot tajam
sampai 40 persen. Dalam tempo sekejap peso Filipina terseretjatuh. Berikutnya
disusul ringgit Malaysia dan dollar Singapura. Selang dua bulan, giliran rupiah
anjlok hingga 55 persen dan sampai kini belum stabil. Kemerosotan rupiah adalah
yang paling parah di Asia Timur dan Tenggara. Karena sempat anjlok lebih 300
persen ketika nilai tukarnya di atas Rp. 11.700 per dollar AS pada 8 Januari
lalu.

Krisis moneter yang dialami Indonesia bukan saja terburuk di Asia Timur
dan Tenggara, tapi juga selama ini di bawah Orde Baru. Selama ini belum pernah
terjadi krisis segawat ini. Kini pemerintah betul-betul dihadapkan pada situasi
yang sulit untuk bisa menanggulanginya. Karena, memang lebih buruk ketimbang
krisis anjloknya harga minyak dan gas di pasaran internasional dalam dasawarsa
1 980-an.

Krisis kali ini mampu menggerogoti sektor monopoli swasta yang selama
ini mengeruk keuntungan luar biasa dari rakyat Indonesia. Setidaknya paket
reformasi ekonomi Dana Moneter Internasional (IMF) yang telah ditandatangani
langsung oleh Presiden Soeharto sukses membongkar perlakuan istimewa terhadap
proyek Mobil Nasional Timor serta Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Padahal sebelumnya sangat sulit membongkarnya karena didukung penuh Presiden
Soeharto.

Apa yang terjadi kali ini memang berbeda dengan sebelumnya. Tingkat
kedalaman krisis ini bertimbun dengan warisan krisis anjloknya harga migas yang
tak dibereskan bagi penguatan fondasi perekonomian nasional. Dengan begitu,
anjloknya nilai tukar rupiah bisa dikatakan sebagai krisis babak kedua. Karena
itu, tanggapan elit politik dan bisnis atas krisis saat ini juga berbeda ketim-
bang tahun 1980-an keberadaan rezim politik yang ada pun tak sekuat dulu, teru-
tama jika ditali-temalikan dengan tawaran reformasi ekonomi dari IMF.

Memang beberapa tahun belakangan, Indonesia semakin didesak oleh tuntut-
an pasar global yang ditunjukkan oleh isu liberalisasi perdagangan dan investa-
si dalam skala Asia Tenggara (AFTA) dan Asia Pasific (APEC). Krisis moneter tak
lepas dari perkembangan ini. Situasi yang membelit perekonomian nasional, jelas
juga karena kelemahan fundamental sistem ekonomi Indonesia yang dipimpin Orde
Baru. Secara internal, sistem ekonomi yang dibangun Orde Baru mengandung kele-
mahan mendasar. Kini dengan datangnya krisis moneter- merosot drastisnya nilai
tukar rupiah - telah menimbulkan dampak yang sangat luas bagi kehidupan rakyat.

Pertama, anjloknya kurs rupiah berdampak naiknya harga barang-barang im-
por. Tapi kenaikan ini memicu naiknya harga barang-barang non-impor. Yang pa-
ling terasa adalah melonjaknya harga-harga sembako (sembilan barang kebutuhan
pokok) seperti beras, terigu, gula, minyak goreng, susu dan telur. Kenaikan ini
merata di seluruh negeri di mana sembako diperjualbelikan dan sekaligus memban-
tah pernyataan Ketua Golkar Harmoko mengenai dampaknya tak masuk ke desa. Ke-
tika harga-harga melonjak, sebagian masyarakat di sejumlah kita menyerbu pasar-
pasar swalayan untuk memborong barang. Ada juga yang harus antre untuk membeli
minyak tanah. Situasi ini semakin menyulitkan keadaan rakyat dan tentu memero-
sotkan daya beli mereka. Rakyat tak bersalah atas krisis yang terjadi, tapi
mereka harus menanggung derita.

Kedua, banyak perusahaan yang tak termasukperusahaan monopoli dan
sek-tor tertutup harus terancam bangkrut. Mereka diantaranya tak hanya
dihadapkan pada kesulitan likuiditas tapi juga dihadapkan pada kenaikan harga
bahan baku. Sektor konstruksi dan properti banyak yang, terancam bangkrut.
Sejumlah peru- sahaan lainnya juga harus menyesuaikan diri dengan krisis
moneter. Kalangan penerbit koran kini mulai menuju kebangkrutan, karena harga
kertas koran yang dimonopoli PT Aspec Paper, terus mengalami lonjakan. Harga
kertas koran naik 44 persen pada November, naik lagi pada Desember menjadi 132
persen dan pada bulan Januari ini menjadi 217 persen. Diperkirakan sekitar 70
persen dari 286 penerbit surat kabar di Indonesia terancam bubar atau berhenti
terbit jika kenaikan harga kertas koran terus berlangsung (kompas, 14 Januari 1998).

Ketiga, dampak krisis moneter adalah melesunya dunia usaha yang tentu
saja berakibat timbul berbagai kasus PHK massal terhadap buruh-buruh yang dipe-
kerjakan. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aburizal Bakrie mengung-
kapkan mengenai jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan sebanyak 1 juta orang
akibat krisis moneter. Mereka yang terhimpun dalam Gabungan Pelaksana Konstruk-
si Seluruh Indonesia (Gapensi) menyebutkan angka 3-4 juta orang menganggur
aki-bat terhentinya proyek mereka Pemerintah Malaysia berniat memulangkan I
juta pekerja asing dimana sebagian besar berasal dari Indonesia. Pemulangan
pekerja telah terjadi dari Arab Saudi selama 1995-1996 berjumlah 7 juta orang.
Sampai tahun 1997 diperkirakan mencapai 9,3 juta orang. Kendati kaum pekerja
tak bersalah, mereka terpaksa harus menerima akibat krisis ekonomi.

Keempat, dengan meluasnya krisis moneter kedalam perekonomian nasional,
pemerintah menyatakan tak menaikkan gaji pegawai negara. Sementara itu, peme-
rintah melalui Menteri Tenga Kerja (Menaker) juga belum mengumumkan keputusan-
nya mengenai Upah Minimum Regional (UMR) yang baru. Kendati harga-harga naik,
tampaknya UMR bakal tak mengalami kenaikan. Hal ini jelas semakin memberatkan
kondisi hidup kaum pekerja, termasuk pegawai negara.

Kelima, dengan tingginya tingkat suku bunga saat ini telah mengakibat-
kan terjadinya kesulitan likuiditas dana milik investasi maupun perluasan usa-
ha. Situasi ini mungkin untuk sementara waktu saja. Tapi jika pemerintah tak
melaksanakan reformasi ekonomi secara konsisten maka para investor semakin tak
berminat menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk para investor nasional yang
membayangkan tak adanya prospek bisnis jangka panjang. Jika hal ini tak
diatasi, Indonesia akan terjerumus pada stagnasi ekonomi.

Keenam, meningkatnya kurs dollar AS mengakibatkan tekanan atas neraca
pembayaran. Utang luar negeri Indonesia hingga akhir September 1997 sebesarll 8
milyar dollar AS. Sebelumnya, Indosuez Wl Carr Securities pernah mengungkapkan
200 milyar, termasuk commercial paper, sebagian besar adalah utang swasta. Se-
bagian besar utang swasta ini adalah yang menguras devisa. Mereka pada umumnya
menjadi beban perekonomian nasional. Krisis moneter yang berlangsung dalam tiga
bulan terakhir telah menyeret perekonomian nasional ke dalam situasi yang
sa-ngat buruk. Pada gilirannya situasi ini harus ditanggung oleh rakyat banyak
yang tak mengerti, mengapa semua ini harus menimpa mereka. Rakyat harus menang-
gung akibat dengan naiknya harga barang-barang. Para pengusaha terancam bang-
krut. Para pekerja kehilangan peker jaan. Mereka yang bertahan dengan status
pekerjanya tak dinaikkan gaji atau upahnya kendati harga-harga barang naik.
Semua ini bukan kesalahan mereka. tapi mereka harus menerima akibatnya. Sungguh
situasi ini menyengsarakan banyak orang.

Tampaknya krisis moneter dan dampak yang kita rasakan saat ini belum
akan pulih dalam tempo singkat. Karena, proses pemulihan ini pasti menimbulkan
pertentangan kepentingan, terutama mereka yang selama ini menikmati perlakuan
istimewa dari penguasa politik adalah perintangnya. Situasi inilah yang diha-
dapi rezim politik yang dipimpin Presiden Seoharto kendati di atas kertas telah
menyepakati paket reformasi ekonomi dengan IMF yang berjumlah 50 butir ter-
sebut.

Dengan pertimbangan itu, warga masyarakat kita harus merasakan penderi-
taan selama 2-3 tahun. sebelum situasi perekonomian pulih kembali. Karena,
begitulah dampak yang ditimbulkan oleh krisis moneter yang meluas dan mendalam.
Persoalannya, seberapa seriusnya pemerintah memegang janji untuk melaksanakan
reformasi ekonomi seperti yang telah ditekennya di hadapan pejabat IMF.

****************************************************

POKOK-POKOK PIKIRAN EKONOMI-POLITIK PBHI (2/3)

SUMBER KEKISRUHAN EKONOMI INDONESIA

Tahun 1965 adalah akhir pemerintahan Soekarno. Pada I Oktober 1965
pimpinan pemerintahan beralih ke tangan Jenderal Soeharto. Slogan pembangunan
yang dikibarkan adalah "ekonomi sebagai panglima" --bukan politik sebagai
panglima -- kendati di mana pun di dunia ini tetaplah politik sebagai panglima.

Seolah-olah juga kepemimpinan Orde Baru lebih mementingkan pembangunan
ekonomi, sementara pemerintahan Soekarno mementingkan politik. Begitulah
penyederhanaan masalah yang dikumandangkan Orde Baru kepada rakyat.

Dalam pembangunan ekonomi, Orde Baru membutuhkan modal. Kebutuhan modal
ini membuatnya berpaling ke luar negeri: mengimpor modal asing dan utang luar
negeri. Tahun 1967 di buka penanaman modal asing (PMA) dan digalang utang luar
negeri pemerintah melalui Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang
kini berganti nama Consultative Group for Indonesia (CGI). Dengan begitu modal-
modal yang berasal dari AS, Jepang, Jerman, Inggris dan Belanda dipersilakan
oleh pemerintah untuk mengeruk keuntungan dari Indonesia.

Setelah setahun, pemerintah pada 1968 mengerahkan modal dalam negeri
untuk mengumpulkan keuntungan. Baik modal asing maupun modal domestik yang
menguasai sumber-sumber ekonomi, mengeruk keuntungan dengan melakukan tiga hal
pokok. Pertama, mempekerjakan buruh-buruh Indonesia dengan upah yang sangat
rendah. Kedua, menguras hasil tambang seperti minyak dan gas bumi (migas),
emas, timah dan tembaga. Ketiga, menebang hutan-hutan untuk mengambil kayu
hingga banyak menimbulkan hutan gundul. Dengan tindakan inilah para investor
mengeruk untung.

Pembentukan sistem perekonomian nasional didominasi eleh peran pemerin-
tahan Soeharto. Para pejabat membagi konsesi dengan golongan pengusaha domes-
tik baik Cina maupun pribumi untuk membangun "kerajaan bisnis" mereka. Sumber-
sumber ekonomi yang dikuasai atau dikendalikan pemerintah, dialokasikan kepada
para pengusaha tersebut. Alokasi sumber-sumber ekonomi nasional ini berkembang
lebih jauh kepada keluarga pejabat tinggi negara. Dengan pengalokasian ini para
pengusaha ini tumbuh menjadi besar karena peran pemerintah dalam menguasai
sumber-sumber ekonomi nasional.

Munculnya pengusaha atau perusahaan besar domestik bukan karena hasil
yang dicapainya secara independen (mandiri), melainkan karena peran dominan
yang dimainkan pemerintah. Bahkan pemerintah itu sendiri yang menghasilkan para
pengusaha besar Cina, pribumi, serta keluarga para pejabat. Para pengusaha
inilah yang mendominasi perekonomian nasional hingga kini. Hubungan pemerintah
dan pengusaha di bawah Orde Baru, dapat dikatakan sebagai sumber kekisruhan ek-
onomi nasional.

Patronasi Bisnis

Untuk menyimak kekisruhan ekonomi Indonesia, dapat diletakkan dalam
hubungan pemerintah dan bisnis. Kehidupan bisnis yang penting selalu bertalian
erat dengan pemerintah. Jika pemerintah adalah induknya, maka pengusahaadalah
hasil ternakan pemerintah. Karena itu, pertumbuhan sektor swasta besar Indone-
sia bertalian erat secara politik dalam hubungannya dengan peran pemerintah.
Hubungan seperti ini kita sebut patronase bisnis (business patronage) di mana
pemerintah (melalui pejabatnya) bertindak sebagai patron (gantungan) dan
pengusaha sebagai klien (menggantungkan diri). Bagaimana memahami patronase
hisnis?

Pertama, sampai akhir pemerintahan Soekarno, belum tumbuh barisan pen-
gusaha hesar. Sehingga kedudukan dan peran pemerintah dalam perekonomian men-
jadi dominan. Bahkan pemerintah bisa disebut sebagai "mesin pertumbuhan eko-
nomi" Pemerintah menyediakan proyok, kontrak, konsesi, lisensi, kredit serta
pasokan barang. Dalam posisi ini pengusaha sangat bergantung kepada pemerintah
dalam membangun usahanya. Pemerintah menjadi gantungannya dan pengusaha menjadi
tergantung. Yang dihasilkan adalah pengusaha yang tergantung kepada pemerintah.

Ke dua, pemerintah atau negara Orde Baru melahirkan apa yang disebut
sebagai vlapisan birokrasi. Mereka sering disebut pejabat negara atau pemerin-
tah. Mereka adalah penguasa politik yang mengendalikan sumber-sumber ekonomi.
Mereka berhubungan dengan pengusaha-pengusaha tertentu dalam membentuk sistem
bisnis yang kita namakan patronase bisnis. Bahkan dalam pembentukan sistem
bisnis, para pejabat melibatkan kerabat dan keluarganya. Keterlibatan pejabat
serta kerabat dan keluarganya adalah cara mereka untuk memupuk kekayaan pribadi
di luar gaji dan tunjangan jabatan.

Dengan pola yang sama, para pejabat tingkat daerah dan tingkat kampung
mengikuti jejak para pejabat pusat. Mereka meman- faatkan jabatan birokratiknya
untuk mengerahkan keluarganya terlibat dalam bisnis. Jadi, bisnis keluarga para
pejabat adalah pemandangan umum di Indonesia. Mereka menjadi kaya dan berbisnis
bukan karena awalnya pedagang, melainkan karena posisinya sebagai birokrat/
pejabat.

Ke tiga, dengan pembentukan sistem patronase bisnis, pemerintah dijadi-
kan sumber segala macam proyek dan sekaligus perlindungan bisnis mereka sebagai
klien (Cina dan pribumi), kerabat dan keluarga pejabat. Mereka menikmati semua
ini selama mungkin tanpa kepentingan untuk berubah. Selain fasilitas proteksi
dan subsidi pemerintah, mereka juga menikmati akses monopoli, bahkan kartel
(penguasa monopoli yang menentukan harganya sendiri).

Ke empat, dengan begitu gampangnya mereka mendapat proyek dan kontrak
serta berbagai fasilitas bisnis dari pemerintah, pertumbuhan usaha mereka
bukanlah sektor yang produktif dan berdaya saing. Tingkat produktivitas mereka
lemah, sementara daya saingnya ketinggalan. Struktur industri substitusi impor
(ISI) yang mereka bangun justru berkembang secara tak efisien dan boros. Sampai
kini masih tetap seperti Itu.

Ke lima, mengingat sistem ini berkembang secara tak efisien dan sangat
boros, maka sistem ekonomi yang dominan adalah sistem yang berlandaskan pada
"ekonomi biaya tinggi" (high cost economic.) Sistem ini kemudian dibebankan
kepada rakyat dengan memperdagangkan produknya secara sangat mahal. Contohnya,
harga sebuah sedan di Indonesia bisa lebih mahal 200-300 persen ketimbang harus
mengimpor langsung dari Jepang atau Jerman. Kelemahan ini ditanggung oleh rak-
yat, sementara keuntungan besar dikeruk pengusaha yang dilindungi pemerin- tah.

Ke enam, sistem patronase bisnis ini melahirkan kekuatan ekonomi yang
sangat eksklusif. Sistem ini sama sekali mengabaikan rakyat. Sehingga yang
dihasilkan hanya ratusan pengusaha yang menguras sumber daya ekonomi nasional.
Mereka sangat mementingkan diri sendiri, bahkan cenderung rakus menjadi kaum
monopolis. Motivasi mereka sangat jelas: mengeruk untung sebanyak mungkin dalam
tempo sesingkat mungkin. Kendati sudah besar, mereka tak peduli dengan kepen-
tingan jangka panjang, yakni membangun sistem bisnis dalam kehidupan politik
yang demokratis. Terbentuknya sistem patronase bisnis yang menguasai pereko-
nomian nasional, telah menjadi beban atas sistem ekonomi nasional. Sistem ini
telah menguras sumber-sumber ekonomi seperti buruh, hasil tambang dan hutan.
Segala kekisruhan yang ditimbulkan sistem patronase ini justru rakyat banyak
yang harus menanggung akibatnya. Sistem ini - karena watak eksklusif para
pengusahanya - membuatnya tak bisa diandalkan untuk membangun masa depan. Para
pengusaha besar ini tak pernah berpikir untuk membangun perekonomian nasional
dengan menggulirkan demokratisasi. Mereka ingin selamat tanpa mau berkorban
untuk kepentingan rakyat banyak.

Sumber Korupsi

Sistem patronase bisnis yang dibangun dan dipertahankan selama ini
justru menjadi sumber korupsi yang terpenting dalam masyarakat Indonesia.
Negara atau pemerintah menjadi sumber keuangan dan proyek yang dibutuhkan
pengusaha. Pemerintah mengalokasikan kepada mereka yang dijadikan rekan
bisnis.

Pertama, pemerintah melalui kekuasaan politik para pejabatnya, menye-
diakan proyek dan kontrak pemerintah kepada rekan bisnis. Bahkan mereka menga-
lirkan fasilitas kredit yang sangat besar dan menyediakan pasokan barang bagi
rekan bisnisnya baik Cina maupun pribumi termasuk kerabat dan keluarganya. De-
ngan tindakan ini seolah-olah para pejabat memupuk kekayaan pribadi dan ke-
luarganya secara legal, karena tak langsung memakan uang negara bagi dirinya.
Malah pola ini jauh lebih menguntungkan, karena dapat diolah dengan hasil yang
berlipat ganda.

Ke dua, dengan mengalokasikan proyek, kontrak, konsesi serta kredit dan
menyediakan pasokan barang tampaknya anggaran pemerintah (APBN) berjalan sesuai
jadwal. Tapi jika ditengok secara konkret, tindakan para pejabat negara tak
lebih dari tindakan untuk memupuk kekayaan dan kerajaan bisnis mereka bersama
rekan bisnisnya. Sumber-sumber ekonomi yang berada di tangan pemerintah telah
berubah menjadi sekadar "sapi perah" para pejabat dan rekan bisnisnya. Karena
pemerintah adalah "mesin pertumbuhan ekonomi", maka penguasaan pejabat atasnya
memudahkan untuk menunjukkan kerajaan bisnisnya. Hasilnya jauh lebih banyak
ketimbang mereka memakan atau menggelapkan uang negara.

Ke tiga, untuk bisa memupuk kekayaan melalui patronase bisnis, para
pejabat yang melicinkan jalan bagi pengusaha untuk mendapatkan proyek, kontrak,
kredit besar dan pasokan barang, bahkan proteksi dan monopoli, tidak lah dia-
lirkan secara gratis kepada pengusaha, melainkan harus dengan konsesi pemilikan
saham atas perusahaan yang menjalankan proyek dan kontrak. Hubungan bisnis dan
politik ini dilanjutkan dalam bidang-bidang bisnis yang semakin luas seiring
dengan pertumbuhan kerajaan bisnisnya. Mereka terus berbagi keuntungan dan
terus juga memperbesar jaringan bisnis patronasenya.

Ke empat, para pejabat yang ikut melicinkan jalan untuk alokasi sumber-
sumber ekonomi jaringan patronase - pada sejumiah departemen pemerintah - pada
umumnya diberikan komisi atau "uang lelah". Kebiasaan seperti ini telah menye-
ret banyak pejabat di departemen pemerintah terlibat "uang lelah" atau "hadiah"
dari rekan-rekan bisnis pejabat tinggi dan keluarga. Bahkan mereka meniru pola
patronase ini dengan melibatkan rekan bisnis mereka, dengan tingkatan yang
lebih rendah. Begitu juga yang dilakukan para pejabat tingkat daerah dengan
melibatkan anak-keluarganya.

Ke lima, pola patronase bisnis yang telah tertanam dalam tubuh biro-
krasi negara, mendorong semua jajaran birokrasi untuk melakukan pemupukan
kekayaan pribadi dengan memanfaatkan jabatannya. Tindakan mereka sangat bera-
gam. Ada yang memalsukan dokumen, menyulap bon kuitansi pembelian barang,
menggelapkan uang negara yang masuk, hingga memasukkan kerja bagi pegawai baru
dengan uang sogokan, serta memeras para pengusaha dengan berbagai pungutan,
prit jigo, dan pungutan bagi warga masyarakat yang mengurus surat tertentu
maupun KTP.

Akibat-akibat

Dibangun dan dipertahankannya sistem patronase bisnis yang mendominasi
perekonomian nasional telah menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut.

Pertama, aset-aset ekonomi nasional telah terkonsentrasi di tangan
segelintir orang, pengusaha besar dan keluarga pejabat tinggi. Mereka dengan
cepat menjadi besar dan kaya rava dengan menciptakan pemerintah atau negara
sebagai "sapi perah" bagi perturnbuhan kerajaan bisnis mereka. Beberapa pemgu-
saha keturunan Cina dijajarkan sebagai orang terkaya di dunia. Bahkan Pusat
Data Bisnis Indonesia (PDBI) pernah mengungkapkan mengenai gabungan kekayaan
Yayasan-yayasan di bawah Soeharto lebih besar ketimbang Yayasan Toyota
(Jepang), Yayasan Ford (AS) dan Yayasan Rockefeller (AS). Ini terjadi karena
aset negara telah menjadi sapi perah" pengusaha besar dan pejabat inggi bagi
pembangunan kerajaan bisnis mereka.

Ke dua, dampak dari negara sebagai "sapi perah" telah membuat para
pejabat negara mengabaikan pengawasannya atas eksploitasi buruh murah dan eks-
ploitasi sumber daya alam (SDA) seperti hasil tambang dan hutan. Upah buruh
yang dialami puluhan juta buruh di Indonesia adalah terendah. Kekuatan-kekuatan
ekonomi nasional telah gagal memakmurkan buruh-buruhnya. Mereka hanya tergerak
untuk mengeruk untung besar dengan upah buruh serendah mungkin. Pemerintah juga
membiarkan modal-modal asing untuk menguras minyak dan gas bumi, emas, timah,
tembaga, batubara dan nikel sebanyak mungkin. Lebih parah dialami kekayaan
hutan nasional, selain banyak yang gundul, belum lama ini hutan-hutan diduga
sengaja dibakar untuk penanaman modal. Indonesia menjadi negeri yang tergolong
banyak merusak hutan.

Ke tiga, patronase bisnis telah mengakibatkan merajalelanya korupsi.
Birokrasi yang tumbuh selama ini adalah birokrasi yang korup, hingga semua
tingkatan melakukan tindakan korupsi. Mulai dari departemen keuangan hingga
departemen agama, tak bisa bebas dari korupsi. Kasus-kasus besar diantaranya
adalah Pertamina yang ditunjukkan oleh skandal utang sebesar 10,4 milyar dollar
AS, skandal kredit Rp. 1,3 triyun Golden Key Group dan Bapindo, skandal kredit
trilyunan rupiah, Sritex dan Kanindotex, skandal kesemrawutan pengelolaan haji
dan pungutan yang diberlakukan oleh calon haji, skandal dana Jamsostek yang
dialirkan ke DPR, serta skandal korupsi Rp. 1,5 trilyun di Bank Indonesia (BI).
Tumbuhnya birokrasi yang korup ini telah membuat banyak survei internasional
yang mendudukkan Indonesia berada di tingkat tertinggi dalam hal korupsi. Ini
betul-betul memalukan, karena bangsa Indonesia dicap sebagai bangsa terkorup.

Ke empat, berkembang sistem patronase bisnis yang mendominasi perek-
onomian serta korupsi yang menggerogotinya, pasar domestik bagi mereka dipak-
sakan untuk menerima harga barang dengan harga yang mahal. Rakyat sebagai
konsumennya harus menanggung akibatnya. Sementara para pengusaha monopoli bah-
kan kartel mengeruk keuntungan banyak hingga menggemukkan kakayaan mereka
dengan gampang. Mereka mendapat untung, tapi rakyat dipaksa harus menanggung,
dengan tingkat harga yang tinggi. Karena itu, ekonomi Indonesia sering juga
disebut sebagai "ekonomi biaya tinggi".

Ke lima, mekarnya sistem patronase bisnis mengakibatkan industri Indo-
nesia tak bisa mengembangkan daya saing internasionalnya. Industri-industri
otomotif dan baja maupun pesawat terbang adalah industri yang parah dalam hal
daya saing. Industri di Indonesia sebetulnya tak punya pengalaman memproduksi
mobil, apalagi memproduksi pesawat terbang, kemudian harus bersaing dengan
negeri lain. Pemerintah belum bisa memenuhi program pembangunan pertanian, dan
sektor pertambangan di satu pihak dengan pembangunan sektor industri di pihak
lain dalam rangka menyempurnakan sirkuit produksinya secara internal. Dengan
begitu, industri mobil dan pesawat terbang hanya menjadi beban bagi rakyat dan
perekonomian nasional.

Ke enam meskipun sumber daya alam dikuras dan menghasilkan pendapatan
negara yang sangat banyak, tapi negeri kita adalah pengutang terbesar. Peme-
rintah mengakui utang luar negeri sebanyak 118 milyar dollar AS. Sementara
Indosuez Wl Carr Securities menyebutkan angka 200 milyar dollar AS, termasuk
commercial paper. Sebagian besar adalah utang-utang perusahaan swasta besar
yang selama ini dibentuk dalam sistem patronase bisnis. Utang swasta ini
menurut pemerintah sebesar 65 milyar dollar AS. Karena utang mereka berbentuk
dollar, maka mereka jelas akan menguras devisa. Apalagi mereka menjalankan
bisnisnya bukan untuk ekspor, melainkan dipasarkan di dalam negeri. Inilah yang
sangat membahayakan posisi neraca pembayaran luar negeri Indonesia.

Ke tujuh, tujuan berdirinya bank-bank swasta di Indonesia adalah lebih
besar untuk mendapatkan dana murah bagi kepentingan bisnis mereka sendiri,
bukan bertujuan komersial dalam menyediakan uang bagi sektor bisnis. Pemerintah
mengizinkan perusahaan besar hasil sistem patronase bisnis tersebut mendirikan
dan mengoperasikan bank. Sehingga jalur keuangan pun mereka kuasai. Mereka
mendapatkan dana murah yang kemudian meminjamkan uang untuk perusahaan mereka
sendiri. Yang terjadi, mereka melanggar legal lending limit - batas maksimum
pemberian kredit. Tapi mereka justru kebal hukum.

        Ke delapan, patronase bisnis mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang
dihasilkan tak mampu mandiri dari pemerintah. Mereka masih dikeloni oleh pemer-
intah kendati secara finansial mereka sudah sangat besar. Apalagi harus mandiri
secara politik atau upaya mereka untuk menekan pemerintall dalam rangka mencip-
takan kepercayaan bisnis (business confidence) dalam jangka panjang.

        Ke sembilan,dampak yang meluas dari birokrasi negara adalah selain
wataknya yang korup, juga mengakibatkan pelayanan birokrasi-administrasi bagi
keperluan anggota-anggota masyarakat berlangsung sangat buruk. Bahkan warga
masyarakat terpaksa harus melayani kepentingan para birokrat administrasi
tersebut.

        Ke sepuluh, patronase bisnis dan dampak yang menyertainya sangat rentan
dengan gejolak ekonomi internasional. Ketika harga minyak mentah anjlok, ekono-
mi kita dilanda krisis fiskal (keuangan negara). Kini dengan gejolak moneter
regional, mata uang rupiah ikut anjlok dan terpuruk sangat parah hingga menim-
bulkan dampak yang luas dalam perekonomian nasional.

Rezim Politik Eksklusif

        Pembangunan ekonomi nasional yang didominasi patronase bisnis dan
menimbulkan korupsi yang meluas ke dalam lapisan birokrasi negara, tak bisa
diabaikan dari sistem politik yang menyokongnya. Artinya, sistem politik yang
ada sangat mendukung pembentukan sistem patronase bisnis dan membiarkan tum-
buhnya birokrasi yang korup. Sistem politik yang ada bukanlah sistem demo-
krasi, melainkan sistem otoriter dimana militer sangat dominan. Ini berbeda
dengan kehidupan politik dimasa demokrasi parlementer dari Orde Lama juga ber-
beda dengan kehidupan politik di Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina
serta Papua New Guinea. Karena itu, kita terlalu jauh untuk membandingkannya
dengan Belanda atau Amerika Serikat (AS), misalnya.

        Selama lebih 30 tahun Orde Baru mengambil-alih kekuasaan pemerilltal
Soekarno, demokrasi bukanlah cita-citanya, melainkan justru menghambat clan
mematikan proses ke arah demokrasi. Dengan politik yang anti-demokrasi - otori-
tarianisme Orde Baru - pembangunan ekonomi yang didominasi sistem patronase
bisnis dan merajalelanya korupsi, berlangsung tanpa rintangan. Unsur mayarakat
berada dalam keadaan tak berdaya, sehingga otoritarianisme Orde Baru adalah
konsekuensi logisnya.

        Politik yang sangat mendukung patronase bisnis dan merajalelanya korup-
si dan kolusi, telah mengalami dua kali krisis ekonomi.

        Pertama, krisis yang diakibatkan oleh anjloknya harga migas di pasaran
internasional yang memaksa pemerintah untuk melakukan deregulasi kebijaksanaan
ekonomi.

        Ke dua, krisis moneter yang kini dihadapinya dan berdampak sangat dalam
kehidupan masyarakat, terutama dalam hal kenaikan harga-harga barang dan
mening-katnya jumlah pengangguran. Kehidupan politik di bawah Orde Baru
ditunjukkan oleh keberadaan rezim korporatisme eksklusif (exclusionary
corporatism regime). Rezim ini lah yang memegang peranan penting dalam
mendukung sistem ekonomi yang
didominasi oleh grup-grup usaha besar yang dibangun dan dipertahankan daiam
sistem patronase bisnis. Rezim ini juga termasuk rezim yang korup hingga ke
tingkat bawah yang sangat mengganggu kondlsi rakyat.

Rezim eksklusif

        Rezim politik yang tumbuh dan berkembang di bawah Orde Baru ada lah
rezim korporatisme eksklusif. Ada tiga ciri yang menandai rezim ini.

        Pertama, tak memiliki basis dukungan massa dan memang sangat elitis.
Bahkan partai dan organisasi korporatismenya juga tak berhubungan dengan basis
massa.

        Ke dua, tindakan dan kebijaksanaan rezim cenderung mengekang, mengham-
bat dan menghukum kemungkinan timbulnya gerakan massa.

        Ketiga, dalam tindakan terentu, rezim tak segan-segan menjalankan kebi-
jaksanaan yang bersifat koersif, untuk tujuan menciptakan kepatuhan rakyat. Ke-
beradaan rezim politik memang tidak didasarkan atas basis dukungan massa.
Kemunculannya adalah hasil kemenangan elit Angkatan Darat (AD) atas Soekarno
dan pendukungnya. Setelah kemenangan ini AD hanya memobilisasi massa demi
mendapatkan legitimasi. Tapi kemudian rezim ini di hadapkan pada persoalan
legitimasi: siapa kah yang mendukungnya? Bagaimana mekanisme untuk mendapatkan
legitimasi? Dengan wataknya yang eksklusif, rezim politik itu tak membutuhkan
dukungan massa.

        Sebaliknya, gerakan massa dimatikan, sehingga massa rakyat dapat ditun-
dukkan dan kemudian dikendalikan agar bisa dipelihara eksklusivitas rezim dari
rakyat. Rezim menjauhkan diri dari rakyat tapi tetap mengendalikannya agar tak
timbul gerakan massa rakyat. Kebijaksanaan koersi dilakukan untuk menindak dan
menghukum orang-orang yang mulai tampil sebagai tokoh oposisi. Karena tak butuh
basis dukungan massa, maka rezim politik tersebut lebih mengandalkan kekuatan
koersif negara, terutama militer. Pentingnya militer juga disebabkan oleh watak
rezim yang mengekang dan menindas kemungkinan timbulnya gerakan massa rakyat.
Karena itu, rezhn yang ada selama ini bertentangan dengan kepentingan rakyat
banyak yang selalu ditundukkannya.

        Rezim korporatisme eksklusif itu lebih mengakomodasi kepentingan elit
politiknya (negara), sementara kepentingan massa rakyat diabaikannya. Tujuannya
adalah meniadakan tantangan politik atas rezim, sehingga akumulasi ekonomi yang
didominasi sistem patronase bisnis maupun kepentingan pejabat untuk menjadi
kekayaan negara sebagai "sapi perah" tidak terganggu. Kekayaan negara yang di-
peras elit negara selama ini telah ditopang oleh rezim eksklusif yang berten-
tangan dengan kepentingan rakyat banyak. Keberadaan rezim politik sejalan
dengan kepentingan lapisan birokrasi untuk menjadikan kekayaan negara dan
kekayaan masyarakat yang bisa ditariknya sebagai "sapi perah".

        Pertumbuhan rezim korporatisme ekslusif di bawah Orde Baru, berlangsung
dalam sistematika berikut ini.

Pertama:

        Setelah memetik kemenangan gemilang dari rezim Soekarno dan para
pendukungnya, Orde Baru mengatur sistem politik sesuai dengan kepentingannya.
Jika sebelumnya banyak berlangsung politisasi dan mobilisasi massa, maka di
bawah Orde Baru justru sebaliknya: depolitisasi dan demobilisasi massa. Semua
tindakan rezim baru ini sangat dikenal dengan program politik "massa meng-
ambang" (floating mass). Hubungan politik dengan massa pendukung dan kepen-
tingan mulai dihapus dan diganti dengan relasi intra-elit politik yang
berkembang secara eksklusif. Dengan menjauhkan dan mengasingkan massa rakyat
dari partisipasi politik kecuali mobilisasi dalam pemilihan umum anggota DPR
- rezim politik tak akan terganggu kepentingannya oleh kepentingan rakyat
banyak. Basis dukungan massa dihapuskan, sehingga akan sukar timbul gerakan
massa yang membahayakan kepentingan rezim.

      Organisasi yang sebelumnya menggalang kekuatan politik massa adalah
partai politik. Dalam masa Orde Baru, fungsi partai politik diperlemah dan
dipisahkan dari massa. Partai-partai tak lagi seperti dulu, yaitu partai yang
memerintah, partai oposisi, koalisi maupun pembentukan front politik. Semuanya
dihapuskan. Yang ada hanya lah partai-partai yang menginduk pada pemerintah
atau rezim. Golkar, PPP dan PDI dibentuk begitu rupa sehingga menjadi partai
yang eksklusif - tak berbasis dukungan massa, kecuali birokrasi. Ketiganya juga
tak mandiri, karena menginduk pada pemerintah sebagai bagian dari organisasi
korporatis negara untuk mendukung kepentingan rezim. Jalur formal mereka adalah
untuk memenuhi tuntutan adanya DPR/MPR dan sidang-sidang diperlukan untuk
menunjukkan seolah-olah rezim yang ada sesuai dengan mekanisme konstitusional.

Kedua:

Organisasi yang sebelumnya menggalang kekuatan plitik massa adalah partai
politik. Dalam masa Orde Baru, fungsi partai politik dilemahkan dan dipisahkan
dari massa. Partai-partai tak lagi seperti dulu, yaitu partai yang memerintah,
partai oposisi, koalisis maupun pembentukan front politik.  Semuanya dihapus-
kan. Yang ada hanya lah partai-partai yang menginduk kepada pemerintah  atau
rezim. Golkar, PPP dan PDI dibentuk begitu rupa sehingga menjadi partai yang
ekslusif -tak berbasis dukungan massa, kecuai birokrasi. Ketiganya juga tak
mandiri, karena menginduk kepada pemerintah sebagai bagian dari organisasi
korporatif negara untuk mendukung kepentingan rezim. jalur formal mereka adalah
untuk memenuhi tuntutan adanya DPR/MPR dan sidang-sidang diperlukan untuk
menunjukkan seolah-olah rezim yang ada sesuai dengan mekanisme konstitusional.

Ketiga:

Menyadari bahayanya kokuatan serikat-serikat buruh dan organisasi tani dan
nelayan, serta pemuda dan wanita, rezim politik menyediakan wadah-wadah tunggal
seperti SPSI (buruh), HKTI (tani), HNSI (nelayan), Korpri (pegawai), PGRI
(guru), KNPI (pemuda), dan Kowani (wanita), maka rezim mengeloninya untuk
melenyapkan kekuatan massa. Semua organisasi ini sebetulnya organisasi massa,
tapi dalam prakteknya bukan organisasi massa, karena tak berbasis dukungan
massa, apalagi memperjuangkan kepentingan massa anggotanya. Organisasi-
organisasi ini digiring menjadi organisasi yang eksklusif - organisasi para
pengurus dan bukan massa.

Ke empat:

        Watak eksklusif rezim politik menyebabkannya kurang mentolerir berbagai
kegiatan warga masyarakat untuk berkumpul. Kegiatan ini dibatasi dan dipersulit
jika tak dilarang atau dibubarkan. Pemerintah - atas kegiatan berkumpul- menun-
tut warga masyarakat mengurus izin kepada aparat birokrasi kepolisian. Jika
kegiatan tak punya izin, aparat kepolisian atau militer bisa melarang dan
membubarkannya. Tindakan seperti ini masih terus terjadi. Rezim selalu menaruh
kecurigaan terhadap warga masyarakat, terutama untuk kegiatan berkumpul. Di
sini tampak watak anti- massa dalam tubuh rezim eksklusif.

Ke lima:

        Ketika membutuhkan legitimasi, Orde Baru membutuhkan gerakan mahasiswa.
Tapi ketika tak dibutuhkan lagi ka:ena rezim sudah kuat, gerakan mahasiswa
harus dihancurkan. Tahun l 978 adalah saat rezim menghancurkan kokuatan gerakan
mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan yang telah dibangun secara demokratis
justru dalam tempo sekejap hancur berantakan. Bahkan dibangun yang baru dengan
konsep NKK dan perangkat organisasi BKK. Hingga kini kekuatan gerakan mahasiswa
tetap berada dalam keadaan lumpuh.

Ke enam:

        Selama ini masyarakat Indonesia sering mendapatkan pernyataan pejabat
negara bahwa ABRI adalah kekuatan scsial politik. Bahkan tanpa perlu ikut
menjadi peserta pemilihan umum, ABRI secara istimewa mendapat jatah kursi di
DPR dan MPR, dengan nama Fraksi ABRI. Dalam masalah kepemimpinan nasional
maupun pemerintahan, ABRI juga memiliki peran yang sangat penting. Dalam Golkar
pun, unsur ABRI mendapat tempat, yang dikenal dengan jalur A (ABRI). Sebelumnya
ABRI telah memperkenalkan dan mempratekkan ideologi dwifungsi yang sangat
terkenal di dunia. Artinya, ABRI di Indonesia memiliki fungsi ganda, tak hanya
mengurusi keamanan nasional, tapi juga politik bahkan bisnis. Dengan begitu,
dangat jelas bahwa militer memiliki posisi dan peran yang dominan dalam poli-
tik. Ini sesuai dengan watak rezim eksklusif.

Ke tujuh:

        Pemerintah Orde Baru sangat menyadari pengaruh pers atau media massa
dalam pembentukan opini publik. Rezim yang ada berhasil menciptakan pengekangan
terhadap pers sejak akhir 1965. Jika sebelumnya partai-partai bisa memiliki
surat kabar untuk menyebarkan ide-ide politiknya, maka sejak Orde Baru semua
itu berakhir. Pemerintah mengatur pers dengan memberlakukan lembaga SIUPP
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) serta ideologi "bebas dan bertanggungjawab"
. Tindakan pemerintah atas penyelenggaraan pers pada umumnya berwatak represif
seperti menyensor, menelpon dan memanggil pemimpin redaksi, serta tindakan
mematikan : bredel. Tapi belakangan pejabat Indonesia mulai tertarik untuk
melakukan somasi (teguran) dengan menuntut ganti kerugian secara damai seperti
ang terjadi dalam kasus The Jakarta Post dan Menristek B.J. Habibie yang
mewakili IPTN. Memang tampak bahwa perkembangan dan gerak pers disesuaikan
dengan kepentingan rezim ekslusif.

Ke delapan:

        Watak represif rezim terus dipertahankan untuk menghukum atau mengha-
kimi orang-orang yang berbeda pikiran dan pendapat dengan pemerintah. Banyak
juga di antara mereka yang hanya sekadar didudukkan sebagai "kambing hitam"
ketentuan persidangan - bagi penguasa - dapat dipenuhi. Pemerintah sendiri tak
pernah mempersoalkan pikiran maupun pendapat mereka. Tapi hagi pemerintah semua
itu sudah baku: merongrong ideologi Pancasila, merongrong kewibawaan pemerin-
tah, atau menghina kepala negara dan menyebarkan kebencian terhadap pemerin-
tah. Pemerintah menyediakan dua r)erangkat hukum untuk mendakwa orang-orang
yang berpikiran dan berpendapat beda dengan pemerintah.

Pertama, pasal-pasal mengenai ketertiban umum dan menyebarkan kebencian
(haatzai artikelen) warisan
kolonial Hindia Belanda dan beberapa pasal represif lain dalam KUHP.

Kedua, UU Anti Subversi yang diwariskan dari Orde Lama yang selama ini
dikutuk oleh para pejabat Orde Baru. Kedua produk hukum ini dipakai
untuk menghakimi orang-orang yang berbeda pikiran dan pendapat dengan
pemerintah. Dengan begitu. kedua produk hukum ini bersifat menindas
warga negara.

Ke sembilan:

        Pemerintah tak selalu mencegah atau membatasi dan menindak kegiatan
rakyat dengan tindakan paksaan atau kekerasan. Pemerintah membutuhkan perangkat
hukum untuk membatasi kegiatan warga masyarakat. Tak cukup hanya melaksanakan
program "massa mengambang" dengan berbagai cara di luar hukum. Karena itu,
pemerintah berkepentingan memberlakukan 5 paket UU Politik yang membatasi atau
mencegah warga masyarakat mendirikan dan mengoperasikan partai politik,
organisasi massa, ikut menjadi peserta pemilu, mengadakan referendum. serta
mengawasi penyusunan DPR dan MPR.

Ke sepuluh:

        Selain membatasi kebebasan pers, rezim di bawah Orde Baru juga melaku-
kan tindakan pelarangan peredaran buku-buku yang tergolong kritis terhadap
pemerintah. Paiing mutakhir adalah pelarangan atas buku buah karya Soebadio
Sastrosatomo - mantan pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI) - yang berjudul
Era Baru pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Orde Baru. Selain melarang huku
ini yang dikeluarkan Jaksa Agung, pemerintah juga menghakimi - melalui pengadil
an - orang yang menerbitkannya. Tentu hal ini belum ada presedennya, tapi pe-
merintah  terus mengadili Buyung Rachmad Buchori Nasution. Pemerintah tampak-
nya takut jika warga masyarakat giat membaca buku politik. Tapi hakokatnya,
pemerintah melarang tumbuhnya kecerdasan rakyat terhadap politik.

Ke sebelas:

        Posisi DPR dan MPR di bawah Orde Baru sangat lemah menjalankan fungsi
legislatifnya. DPR sejak 1971 memang disusun melalui pemilu dimana jatah kursi
istimewa diberikan kepada ABRI sebanyak 75 atau 100 kursi. Dalam posisi partai-
partai yang menginduk pada pemerintah. dengan Golkar dianak-emaskan, DPR juga
berinduk pada pemerintah. Ada atau tak adanya DPR, sebetulnya tak masalah bagi
rezim eksklusif. Tapi persoalannya adalah kesan (citra) tak terlalu memonopoli
serta perlunya perluasan elit politik, DPR perlu dipertahankan keberadaannya.
Yang jelas, DPR tak pernah menjadi kuat sebagai lembaga negara untuk mengawasi
kebijaksanaan pemerintah. Hingga kini tak pernah sekali pun DPR menggunakan
hak-haknya yang penting seperti hak bertanya pada presiden, hak angket, hak
inisiatif, dan hak interpelasi. Begitu juga kedudukan MPR tetap tunduk pada
pemerintah. Mereka lebih tunduk pada aturan "musyawarah" ketimbang memilih
presiden dengan suara terbanyak. Fraksi-fraksi MPR pun harus menghadap calon
presiden ketika menyampaikan keputusan fraksi mereka, bukannya mengundang tokoh
yang dicalonkannya untuk diminta kesediaannya. Di sini tak mencerminkan bahwa
MPR ssbagai lembaga tertinggi negara.

Ke duabelas:

        Kedudukan lembaga diharapkan menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang
berada di pundak Mahkamah Agung (MA), ternyata lebih banyak menjadi penunggak
perkara kasasi, bahkan kasus-kasus merintangi judicial review atas Permenpen
No. 01/1984 yang coba diupayakan oleh mantan pemilik suratkabar Prioritas,
serta kasus keluarnya surat sakti ketua MA atas perkara tanah Kedung ombo dan
Herbert Ohee di Irian jaya. MA juga tak berdaya memeriksa kasus peradilan
politik yang masih terus berlangsung. Begitu juga dengan keberadaan perundang-
undangan.

Ke tigabelas:

        Sejak berhasil menggulung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI)
melalui pembasmian paling berdarah serta melarang komunisme, Orde Baru tak
hanya menyebabkan komunistofobi - dengan menyebut-nyebut sebagai bahaya laten -
juga menyebarkan xenofobia terhadap liberalisme, demokrasi dan hak asasi
manusia (HAM), serta ekstrim kanan (Islam). Orang-orang yang menyuarakan 
ide-ide demokrasi dan HAM sering dituding sebagai liberal yang tak sesuai
dengan budaya bangsa. Sementara mereka yang membentuk pengajian-pengajian dan
memhahas sekitar ukhuwah Islamiyah sering dituding sebagai ekstrim kiri kanan.
Belakangan tudingan dan penghakiman orde Baru atas Partai Rakyat Demokralik
(PRD) sukses mem-PKl-kan PRD. PRD pun kemudian bisa pada setiap gejolak menjadi
"langganan" sebagai "Kambing Hitam".

******************************************

POKOK PIKIRAN POLITIK-EKONOMI PBHI (3/3)

REFORMASI EKONOMI

        Krisis moneter yang dialami Indonesia telah berkembang menjadi krisis
ekonomi yang meliputi sistem keuangan nasional, kebangkrutan sejumlah peru-
sahaan PHK massal dan pengangguran nasional. semakin sulitnya kondisi hidup
kaum pekerja, melonjakkan harga barang justru memerosotkan daya beli masyara-
kat, menggunungnya utang swasta yang semakin tak tertagih, kesulitan likuiditas
dana untuk investasi dan krisis kepercayaan, situasi krisis ekonomi saat ini
sangat memberatkan kehidupan rakyat baik di kota-kota besar maupun di daerah
hingga pedalaman. Banyak diantaranya harus antrean untuk membeli barang-barang
kebutuhan pokok.

        Para pakar ekonomi seperti Prol.Soemitro Djojohadikusumo dan Prof Emil
Salim serta Moh. Sadli menyatakan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia sangat
serius. Bahkan mereka sangat gencar menganjurkan agar pemerintahan Soeharto
segera melaksanakan reformasi ekonomi Yang pasti sebab-sebab krisis yana menye-
rang masyarakat kita bukan karena kesalahan rakyat. Kaum buruh selama ini harus
berkorban dengan upah rendah. Apalagi upah riil jusiru anjlok terutama di saat
melonjak harga barang-barang. Penduduk di desa dan di kota dipaksa harus meng-
orbankan tanahnya bagi pembangunan untuk segelintir orang. Para pedagang kecil
sudah lazim digusur dari tempat mereka berdagang. Kini banyak kalangan harus
dimintai pengorbanan mereka dalam menghadapi krisis ekonomi.

        Dengan begitu, rakyat semakin bertumpuk pengorbanannya atas pembangunan
eko- nomi untuk segelintir orang tersebut. Padahal rakyat banyak bukanlah pela-
ku yang berbuat salah atas terjadinya krisis ekonomi.

        Sebab-sebab krisis ekonomi tak datang dari rakyat melainkan para pelaku
yang selama ini menjadi sumber kekisruhan sistem ekonomi Indonesia. Mereka
adalah yang terus-menerus mempertahankan sistem patronase bisnis (busines pa-
tronage) dimana kekayaan negara dan kemampuan membeli masyarakat serta buruh
berupah rendah dijadikan "sapi perah". Sistem patronase bisnis yang dibentuk
para pejabat yang menjadi gantungan (patron) dan sekaligus pelindung sejumlah
pengusaha yang ingin cepat besar dalam tempo singkat telah menimbulkan watak
birokrasi negara yang sangat korup. Sehingga beberapa hasil survei interna-
sional mengungkapkan peringkat sebagai negeri terkorup diduduki Indonesia. 
        Sistem patronase bisnis telah menjadikan kekayaan negara dan keu-
angannya menjadi "sapi perah" bagi persekongkolan pejabat dan pengusaha yang
menginduk pada pejabat bersangkutan. Selain menjadikan kekayaan negara sebagai
"sapi perah", untuk mendapatkan untung sebanyak mungkin, mereka memeras keka-
yaan masyarakat (konsumen) dengan mempraktekkan proteksi dan monopoli. Sete-
rusnya menimbulkan watak birokrasi yang sangat korup.

        Semua ini lah yang menjadi biang keladi kekisruhan perekonomian nasi-
onal. Mereka yang membentuk dan berkepentingan dengan patronase bisnis dan
birokrasi korup yang mengakibatkan rakyat harus menanggung krisis ekonomi.

        Kini setelah krisis ekonomi tak sanggup lagi mereka atasi, mereka
meminta rakyat untuk berkorban. Mereka hanya mau berkorban dengan menukarkan
sebagian kecil uang dollar AS yang mereka simpan sambil mengumandangkan Gerak-
an Cinta Rupiah. Sementara sekitar 80 milyar dollar AS diduga mereka simpan di
bank-bank Singapura. Puluhan milyar dollar AS diduga di depositokan di bank-
bank di Swiss demi keselamatan harta warisan keluarga mereka. Mereka tak
mengerti bahwa yang harus diselamatkan adalah Indonesia - bukan sekadar rupiah.
Apalagi utang luar negeri pihak swasta yang mencapai lebih 65 milyar dollar AS
mulai tak tertagih. Jangan sampai untuk membayar utang, aset-aset nasional
justru dijual. Ini sama artinya kita jual Indonesia kepada pihak asing. Apakah
dengan begitu Indonesia menjadi negara bagian AS atau bagian Republik Jerman
atau Jepang.

        Tingkat krisis ekonomi nasional saat ini telah cukup gawat, tak bisa
lagi hanya dengan mengatasinya dengan pernyataan-pernyataan yang menenangkan
rakyat dan dunia usaha. Tak juga bisa hanya melalui tindakan moral Gerakan
Cinta Rupiah atau Cinta Indonesia. Penyelesaian masalah saat ini tak bisa lagi
dengan gerakan tipu muslihat, gerakan yang pada dasarnya bermaksud mengalihkan
perhatian masyarakat dari akar soal serta biang keladi krisis terjadi. Kini
kita membutuhkan reformasi ekonomi menyeluruh untuk mengatasi krisis dan
mengembangkan kembali perekonomian kita yang telah bangkrut.

        Reformasi ekonomi ini tak bisa lagi setengah-setengah, apalagi dicicil
seperti halnya utang luar negeri. Reformasi ekonomi membutuhkan kesatuan
pikiran dan sikap serta tindakan konkret sekaligus.

        Pertama-tama adalah menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan yang
diakibatkan begitu banyaknya kekayaan negara menjadi "sapi perah" segelintir
pengusaha fasilitas negara. Kedua, merombak struktur ekonomi Indonesia agar
mampu meningkatkan daya saing internasional serta menumbuhkan kepercayaan dunia
usaha (business confidence) dalam jangka panjang.

        PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)merasa
perlu untuk mendesak semua pihak yang berkepentingan mengatasi krisis ekonomi
dan kekisruhan yang terus berkembang di Indonesia, dengan menggulirkan program
aksi reformasi ekonomi. Seharusnya pemerintah melakukan reformasi ekonomi
ketika mengatasi krisis fiskal menyusul anjlok harga minyak dan gas bumi di
pasar internasional. Tetapi yang dilakukan hanyalah deregulasi yang tak
konsisten dan bersifat jangka pendek. Karena itu, krisis yang menghantam kita
saat ini adalah akibat penataan ekonomi nasional yang dipakai dan krisis
moneter di Asia Timur dan Tenggara, sehingga beban ekonomi nasional bertumpuk-
tumpuk dan untuk menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan total adalah melak-
sanakan program aksi relormasi ekonomi secara konsisten. PBHI menganjurkan
langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama:

        Menghapuskan sumber penyakit -- virus krisis ekonomi -- berupa sistem
patronase bisnis. Sistem ekonomi yang relatif sehat adalah sistem yang tak bisa
memunculkan patronase bisnis. Negeri-negeri scperti Singapura, Malaysia, dan
Hongkong adalah negeri yang mengharamkan patronase bisnis. Korea selatan dan
Thailand adalah dua negara yang sukses menghapuskan patronase bisnis. Para
pejabat negara dilarang menjadi patron (gantung) bagi para pengusaha tertentu
dan menopang bisnis keluarganya. Persekongkolan pejabat dan pengusaha untul;
memupuk vested interest harus segera diakhiri.

Ke dua:

        Penghapusan hubungan patronase bisnis harus diikuti dengan penghentian
bisnis dengan memanfaatkan kekayaan negara sebagai ' sapi perah', karena keka-
yaan dan anggaran negara digenjot menjadi "mesin pertumbuhan ekonomi" bagi
segelintir pejabat dan pengusaha. Bahaya yang harus diakhiri adalah konsentrasi
yang berlebihan karena adanya fasilitas kekayaan negara yang bisa disedot
dengan gampang, tapi tak menciptakan basis perkonomian yang kuat. PBHI mendesak
agar kekayaan negara harus digunakan untuk kepentingan yang iebih luas dan
manfaat yang lebih besar bagi perekonomian nasional.

Ke tiga:

        Sektor keuangan nasional harus diakhiri dari kerakusan mereka yang
telah menjadi besar dalam tempo singkat tapi gagal membangun basis industri
yang tangguh. Kejelasan pengelolaan sistem keuangan nasional meliputi fiskal,
moneter dan perbankan terutama yang bertalian dengan alokasi dana investasi,
harus mulai dijalankan. Sektor keuangan harus dikembalikan fungsinya untuk
menyokong investasi di sektor-sektor yang produktif agar kekuatan ekonomi
nasional bisa memperbaiki daya saing internasional.

Ke empat:

        Sektor-sektor monopoli dan tertutup seperti otomotif, baja dan petro-
kimia sudah seharusnya dikikis. Keberadaan sektor ini sangat merugikan pere-
konomian nasional, karena menguras keuangan negara dan menyedot dana
masyara-kat, dengan ditetapkannya harga jual yang sangat tinggi. PBHI mendukung
penuh dihapuskannya kartel semen, kertas dan kayu lapis sehagaimana yang
terkandung dalam pernyataan itikad (letter of intent) antara Direktur
Pelaksanana IMF Michel Camdessus dan Presiden Soeharto pada 15 Januari lalu di
Jakarta. Gerak reformasi ekonomi harus membebaskan Indonesia dari sektor
monopoli.

Ke lima:

        Untuk menghapuskan sektor monopoli dan kartel, hambatan tarif dan non
tarif atas produk yang bertalian dengan sektor ini harus segera dihentikan.
Dengan begitu, proteksi tarif dan non tarif yang selama ini dinikmati sektor
monopoli, kini harus diakhiri agar beban perekonomian bisa diringankan.

Ke enam:

      Hutang luar negeri telah menjadi beban perekonomian nasional sehingga
masalah ini harus segera diatasi terutama utang swasta. Pemerintah harus mengu-
mumkan siapa saja yang berhutang dan berapa utang mereka. Lebih dari itu, harus
ada pertanggungjawaban, mengapa mereka berutang dan untuk apa saja utang terse-
but digunakan. PBHI mendesak pemerintah untuk membuka persoalan utang itu.

Ke tujuh:

       Kemajuan dunia usaha di Indonesia selalu di hambat oleh watak birokrasi
yang sangat korup. Reformasi ekonomi harus segera membereskan dan membersihkan
birokrasi dari wataknya yang selama ini menganggu dan memberatkan perekonomian
nasional. Banyak pengusaha menuntut dibasminya berbagai pungutan yang berkem-
bang dalam tubuh birokrasi. PBHI mendesak pemerintah untuk menyelenggarakan
program membersihkan birokrasi.

Ke delapan:

        Menghadapl krisis ekonomi, PBHI mendesak pemerintah untuk mengarahkan
proyek investasi kepada penanaman modal yang bersifat produktif. Strategi
investasi ini meliputi proyek-proyek bersifat padat karya, berorietasi ekspor
serta yang saling berkait secara internal untuk keperluan akumulasi intensif.
Mengingat utang Indonesia sudah terlalu besar, maka investasi yang menghemat
devisa harus diutamakan .

Ke sembilan:

        Persoalan jangka pendek yang harus diatasi adalah stabilisasi harga.
Melonjaknya harga barang dan tak stabilnya harga telah menimbulkan kepanikan
masyarakat untuk memborong barang serta tindakan sebagian pedagang termasuk
untuk menimbun barang. Sehingga timbul kelangkaan barang. Akibatnya rakyat
harus antri untuk mendapatkan barang. Stabilisasi harga dan kesiapan para
pemasok barang untuk menjalankan tugasnya perlu segera diatasi.

Ke sepuluh:

        Akibat krisis ekonomi memang timbul berbagai PHK massal, sehingga men-
ingkat jumiah pengangguran. Reformasi ekonomi harus menciptakan program konkret
untuk menyelesaikan masalah kelebihan pasokan tenaga kerja dan pengangguran.
Memang untuk menjawabnya diperlukan lebih banyak proyek investasi yang bersifat
padat karya. Namun lebih dari itu kita perlu memiliki rencana jangka panjang
untuk keperluan perluasan kesempatan kerja.

Ke sebelas:

        Tampaknya selama ini pemerintah tak bisa menciptakan kepercayaan dunia
usaha (business confidence) untuk jangka panjang. Para investor lebih cenderung
menanamkan modalnya untuk jangka pendek. Mereka juga digerakkan untuk mengeruk
untung sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat mungkin, sehingga fasilitas
perekonomian nasional tak lebih sekadar "sapi perah" bagi mereka. Setelah
mengeruk untung, mereka melarikannya ke luar negeri (capital flight). Misalnya,
memarkir uang mereka sebesar 80 milyar dollar AS di Singapura, puluhan milyar
dollar di Swiss, serta menanamkan modal di Hongkong, Cina, Vietnam dan Amerika
Serikat (AS). Sementara utang swasta mencapai lebih 65 milyar dollar AS. Untuk
menumbuhkan business confidence yang berjangka panjang, diperlukan politik
ekonomi yang memberikan suasana nyaman dan aman bagi dunia usaha. Karena itu,
PBHI mendesak pemerintah untuk mengubah politik ekonominya yang selama ini tak
menyediakan kepercayaan investor dalam jangka panjang.

Ke duabelas:

        Desakan reformasi ekonomi untuk mengatasi krisis, sedang berada pada
tahap memasuki persaingan global yang lebih keras. Karena itu, strategi inves-
tasi yang mengutamakan peningkatan daya kompetisi adalah program penting dan
strategis bagi masa depan dunia usaha Indonesia. Jika memang ikut dalam AFTA
(perdagangan bebas kawasan Asean) dan APEC (Asia Pasifik), dunia usaha Indo-
nesia harus membenahi lebih keras untuk meningkatkan daya saingnya.

Ke tigabelas:

        Untuk mengefektifkan reformasi ekonomi dan program aksi yang diperlu-
kannya, sudah pasti dibutuhkan suatu perangkat hukum atau peraturan yang kuat.
Perangkat hukum ini harus bisa menopang gerak menuju reformasi ekonomi. Kele-
mahan hukum selama ini harus segera di atasi. PBHI mendesak DPR dan pemerintah
untuk menyusun dan menetapkan sebuah UU Reformasi Ekonomi yang bersifat
menyeluruh.

REFORMASI POLITIK

        Persoalan ekonomi nasional bukan karena semata-mata bersumber dari
faktor ekonomi, tetapi yang sama juga pentingnya adalah faktor politik. Karena
faktor politik inilah yang mengakibatkan tak tumbuhnya kepercayaan dunia usaha
(bussiness confidence) untuk jangka panjang. Terjadi situasi dimana pengusaha
mengejar untung sebanyak mungkin dalam tempo sesingkat mungkin. Kekayaan negara
dijadikan sebagai "sapi perah" untuk menggemukkan para kerabat dan keluarga
pejabat yang terjun dalam bisnis. Sementara kepada masyarakat, bisnis mengeruk
keuntungan dilakukan berdasarkan monopoli pasar, bahkan kartel. Kondisi ini
semakin diperburuk dengan tumbuh dan berkembangnya birokrasi secara sangat
korup. Semua ini menjadi sumber kekisruhan perekonomian nasional.

    Gawatnya, kekisruhan perekonomian nasional itu dipertahankan oleh rejim
korporatif eksklusif (exclusionary corporatism regime). Rejim ini tak berminat
mengembangkan basis dukungan massa, bersifat mengekang gerakan massa. serta
tak segan-segan mengambil kebijaksanaan koersif. Rejim inilah yang menciptakan
kepatuhan dan kebodohan rakyat, tapi di samping itu justru membiarkan pengu-
rasan sumber-sumber ekonomi nasional yang dinikmati oleh segelintir kelompok
dalam masyarakat. Secara internal, mereka itulah yang menjadi sumber kesalahan
hingga menimbulkan krisis ekonomi yang harus ditanggung rakyat banyak.

    Dalam pandangan umum yang telah dibahas sebelumnya, PBHI menegaskan per-
soalan ekonomi sangat bertalian erat dengan persoalan politik. Sistem ekonomi
yang dibangun sejumlah konglomerat dan rejim korporatisme eksklusif menunjukkan
betapa eratnya tali temali persoalan ekonomi dengan politik. Persekongkolan
elit ekonomi dan elit politik Orde Baru inilah perekonomian nasional telah
sampai pada tahap krisis saat ini. Utang menggunung, banyak perusahaan bang-
krut, PHK Massal dan pengangguran, lonjakan harga barang, rupiah sangat
terpuruk hingga Rp 16.100,- perdollar AS, serta kesulitan likuiditas dana
investasi. Semua ini telah membawa Indonesia dalam keadaan sekarat. Tapi jelas
bukan kesalahan rakyat, melainkan sering rakyat menjadi korban dan semakin
diminta untuk berkorban.

    Krisis ekonomi ini memang menyeret Indonesia ke ujung kebangkrutan. Jika
tak muncul konsep, strategi, program aksi dan gerakan untuk menyelamatkan
Indonesia, maka niscaya Indonesia jatuh dalam kebangkrutan. Saat ini Indonesia
sedang tergadai di tangan IMF. Tapi tak ada konglomerat dan pejabat beserta
keluarganya yang bersedia mengalirkan dollar mereka yang disimpan di Singapura
dan negara-negara lain untuk menebus Indonesia. Gerakan Cinta Rupiah (Getar)
tak ada artinya dengan simpanan mereka di Singapura sebanyak 80 milyar dollar
AS (dua kali lipat paket bantuan IMF serta negeri tetangga secara bilateral).
Bahkan beberapa penerbitan asing seperti Internasional Herald Tribune edisi 14
Januari 1998 mengungkapkan dugaan dominasi aset keluarga Presiden Soeharto yang
diperkirakan mencapai 40 milyar dollar AS. Tentu saja pemberitaan semacam ini
perlu segera memperoleh klarifikasi, karena pasti memiliki pengaruh bagi
dinamika situasi ekonomi di dalam negeri. Apalagi utang swasta telah lebih 65
milyar dollar, utang pemerintah mencapai 53 milyar dollar AS. Bagaimana
sebetulnya mereka bersikap atas ulang mereka yang menumpuk dan krisis yang
melanda Indonesia di satu pihak, sementara di pihak lain terdapat pihak-pihak
yang memarkir uang di luar negeri?

       Tapi apa yang telah dilakukan pemerintah dan IMF serta mereka yang
menggembar-gemborkan "Gerakan Cinta Rupiah", terlalu menyederhanakan masalah,
jika persoalan yang dihadapi Indonesia semata-mata uang. Seperti yang telah
kami tunjukkan, persoalannya terletak pada sistem perekonomian yang di dominasi
oleh patronase bisnis (business patronase) yang didukung oleh rezim politik
yang berwatak eksklusif, bahkan tak segan-segan memakai tindakan koersi atau
paksaan terutama untuk menebas gerakan massa. Dengan rezim seperti inilah
segelintir orang sukses menguras kekayaan negara dan kekayaan nasional untuk
menjadikan mereka konglomerat yang tergantung pada fasilitas negara.

       Sangat jelas bagaimana kehidupan bisnis di Indonesia bertalian erat
dengan sistem politiknya. Persoalannya kini adalah perekonomian nasional berada
di tepi jurang kebangkrutan akibat krisis yang telah meluas dan menimpa rakyat
banyak. Karena itu, jika ada pihak yang ingin ambil bagian dalam mengatasi
krisis ekonomi, maka mereka tak bisa menghindarkan diri dari tindakan politik.
Mereka yang hanya semata-mata menukarkan sebagian kecil dollar AS dengan ru-
piah, sama sekali tak menolong nilai tukar rupiah. Disaat munculnya "Gerakan
Cinta Rupiah", ternyata nilai tukar rupiah semakin terpuruk. Pasar uang membuk-
tikan bahwa "Gerakan Cinta Rupiah" bukan tuntutan mereka.

       Yang pasti 'Gerakan Cinta Rupiah" tak mungkin menjadi gerakan rakyat
Banyak, melainkan hanya menjadi "aksi mereka yang punya uang" gerakan elitis.
Bahkan uluran tangan IMF dan beberapa pemerintah secara bilateral yang diper-
kirakan mencapai 41 milyar dollar, bahkan Jepang telah memastikan bantuannya
sebesar 20 milyar yen, belumiah cukup menolong Indonesia dari keadaan sekarat.
Suatu gerakan tahpa tujuan reformasi ekonomi, tak akan menyelamatkan Indonesia.
Seyogyanya gerakan-gerakan yang bertalian dengan krisis ekonomi harus mengacu
pada pemikiran dan tujuan reformasi ekonomi.

       Tapi -- dengan begitu eratnya pertalian bisnis dan politik atau antara
patronase bisnis dan rezim korporatisme eksklusif-- reformasi ekonomi pasti
menuntut reformasi politik. Dalam kasus Indonesia Orde Baru, perbaikan ekonomi
secara serius pasti membawa konsekuensinya pada politik. Pernyataan itikad
(letter of intents) antara IMF dan Pemerintah Orde Baru tak mungkin terlaksana
tanpa itikad politik dari pemerintah sendiri untuk mengorbankan beberapa
kepentingan yang paling bertalian erat secara politik. Misalnya, pendanaan
mobil nasional (Mobnas) Timor dan IPTN. Begitu juga penghapusan kartel semen,
kertas, dan kayu lapis, serta pembongkaran BPPC. Semua kepenlingan ini betul-
betul bertalian erat secara politik. Belum lagi kesepakatan mengenai transpa-
ransi kebijaksanaan fiskal dan ekonomi penuh Bank Indonesia (BI).

        Untuk menyehatkan, apalagi memajukan perekonomian nasional, kita perlu
menciptakan iklim politik yang demokratis. Artinya, reformasi ekonomi -- suka
atau tidak -- harus dibarengi dengan reformasi politik. Sebagaimana ditegaskan,
reformasi ekonomi tak mungkin terlaksana tanpa polltical will pemerintah untuk
membersihkan dirinya dan menciptakan kepercayaan dunia usaha. Dengan digulir-
kannya reformasi ekonomi sekaligus dengan reformasi politik, maka semua organ
dan kelembagaan ekonomi dan politik akan bekerja maksimal. Kami tak ingin
menjadi saksi bahwa pemerintah dan rezim sekarang masih menghambat perubahan
dan perubahan ekonomi dan politik.

      PBHI berpendapat, untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi, tak
cukup hanya reformasi ekonomi melainkan harus dibarengi dengan reformasi poli-
tik. PBHI bersedia membantu siapa saja yang berminat dengan reformasi ekonomi
dan politik. Kita harus menebus Indonesia dengan kerja keras -- bukan dengan
keserakahan dan menguras kekayaan negara dan nasional serta memeras dana
masyarakat karena monopoli pasar. Dengan menyumbangkan tenaga kerja, gerakan
reformasi pasti dapat meluas menjadi gerakan yang merakyat. 

      Dalam rangka ikut ambil bagian untuk menyelamatkan Indonesia, PBHI
menganjurkan berbagai kalangan untuk hersama-sama dan bahu-membahu denaan
merealisasikan reformasi politik. Langkah-langkah penting yang harus dijadikan
sasaran untuk mencapai reformasi politik adalah sebagai berikut:

Pertama:

     Kami mendesak agar rezim politik yang sekarang mulai mengurangi watak
eksklusifnya atas massa rakyat. Rezim tak bisa terus menerus mengandalkan
aparat koersi untuk mengamankan kepentingan segelintir orang yang justru
menguras kekayaan negara dan nasional serta memetik untung besar dengan
memonopoli dan meng-kartel pasar. Kami mendesak agar rezim lebih terbuka atau
akomodatif terhadap kepentingan yang lebih luas. Juga lebih terbuka atas
tuntutan pembaharuan dan perubahan politik menuju sistem politik yang
demokratis.

Ke dua

       Sikap terbuka rezim harus ditunjukkan dengan kebijaksanaannya atas
massa. Kami menuntut diakhirinya kebijaksaan massa mengambang (floating mass)
yang telah menyebakan rakyat terpisah dari partisipasi politik, sehingga
rakyat menjadi tak berdaya. Kekayaan negara dikuras, ke kayaan nasional disedot
, serta dana masyarakat dihisap, justru tak ada protes rakyat dalam skala
besar. Kami ingin rakyatlah yang menentukan kekayaan nasional dan kreativitas
tenaga kerja Indonesia. Politik massa mengambang harus dihentikan dan diganti
dengan program partisipasi massa dalam politik, yang memang lebih mendekatkan
kita pada demokrasi.

Ke tiga:

     Pemerintah harus mengubah kebijaksanaannya selama ini atas kehidupan
partai politik. Tak bisa lagi terus menerus memaksa ketergantungan partai
politik kepada pemerintah. Partai-partai harus didorong untuk mandiri, tak lagi
menginduk pada pemerintah. Kehidupan politik semacam ini sama sekali tak
mendidik dan tak sehat. Sehingga tak bisa bekerja dan berfungsi selayaknya
partai politik. Apalagi dana yang dianggarkan hanya bersumber dari pemerintah.
Ini betul-betul tak mendidik dan tak sehat. Akibatnya partai-partai ini
berkembang secara eksklusif dan terpisah dari dukungan massa. PBHI mengajak
agar partai kini harus berpikir dan bertindak untuk membangun basis dukungan
massa, tak terkecuali Golkar.

        Golkar juga perlu mempertimbangkan kemungkinannya menjadi partai yang
memerintah the (rulling party) dan partai-partai lainnya menjadi oposisi. PBHI
juga mendesak agar pemerintah harus terbuka atas tuntutan rakyat mengenai
sistem multipartai ---tak lagi memaksakan kehendak dan kepentingan pemerintah
sendiri.

Ke empat:

     Rasanya sudah semestinya pemerintah terbuka atas tuntutan masyarakat
mengenai kebutuhan warga masyarakat untuk berorganisasi massa. Banyak buruh
sudah menuntut berfungsinya SPSI sebagai organisasi yang memperjuangkan
kepentingan buruh. Banyak juga yang menginginkan serikat buruh independen.
Wadah-wadah tunggal jelas telah menutup gerak kaum buruh, tani, nelayan,
pegawai,guru, pemuda dan wanita. Pemerintah juga perlu mengurangi otoritarian-
ismenya atas prakarsa warga negara untuk berpartisipasi dalam mendirikan dan
menjalankan program organisasi mereka. Warga negara yang berhimpun dalam
organisasi massa sebaiknya mengembangkan dirinya untuk memiliki dukungan
massa agar dapat mendidik rakyat mengenai kekuatan mereka.

Ke lima:

     PBHI menuntut pemerintah Orde Baru agar menghapuskan politik perijinan
dan pelarangan berkumpul. Cara memandang kegiatan rakyat sudah harus diubah.
Tak bisa hanya dimaksudkan untuk menundukkan dan mematuhkan rakyat, dengan
terus-menerus bersikap dan bertindak usil terhadap kegiatan rakyat. Rakyat atau
warga masyarakat harus dipandang bisa melaksanakan kegiatannya dengan tertib
dan damai.

Ke enam:

     Sejak 1978 pemerintah memang sukses menghancurkan gerakan mahasiswa
dan organisasi kemahasiswaan. hingga diberlakukannya NKK/BKK di kampus-kampus
Universitas, mengakibatkan lumpuhnya kekuatan mahasiswa. Tapi di tengah kelum-
puhannya, masih ada mahasiswa yang mempersoalkan nasib rakyat banyak. Kami
mendesak pemerintah untuk bersikap terbuka atas kritik-kritik mahasiswa. Seba-
liknya, kami menganjurkan kepada mahasiswa untuk terbuka atas pembentukan
organisasi kemahasiswaan secara demokratis serta mulai mempertimbangkan
posisinya sebagai calon pekerja agar lebih banyak mengembangkan isu sekitar
ketenagakerjaan.

Ke tujuh:

          PBHI mengajak para pimpinan ABRI dan pemerintah mengkaji ulang
mengenai peranan ABRI sebagai kekuatan sosial politik. Harus dicamkan, suatu
masyarakat tak mungkin bisa menciptakan demokrasi jika posisi dan peran yang
dimainkan ABRI teramat dominan. Pimpinan ABRI perlu rela dan ikhlas menyerahkan
dirinya bagi kepentingan demokrasi ketimbang menutup kedewasaan bangsa di bawah
kekuasaannya Stabilitas nasional hanya bersifat jangka pendek jika hanya oleh
ABRI atau militer, tapi dalam situasi rakyat takut. Persepsi ABRI harus diubah
bahwa rakyat bisa bertindak dewasa untuk mengakui kepentingan dan hak-hak
berbagai pihak, sehingga tercipta stabilitas jangka panjang. Lebih dari itu,
demokrasi adalah kehidupan masyarakat sipil. Gerak menuju demokrasi berarti
gerak untuk menegakkan masyarakat sipil (civil society).

Ke delapan:

         Pengekangan kebebasan pers tak bisa lagi terus-menerus dilakukan
pemerintah. Dalam mengatasi krisis ekonomi, lebih-lebih lagi reformasi ekonomi,
transparansi menjadi hal penting. Pers dapat berperan penting untuk menimbulkan
transparansi. Harus diingat, tindakan pemberangusan atau pembredelan pers ada
lah tindakan yang hanya terjadi abad kegelapan di Eropa Barat pada abad
pertengahan. Pemerintah harus berhenti melakukan pembredelan pers. Para pejabat
dan penasehat hukumnya juga tak ada urgensinya melakukan somasi sambil menuntut
ganti kerugian jika tersedia hak jawab di media pers bersangkutan. Singkatnya
PBHI mengajak pemerintah untuk lebih terbuka atas kebebasan pers.

Ke sembilan:

       Akibat watak rezim yang eksklusif, dengan gampang orang yang berbeda
pikiran dan pendapat dengannya potensial dijadikan "kambing hitam" sebagai
terdakwa serta menggelar peradilan rekayasa. Mereka yang diadili dan dihakimi
berdasarkan hukum pidana haatzai artikelen warisan kolonial Hindia Belanda
serta UU Anti Subversi warisan Orde Lama. Karena itu, PBHI mendesak agar kedua
produk hukum ini dicabut, karena memang produk hukum tersebut bersifat menindas
hak berkumpul dan hak berpendapat.

Ke sepuluh:

     Eksklusivitas rezim dan kemudian perangkat hukumnya, pasti ada batasnya.
Selama ini 5 paket UU Politik (tentang pemilu, parpol, ormas, susunan DPR dan
MPR, dan referendum) adalah bersifat mengabdi kepada kepentingan rezim, se-
hingga memacetkan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Karenanya PBHI
mendesak agar kelima UU tersebut dicabut dan diganti dengan UU Politik yang
lebih akomodatif terhadap kepentingan banyak kalangan, bukan kepentingan rezim
politik semata-mata.

Ke sebelas:

      Jika pemerintah berminat mengembangkan kecerdasan rakyat, maka buku-
buku politik dan ekonomi yang kritis dalam membahas persoalannya tidak boleh
dilarang beredar, apalagi menghakimi orang yang menerbitkannya. Kami mendesak
pemerintah untuk tak memusuhi buku. Kami menolak pemerintahan yang membodohi
rakyat atau membiarkan kebodohan terjadi dalam masyarakat. Pemerintah
seyogianya terbuka atas penerbitan buku.

Ke duabelas:

      Menyadari lemahnya posisi DPR dan MPR di hadapan pemerintah, maka PBHI 
mengajak anggota DPR dan MPR untuk memberdayakan dirinya. Untuk itu, mereka
perlu memperkuat posisi partainya dengan mengembangkan basis dukungan massa.
DPR perlu juga mengaktifkan hak inisiatif dan hak angketnya agar dapat
diperhatikan kerjanya oleh rakyat. DPR dan MPR perlu mandiri atau independen
terhadap pemerintah, harus menempatkan kedudukannya lebih tinggi sekurangnya
sama tinggi.

Ke tigabelas:

      Mahkamah Agung (MA) tak boleh lagi menempatkan dirinya sebagai pengabdi
kepada kepentingan hukum pemerintah. Jangan juga menjadi lembaga tinggi yang
menampung perkara kasasi saja sembari merintangi upaya warga negara mengajukan
judicial review, dan ketuanya secara memalukan mengeluarkan surat sakti untuk
menghentikan atau membatalkan eksekusi maupun putusan. MA harus menciptakan
independensinya terhadap pemerintah dan mendesak pemerintah untuk menghapuskan
peradilan politik, mencabut haatzaai artikelen warisan kolonial dan UU Anti
Subversi warisan Orde lama, mengganti UU Politik yang tertutup, serta memberi-
kan usulan reformasi hukum.

Ke empatbelas:

      PBHI menuntut pemerintah dan rezim politiknya uantuk segera menghentikan
teror ideologi kepada warga negara. Dalam arus globalisasi dan demokratisasi
dunia, tak sepantasnya rakyat ditakut-takuti dengan cap ideologi. Misalnya,
menyebarkan komunistofobi atau Islam-ekstrim. Ini hanya menenggelamkan potensi
kecerdasan rakyat untuk memahami seluk beluk kelemahan atau kekuatan sebuah
ideologi.

Ke limabelas:

      PBHI mendesak MPR untuk memperjelas mekanisme suksesi Presiden RI yang
selama ini tak pernah transparan. Sebulan menjelang SU MPR calon Presiden dan
Wakilnya baru diajukan bahkan wakilnya pun belum diajukan. Ini menunjukkan
ketergantungan dalam memilih Presiden dan wakilnya.

     Situasi ini sangat berbeda dengan Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan
Pilipina yang jauh-jauh hari sudah mencalonkan Presiden dan wakil Presiden oleh
partainya masing-masing Indonesia justru sangat terlambat kendati dengan calon
tunggalnya. Padahal saat ini usia presiden sudah uzur sehingga menimbulkan
spekulasi uniuk suksesi.

     Begitu juga selama ini pemilihan Presiden masih bertentangan dengan pasal
6 (2) UUD 45. karena tidak melalui pemungutan suara. Kami mendesak MPR untuk
memperjelas semua ini. Kami juga mengajak partai-partai lain mengajukan
calon-calonnya dari kader atau organisasi partai mereka sendiri. Seharusnya
mereka tidak membebek begitu saja mereka tak perlu takut kalah seperti mereka
tak takut kalah dalam pemilihan anggota DPR kecuali mereka kerkoalisi secara
resmi dengan Golkar, Fraksi ABRI dan Utusan Daerah.
Ke enambelas

Reformasi politik -- sama seperti reformasi ekonomi -- membutuhkan kepas-
tian hukum. Kami mendesak DPR untuk menggunakan hak inisiatifnya guna merancang
UU Reformasi Politik.
Jakarta 26 Januari 1998
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia

Hendardi
Direktur Eksekutif

Luhut M P Pangaribuan
Ketua Majelasi Nasional

***************************************************

Received on Wed Jan 21 03:37:40 MET 1998

From: Gerry VanKlinken
To: John MacDougall

(An edited version of this article appeared in the Courier Mail, 17
January 1998)

DIGEST 49
17 January 1998

Indonesia's hard road to renewal

Indonesia now faces the most difficult months since the birth of
the New Order in 1966. Indonesia's government is authoritarian. It
has resisted change for over thirty years, and does not know how to
make it happen now.

President Suharto has already exceeded the average life span for
Indonesian men. Now he has to deal with an extended drought, a
financial crisis that has turned into an economic nightmare,
heightened sensitivies during the Islamic fasting month, and the
usual intrigues before his re-election mid-March. Just when the
nation most desperately needs leadership, his outgoing cabinet is
paralysed by inertia.

But Suharto is by no means out of options. He is still the maestro
of palace politics, and he remains untroubled by serious
opposition. As a result, Indonesian politics could face an extended
period of uncertainty.

The global economy has always presented Third World leaders with a
Faustian bargain. Open up to it and you will have plenty of money
to grease the wheels of politics. Provided you are ready to
sacrifice your sovereignty to the greed of foreign speculators.

For years, the bargain paid off. Spiralling debt made Indonesia
technically bankrupt, but it didn't matter so long as growth was
high and the currency stable. After the October currency crash, the
global economy came knocking at Indonesia's door in the shape of
the IMF. Suharto held back at first, then signed a rescue package
totalling US$40 billion, on condition he dismantle the corruption
in which his own family plays such an important part.

The test of his sincerity to comply with IMF demands came on budget
night, 6 January. The budget confirmed IMF fears that Suharto had
no intention of swallowing its austerity medicine. It was
expansionary and offered no new reforms. Financial markets reacted
by dropping the rupiah to unheard-of lows: Rp 11,000 to the US
dollar, four times the normal rate.

Then Suharto's phone began to ring. Clinton, Hashimoto (twice),
Howard, Kohl. Big delegations flew in from the IMF, the World Bank,
the US Treasury, even the US Defence Secretary.

What had till then been a matter for the Finance Minister was now
a question mark over Suharto's national leadership. Two elderly
statesmen of the New Order, Professor Sumitro Djojohadikusumo and
Mohammad Sadli, said the crisis was no longer economic but
political, and Indonesia needed a new president.

Suharto, ever the pragmatist, has been respected, but remote. Now,
that remoteness means he lacks the moral authority to ask for
sacrifices. As the people of South Korea and Thailand responded to
the appeals of their newly elected leaders to strengthen their
country's currency, Indonesians lost so much faith in their rupiah
they rushed the banks to buy US dollars last week. A government
campaign to Love the Rupiah has so far fallen flat.

On Thursday he launched on the high risk strategy of bypassing his
cabinet and personally heading up a council to deal with the IMF
demands. The markets dropped immediately, fearing he would fail.

Does all this add up to a lame duck government ready to fall? By no
means. Predictions of Suharto's imminent fall are premature. Many
Indonesian intellectuals do hope for wholesale renewal. They talk
about the people's power that brought down the corrupt Marcos
regime in the Philippines in 1986. But as yet there are no signs of
organised protest on that scale in Indonesia.

Instead, Suharto could well emerge from the present crisis weakened
but still able to call the shots on his own succession. One of the
most important reasons: the opposition both within his own regime
and outside it is weak.

Outside the system three names have come to symbolise hopes for
renewal. Mrs Megawati Sukarnoputri is the daughter of Indonesia's
first president, Sukarno. She briefly headed the minor party PDI
from 1993, but was ousted in a military-backed party-room coup in
mid-1996. On 10 January she announced to an enthusiastic crowd in
her garden she was ready to stand for the presidency. However, the
road from there to a Cory Aquino-like sweep into power seems
impossibly long.

The second name on many lips is Amien Rais, president of the large
urban Islamic organisation Muhammadiyah, which has a noble history
of nationalism. Until recently Amien has stood for a somewhat
conservative Islamicisation of Indonesian society. But last year he
spoke out against foreign ownership of Indonesia's mineral
resources. This broadened his popular appeal. He too has announced
he is ready to stand for president. But like Megawati, with whom he
is in contact, he has no easy way of turning his popularity into
real power.

The third name is that of Abdurrahman Wahid, affectionately known
as Gus Dur, chairman of the other major Islamic organisation, NU.
Gus Dur's gentle brand of Islam extends the hand of friendship to
Buddhists, Christians and even Jews. However, when Islamic
intellectual Adi Sasono last week proposed a 'national dialogue'
involving these three popular figures, Gus Dur refused to be part
of it. He thinks the government is still strong enough to repress
any organised popular opposition.

Even without Gus Dur, an alliance between Amien Rais and Megawati
would be an exciting move towards renewal. It would restore the
confidence that could do so much for the economy. It would give
Indonesians the kind of popular leadership they have been looking
for for three decades.

However, the embryonic partnership faces a hard road. It would need
to overcome a long history of tension between two approaches to
Islam: Amien is orthodox, Megawati is more secular. Differences on
the IMF package could also emerge. Megawati supports the IMF,
whereas Amien may be more ambivalent about it.

More likely than wholesale renewal on the Philippine model is the
Chinese scenario, where the departure of Deng Xiaoping
did not lead directly to democracy. Over thirty years Suharto has
built a formidable bureaucratic machine that quickly eliminates
dissidents. Even at this late hour, there are few signs of a Ramos,
Marcos' general who defected to Cory Aquino, emerging in Indonesia.
Indeed, the armed forces have plenty of reasons to hold Suharto's
memory in perpetual reverence. He made military power in Indonesia
almost unassailable.

Golkar chief Harmoko, a devoted Suharto loyalist, this week
announced that Suharto was still their man. Few within the
government yet dare opppose him openly.

No doubt establishment figures with a lot to lose are not blind to
Suharto's age. They are quietly building new alliances to prepare
for his demise. Money will play a big role. Factionalism within the
bureaucracy is growing. Some rich businessmen who have thus far
enjoyed the cozy business-government relationship are openly
calling for 'political reform', code for the removal of Suharto.
But all this is embryonic and hardly exceeds the bargaining that
occurs every five years before Suharto's reelection.

The system Suharto built is so rigid it may be impossible to reform
without a big upheaval. In the meantime, foreigners are astonished
at the government drift and the absence of a sense of crisis.
Indonesia has a great capacity to muddle through. Nor, so far, are
the poor blaming Suharto for their troubles.

We may see some months of confusion. Most of the horsetrading will
be invisible. We will see demonstrations, but not speaking with one
voice. Some will be 'sponsored' by one faction against another.
Suharto's power will be clipped. If no new 'Suharto' emerges to
gather the reins of power into one pair of hands, the rivalry may
become semi-permanent. This could introduce some healthy
competition into an inflexible system. But if it is not accompanied
by moral leadership, Indonesia's transition to renewal will be slow.

---------------------------------------------------------
(Dr) Gerry van Klinken, editor, Inside Indonesia magazine
tel +61-7-3371 3854; fax 3871 2525; 163 Stanley Tce, Taringa 4068,
Australia
http://pactok.net.au/docs/inside/index.htm
alternative email: [email protected]


Date: Thu, 15 Jan 1998 15:30:16
To: [email protected]
Subject: Manifesto kesadaran politik

Bulan oktober 1994, di Berlin didirikan sebuah kelompok yang menamakan
diri API Indonesia (Aliansi Pemuda/i Independen Indonesia) oleh beberapa
mahasiswa indonesia yang studi di Berlin. Kelompok ini, sejak awal
menetapkan idealisme politiknya kedalam sebuah manifesto yang mereka
beri nama Manifesto Kesadaran Politik. Tuntutan akan reformasi total,
sudah menjadi keyakinan mereka sejak awal sebagaimana yang dapat dibaca
dalam Manifesto ini. Agenda mereka adalah: Pemurnian sejarah bangsa,
Reformasi Politik, Reformasi Ekonomi, Reformasi Sosial dan
Profesionalisme.

Menimbang bahwa isi Manifesto ini sangat relevan dengan situasi sekarang
(walupun diperlukan sebuah langkah susulan yang lebih riil),bagi yang
belum pernah membaca dan tertarik untuk mengetahui idealisme mereka,
kami forwardkan dari Homepage organisasi tersebut
( http://www.geocities.com/CapitolHill/3924/).

Semoga teman teman di Berlin, setuju akan tindakan ini.

MANIFESTO KESADARAN POLITIK


ALIANSI PEMUDA/I INDEPENDEN INDONESIA
(API INDONESIA) Di Berlin.


Bertolak dari kesadaran historis akan nilai dan makna dari perjuangan
para bapak bangsa yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia modern
serta akan luhur mulianya tujuan pembentukan negara itu sendiri.
Bertolak pula dari kesadaran kekinian, kesadaran akan arah yang salah
dari regim Orde Baru yang telah menyimpang dari cita-cita murni
pembentukan negara Indonesia modern, bahkan menyimpang dari
cita-cita Orba sendiri.
Api Indonesia memberi catatan tersendiri tentang hal ini : 

Walaupun secara historis lahirnya Orba masih menyimpan beberapa misteri,
namun wujud Orba secara konsepsional, memberi harapan. Dalam mem-
perkenalkan Orde Baru di tahun 1967, pejabat Presiden Soeharto
menggambarkan Orba sebagai reaksi atas segala penyelewengan
yang dilakukan oleh Orde Lama dan oleh karena itu harus dilakukan
koreksi total. Apa yang harus dikoreksi dirinci dalam pidatonya tanggal
16 Agustus 1967, di mana dikatakannya: 

"Penyelewengan serius terhadap UUD 1945 terjadi dengan memusatnya
kekuasaan secara mutlak pada satu tangan, yaitu kepala negara.
Asas dan sendi negara hukum lambat laun ditinggalkan, sehingga
akhirnya menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan. Asas dan sendi
sistem konstitusi, dalam praktek berubah sehingga bersifat absolutisme.
Kekuasaan tertinggi bukan lagi ditangan MPR(S), melainkan ditangan
Pemimpin Besar Revolusi. Presiden bukannya tunduk pada MPR(S),
bahkan sebaliknya MPR(S) yang ditundukkan di bawah Presiden". 

"Sila peri-kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan; hak-hak asasi
manusia hampir hampir lenyap sebab semuanya ditentukan oleh kemauan
penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada".

"Sila kedaulatan rakyat menjadi kabur; yang ada adalah kedaulatan
pemimpin". 

"Sila keadilan sosial semakin jauh, sebab kekayaan negara dipakai untuk
kepentingan pribadi..."

"Sistem ekonomi terpimpin dalam praktek menjadi sistem lisensi yang
hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat penguasa".

Jadi Orde Baru ini memproklamirkan dirinya sebagai wujud pelurusan
kembali perjalanan bangsa menuju cita cita bangsa, dengan 
" melaksanakan Pancasila & UUD ` 45 secara murni dan konsekwen ".
Cita cita Orde Baru kelihatan merupakan suatu formulasi baru, suatu
penyegaran dari cita cita bangsa. Namun kemudian, format politik yang
diambil, sejak awal sekali telah menimbulkan tandatanya besar . 

Pendewaan Stabilitas telah membunuh dengan sadar prinsip prinsip
kedaulatan rakyat yang sebenarnya merupakan cita cita bangsa.
Kita dapat menyusun daftar panjang dari kebijaksanaan kebijaksanaan
yang jelas jelas merupakan pemerkosaan terhadap cita cita bangsa sendiri,
mulai dari adanya Litsus, 57,5% MPR diangkat langsung, monoloyalitas
ABRI dan KORPRI terhadap GOLKAR, pewadah-tunggalan setiap ormas
yang kemudian hanya merupakan perpanjangan tangan kepentingan
Golkar, konsep massa mengambang yang miring, UU Pemilu, NKK,
campur tangan eksekutif atas partai politik yang ada lewat definisi
pembina politik dll dll. Jawaban yang selalu diberikan, jika hal hal
tersebut dipertanyakan adalah bahwa : kita membutuhkan stabilitas
politik untuk mengejar perbaikan ekonomi. 

Alasan ini pada saat saat awal ORBA, dengan agak terpaksa, dapat
diterima. Dipertimbangkan, bahwa kita membutuhkan masa transisi
dari suasana chaos secara politik maupun ekonomi menuju ke suasana
normal, suatu keadaan semi darurat. Dengan pertimbangan inilah,
kiranya pemerkosaan demokrasi secara sementara dengan sangat
berat hati diterima. 

Namun, kini telah 30 tahun waktu berlalu. Situasi sebenarnya sudah
sangat "normal" namun berbagai kebijakan yang dulunya dimengerti
sebagai kebijakan transisi yang melahirkan lembaga lembaga dan
UU yang a-demokratis kini dipertahankan terus. Format politik
transisi yang sebenarnya hanyalah alat sementara telah dijadikan
format politik yang baku untuk kepentingan kekuasaan.. 

Api Indonesia menyadari bahwa kita berada dalam suatu orde yang
menerapkan suatu format politik yang memperkosa asas kedaulatan rakyat
dengan cara membakukan kondisi semi darurat. 

Orde Baru juga mengklaim dirinya sebagai Orde pembaharu ekonomi bangsa
(dan karenanya stabilitas diperlukan ). PJPT I telah dilewati dan kini
bangsa Indonesia berada dalam era PJPT II. Dalam angka dan kurva
kita benar benar maju. Selama periode 1969 - 1983 pertumbuhan
ekonomi rata rata 7,25 % pertahun dan dalam periode 1983 - 1993
rata-rata 6.60 % pertahun. Dari tahun 1993 - 1995 kembali diatas 7 %.
Ini jelas adalah sebuah prestasi. Api Indonesia juga menyadari hal ini
sebagai sebuah prestasi, sebagai sebuah kemajuan dalam bidang fisik dari
tubuh bangsa.

Namun, pendewaan pertumbuhan ekonomi yang berlebihan juga
membawa dampak dampak negatip. Pada awal periode ini, dengan
bermodalkan tenaga kerja murah dan melimpahnya bahan mentah,
Orba membuka pintu yang seluas luasnya pada modal asing. Modal
asing mengalir masuk, bumi pertiwi habis habisan dieksplorasi.

Namun ketika itu, hanya sekelompok kecil saja dari bangsa ini yang
siap memanfaatkan kesempatan mengalirnya investasi asing tersebut.
Kesiapan kelompok kecil ini didukung oleh pemerintah dengan berbagai
kemudahan dan fasilitas khusus. Alasannya jelas: kita memang dituntut
untuk segera memperbaiki ekonomi kita yang morat marit waktu itu.

Jadi sebagian kecil yang siap tersebut harus didorong. Sebagian besar
rakyat hanya siap menjadi buruh murah, atau bahkan tidak tahu apa
sebenarnya yang sedang terjadi. Pulau Jawa yang relatip lebih siap
dari pulau pulau lainnya, menjadi ajang tumbuhnya industri industri
dengan modal asing. Sedangkan pulau pulau lain dengan bahan
mentah yang kaya, menjadi ajang eksplorasi besar-besaran.

Kawasan kawasan eksplorasi ini menjadi pusat pusat pertumbuhan
di pulau pulau yang, sekali lagi karena ketidaksiapan masyarakat
setempat menyambut hadirnya pusat pertumbuhan tersebut,
menjadi kawasan asing bagi penduduk asli pemilik kawasan tersebut.

Sebagian besar rakyat hanya menjadi modal pembangunan, sebagian
lagi menjadi penonton pembangunan, tidak terlibat karena tidak
dilibatkan dan atau memang belum siap terlibat, sedangkan sebagian
lagi tidak tahu apa itu pembangunan dan masih hidup di jaman
neolitikum. Penyiapan sumber daya manusia yang merata di wilayah
wilayah Indonesia belum menjadi faktor utama. 

Politik ekonomi Orba selain memberikan pertumbuhan , juga meng-
hasilkan banyak sekali bentuk bentuk kesenjangan sosial dan ekonomi.
Kesenjangan antara sekelompok kecil bangsa yang lebih siap dengan
mayoritas bangsa lainnya, kesenjangan antara IBT dan IBB, kesenjangan
antara Jawa dan luar Jawa, kesenjangan antara kota dan desa, dan lain
lain. Sama seperti format politik, format kebijaksanaan ekonomi juga
menunjukkan gejala yang sama. Kebutuhan yang mendesak akan
perbaikan ekonomi pada masa transisi tersebut telah menghadirkan
berbagai kepincangan, yang sebenarnya juga bertentangan dengan cita-cita
kebangsaan kita.

Dan format itu, seperti pemberian fasilitas fasilitas khusus kepada
sekelompok kecil, sampai saat ini masih terus dipertahankan. Menyimak
pidato pejabat presiden tanggal 16/8/67 di atas, sebenarnya kesalahan
Orde lama diulang lagi, malah dengan kondisi yang lebih buruk. Ini
berarti penolakan praktek praktek yang dijalankan Orde baru sekarang ini
sebenarnya hanyalah konsekwensi dari cita cita Orde Baru sendiri. 

Sebagai warga dunia, Indonesia ikut dipengaruhi oleh berbagai gejolak
dan trend yang kini melanda dunia. Dua gelombang besar yang melanda
dunia sekarang ini adalah: demokratisasi dan liberalisasi.
Demokratisasi ditandai dengan pergeseran dari sistem pemerintah yang
otoriter ke sistem pemerintahan demokratis sedangkan liberalisasi,
per definisi, menghadirkan suatu sistem ekonomi yang semakin ter-
gantung pada mekanisme pasar dan persaingan bebas.

Dua gelombang ini dengan cepat melanda dunia disebabkan oleh
globalisasi informasi yang didukung oleh perkembangan teknologi
komunikasi yang semakin canggih. Adalah bukan kebetulan bahwa
dua trend global di atas kelihatannya sekaligus merupakan antitese
dari kebijakan kebijakan politik ekonomi masa transisi yang kini
masih dipertahankan. 

Api Indonesia menyadari bahwa Orde Baru adalah sebuah cita-cita.
Orde Baru bukanlah suatu format politik, bukan pula sebuah sistem
ekonomi, tidak pula identik dengan Golkar, juga tidak identik dengan
militer serta jelas sekali tidak identik dengan suatu pribadi.

Format Politik, sistem ekonomi, institusi politik serta juga 
kepemimpinan nasional adalah hal-hal yang tidak abadi, tidak kaku
melainkan dinamis, fleksibel yang harus selalu disesuaikan dengan
situasi situasi kontemporer, dengan semangat semangat jaman serta
aspirasi rakyat yang terus menerus berkembang.

Kesadaran historis dan kesadaran kekinian di atas mendorong Api
Indonesia untuk sampai pada kesadaran baru bahwa satu-satunya
kewajiban pemuda bangsa bukanlah kesetiaan pada suatu format
politik, bukan pula kesetiaan pada suatu orsospol, termasuk juga
bukan pada Golkar dan ormas-ormasnya, juga bukan kesetiaan
pada suatu pribadi, tetapi kesetiaan pada cita-cita bangsa.

Kesadaran ini mendorong Api Indonesia menyusun agenda
perjuangan pemuda bangsa, sebagai berikut: 

Pertama, Pemurnian sejarah bangsa. 

Kita menuntut sekaligus memperjuangkan untuk memiliki sebuah
sejarah yang jujur. Untuk itu kita menghendaki diperlakukan sebagai
bangsa yang dewasa, yang berhak atas informasi informasi lain
yang berbeda dengan informasi informasi resmi dan kemudian
secara dewasa menyaring informasi informasi itu. Jika informasi
yang diberikan dianggap sebagai pemutar-balikan fakta atau fitnah dll,
maka sumber informasi tersebut harus diproses sesuai hukum yang
berlaku, digugat dan diadli secara fair sehingga pihak tersebut mendapat
kesempatan membela pendapat pendapatnya, membuktikan versinya.

Langkah pelarangan yang semena-mena malah menimbulkan tanda-tanya
sekaligus kecurigaan. Sebuah sejarah yang jujur adalah hak sebuah
bangsa yang bermartabat. Sebuah sejarah yang jujur menyimpan
pelajaran pelajaran masa silam yang dapat direfleksikan kesituasi
konkrit masa kini. Sebuah sejarah yang dipalsukan menyimpan pelajaran
pelajaran palsu yang dapat menyesatkan perjalanan kehidupan bangsa.
Sebuah sejarah yang jujur akan memberikan kebanggaan kebanggaan
sejati atas keberhasilan bangsa serta memberikan kearifan-kearifan
sejati atas kegagalan kegagalan. Sebuah bangsa yang besar tidak saja
mampu menghargai pahlawan-pahlawan sejatinya, tetapi juga mampu
mengakui kesalahan kesalahannya.
Kedua, Reformasi Politik.
Secara terpadu mendorong adanya reformasi sistem politik di tanah air
dengan langkah langkah a.l. :

       Mendorong penghapusan setiap kebijakan yang sebenarnya hanya
       merupakan kebijakan kebijakan darurat, dan mengembalikan asas
       asas yang tertuang dalam konstitusi negara kedalam kehidupan
       berbangsa yang normal.

      Asas kedaulatan rakyat, langsung atau tidak langsung, memberikan
      konsekwensi dihapusnya 5 UU Politik, yaitu
      UU Pemilu (UU No.1 /1985),
      UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan
      DPRD (UU No.2 /1985),
      UU tentang partai politik dan golkar (UU No.3 /1985),
      UU tentang Referendum (UU No.5 /1985) dan 
      UU tentang Ormas (UU No.8 /1985). 
      
Dalam kaitan dengan ini pula konsep Dwi Fungsi ABRI perlu
diredefinisi agar menemukan bentuk yang pas sesuai dengan realitas
 yang ada dan juga sesuai dengan cita-cita ABRI sebagai tentara rakyat.

Dwi fungsi ABRI dalam pengertian adanya fungsi sosial ABRI
disamping fungsi pertahanan negara tidak menjadi masalah.
Sumber masalah terletak pada fungsi politik ABRI.
Kunci masalah terletak pada masuknya garis komando militer ABRI
kedalam lembaga lembaga politik negara bersamaan dengan aktifnya
anggota ABRI di dalam lembaga itu. Redefenisi Dwi Fungsi ABRI
harus mencegah terjadinya hal tersebut. 
 
Pengembangan suatu mekanisme kontrol terhadap pemerintah adalah
suatu keharusan yang tak dapat ditawar. Untuk itu saluran aspirasi rakyat,
lewat partai politik, pers, ormas yang independen harus dibuka dengan
berpegang pada kekayaan pluralisme pandangan yang saling mengisi.
Adanya perbedaan pendapat adalah sah . 

Dalam kaitan dengan ini, API Indonesia menolak setiap pewadah-
tunggalan berbagai organisasi termasuk organisasi pemuda, apalagi
jika pewadah-tunggalan itu mematikan pikiran pikiran alternatif yang
sebenarnya harus merupakan bagian dari suatu sistem kontrol.
 
Sebagai konsekwensinya kita harus mendorong berdirinya organisasi
organisasi alternatif dalam berbagai bidang. Pers juga sebagai bagian
dari sistem kontrol harus didorong sikap independensinya, dan karena
itu dewan pers harus dipisahkan dari birokrasi Depen atau malah
ditiadakan, serta lembaga SIUPP harus dicabut. 

Pemisahan lembaga kehakiman dari eksekutif agar mendorong
tumbuhnya lembaga peradilan yang benar benar bebas dari kekuasaan.
Untuk menghindari adanya produk produk hukum yang bertentangan
dengan produk hukum di atasnya, dengan memperhatikan prinsip
keseimbangan dari tiga lembaga demokrasi, wewenang Mahkamah
Agung perlu diperluas sebagaimana fungsi Mahkamah Konstitusi
yakni meninjau kembali apakah sebuah produk hukum sudah sesuai
dengan konstitusi. 
       

Segera dikeluarkan UU tentang lembaga Kepresidenan.
Ketiga, Reformasi Ekonomi:
Reformasi politik di atas harus bermuara pada reformasi ekonomi yang
diwujudkan dengan langkah langkah a. l. :

Pengurangan sesegera mungkin secara sistematis ketergantungan
nasional pada pihak asing dengan mengurangi prosentase utang
luar negeri pada keseluruhan anggaran nasional. 
       
Penghapusan fasilitas fasilitas khusus dan praktek praktek nepotisme,
monopoli dan oligipoli karena bertentangan dengan asas demokrasi
ekonomi. Secara global ini bertentangan dengan trend yang ada,
yang pada gilirannya justru akan membuat ketidakberdayaan dalam
menghadapi liberalisasi ekonomi dunia karena kekuatan ekonomi
yang kini dibanggakan sebenarnya menyimpan kerapuhan kerapuhan
yang memiliki resiko tinggi. 
       
Konglomerasi yang sudah ada didorong untuk berorientasi pada
eksport dan menjadi ujung tombak dalam persaingan internasional.
Kemudahan kemudahan yang diberikan untuk memonopoli pasar
dalam negeri dicabut dan usaha usaha rakyat (kecil dan menengah)
dibantu untuk berkembang di dalam negeri, secara adil bersaing
merebut pasar dalam negeri. 
       
Perlindungan usaha kecil dan menengah tersebut tidak didasarkan
atas kemauan baik para konglomerat, tetapi merupakan hak rakyat
dan tanggung jawab negara, dan karena itu harus dituangkan dalam
bentuk UU. 
       
Penyebaran kawasan kawasan industri ke seluruh tanah air perlu
didorong dengan memperhatikan sumber daya alam setempat dengan
terlebih dahulu mempersiapkan penduduk setempat agar dapat
mengambil manfaat optimal dari kawasan itu. Kawasan industri
sebagai pusat pertumbuhan harus menyatu dengan masyarakat
setempat dan tidak menjadi kawasan elit yang asing dari penduduk asli. 
      
Perlindungan dan perbaikan nasib kaum buruh.
Keempat, Reformasi Sosial.
Reformasi politik dan ekonomi di atas secara bersama-sama diarahkan
kepada :

Realisasi suatu negara kesatuan yang benar benar dirasakan
sebagai milik seluruh suku bangsa dari Sabang sampai Merauke,
di mana setiap unsur wilayah diperhatikan perkembangannya,
dus tak ada pengertian wilayah utama, setiap unsur budaya sama
sama dihormati sebagai bagian dari budaya nasional, dus tak ada
hegemoni budaya, di mana setiap unsur agama dan kepercayaan
dihargai dan dihormati secara seimbang, dikaitkan dengan kekhasan
daerah setempat.

Pengembangan otonomi daerah yang mendorong pemerataan
kesempatan berusaha di seluruh wilayah tanah air. Otonomi
daerah juga harus dikaitkan dengan kekhasan sosbud setempat. 
Realisasi suatu sistem pendidikan nasional berbasiskan pendidikan
yang memerdekakan manusia Indonesia, baik dalam jalur formal
maupun nonformal.

Intervensi kepentingan kepentingan politik dalam dunia pendidikan
cenderung memenjarakan manusia dalam kotak kotak sempit yang
diperbolehkan oleh kepentingan kepentingan politik. Hal ini meng-
hambat munculnya tunas - tunas bangsa dengan wawasan wawasan
universal serta keberanian keberanian moral yang berpijak pada 
rasionalitas. 

Realisasi dari suatu atmosfer kehidupan berbangsa yang bebas dari
Trauma - Trauma, Mytos - Mytos yang cenderung irasional.
Penyelesaian berbagai masalah, entah itu perbedaan pandangan dll,
dengan berlindung pada Luka - Luka lama, Trauma - Trauma
yang terus dipertahankan serta Mytos - Mytos, hanya akan
melahirkan reaksi - reaksi yang juga bersifat emosional, bahkan
berlindung di balik Mytos - Mytos lainnya. 
Kelima, Profesionalisme.
Keyakinan bahwa untuk menghadapi liberalisasi ekonomi dunia,
sumber daya manusia Indonesia perlu dikembangkan sejalan dengan
kebutuhan dalam bidang Iptek dan management modern.
Penguasaan teknologi dan management modern menuju pembentukan
suatu negara industri tak dapat dipungkiri adalah modal utama dalam
menghadapi era abab 21.Namun penerapannya tetap harus memperhati-
kan potensi potensi yang ada, aspek pelestarian lingkungan, aspek 
keseimbangan perkembangan antar wilayah, aspektransparansi dan
menjunjung tinggi asas kedaulatan rakyat. Rakyat dilibatkan dengan
diyakinkan akan arah yang tepat dari kebijakan tersebut, rakyat,
lewat transparasi proyek , diijinkan untuk memperoleh informasi
yang jujur tentang proyek proyek teknologi tinggi tersebut. Pada 
prinsipnya industrialisasi yang didorong adalah industrialisasi yang
demokratis, bukan industrialisasi yang didasarkan pada vested
interested berbasiskan kekuasaan.

Dan oleh karena itu pula, pengertian sumber daya manusia yang
dibutuhkan, selain SDM yang menguasai Iptek dan management
modern juga SDM yang menghormati asas kedaulatan rakyat.
Api Indonesia menyerukan tekad yang harus dimiliki oleh pemuda
bangsa..menjadi seorang Profesional Demokrat. 

Kesadaran bahwa kelima point di atas adalah pedoman pedoman dasar
yang sangat luas, dan karenanya harus dituangkan dalam langkah
langkah konkret yang feasibel, yang disesuaikan dengan tempat,
waktu dan kemungkinan kemungkinan yang ada. Langkah langkah itu
juga harus menjadi bagian dari fungsi sosial masing masing pribadi,
dijalankan secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok / berorganisasi,
dan dimengerti sebagai suatu kesatuan, tidak saling merugikan.

Gerakan yang mendorong reformasi tidak akan ada artinya bagi
masa depan Indonesia jika menghambat gerakan yang menitik-
beratkan pada pengembangan profesionalitas.
Sebaliknya pengembangan profesionalitas semata tidak akan mampu
merubah ketimpangan yang kini ada. Semua langkah yang diambil
didasarkan pada kemauan baik, cinta tanah air dan kesetiaan pada
cita-cita nasional....tidak didasarkan pada kebencian atau sakit
hati pada suatu pribadi ataupun suatu golongan. Semangat perjuangan
adalah semangat untuk membangun bukan semangat untuk meng-
hancurkan. Sikap sikap anarkhis hendaknya ditolak. 

Api Indonesia yang dibentuk oleh sekelompok pemuda/i Indonesia yang
sedang studi di kota Berlin bertekad untuk mengambil bagian, 
seberapapun kecilnya, dari agenda perjuangan di atas, dengan: 

Membangkitan kesadaran politik intern dan ekstern, dengan
melaksanakan diskusi diskusi independen dalam artian, bebas dari
intervensi yang mendikte dari penguasa ataupun jaringan birokrasinya,
antar mahasiswa di Berlin dan antara tokoh tokoh nasional yang mampir
di Berlin dengan mahasiswa Indonesia. Sikap yang independen terhadap
birokrasi, tidak harus berarti memusuhi birokrasi.

Penerbitan majalah Suara Demokrasi sebagai suatu cara untuk
menyebarkan kesadaran politik serta membina jaringan dengan teman
teman di mana saja berada. 
       
Mengamati secara intens serta ikut mengambil sikap dalam masalah
masalah di tanah air, sejauh dimungkinkan oleh potensi potensi yang
ada dalam organisasi ataupun pihak pihak yang bersimpati pada
idealisme dan perjuangan API Indonesia. 

Api Indonesia juga menyerukan kepada semua rekan/nita di tanah air
maupun di luar negeri, untuk secara aktif meningkatkan dan
menyebarkan kesadaran politik generasi kita. Langkah ini
perlu untuk menghapus ekses ekses depolitisasi oleh Orba yang
mengakibatkan sikap sikap apatis secara sosial maupun politik dalam
generasi kita. Jika dimungkinkan dibentuklah kelompok kelompok
diskusi yang independen, di mana mana. Kontak dengan rekan rekan
yang telah ada dapat segera dijalin. Api Indonesia menerima secara
terbuka setiap kontak dari teman teman di mana saja berada. 

Api Indonesia tidak akan menjadi onderbow dari partai politik apapun,
namun tidak melarang anggota-anggotanya untuk berpolitik lewat
saluran politik yang ada maupun yang akan ada. Idealisme politik
dalam Api indonesia, diharapkan menjadi idealisme perjuangan
politiknya. 

Politik sebagai panglima telah gagal dalam zaman orde lama 
ekonomi sebagai panglima juga gagal pada zaman orde baru 
kita songsong jaman baru dengan rasionalitas yang bermoral sebagai
panglima 
Berlin, Desember 1995.
Aliansi Pemuda/i Independen Indonesia.


*************************************
Received on Wed Jan 21 01:40:06 MET 1998


Replies: [email protected]

CITRA KELABU DPR-RI BUAH PAKET 5 UU POLITIK 1985

Oleh: Nurmatyas

     Tahun kelabu. Bagi DPR, sebutan ini yang paling cocok untuk tahun
1997 lalu. Sepanjang tahun ini integritas dan kredibilitas lembaga
terhormat itu mendapat sorotan tajam dari masyarakat. 

     Kasus demi kasus silih berganti memberi "warna" buram pada lembaga
legislatif ini. Mulai dari soal kontrak pertambangan, cincin
kenang-kenangan anggota DPR yang ternyata hanya emas sepuhan, lucky draw,
dikembalikannya UU Penyiaran, rapat-rapat di hotel mewah, walau pun gedung
DPR telah dibangun dengan megah, hingga penggunaan dana Jamsostek untuk
pembahasan RUUK, yang hingga kini belum jelas ujung pangkalnya.
Catatan-catatan ini ada lah warisan DPR masa bakti 1992-1997. 

     Jika DPR dapat membangun citra yang baik, maka produk yang
dihasilkannya pun akan disambut dengan baik dan penuh syukur oleh
masyarakat. 

     Bila citra itu runtuh, yang terjadi sebaliknya. Kepercayaan, rasa
hormat dan penghargaan pun sirna. Tanpa itu semua, bagaimana mungkin
rakyat menaruh harapan pada para wakilnya di lembaga legislatif ini.
Keberadaan DPR hanya akan menjadi sebuah formalitas, sekadar memenuhi
tuntutan kontitusi. 

     Kesan yang tumbuh di masyarakat selama ini ada lah akibat sangat kuat
dan dominannya pemerintah membuat DPR tidak lebih sebagai lembaga "stempel
peme- rintah" saja. Apalagi selama ini apa-apa yang menjadi hak DPR tidak
sepenuhnya dilaksanakan. 

     Kuat, lemah, berfungsi dan tidaknya lembaga ini terkait dengan
seluruh sistem nasional yang berlaku. Sistem nasional yang berlaku, yang
ada dan erat kaitannya dengan DPR tersebut ialah paket 5 UU Politik tahun
1985. Paket 5 UU Politik tahun 1985 ini memang menghendaki adanya suatu
pemerintah yang kuat dan peran DPR cukup sebagai stempel pemerintah
belaka. 

        Hal itu tercermin dari beberap hal. Pertama, UU No 1/1985 ini
menetap- kan penyelengaraan pemilu ialah pemerintah. Dengan pemerintah
sebagai pemye- lenggara Pemilu, tepatnya Golkar, kemenangan mutlak bagi
Golkar dalam setiap Pemilu, terjamin. Karena melalui panitia penyelenggara
mereka dapat memani- pulasi, melakukan kecurangan, mengintimidasi calon
pemilih agar memilih Golkar.  Apalagi di pedesaan, di mana berlaku konsep
massa mengambang, sehingga praktis yang ada di pedesaan hanya Golkar
melalui aparat desa. 

        Ke dua. UU No 2/1985 memberi hak kepada Presiden untuk mengangkat
60% anggota MPR/DPR (untuk 1997 hanya 57,5%), diantaranya 100 kursi bagi
ABRI di DPR (untuk 1997 hanya 75 kursi). UU ini memberi jaminan kekuasaan
bisa abadi di tangan Jenderal Soeharto (atau Orde Barunya). Kedudukan
pemerintah kuat sekali. 

        Ke tiga. UU No 3/1985 menetapkan yang boleh turut dalam Pemilu
hanya PPP, PDI dan Golkar. Partai-partai politik yang lain tak diakui
kehadirannya dan karena itu tak berhak turut dalam Pemilu. 

        Ke empat. UU No 8/1985 memberi hak kepada pemerintah untuk
mengendali- kan PPP dan PDI hendak bersikap lain dari sikap pemerintah,
terima lah nasib seperti disingkirkannya Megawati dari kepemimpinan PDI.
PPP dan PDI kini hanya perpanjangan tangan pemerintah saja. 

        Ke lima. UU No 5/1985 bertujuan mengebiri Pasal 37 UUD 1945 agar
jangan sampai ada program peserta pemilu untuk menyempurnakan (melakukan
perubahan)  UUD 1945, seperti yang dimungkinkan oleh Pasal 37 UUD 1945. 

        Dan tak kalah pentingnya untuk membikin "kelabu citra DPR" ialah
semua calon anggota legislatif harus dilitsus lebih dulu oleh pihak
pemerintah. Jika menurut petugas yang melitsus calon tersebut akan kritis
dalam menghadapi kebijakan pemerintah, maka nama calon itu akan dicoret
dari daftar caleg. Dalih bisa saja dicari untuk pencoretan nama tersebut. 

        Dengan paket 5 UU Politik tahun 1985 tidak ada kebebasan bagi
peserta pemilu dalam kampanye mengeritik kebijakan pemerintah yang
dinilainya merugikan rakyat. Meski Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan
bagi warga negara untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan. 

        Dengan paket 5 UU Politik tahun 1985 wajar saja bila banyak mantan
pejabat sipil dan militer duduk sebagai anggota legislatif. Malah masih
ditambah lagi dengan sederatan nama anak-anak pejabat dan keluarga
pejabat. 

        Karena itu apa yang dapat diharapkan dari DPR yang demikian,
selain dari "citra kelabu"? Apalagi kini anggota DPR (masa bakti
1997-2002) "dibekali"  pula oleh pemerintah, dengan dalih untuk
meningkatkan kualitas DPR. Padahal yang sesungguhnya supaya anggota DPR
itu jangan kritis, jangan vokal, lebih aman bagi dirinya jika bersikap
"5-D" (datang, daftar, duduk, diam, duit). 

        Jadi "kelabunya citra DPR" sebenarnya itu ada lah buah dari paket
5 UU Politik tahun 1985. Kekelabuan citra DPR itu baru akan sirna, bila
pemilunya bukan berdasarkan paket 5 UU Politik tahun 1985, tapi
berdasarkan UUD 1945, terutama Pasal 27 dan 28 UUD 1945. Bila tidak,
jangan lah bermimpi kekelabuan citra DPR akan sirna.***

*************************************

Received on Wed Jan 21 02:48:50 MET 1998


Subject: Kebejatan Politik & Sosial Indonesia
   Date: Mon, 19 Jan 1998 23:14:53 PST
   From: "Sharina Vione" 
     To: [email protected]

Kebejatan Politik & Sosial Indonesia

Saya adalah orang bodoh, tak paham politik, tapi saya melihat banyak 
penyimpangan2 yang terjadi di Indonesia kita ini. Sewaktu saya sekolah 
dari SD hingga perguruan tinggi tertera bahwa Orde baru adalah lebih 
baik dari Orde lama. Dalam buku pelajaran SD,SMP,SMA yang merupakan 
indoktrinasi ini tertulis bahwa Orde Lama yang di pimpin oleh President 
tercinta SOEKARNO memiliki berbagai macam keburukan antara lain :

1. Presiden seumur hidup

Sekarang kita lihat apakah Orde baru ini bukan PRESIDEN SEUMUR HIDUP 
juga ??? atau disebut seumur mati kali ya baru tepat ?

2. Politik Mercusuar

Sekarang ini bukankah politik mercusuar juga ? lha wong rakyat lagi 
sengsara krisis begini malah bisa nyumbang ke palestina melalui OKI 1 
juta US$ ??? bisa bangun mejid di Bosnia 9 milliar ?? ingin membuat 
Tower Kemayoran ?? sumbang bahan pangan ke SRILANGKA padahal rakyatnya 
mati kelaparan dan harga2 naik.

Kalau pada orde lama kita lihat orang2 mengantri untuk mendapatkan bahan 
pokok, apakah sekarang tidak demikian ?? lihatlah pada berita di TV 
orang2 ngantri untuk membeli bahan pokok.

Pada orde lama ada tritura : turunkan harga, tapi di orde baru ini mana 
?? siapa yang berani ? lha wong baru cuap sedikit diciduk dituduh 
SUBVERSI / makar / PKI.

Keadaan kacau sekarang ini memang karena kegoblokan orang2 yang 
mendukung ORDE BARU !!! yang mendukung naiknya Soeharto menjadi 
president sehingga keluarga dan kenalannya bisa berkorupsi ria di bumi 
Indonesia ini.

Dana Sea Games dari rakyat kecil untuk bangun Hotel dan lainnya oleh 
Consortium yang dipimpin Bambang akhirnya menjadi milik Bambang. Dan 
yang kelewatannya lagi dana sea game masih dilanjutkan jauh setelah 
seagame lewat apa gak gila tuh ? rakyat kecil disuruh menyumbang untuk 
kepentingan Bambang ?? Padahal menurut komentar ketua YLKI bahwa tak 
mungkin dana sea game bisa kurang secara logika perhitungan kasarnya 
bahkan berlebihan..dikemanakan uang korupsi itu pak Bambang ??

wafatnya President Soekarno juga tidak jelas, walau bilang sakit tapi 
menurut kabar2 para orang tua beliau meninggal diracun oleh orang2 Orde 
Baru yang ingin cepat2 menggantikan kedudukannya !!!

Kalau Indonesia sekarang ini dibilang bukan negara Komunis bahkan anti 
Komunis dengan anti PKI, tapi nyatanya cara2 yang dilakukan oleh 
pemerintah dan pejabat2nya itu cara2 KOMUNIS !!! coba lihat dinegara 
demokrasi seperti USA mana ada perusahaan milik negara, sampai2 
perusahaan listrik nuklirpun milik swasta, sedang dinegara komunis 
seperti Cina semua milik negara, lalu kalau dituduhkan bahwa PKI 
menggunakan indoktrinasi dalam melakukan caranya, apakah buku pelajaran 
dan mata pelajaran yang diharuskan mulai dari tingkat TK hingga lulus 
kuliah dan P4 bukan indoktrinasi ?? Kalau di negara Demokrasi seperti di 
USA kita menghina dan menuntut presiden Bill Clinton pun tidak akan 
ditangkap jika memang kita benar, tapi disini baru lelucon si Jojon aje 
udah diciduk euy kayak di Uni Soviet aja cara2nya sama bung dengan 
KOMUNIS !!!

Lagipula kalau ditilik kenyataan bahwa SEJARAH TELAH DIPUTAR BALIKKAN !! 
buat apa PKI yang dulu sudah demikian kuatnya dan menguasai segala 
bidang malah ingin memberontak ? saya rasa tidak mungkin sebab yang 
memberontak memang benar adalah DEWAN JENDRAL sesuai dengan Document 
Gilschrit itu para dewan jendral memang benar2 bekerjasama dengan CIA 
untuk menggulingkan President Soekarno yang pada waktu itu condong ke 
arah kiri. Hal ini terangkum jelas dalam buku White Books yang 
diterbitkan negara jerman timur, itu adalah sejarah sebenarnya, lagipula 
CIA akan mengungkap kasus2nya setiap 50 tahun sekali walau masih lama 
akan tetapi sejarah Indonesia sebenarnya akan terungkap.

Negara ini sudah rusak dan bejat moralnya mulai dari atas hingga bawah, 
terbukti dengan korupsi dan pungli baik besar2an dan kecil2an. Bikin KTP 
aja aslinya Rp. 2000 jadi Rp. 10.000, buat SIM, STNK, Passport semua ada 
punglinya, urus surat2 di negara Indonesia itu udah susah keluar duitnya 
banyak ke kantong para setan koruptor orang2 pemerintah. Walau bisa kita 
maklumi hal ini terjadi karena gaji pegawai negeri kecil dan bahkan 
untuk menjadi lurah harus nyogok atasan puluhan juta baru dapet. Tap 
dengan cara demikian apakah tidak mengakibatkan EKONOMI BIAYA TINGGI ?? 
pihak swasta yang mengurus surat2 ijin Export/Import atau lainnya 
dipungli gila2an apakah tidak menjadikan dia menaikkan harga apalagi 
pihak swasta diharuskan membayar upeti gelap kepada para pejabat.

Para polisi dan Abri Indonesia yang biadab, mereka bukan melindungi 
rakyat akan tetapi menghisap duit dari rakyat, minta duit walau orang 
kagak salah, minta uang keamanan ke toko2 dan perusahaan2 apa gak sama 
aja kayak preman ? tapi bisa dimaklumi juga sebab polisi lalu litas 
kelas teri itu diharuskan membayar upeti kepada atasan setiap hari, dan 
orang yang masuk akabri harus bayar jutaan. Gila orang mau menajadi 
tentara pembela negara harus bayar makanya dia bukan jadi pembela rakyat 
malah jadi penghisap darah rakyat.

Para pejabat di Indonesia MUNAFIK !!! buktinya berkoar2 melarang rakyat 
agar jangan sekolah atau berobat keluar negri karena disini juga bagus, 
lha mereka sendiri anak2nya sekolah di luar negeri ? dan berobat juga 
diluar negeri contohnya presiden soeharto sendiri. Tukar dollar dan 
sumbang emas kenapa tidak dari awal krisis bulan July Agustus ? kenapa 
baru sekarang ? apa dengan demikian rakyat melihat hai para pejabat 
biadab kalian itu orang mulia ? TIDAK !!! rakyat malah sekarang baru tau 
bahwa KALIANLAH PARA PEJABAT BIADAB YANG KORUP 
TELAH BERSPEKULASI !!!  lha wong pejabat lah punya US$ ? 
para ABRI punya US$, para polisis punya  US$, anggota MPR/DPR 
punya US$ bahkan para ulama punya US$ ??? itulah kalian para 
spekulan, jangan menyalahkan rakyat atau pihak swasta, sebab 
kenyataan saya rakyat SAMA SEKALI TIDAK PUNYA US$ 1 pun !!! 
dan pihak  swasta memiliki US$ adalah fair sebab mereka mengguna-
kannya untuk menjalankan usaha dan membayar hutang bukan untuk 
spekulan seperti  kalian PAJABAT KOTOR !!!

Masalah preman Tanah Abang kita tahu bahwa yang beking adalah orang 
pemerintahan juga bahkan anggota MPR/DPR. Jadi Para pemimpin kita itu 
moralnya sama dengan preman rendahan sama2 bejat.

Di Indonesia yang nampaknya bersatu tapi jelas sama sekali tidak 
bersatu, semua seperti API DALAM SEKAM suatu saat akan pecah perang 
saudara sangat besar disini. Sebab orang2 muslim sangat mengintimidasi 
orang2 agama lain, mengapa sih musti demikian ? walau saya muslim akan 
tetapi saya sama sekali tidak setuju dengan terbentuknya negara islam 
maupun intimidasi terhadap agama lain, sebab apa sebab hal itu DILARANG 
AGAMA !!! dan gobloknya para kyai kita sendiri sering gembar gembor 
dimesjid2 untuk membenci agama lain, apakah hal itu yang diajarkan oleh 
Nabi Muhammad S.A.W. ? Ingat Allah tidak pernah menurunkan firman untuk 
membantai orang lain, itu dosa bung. Lagi pula agama kristen kan juga 
dari Nabi ISA yaitu nabi kita sendiri apa salah mereka sehingga kita 
musti membenci mereka ?
Selain itu perpecahan yang sangat mungkin terjadi adalah antara warga 
indonesia Pribumi dan warga Indonesia keturunan, hal ini nyata sekali 
sebab para pribumi yang picik tak berpendidikan ini selalu ngiri dan 
sirik terhadap orang2 keturunan yang bekerja keras setiap harinya dan 
berhemat. Saya adalah pribumi asli Indonesia tapi saya mencontoh orang2 
keturunan sebab saya jijik dengan gaya2 orang pribumi yang bisanya cuma 
foya2 tak pikir hari esok. Perhatikan orang2 pribumi dari kelas terendah 
seperti kuli2 bangunan tukang becak bagaimana mereka bisa maju, uangnya 
hariannya boro2 mereka tabung tapi dibuat hal2 yang tidak berguna 
seperti mabuk2an, judi, main perempuan, rokok dan lainnya. Berbeda 
dengan orang2 keturunan mereka walau tidak mendapat fasilitas dari 
pemerintah dan dibenci tapi mereka tetap konsisten sebagai pekerja ulet, 
hemat dan berpikiran maju. Apa salah mereka kalau mereka rata2 lebih 
kaya dibanding orang2 pribumi seperti kita2 ini ? seharusnya kita sadar 
dan mengambil hikmahnya bahwa moral bejat bangsa ini harus dibuang dan 
ambillah contoh2 moral baik dari orang2 keturunan. Lagi pula ditilik 
dari sejarah orang Indonesia itu adalah orang2 dari YUNAN CINA SELATAN 
dan orang2 Polynesia untuk Indonesia Timur.
Perpecahan lain yang akan muncul adalah pemisahan orang2 Indonesia timur 
dari Indonesia, sebab kita lihat di Indonesia timur itu adalah sumber 
tambang2 berharga dan banyak bagi Indonesia tapi yang makmur dan 
dibangun sampai metropolis hanya indonesia bagian Barat terutama Jawa + 
Sumatra, lalu apa buat orang Indonesia Timur ? nothing !!! Apakah tidak 
keterlaluan jika kita tahu bahwa FREEPORT adalah tambang terbesar di 
Irian Jaya menghasilkan devisa tinggi tapi kok ada kelaparan ? dan tidak 
ada pembangunan sehingga untuk menolong bencana tersebut sulit bahkan 
para missionaris kristen yang pertama kali tahu mengenai bencana 
tersebut. Dimana ABRI ? kenapa tidak diturunkan untuk membantu ? 
turunkan dong itu semua personel Abri yang katanya ahli disegala medan 
untuk mengirim bantuan menembus gunung2 Jayawijaya jangan cuma duduk 
minta duit !!! Saya sebagai orang Indonesia TIMUR terus terang sakit 
hati atas perlakuan pemerintah terhadap saudara2 kami ini. Bayangkan 
orang Timor Timur mati2an dipertahankan masuk wilayah Indonesia cuma 
dikarenakan wilayah Laut Zona Ekonomi Exclusivenya kaya akan tambang 
MINYAK !!! sedangkan rakyatnya pemerintah tidak perduli. Untungnya 
dengan adanya Fretilin dan sorotan dunia serta bantuan Portugal lah 
makanya Indonesia melakukan politik pendekatan terhadap rakyat dan 
politik mercusuar yang seolah2 pemerintah telah melakukan pembangunan di 
Timor Timur padahal OMONG KOSONG !!!. Kalau tidak percaya silahkan lihat 
ke Tim tim bagaimana sengsaranya rakyat disana, belum lagi ABRI sering 
membantai rakyat disana karena tidak bersedia integrasi dan dituduh 
Fretilin.

Kalau di Thailand dan Korea selatan rakyat secara sukarela menyumbang 
US$ dan emas kepemerintah karena pemerintahnya BERSIH, dan bersedia 
mundur jika terbukti bersalah. Tidak seperti di Indonesia yang pada 
kasus SUDOMO "INDONESIA TIDAK ADA ISTILAH MUNDUR NAJU TERUS" ya maju 
keneraka sono. Disini para rakyat dan swasta yang nyumbang itu karena 
DIPAKSA dan DIANCAM !!! Siapa yang percaya sama pemeritahan anjing yang 
udah bobrok ini. Pihak swasta memarkir dananya diluar negri jelas mereka 
begitu saya sangat setuju !!! sebab buat apa menarik dananya ke 
Indonesia sudah rugi, tidak ada pamrih malah ditekan dan diancam. 
Setanpun tidak ada yang dongo mau bantu pemerintah yang biadab gini. Lha 
buktinya dana IMF dan lainnya sudah membanjir US$ tetap melambung !!! 
Lagipula hasil sumbangannya mana buktinya dikemanakan larinya ? paling2 
masuk ke kantong para pejabat dan keluarganya lagi. Jadi sama seperti 
kejadian SEA GAMES rakyat udah menyumbang tapi dipakai untuk pribadi 
bener2 gila.

Dibilang bahwa Indonesia anti freesex dan obat bius, Omong Kosong WTS 
diIndonesia udah terkenal ke luarnegeri dan patut dibanggakan lho 
Indonesia terkenal karena WTS nya. Dan para pengedar obat bius seperti 
PUTAU, Ectasy itu para pejabat sendiri dan anak president soeharto + 
cucu2nya tuh.

Seperti Likuidasi bank2 swasta kasihan Bank BHS yang demikian besar 
dihancurkan pemerintah, kau adalah patriot bangsa Tanzil kau dilikuidasi 
secara paksa demi rakyat negara ini. Demikian juga bank2 lain seperti 
Pinaesaan, Industri, pacific dan lainnya. Kecuali dua Bank penipu milik 
keluarga presiden yaitu bank Andromeda milik Bambang yang sama sekali 
tidak dilikuidasi cuma ganti nama doang jadi Bank Alfa !!! juga Bank 
Djakarta milik Probosutedjo yang ijin operasinya udah keluar lagi dasar 
PENIPU KALIAN !!! Kalianlah yang bertanggung jawab atas krisis ini tapi 
kenapa Bank BHS yang sehat kalian Likuidasi ? Apakah demikian caranya 
pemerintah memperlakukan swasta ? jika demikian siapa yang mau percaya 
lagi pada pemerintah ?

Kalian kemanakan dana IMF ?? kalian buat saham KIA di korea selatan kan 
untuk mempertahankan MOBIL TIMOR  milik Tommy, juga untuk biaya 
penelitian orang si edan Habibie di Nurtanio dengan pesawat bututnya 
itu.

Pemerintah bilang harga2 bahan pokok tidak naik, listrik dan PAM tidak 
naik, kenyataannya semua NAIK !!! pemerintah bilang bahan bakar tidak 
naik, sebentar lagi naik atas prakarsa IMF. Harga US$ ditekan tidak 
melampaui Rp. 10.000 tapi liat aja setelah sidang MPR march selesai 
semua harga akan di loss tanpa kendali dan US$ akan loss silahkan rakyat 
Indonesia kelaparan dan para Pejabat dan keluarga Presiden Soeharto 
cabut keluar negeri karena kekayaan merekalah yang sudah diparkir di 
luar negeri bukan pihak swasta !!!!

Seperti monopoly yang dituduhkan selalu ke swasta pengusaha keturunan 
kenyataannya yang monopoli kertas koran, tata niaga cengkeh dan lainnya 
adalah bukan swasta keturunan akan tetapi pengusaha pejabat dan 
keluarganya. Asal tau aja yah harta Lim soe Liong itu semua cuma KEDOK 
!!! itu semua milik pribadi Soeharto. Seperti masalah korupsi Golden 
Key, Eddy Tanzil cuma kambing hitam dari koruptor asli yaitu SUDOMO.

Krisis sekarang ini adalah REKAYASA AMERIKA untuk menekan negara2 ASIA 
yang kebanyakan konyol terhadap AMERIKA. Tapi Indonesia paling berat 
terkena dampaknya karena di Indonesia rakyat sudah tidak percaya lagi 
pada pemerintahan, tapi tidak hanya sampai disitu, para pengusaha 
keturunan was was dan curiga terhadap pribumi dan pemerintah akan 
melikuidasi mereka, orang2 muslim melakukan gerakan bawah tanah untuk 
menjadikan Indonesia negara Islam, orang2 diluar muslim takut hal ini 
terjadi, kalangan ABRI ingin menguasai semua posisi di pemerintahan, 
kalangan sipil melawan kalangan ABRI. Korupsi pemerintah Indonesia sudah 
terkenal diseluruh dunia, bahkan MARCOS sendiri berterimakasih kepada 
President Soeharto karena mengajarinya cara2 korupsi, tapi rakyat 
Philipines pintar dan hebat bisa menggulingkannya tidak kayak disini.

Coba kalau bencana ASAP kemarin melanda JAKARTA dan seluruh Indonesia 
secara merata, saya yakin 100% para pejabat + presiden sekeluarga cabut 
keluar negeri, tinggal rakyat mati disini terkena asap.

INDONESIA MEMANG SUDAH BUSUK !!! SAMPAI BEBUSA PUN 
TIDAK ADA HABISNYA DIBAHAS KEBUSUKAN2AN YANG TERJADI 
DI INDONESIA !!! Lalu mengapa saya mau membicarakan hal ini ? 
sebab ini adalah uneg2 yang harus saya keluarkan, daripada cuap2 
diciduk lebih baik dimedia ini. Tahukah hai Bangsa Indonesia bahwa 
dengan kebusukan Indonesia ini maka Bangsa ini akan 
HANCUR !!! Banyak dari orang2 selalu mengatakan bahwa

"INDONESIA ADALAH NEGARA YANG TIDAK PATUT DIPERJUANGKAN"

Walau aku cinta Indonesia tapi Indonesia bagai NERAKA, buat apa ? lebih 
baik aku perjuangkan negara orang lain yang lebih menghormati jerih 
payah walau kita tanpa pamrih. Tapi saya berharap krisis ini tidak 
menjadikan suatu perang saudara atau pemberontakan, sebab hal itu malah 
akan menyengsarakan rakyat yang sudah sekarat ini.

Untuk itu makanya saya himbau agar para organisasi2 bawah tanah yang 
ingin mendongkel pemerintah biadab sekarang tolong lakukan dengan cepat 
dan bersih jangan sampai ribut atau perang, sebab jika sampai demikian 
kalianpun akan dikutuk rakyat. Diamanapun keadaan damai adalah yang 
utama, walau negara ini sekarang dibawah Regime Soeharto tapi masih 
aman2, itu saya patut bersyukur walau dengan hati mendongkol (untungnya 
udah buka puasa nih ngomong ginian munafik juga yah hehehe orang2 
Indonesia memang munafik) Lagian ganti pemimpin sama aja deh kalo saya 
bilang sih sarwa keneh, sebab orang Indonesia tuh moralnya udah bejat 
dari atas hingga bawah, biar ganti pemimpin setanpun tetep aje gini lagi 
- gini lagi belakangannye, awalnye aje janji2 yang enak2 sebab belum 
menang tapi pas udah menang sama aje tetep koruptor juga. Walau mungkin 
kalau diganti Megawati dianya sih bersih tapi anak buahnya ada yang 
kotor siapa tau ? dan Megawati memangnya bisa tau satu persatu anak 
buahnya mulai dari tingkat MPR hingga ke Lurah2 ??? gak mungkin lah 
tetep aja Indonesia ini udah BEJAT dan tak pantes dibelain. Udah dijual 
aje ke AMERIKA biar dijajah biar tau rasa biar mampus. Soalnye rakyat 
Indonesia ini kalo dijadiin pejabat juga moralnya sama aje bejat semua 
pake AJI MUMPUNG !!! mumpung pejabat KUROPUSI terus kapan lagi nanti gak 
naik lagi lho hehehe emang Indonesia udah BEJAT dari sisi manapun !!! 
Mampuslah Indonesia saya orang Indonesia Timur tidak sudi menjadi bagian 
dari Indonesia, saya lebih baik dibilang orang Polynesia dan Melayu 
bukan orang Indonesia, malu2in bawa2 nama Indonesia diluar negri cuma 
diketawain sama bule2. Ada bule yang bilang "Indonesia is NOTHING !!!" 
Udah negara gak ada wibawanya bubar aja deh...eneg orang ngeliat elu tau 
gak negara anjing !!! Kata bule amrik "We American exploit Indonesia for 
ourself, we like Indonesian cheap crude oils and sell expensive things 
to Indonesia"

Maaf kalo saya yang bodoh ini salah tapi itu keyakinan saya dan tak bisa 
diubah, untungnya saya sekeluarga udah menjadi warga negara lain 
ahahahahahahaha bebas dari Indonesia, tapi karena saya berasal dari 
Indonesia bagian Timur saya masih perduli dengan saudara2 saya disana, 
mereka mati kelaparan ditanah yang penuh tambang emas, yang diambil oleh 
orang2 Indonesia bagian Barat yang makmur dan kejam.

Istilah keren :

HARMOKO = Hanya Omong Kosong
MPR/DPR tugasnya 4D = Duduk, Diam, Dengar dan Dibayar


*************************************
Replies:

AJAKAN BEREMPATI DAN BERSOLIDARITAS BALITBANG PDI

JAKARTA (SiaR, 13/1/98), Redaksi SiaR menerima kertas kerja BALITBANG PDI
(PRO-MEGAWATI SOEKARNOPUTRI) pimpinan ekonom Kwik Kian Gie. Kertas kerja
ini menyoroti krisis perekonomian nasional, dan ditulis dalam bahasa
Inggris.

Yang menarik dari kertas kerja ini ada lah rekomendasi tentang perlunya --
untuk mengatasi krisis tersebut -- diadakan dialog nasional yang
melibatkan tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Amien Rais, dan Megawati
Soekarnoputri. Demikian pula imbauan agar rakyat memobilisasi kekuatan di
atas kaki sendiri tanpa bergantung kepada pemerintah dan ABRI.

Kertas kerja ini juga menegaskan, bahwa persoalan ekonomi dengan hukum
pasar dan psikologi publik yang menyertainya tidak dapat dikontrol dengan
pendekatan keamanan yang jelas-jelas\sudah kadaluwarsa. Apalagi dengan
menggunakan ancaman senjata atau instrumen kekerasan lainnya.

Melihat isinya yang sangat menarik, Redaksi SiaR memutuskan memuatnya
secara lengkap. Selamat membaca!

Redaksi SiaR
------------

AN APPEAL FOR EMPATHY AND SOLIDARITY FROM
THE AGENCY FOR RESEARCH AND DEVELOPMENT
PARTAI DEMOKRASI INDONESIA (BALITBANG PDI)

Since the outbreak of the monetary crisis last July the Agency for Researh
and Development, Partai Demokrasi Indonesia (BALITBANG PDI), has closely
followed the development of events, conducting all the while continuous
internal discussions.

We have come to the conclusion that our economy has plunged into a very
serious and deep recession, and that the current recession differs from
the previous ones. The current recession is accompanied by the complete
and frightening loss of public confidence in the rupiah. During the coming
months, for about two or three years we, ordinary people from all kinds of
social strata, will feel the painful impact of this present recession on
our daily lives. We are facing a tremendous setback in our economy. Just
as an illusion it can be mentioned here that our per capita income,
expressed in US dollars against the exchange rate of Rp.6000/dollar, has
dropped from around US $1,100.00 to US $440.00. If we use the current
exchange rate of Rp.8000/dollar, we will see a more dramatic decline in
our national per capita income: from US $1,100.00 to US $330.00. We see
from these figures that we, the Indonesian people, had become once again a
poor nation compared to others countries.

A great number of people who still live at an economically marginal level,
like unskilled laborers who because of the current recession suddenly
found them- selvel unemployed, will face hunger two to three months from
now, i.e. when their severance pay will be entirely spent just to prolong
their very depressing daily existence.

The continuously weakening confidence in rupiah has made those with
savings and deposits in the bank withdraw their money and change them into
us dollars. In this way we have started a rush against our own country.
And the sad thing is that this is done by almost everybody in our society
with excess money. In the meantime many banks have lent the savings and
deposits of their clients to business entrepreneurs many of whom have
become so impoverished that they can not pay both the interest and the
principal of their debts.

In this way, we have facing a very tragic situation. On the one hand those
with savings and deposits in the banks want to get their money back, which
is en- tirely their right. But on the other hand their money is in the
hands of bu- siness people who have borrowed money from those banks and
are now defaulting. The banking sector which is the heart of the economy
is facing complete des- truction at this moment, and if this happens the
entire productive sector of the economy will be dragged downwards.

When IMF set aside US $43 billion as rescue fund for Indonesia they did
not anticipate this big demand for foreign exchange which resulted from
conversion of savings and deposits into dollars. IMF also did not
anticipate private Indo- nesian debts which has reached the amount of at
least US $65 billion. Thus in addition to current account deficits which
can no longer be covered by a flow of incoming foreign investment, there
is also big demand for dollars which resulted from the flight from rupiah
to dollars done by the public, and also from a huge foreign debt by the
private sector.

The crisis we are now experiencing cannot be detached from a government
which has been accustomed to and become dependent on foreign debt. Our
business community which so clearly has never been able to build up
foreign currency reserves from surplus of exports over imports has been
praised by technocrats within the government, just because these people
have been able to bring in borrowed foreign exchange which in turn has
enabled the government to claim that the country has enough foreign
reserves. It has become very obvious now that it is these very foreign
debts which has become so huge and which we are not able to repay
constitutes the main factor why foreign investment stops coming into our
country. What happens is just the opposite, i.e. flight of foreign capital
from our country which in turn has made our rupiah become depreciated to
such an extent that is goes beyond normal logic and reasoning.

The flight of rupiah into dollar is haunted by the fear that savings and
de- posits will be converted into state security bonds just by government
decree, and that in this way the system of foreign currency flow will be
tightly con- trolled. Government's denials in this respect
notwithstanding, people do not believe that rupiah has still a future.
This is a clear indication that the government has lost much of its
credibility. The public no longer has trust, confidence, and respect for
the government. Against this backdrop our current monetary crisis not only
has caused economic recession with the potential of causing a deep
economic depression, but it has also caused a crisis confidence and
respect toward the government.

At this moment we can still find many goods with a substantial amount of
im- ported components that do not show marked increased in their market
price. This is because these goods were built using old stock of imported
components, pur- chase at the time with dollars at Rp.2,400/dollar. But
when within these few months these companies run out of their old stock of
imported basic components, they will have to purchase new stock of basic
components with dollars at around Rp6,000/dollar, or an increase of about
250%. By then it will be very hard to find consumers who can pay who are
willing to pay a price increase of 200% to 250%. When this happens, many
companies will opt for a massive closure of their manufacturing plants
with a huge number of lay-off among their laborers. This in turn will
cause a drastic increase in the number of unemployed workers within our
society.

Taking into cognizance this very precarious and highly hazardous
situation, we make a sincere appeal to all public personalities who opt
for democracy and who have direct access of direct commad line to the
people -- we have in mind peo- ple like Abdurracman Wahid, Amien Rais,
Megawati Soekarnoputri, and many other personalities -- to sincerely try
to conduct a national dialogue among all community leaders to find a
maximum solution to our current crisis. In facing economic problems
stemming from market mechanism it is very apparent that we cannot use our
traditional security approach, because market mechanism and public psyche
cannot be controlled by using weapons or other instrument of violence. It
is our deepest conviction that real solution to our crisis must be based
on public confidence, because at the end it is the attitude and behaviour
of the public that decides whether or not a given solution is indeed
effective. We think that the people will listen only to a leadership they
genuinely respect, a leadership they consider clean and respectable.
Opinion voiced by national figures who beyond any doubt command the
respect and trust of a huge portion of the public will have an absolute
impact of the MPR (People's Con- sultative Assembly) which claims
representing the people. This is the essence of a national dialogue we are
now proposing. It is therefore totally irrelevant whether or not the
government is willing to listen to opinion voiced by real leaders of the
public.

In anticipating the increasing number of laid-off workers and the plague
of hunger that will be forthcoming, all public figures should, in our
opinion, not be too dependent on the government. Let us develop and
implement the concept of self-help for the people, i.e. a concept that
under guidance of these public personalities, the people will be able to
help themselves.

We appeal to members of our DPR (House of Representatives) to introduce a
speedy adjustment to the 1997-1998 budget, in the sense that budget items
stipulated for development infrastructure which are so costly in terms of
foreign currency be move to budget items for projects which are labor-in-
tensive, so that in this way a portion of our workers who have been laid
off can be accomodated.

In deliberations concerning the final format of the 1998-1999 budget based
on the budget plan proposed by the government, we urge members of the DPR
(House of Representatives) to take the IMF reform package into serious
consideration, because looked at in an objective and rational manner it is
indeed conceptually a sound approach. The ultimate origin of our monetary
crisis is the fear that our entire foreign reserves might face the danger
of being wiped-out. This is not only caused by the fact that our exports
are smaller that our imports, but also by the fact that our investments
have been bigger than our savings, so that we have to use foreign debts to
close this yawning saving-investment gap. It is necessary to realise in
this context that any additional foreign debt will at the moment merely
weaken our economic fundamental.

If and when, the government really adopts austerity policy by contracting
its expenditures, then the private sector has also to realise the
necessity of adopting the same policy by contracting its investment plans.
This can be done by cancelling plans to expand the existing investments
and by cancelling new investments. Foreign debts made by the private
sector which are not matched by sufficient capital equity have to a large
extent contributed to the increasing current account deficit which, as we
noted earlier, with the onslaught of the monetary crisis and recession
that comes thereafter has caused foreign capital stop flowing into
Indonesia for the time being.

The ups and downs of economy, including recessions, are a natural
phenomena. But there are two factors in the present crisis which we have
never experienced before. The first factor is that the present recession
is accompanied by the rush to buy dollars. The second factor is that we
are at the moment, gripped by a strong feeling that there is at the moment
no responsible and respectable leadership in the country. To save this
country and this nation, let us stand as a mature and independent nation.
Let us not depend too much on the govern- ment and the Armed Forces. Let
us mobilise our forces to help ourselves by adhering to the original
spirit of gotong royong, which is mutually assisting and supporting each
other out of genuine feeling of empathy and solidarity.

Let us learn from this historical incident during this difficult time, so
that in the future every problem that besets us will be solved through
good com- munication and good rapport between the leaders and the
followers. This is the true spirit of democracy.

Jakarta, January 12, 1998

Agency for Research and Development, Partai Demokrasi Indonesia

Kwik Kian Gie
Mochtar Buchori
Tarto Sudiro
Sukowaluyo Mintorahardjo
Imam Kadri Suprakto
Subagio Anam


*************************************
Replies:

SIDANG ROMO SANDY: PELAKU PENYERBUAN KANTOR DPP PDI
ITU APARAT KEAMANAN

JAKARTA (SiaR, 13/1/98), Lanjutan sidang Romo Sandyawan Sumardi SJ dan
kakak- nya, Benny Sumardi, di PN Bekasi kemarin (12/1) memberikan sejumlah
fakta baru bagi Peristiwa 27 Juli. Salah seorang Satgas PDI, Yopie, yang
dijadikan saksi untuk Romo Sandyawan dan Benny Sumardi menceritakan
tragedi 27 Juli 1996. Ia mengaku melihat dengan mata kepala sendiri
tentang beberapa penyerbu kantor DPP itu adalah aparat keamanan.

Sewaktu diambil sumpahnya, Yopie sempat berkeberatan ketika diminta
anggota majelis hakim untuk mengacungkan dengan dua jari. "Pak Hakim, saya
mau di sum- pah asal dengan tangan begini (telunjuk dan ibu jari melingkar
menunjuk angka nol dan mengacungkan 3 jari yang lain, yang jadi simbol Pro
Mega -red). Kalau saya disumpah dengan dua jari (simbol Golkar -red,), itu
sama saja dengan saya ikut menghambar aspirasi rakyat, " ujarnya. Namun
demikian, setelah hakim men- jelaskan tatacara pengambilan su8mpah di
persidangan yang telah baku, Yopie akhirnya mengalah dan bersedia diambil
sumpahnya dengan mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

"Saya melihat beberapa orang yang ketika masuk dan menyerbu berkaos merah,
ti- ba-tiba berganti pakaian militer. Bahkan, mungkin karena saking
gugupnya ada aparat yang dari balik seragamnya menyembul kaos merah," kata
Yopie.

Ia juga menceritakan tentang suara letusan senapan di dalam kantor DPP.
Juga seorang temannya yang menyerah pada penyerbu akhirnya ditembak "Saya
lihat ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang lewat digebug aparat yang
mengakibatkan kepalanya bocor dan berdarah," katanya.

Kesaksian Yopie ini dimaksudkan oleh penasehat hukum untuk menunjukkan
situasi dan kondisi bagaiamana mencekamnya keadaan waktu itu. Setelah
meletusnya peris- tiwa itu banyak orang ketakutan dan mencari
perlindungan. Keberingasan aparat keamanan menghasilkan suasana teror di
mana-mana.

"Banyak ibu-ibu melaporkan kehilangan suami, atau anaknya. Banyak orang
berta- nya tentang keberadaan sanak familinya yang belum pulang. Karena
banyaknya pengaduan-pengaduan inilah kami bersama Gus Dur, Romo Sandy,
anggota Komnas HAM Clementino dos Reis Amaral, LBH dan yang lainnya
bersepakat membentuk Tim Re- lawan. Dan disepakati Romo Sandy sebagai
sekretarisnya," kata Ita Fatia Nadia, Direktur Yayasan Kalyana Mitra yang
salah seorang saksi yang dihadirkan majelis hakim kemarin.

Dalam menjalankan tugasnya, tim relawan selain mendapat
pengaduan-pengaduan tentang kehilangan, anak, suami saudara maupun sanak
famili, juga mendapatkan banyak orang yang luka-luka dan meninggal. "Kami
mendatangi tempat-tempat dimana para korban itu berada misalnya, di rumah
ibu Megawati, di RSCM, di rumah Dr Djarot Bekasi, dan sebagainya. Juga
saat itu banyak orang mengadu dan minta perlindungan karena merasa
ketakutan oleh incaran aparat," kata Ita.

Ketika ditanya hakim kenapa orang-orang PRD juga ikut dibantu, Ita
mengatakan bahwa para anggota PRD pun telah menjadi korban penghukuman
tanpa diadili oleh aparat keamanan. Karena seperti yang diketahui umum,
setelah meletus Peristiwa 27 Juli ABRI mengeluarkan perintah tembak di
tempat untuk para perusuh, dan kebetulan disebut nama-nama aktifis PRD
yaitu Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan.

"Pada awalnya definisi tentang korban memang tidak memasukkan korban yang
ketakutan. Setelah ada permintaan dari aktifis PRD, Budiman cs, maka
definisi korban kami tinjau ulang," katanya.

"Tapi ketika kami sedang berpikir bagaimana cara terbaik untuk
berkomunikasi dengan aparat keamanan, ternyata mereka digerebek dan
ditangkap," kata Ita.

Sementara itu saksi ketiga yang dihadirkan Majelis Hakim adalah Rita,
seorang ibu penjual gorengan yang tinggal di Sumur Batu. Rita dengan
lugunya bercerita tentang penderitaan yang ia alami. Ia pernah punya rumah
tapi digusur dengan tiba-tiba oleh pemerintah. Ketika ditanya hakim
sekarang menempati tanah siapa, dengan lugu ia menjawab bahwa sekarang ia
menempati tanah pemerintah yang tidak dipakai. "Itu kan janji Golkar waktu
kampanye, katanya tanah yang kosong boleh ditempati," katanya dengan logat
Bataknya yang disambut gemuruh tepuk tangan pengunjung sidang.

Dalam sidang itu Rita juga berceritera bahwa dia dan kawan-kawannya pernah
di- bantu Romo Sandy dan lembaganya dalam pengobatan maupun bantuan
makanan.

Romo Sandy kepada majelis hakim menyatakan bahwa sebenarnya ia telah
membantu banyak orang, tidak hanya orang-orang PRD. Tapi ia tidak mau
menyebutkan siapa- siapa saja sesuai dengan imunitas seorang rohaniwan
dalam melindungi orang yang merasa terancam jiwanya.***


*************************************
Replies:

PERNYATAAN KOMNAS HAM

JAKARTA (SiaR, 13/1/98), Pada 12 Januari 1998 kemarin, Komnas HAM
mengadakan konferensi pers dan mengeluarkan pernyataan untuk mengoreksi
kebijakan peme- rintah yang bertentangan dengan HAM.

Mengingat isinya yang penting untuk diketahui masyarakat luas, maka kami
memu- tuskan untuk memuatnya. Berikut ada lah isi lengkap pernyataan itu.

Redaksi SiaR.-
-----------------

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

PERNYATAAN TENTANG KEBIJAKAN YANG BERDAMPAK
TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) memiliki tugas penting
untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kemajuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia di Indonesia. Karenanya Komnas HAM merasa
berkewajiban untuk memper- hatikan kehidupan rakyat sehari-hari. Setelah
mengamati perkembangan dan kehi- dupan di bidang politik, ekonomi dan
hukum dan mempelajari kecenderungan per- kembangan masyarakat dan bangsa
dalam beberapa tahun belakangan ini, maka Kom- nas HAM perlu menyatakan
berbagai hal.

Diamati bahwa pemerintah menghadapi kesulitan dalam mengendalikan
perkembangan kehidupan pembangunan nasional seperti terjadinya kelambanan
dan kurang terko- ordinasinya kebijakan menyeluruh terhadap
kerusuhan-kerusuhan dan musibah- musibah yang lalu dan belum adanya
tindakan hukum yang memadai dalam penang- anan masalah kebakaran hutan
yang berdampak langsung bagi kehidupan rakyat, tidak efektifnya penanganan
masalah kelaparan yang terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan
kematian sejumlah anggota masyarakat dan mulai tidak terkendalinya harga
kebutuhan pokok sehari-hari.

Kemelut ekonomi moneter yang sedang melanda kita dewasa ini juga telah
menyen- tuh seluruh persepsi dan pemahaman kita tentang konsepsi
pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini. Kondisi pokok
nasional yang diperlukan untuk pelaksanaan hak hidup layak sebagai hak
asasi manusia terus merosot.

Pada waktu ini kondisi tersebut telah mendorong hidup rakyat Indonesia ke
ujung ketidakpastian, yang sekarang telah mencapai titik yang sangat
mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini terbukti dari terjadinya sejumlah
masalah sosial seperti bang- krutnya banyak pemberi kerja, perorangan,
menengah dan besar, sehingga jumlah pekerja laki-laki dan perempuan yang
kehilangan mata pencaharian semakian me- ningkat. Ini sudah merupakan
dislokasi sosial yang luas. Yang merisaukan ada lah hingga kini tidak
jelas bagaimana pemerintah menyusun kebijakan dasr yang ditujukan untuk
mengatasi dislokasi sosial ini.

Masalah yang mendasar selama ini ada lah:

a. Demokrasi di Indonesia belum memberdayakan rakyat dalam kedaulatannya
untuk dapat mengoreksi arah pelaksanaan kebijakan pemerintah.

b. Penegakaan hukum di Indonesia dalam bahaya karena lebih menjadi alat
kekua- saan sehingga tidak responsif lagi. Akibatnya supremasi hukum tidak
dapat ditegakkan.

c. Ketidakadilan sosial dewasa ini telah mencapai tingkat kesenjangan di
segala bidang yang tidak lagi dapat ditolerir oleh masyarakat.

Terjadinya kerancuan di bidang demokrasi, hukum dan keadilan sosial
disebabkan tidak berfungsinya secara penuh lembaga seperti DPR, lembaga
penegak hukum dan lembaga kontrol sosial dan masih merajalelanya korupsi
dan kolusi di berbagai tingkatan.

Pembangunan bangsa sebagai pengamalan Pancasila akan kehilangan maknanya
jika hak asasi yang menyangkut ketiga hal tersebut tidak ditegakkan.

Komnas HAM menyadari bahwa masalah-masalah yang berat dan kompleks ada lah
sa- ngat sulit karena keadaannya sudah sangat parah. Sehubungan dengan itu
Komnas HAM menyarankan kepada pemerintah agar di samping tindakan ekonomi
dan moneter yang telah dilaksanakan untuk menstabilkan harga bahan-bahan
pokok, juga perlu dilakukan tindakan politik yang demokratis dan
melaksanakan hukum secara kon- sekuen untuk dapat dapat menghapuskan
ketidakpastian yang sedang melanda bangsa Indonesia.

Tindakan-tindakan ini ada lah:

1. Hendaknya pejabat sipil dan militer perlu selalu berhati-hati agar
senanti- asa memberikan pernyataan yang transparan, jujur dan konsisten
yang dapat men- imbulkan rasa aman bagi masyarakat. Sebab pernyataan yang
simpang siur dan ti- dak proporsional, dapat menimbulkan ketidaktentraman,
ketakutan dan mening- katkan rasa ketidakpastian di bidang hukum, ekonomi,
moneter dan keamanan.

2. Segera melakukan penanganan nasional terhadap hutang-hutang dan modal
yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha besar dan perorangan dan
menertibkan pemin- dahan dana yang hanya mementingkan keuntungan pribadi,
sehingga menyebabkan merosotnya nilai rupiah secara drastis dan telah
menghambat pembangunan nasi- onal.

3. Segera mewujudkan kegiatan-kegiatan pembangunan padat karya dalam
rangka mencegah bertambahnya pengangguran yang telah dimulai pemerintah
dan membentuk cadangan dana sosial darurat guna membiayai asuransi
pengangguran.

4. Menghentikan segala penyalahgunaan hukum sebagai alat represif untuk
meng- hindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berkelanjutan
(abuse of power) dan menegakkan hukum sehingga kolusi dan korupsi dapat
dibrantas secara menyeluruh.

5. Memberi peluang sebaik-baiknya bagi kelompok dalam masyarakat yang
hendak menggunakan haknya untuk menyatakan pendapatnya agar dapat tercipta
solidaritas nasional yang kokoh dan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa.

6. Hendaknya diperhatikan pendapat yang berkembang dalam masyarakat yang
meng- hendaki semakin terbukanya kehidupan politik nasional guna dapat
menampung se- luruh aspirasi yang hidup dalam masyarakat dalam rangka
penyempurnaan sistem dan kepemimpinan nasional.

Jakarta 12 Januari 1998
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

KETUA
MUNAWIR SADZALI

SEKRETARIS JENDERAL
BAHARUDDIN LOPA


*************************************
From: James Balowski <
>
Subject: KNPD: Safeguard people's sovereignty
Date: Wed, 14 Jan 1998 10:02 AEST
To:

PRESS RELEASE
=============

FORM A COUNCIL OF POLITICAL LEADERS TO SAFEGUARD
THE SOVEREIGNTY OF THE PEOPLE!

National Committee for Democratic struggle (Komite Nasional
Perjuangan Demokrasi, KNPD) - January 6, 1988

[The following is a translation of a press relasessent to ASIET
(Action in Solidarity with Indonesia and East Timor) by KNPD.]

I. Background

Bloody Saturday, July 27, 1996 gave us a valuable lesson. This incident
leads us to a number of conclusions based on our country's political
situation and the direction of its development. If viewed from the
"energy" of the resistance shown by the people, it appears that we must
again adjust the view which says the Indonesian people are apathetic or
apolitical in the face of what is done to them. Actually, under conditions
of depoliticisation and repression, the people keep alive a resistance
which is large and has a strong spirit in maintaining itself.

We must be just in drawing conclusions when assessing the forms of
struggle which have been used by the people, such as riots and other
violent actions. Mass spontaneous resistance such as these are the way the
people have been forced to defend themselves, after all peaceful methods
(formal-legal and political) have failed - and even consumed their own
victims. We must try too to understand why this mass resistance is often
focussed on the wrong targets, is often easy to break and is so often
scattered and divided.

These weaknesses are primarily caused by the lack of a strong political
leadership from the opposition - who can show the correct political path
to the people.

The riots which have occurred reflect the loss of the people's trust in
the government (political development). This was proven after the July 27
incident (which resulted in the jailing of pro-democracy political
activists from SBSI, PUDI and the PRD (1) and intensive repression of the
pro-democracy movement), when there was repeated explosions of rioting in
other places, despite the government repeatedly threatening and acting
decisively against the rioters.

We can imagine that at such a time, when the people are resisting on a
mass scale if there was a leader who was courageous and prepared to stand
together with the people with demands which address the real needs of the
people, certainly what occurred and its results would be different, and it
would not result in so many [material] losses and victims. Just look at
how easily the people riot although it is without the involvement of the
democratic opposition groups. But historically, the people's spontaneous
resistance has not resulted in meaningful change (although that is what
the people really want) aside from anarchy or the people falling away from
political consciousness, which in its turn will endanger the aspirations
of the people's struggle itself.

For more than 30 years the consciousness of the Indonesian people has been
in a process of depoliticisation; harsh economic exploitation,
intimidation and political violence. A situation like this will create the
conditions for the emergence quasi-consciousness which is very easily
manipulated by the wrong demands. So that it is as if issues which have
the characteristic of SARA (2) represent the real consciousness of the
people. While in reality this is the breaking through of the limits of the
people's patience and tolerance in bearing suffering, so that they use any
kind of "motion" which is available. Once again this creates the
conditions for the need of a political leadership which is prepared to
stand up, represent and consistently struggle for the interests of the
people.

The level of trust of the people in the ability of the government to
improve the quality of the life of the people and protect them has
declined dramatically. There is data that shows a 30% leakage of funds
along with revelations of cases of large scale corruption and collusion,
added to again with discriminative crony business practices, further
reveals this crisis of mistrust. Furthermore, Indonesia is now facing a
monetary crisis who's impact is being felt strongly with an increase in
the level of unemployment which is a result of having to pay to safeguard
[the country's] economic life (read the safety of company capital). The
total level of unemployment, after counting the hidden unemployment of
those who work less than 35 hours per week, reaches 40% of a work force of
90 million. IMF projections on the growth of the Indonesian economy for
1998 are around 2%, while the rate of inflation is estimated to reach
between 7.5% to 8% which will result in a real economic growth of minus
6%. This is a heavy burden which must be shouldered by the people who
have yet to enjoy the benefits of development and in fact has become a
factor in the comparative superiority to attract investors, by keeping the
wage component of the cost of production at only 2%.

All of this is a time bomb because of the errors made from the beginning
by the government in regulating Indonesia's economic and political life.
Small explosions such occurred in Situbondo, Tasikmalaya, Pontianak,
Sanggau Ledo and other places (3) on a smaller scale, are a logical
consequence of the workings of the economic and political system. These
explosions will become more frequent if [government policy] is not
directed toward the political demands and actions of the people.

Intuitively the people can imagine the changes they desire, but because of
the factor of political repression and the channels for their aspirations
blocked, this causes the people to be blind to the political actions they
must take. So that in the end the people have to speak through riots which
can explode unexpectedly, because they can be started by any incident,
even from a Dangdut [music] arena such as in Sampang, Madura.

So that the energy of the people who desire this change is not thrown away
uselessly and can result in political reform and an improvement in the
social conditions [we] must work on ways to unite them under the umbrella
of one national, political leadership, which for the moment we can refer
to as the Council for the for Salvation of the People's Sovereignty (Dewan
Penyelamat Kedaulatan Rakyat). This umbrella for struggle will be an
association of leaders who have the trust of society, who come from a
number of political spectrums and who are prepared to stand up and voice
the demands of the people and be consistent in struggling for them. All
social leaders who are concerned about what has befallen this country must
jointly promise to resolve all of the problems which are now faced by the
people. Because of this, these leaders must be given public authority to
give instructions, gather people together along with making protests when
the government acts arbitrarily and forbid the people from taking action
if it will later damage the people themselves. This political leadership
must have a program which truly addresses the problems faced by the
people, so that the people can easily follow their requests. Politically
this will mean raising the bargaining position of the people in
confronting damaging government policy. This is a test for the moral
responsibility of the leaders, the consistency of the people to struggle
for their demands and at the same time as a step to save the future of
this country.

II. Council for the for Salvation of the People's Sovereignty

Represents leaders from a number of political forces within society, which
can be represented by political figures with influence or are leaders of
organisations. All of the members of this council have [a responsibility]
to uphold the agenda of struggle of all of the network of organisations
which join it.

A. Task and functions

1. Work out an economic and political program which is orientated to
improving the quality of the life the country and nation which is forward
looking;

2. Call for actions to be taken by the people to struggle for change
through all channels of communication and means of information
distribution possessed by the people's political leaders on a national
level;

3. Take the program of struggle and the practical steps to all networks of
institutions and organisations which have the same commitment;

4. Organise platforms in the framework of opening the space for political
education which is effective and injects political consciousness and
raises the political participation of the people. This can be done through
the mass media, through a curriculum of training which is in accordance
with the need to respond to the development of the objective conditions of
social life;

5. Direct the political actions of the people toward an effort to carrying
out change, beginning with the smallest steps, by the formation of places
for the people's aspirations as a creation of the people's sovereignty to
control the implementation of government life.

B. Program of struggle

1. A succession and democratic mechanisms to elect a new president and vice
president;

2. An investigation in to the wealth of government officials and their
families;

3. The withdrawal of the five repressive political laws (4);

4. A change in the system of government to make it possible for the
political parties to enter the cabinet;

5. Wipe out corruption, collusion and the conglomerates, toward an
economic system which is clean and for the people;

6. Reduce the social and political role of the armed forces and the
abolition of the Dual Function (5) of the armed forces. The military's
social and political role be carried out through a military representative
in the MPR (6) in a composition that is just and proportional;

7. A reduction in prices of essential items;

8. Upholding the basic principles of human rights in accordance with the
Universal Declaration of Human Rights.

C. Basic program

1. Broaden the participation (support) of [social] figures and demand
moral responsibility of leaders/figures to actively join in thinking about
and playing an active role in carrying out improvements is all aspects of
social life;

2. Campaign openly and broadly for the formation of a national political
leadership which can lead the political and economic reform;

3. Launch a petition or support action for the national political
leadership and give a full mandate to take actions which are considered to
be needed;

4. Put pressure on the government to make policies as worked out by the
Council which are supported by the broad united strength of the people and
direct it to political levels which are effective to raise the bargaining
position of the people;

5. Encourage the people to form coalitions or bodies to independently
monitor policies with the task of controlling and organising a social life
which is democratic and clean as the creation of a people's sovereignty at
the practical level.

Jakarta, January 6, 1988

Nur Hikmah, Sekretaris Jendral KNPD

Jl. Kerja Bakti No. 39 Kp. Makassar Jakarta Timur
Telephone: (021) 800 5143

Translators notes:

1. SBSI: Serikat Buruh Sejahtra Indonesia, Indonesian Trade Union
for Prosperity. PUDI: Partai Uni Demokrasi Indonesia, Indonesian
United Democratic Party. PRD: Partai Rakyat Demokratik, Peoples
Democratic Party.

2. SARA: Suku, agama, ras dan antar golongan, An acronym meaning
ethnic, religious, racial and inter-group conflicts. A loosely
defined term with negative connotations, it is frequently used by
the regime to describe conflicts which are deemed to threaten
"national unity" or "stability" and are at odds with the state
ideology of Pancasila and the concept of "unity in diversity".

3. Situbondo, Tasikmalaya, Pontianak and Sanggau Ledo are
locations where there was mass rioting in 1996 and 1997.

4. The five repressive political laws were passed in 1985. They
allow only three recognised political parties; ban party activity
from villages and small towns; allow for the government
appointment of 575 non-elected members (75 representing the
military) to the People's Consultative Assembly (MPR); impose a
single state-defined ideology on all social, political and
cultural organisations; and gives the state the right to
intervene in the internal affairs of organisations.

5. Dwi Fungsi refers to an official state doctrine that the Armed
Forces (ABRI) has a dual function, namely military defence of the
nation and a political role in all civilian affairs.

6. MPR: Mejalis Permusyawaratan Rakyat, People's Consultative
Assembly. The highest legislative body in the country with 1,000
members, 425 of whom are elected with the remainder being
appointed by the president. It meets once every five years
(usually around a year after the general elections) to hear an
outgoing report from the president, enact the Broad Outlines of
State Policy (Garis Besar Haluan Negara, GBHN) and to vote on
nominations for the president and vice-president. The next
session of the MPR will be held in March 1998.

[Translated by James Balowski, ASIET Publications and Information
Officer]


*************************************

Kompas Online
Rabu, 14 Januari 1998
_________________________________________________________________

Dukungan terhadap Mega Harus Realistis



Jakarta, Kompas

Dukungan terhadap pencalonan Megawati sebagai Presiden RI harus
realistis. Di satu sisi, pencalonan Megawati memang penting, karena
hal itu menunjukkan adanya sebagian masyarakat Indonesia yang
menginginkan presiden baru. Namun, di sisi lain harus dilihat bahwa
kemungkinan itu sulit diwujudkan karena orsospol mayoritas, Golongan
Karya, telah mencalonkan Presiden Soeharto.

Demikian dikemukakan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman
Wahid kepada Kompas, Selasa, mengenai pencalonan Megawati. Hal senada
juga dikemukakan secara terpisah oleh Menhankam Edi Sudradjat dan
Mendagri Yogie SM yang ditemui wartawan seusai Rakor Polkam, Menpen
Hartono dan Ketua Umum Depinas (Dewan Pimpinan Nasional) SOKSI
Suhardiman.

Menurut Gus Dur, pihaknya memang mendukung pendapat dan pencalonan
Megawati. "Benar, saya mendukung pendapat Mega maupun pencalonannya.
Tapi dukungan itu harus realistis. Apakah Mega akan bisa menduduki
kursi presiden, kelihatannya tidak akan mungkin, karena Golkar sudah
mencalonkan Pak Harto," kata Gus Dur.

Meski demikian, lanjutnya, pencalonan Megawati memiliki nilai penting
karena hal itu menunjukkan bahwa 30 juta rakyat Indonesia punya
keinginan memiliki presiden yang lain. "Tapi apakah ini bisa mengatasi
keinginan MPR yang didukung sebagian rakyat di luar 30 juta itu? Apa
pun yang diputuskan MPR kita harus mematuhinya," ujarnya.

Hak warga

Menhankam Edi Sudradjat mengatakan, setiap warga negara mempunyai hak
untuk menjadi calon presiden maupun wakil presiden namun harus melalui
mekanisme dan aturan yang berlaku. Jika semuanya sudah melalui
mekanisme dan ketentuan yang benar maka apa pun hasilnya semua pihak
harus menerimanya.

Menurut Edi, Megawati bisa saja mencalonkan dirinya asalkan
disampaikan melalui proses dan mekanisme yang berlaku yaitu melalui
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Itu berlaku untuk setiap warga
negara," katanya.

Ditanya soal kesiapannya memimpin bangsa, Edi mengatakan jawaban
serupa itu. "Semua juga bisa. Anda juga bisa, tetapi harus lewat
mekanisme yang ada," katanya. "Tetapi Bukankah Pak Edi termasuk satu
tokoh terbaik bangsa ini?" tanya pers. "Yang benar aja?," kata Edi
sambil tertawa.

Menurut Menhankam, semua pihak harus menjunjung tinggi proses
kehidupan berkonstitusi. "Semua ada ketentuan dan peraturannya. Mari
kita pegang bersama. Insya Allah semuanya akan berjalan dengan baik,"
ujarnya.

Wartawan juga menanyakan soal banyaknya dukungan terhadap dirinya
untuk menduduki kursi pimpinan nasional, terutama sebagai wakil
presiden. Menurut Edi, semua pihak juga banyak (mendapat dukungan).
Jika MPR memilihnya apakah dirinya siap? tanya pers."Kalau prosedur
dan mekanismenya benar, apa pun hasilnya maka semua pihak harus
terima," jawab Edi.

Menurut Mendagri Moh Yogie S Memet yang memimpin Rakor Polkam, soal
kesiapan Megawati Soekarnoputri itu sama sekali tidak dibahas dalam
rakor tersebut. "Sama sekali tidak dibahas. Maklum kita sedang ditimpa
gejolak ekonomi dan moneter," katanya.

Walaupun rakor tidak membahasnya, sebagai Mendagri, Yogie mengatakan
langkah yang dilakukan Mega wajar-wajar saja. "Itu wajar saja. Saudara
juga bisa (mencalonkan) jika ingin. Boleh-boleh saja, namun lewat
perundang-undangan yang mana?" katanya.

Ke F-PDI

Menteri Penerangan R Hartono mengemukakan, kehendak Megawati
mencalonkan diri sebagai Presiden 1998-2003 seyogianya disampaikan
kepada Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI). "Kalau memang mau
mencalonkan diri, dan memang sebagai anggota PDI, silakan mengajukan
diri kepada F-PDI," ujarnya kepada wartawan usai Rapat Panitia Ad Hoc
I (PAH) Badan Pekerja MPR.

Menurut Hartono, mekanisme dan konstitusi yang mengatur pencalonan
presiden telah ada. "Harus masuk ke fraksi dan disampaikan melalui
fraksi. Fraksi akan meneliti apakah dia pantas atau tidak sebagai
calon dari fraksi. Itu mekanismenya," tegas mantan KSAD ini. Oleh
karena itu, tambahnya, tidak semua orang bisa dengan mudah menyatakan
mencalonkan dirinya menjadi calon presiden.

Sementara itu, Ketua Umum Depinas SOKSI Suhardiman dengan tegas
menyatakan keyakinannya bahwa Megawati tidak akan menjadi presiden.
"Saya sangat yakin Megawati tidak akan menjadi presiden," katanya.

Suhardiman mengakui dalam perkembangan Demokrasi Pancasila saat ini,
kesediaan Megawati tampil memimpin bangsa mencerminkan kemajuan dan
keterbukaan nasional. "Irigasi" politik yang semula tersumbat kini
telah dibuka.

"Memang, di balik keterbukaan itu kita sering mendengar
pernyataan-pernyataan Megawati dan Amien Rais. Namun saya yakin, kedua
beliau itu tidak akan jadi presiden. Sebab, sesuai mekanisme MPR,
pencalonan presiden atau wakil presiden harus melalui fraksi," ungkap
Suhardiman.

Dikatakan, sebagai mantan Ketua Umum DPP PDI sewajarnya bila Megawati
mendapat dukungan dari F-PDI di MPR. "Sebab itu fraksi terdekat dengan
dia. Tapi gelagatnya F-PDI tidak mencalonkannya," ujar Ketua Umum
Depinas SOKSI.

Suhardiman menilai pernyataan mencalonkan diri merupakan rekayasa
politik Megawati. "Rekayasa itu tujuannya untuk mensosialisasikan agar
Pak Harto tidak dicalonkan lagi menjadi presiden oleh fraksi-fraksi di
MPR," katanya. (ush/ely/myr)


*************************************
From: "Agus Pribadi" <
>
To:
Subject: "Megawati"perlu turun ke jalan
Date: Sun, 11 Jan 1998 21:36:39 PST

Saya mengharapkan mbak Megawati bersedia turun kejalan dengan jalan kaki
ke DPR/MPR menyampaikan petisi " Menolak Soeharto untuk ke 7 kalinya
menjadi Presiden". Saya yakin kalau mbak Megawati sendiri yang memimpin
turun ke jalan, Suharto pasti akan segera kabur dari Bumi Indonesia.
Saatnyalah kita melakukan aksi turun kejalan karena hanya melalui Mbak
Megawati Soekarno Putri sajalah rakyat Indonesia akan bangkit kembali
rasa nasionalisme dan rasa Patriotismenya. Tugas mulia mbak megawati
untuk membangkitkan Moril bangsa Indonesia, Moril rakyat yang dibelenggu
ketakutan pemerintah Orde Baru.
Dan untuk rakyat dan Bangsaku yang tertindas oleh pemerintah orde baru
AYO NYALAKAN API DIDADA....Hancurkan Orde Baru
BEBASKAN BELENGGU JIWA.

HIDUP BUNG KARNO.....HIDUP BUNG HATTA...
HIDUP MARSINAH.......HIDUP UDIN........

HIDUP MEGAWATI..... HIDUP RAKYAT....HIDUP BURUH...!!!!!

TURUN JALAN MBAK MEGA ADALAH MORIL RAKYAT,
KEMENANGAN MBAK MEGA ADALAH KEMENANGAN RAKYAT
Salam Untuk Bangsaku-Salam untuk Rakyatku.

Sekarang ABRI bukan pahlawan Rakyat,
ABRI bukan milik rakyat,

Yalothong

***


Kembali ke halaman pembuka (Back to the Welcome Site)


© 1996 - 1998 M[email protected]
Last Update on 17.02.1998



Ketua DPP PDI Perjuangan

'Politik'| 'API Berlin'| 'MPR/DPR'| 'Balitbang'| PDI| Komnas| KNPD| Support|Saran|

|