Homepage

PDI Megawati Soekarnoputri on the Internet

| 'Sara-1' | 'Sara-2' | 'Sara-3' | 'Sara-4' | 'Sara-5' | 'Sara-6' |
Homepage Racism against Chinese in Indonesia



*************************************

[email protected]
Sun, 8 Feb 1998 18:52:15 -0700 (MST) 


Subject: Akar Masalah Sentimen Anti Cina - bagian 1
Date: Sun, 08 Feb 1998 10:13:47 PST
From: "wong chin na" ([email protected])
To: [email protected]

Subject : Akar Masalah Sentiman Anti Cina - Bagian 1

Oleh : DR.Wong Chin Na, SE, Ak, MBA

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air. 

Polemik masalah Cina di forum Apakabar dewasa ini, telah berkembang 
menjadi tulisan-tulisan yang sifatnya menghasut, baik yang ditulis oleh 
kalangan pribumi maupun yang ditulis oleh keturunan Cina sendiri. 
Tulisan-tulisan seperti ini sangat berbahaya dan mudah dimanfaatkan oleh 
unsur-unsur tertentu untuk mengacaukan persatuan dan kesatuan bangsa 
Indonesia. Kalau kita tidak ingin negara kita bertambah kacau, marilah 
kita secara sadar berusaha mencegah timbulnya kekacauan yang lebih parah 
dengan cara menghentikan tulisan yang tak tentu arahnya tersebut dan 
merubahnya menjadi suatu diskusi yang sehat yang didasari oleh suatu 
tujuan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk memojokkan salah satu pihak, tetapi 
ingin mengemukakan suatu hasil analisis yang ditinjau dari berbagai 
sudut pandang yang berkaitan dengan ruang lingkup berbangsa dan 
bernegara. Mohon tanggapan dari pihak-pihak yang kompeten baik dari 
kalangan pribumi maupun non pribumi, untuk secara dewasa mengusahakan 
bagaimana mengatasi masalah sentimen rasial ini demi mencegah timbulnya 
kerugian yang tidak perlu dari kedua belah pihak. Pihak yang kompeten 
untuk mengatasi masalah ini adalah mereka yang saat ini menjadi pemimpin 
suatu organisasi masa, tokoh-tokoh masyarakat, dosen-dosen, mahasiswa, 
dan anggota masyarakat yang mempunyai cita-cita luhur tehadap persatuan 
dan kesatuan bangsa. Pihak-pihak yang sekedar ingin mengumbar rasa 
ketidak puasannya, dimohon dengan hormat untuk tidak membuat 
tulisan-tulisan yang akan memperparah situasi yang sudah rawan ini. 

DEMOKRASI DAN SENTIMEN ANTI CINA 
Berdasarkan pengalaman saya selama ini yang mengalami hidup dalam 2 
rejim yang berbeda, Orde Lama dan Orde Baru, akar permasalahan sentimen 
anti Cina terletak pada pemerintah sendiri. Pada masa pemerintahan Bung 
Karno, walaupun hidup kita secara ekonomi relatif susah, tetapi 
kehidupan politik masyarakat saya rasakan lebih demokratis dibandingkan 
masa pemerintahan Pak Harto sekarang ini yang cenderung diskriminatif 
dan korup. 

Pada masa pemerintahan Bung Karno, cukup banyak warga keturunan Cina 
yang duduk dalam pemerintahan, menjadi anggota ABRI, bahkan beberapa di 
antaranya menjabat sebagai menteri. Keadaan sosial ekonomi warga 
keturunan Cina saat itu tidak terlalu jauh berbeda dengan kehidupan 
ekonomi masyarakat pribumi sekitarnya, sehingga pergaulan antara pri dan 
non-pri lebih seimbang sebagai kawan yang sederajat daripada hubungan 
sebagai "atasan dan bawahan" yang banyak ditemukan di kota-kota besar 
sekarang ini. Hubungan yang seimbang sebagai kawan sederajat sekarang 
ini hanya dapat ditemukan di desa-desa atau kota-kota kecil, di mana 
kehidupan kedua belah pihak sama-sama marjinal.

Saat itu, walaupun sentimen anti Cina tetap ada tetapi tidak sampai 
mencuat ke permukaan secara terbuka seperti sekarang. Pernah terjadi 
kerusuhan pada tahun 1962/1963, namun pemerintah cq ABRI saat itu 
langsung bertindak, para pelakunya segera ditangkap dan diadili sehingga 
tidak memancing orang lain untuk "unjuk gigi" sebagai pahlawan 
kesiangan. Para pencoleng yang menyamar sebagai demonstran segera 
ditangkap untuk diadili sebagai pencuri, berbeda dari hukuman terhadap 
para penggerak demonstran murni yang bersifat politis yang umumnya 
disponsori oleh golongan fundamentalis Islam seperti DI/TII. Sepanjang 
yang saya ketahui, kerusuhan yang terjadi tidak sampai membakar 
toko-toko dan mobil apalagi sampai menelan korban jiwa.

Sepanjang masa pemerintahan Pak Harto tidak pernah terdengar seorang 
warga keturunan Cina yang menduduki jabatan di pemerintahan, sangat 
langka yang diterima menjadi anggota ABRI, apalagi yang diangkat sebagai 
menteri. Bahkan pejabat-pejabat pemerintahan sampai eselon tertentu 
cenderung di dominasi salah satu suku yang ada di Pulau Jawa, hanya 
satu-dua yang berasal dari luar Jawa. Sebagai pembenaran atas ketidak 
benaran yang terjadi, diperkenalkan teori proporsional oleh orang-orang 
tertentu yang saat ini memegang jabatan penting di pemerintahan, yang 
intinya tidak berbeda dengan meniupkan rasialisme di antara suku-suku 
yang ada di Indonesia. Tindakan pemerintah terhadap para pelaku 
kerusuhan atas warga keturunan Cina yang cenderung ditutup-tutupi, sudah 
kita ketahui bersama dan tidak perlu diuraikan lebih jauh dalam tulisan 
ini.

MUSUH BERSAMA.
Dari sini dapat diambil suatu dugaan kuat bahwa terdapat korelasi erat 
antara pemerintah yang demokratis dengan sentimen anti rasial, khususnya 
sentimen anti Cina di Indonesia. Dalam pemerintahan yang tidak 
demokratis, pemerintah cenderung untuk menciptakan "musuh bersama" 
sebagai salah satu strategi untuk mengalihkan perhatian masyarakat, agar 
pemerintah yang berkuasa bebas dari "rongrongan" pihak-pihak yang tidak 
sejalan. Sejak awal Orde baru, pemerintahan Pak Harto juga cenderung 
bermuka dua, di mana secara administratif pemerintah tetap membedakan 
warga pribumi dan non pribumi dengan alasan yang macam-macam, tetapi 
dalam pidato-pidato resmi pemerintah menyatakan tidak pernah membedakan 
warga negara berdasarkan keturunannya. Hal yang sama berlaku juga untuk 
agama yang harus dicantumkan dalam KTP masing-masing, yang sudah pasti 
ada maksud tertentu daripada hanya sekedar data statistik semata-mata.

Demikian juga dengan kampanye anti korupsi, di mana yang paling gencar 
berkampanye justru orang yang paling rakus melakukan korupsi dan 
komersialisasi jabatan. Agar uang hasil korupsi tidak dapat ditelusuri 
asal-usulnya, sebagian di tanam di bank-bank luar negeri, sebagian lagi 
di investasikan dalam perusahaan. Karena dasarnya para koruptor ini 
tidak pernah mengerti business, diangkatlah orang-orang keturunan Cina 
yang cukup berpengalaman dalam business sebagai bonekanya. Dengan cara 
ini, maka orang-orang keturunan Cina dicap sebagai tukang kolusi, dan 
terciptalah "musuh bersama" sebagai bagian dari strategi mempertahankan 
pemerintahan yang berkuasa sekaligus memperkokoh kekayaan pribadi. 

Usulan dari pihak-pihak tertentu untuk memasukkan azas pembuktian 
terbalik dalam UU Perpajakan yang sekaligus dapat mengusut sumber 
kekayaan yang dimiliki seseorang, ditolak mentah-mentah oleh pihak yang 
berkuasa dengan alasan yang tidak masuk akal. Penolakan ini dapat 
dimengerti, karena tidak beda dengan membuat jebakan untuk dirinya 
sendiri. Dengan azas pembuktian terbalik, maka uang hasil korupsi yang 
tidak pernah dibayar pajak penghasilannya otomatis akan terjerat. 

EVOLUSI BOSS BONEKA.
Orang-orang keturunan Cina yang dijadikan boneka tahu, bahwa dia 
sebenarnya hanya dijadikan boneka saja. Maka mereka juga berusaha agar 
suatu saat dapat memiliki perusahaan sendiri, dan sekaligus melepaskan 
diri dari posisinya sebagai boneka. Dari berjalananya waktu, mereka ini 
akhirnya berhasil menempatkan diri sebagai pemilik perusahaan yang 
sebenarnya, dan dari status boneka sebagian beralih menjadi partnership. 

Dengan berkembangnya perusahaan boneka-boneka tersebut, membuka 
kesempatan kepada para pengusaha kecil untuk menjadi pemasok. 
Orang-orang keturunan Cina yang lapangan kerjanya dibatasi oleh 
pemerintah, melihat hal ini sebagai suatu peluang yang baik. Maka 
bermunculanlah pengusaha-pengusaha gurem dengan modal seadanya yang 
memasok barang ke perusahaan-perusahaan boneka tersebut. Mereka hanya 
bermodalkan kejujuran dan kepercayaan dari pemilik barang serta 
ditunjang oleh naluri dagang mereka yang cukup kuat, perjalanan business 
mereka relatif lancar dan akhirnya bisa berkembang menjadi 
perusahaan-perusahaan baru berskala menengah yang tersebar dimana-mana.

Perlu dicatat, bahwa pada dasarnya warga keturunan Cina yang dijadikan 
boss boneka adalah orang-orang yang buta politik yang sekedar mencari 
makan dan tidak pernah memikirkan diskriminasi rasial. Prinsip mereka, 
barang dari manapun akan dibeli kalau bagus dan harganya murah tanpa 
melihat pemasoknya pribumi atau non-pribumi. Para pemasok pribumi yang 
barangnya tidak dapat bersaing, melempar kekesalannya dengan mengatakan 
bahwa perusahan tersebut diskriminatif. Nalar sehat membuktikan, bahwa 
hampir semua boss kenyataannya tidak pernah berhubungan langsung dengan 
para pemasok, yang melakukan transaksi sehari-hari dengan pemasok adalah 
pegawainya yang sebagian besar adalah pribumi.

Sejalan dengan pemerataan yang diartikan secara keliru, 
pimpinan-pimpinan daerahpun meniru apa yang dilakukan oleh pemimpin 
pusat. Maka di daerahpun bermunculan pula boss-boss boneka yang sebagian 
besar warga keturunan Cina yang sudah memiliki dasar kuat dalam 
business, sekaligus memajukan pula usaha-usaha dari pengusaha-pengusaha 
gurem yang bertindak sebagai pemasok, baik pribumi maupun non pribumi. 

Kalau hanya dilihat dari sudut pandang ini, maka tidak heran kalau 
banyak warga pribumi khususnya yang kurang memahami akar permasalahan 
yang sebenarnya beranggapan bahwa para pengusaha Cina tukang kolusi. 
Dipilihnya warga keturunan Cina untuk menjadi boss boneka oleh para 
koruptor tentu melalui berbagai pertimbangan, yang utama karena 
kemampuan businessnya dan yang kedua mereka mudah diatasi serta tidak 
neko-neko karena tidak punya decking. 

Secara manusiawi warga keturunan Cina mau dijadikan boneka, karena 
mereka butuh hidup sedangkan lapangan pekerjaannya terlalu dibatasi oleh 
pemerintah. Sebaliknya orang-orang yang mau dijadikan boneka oleh para 
koruptor, adalah orang-orang yang egois yang tidak pernah memikirkan 
kepentingan orang banyak, dan otomatis mereka tidak pernah memikirkan 
kepentingan negara. Mungkin mereka berpendapat, kalau mereka menolak 
toch akan ada orang lain yang mau, jadi apa salahnya diterima. 
Orang-orang seperti ini pantas disebut tidak mempunyai rasa 
nasionalisme, termasuk pula para koruptor penyandang dana yang berada di 
balik layar.

Namun dalam hal ini perlu diingat, bahwa tidak semua pengusaha keturunan 
Cina asalnya adalah pengusaha boneka yang mengelola uang pejabat hasil 
korupsi. Masih banyak pengusaha keturunan Cina yang dari hasil 
keringatnya sendiri, mampu berkembang menjadi pengusaha besar. Para 
pemasok terhadap perusahaan boneka juga tidak dapat dituduh telah 
melakukan kolusi. Sebagai tolok ukur sederhana, dapat dipakai patokan 
skala perusahaan dan tahun pendirian perusahaan tersebut. Kalau 
perusahaan yang bersangkutan didirikan sebelum Orde baru, kemungkinan 
besar perusahaan ini adalah perusahaan yang benar-benar berdiri atas 
jerih payahnya sendiri. Sebaliknya perusahaan yang didirikan setelah 
Orde Baru terutama yang dalam waktu singkat berkembang sangat fantastis, 
kemungkinan adalah hasil kolusi dengan oknum pejabat melalui berbagai 
cara.

Secara politis pemerintah mengakui bahwa pengusaha non pribumi sengaja 
diberi fasilitas khusus mengingat kemampuan businessnya yang diharapkan 
dapat dijadikan pionir untuk memajukan perekonomian negara, yang pada 
akhirnya dapat menciptakan lapangan kerja. Memang akhirnya mereka mampu 
memberikan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat luas, namun 
sebenarnya mereka tidak pernah diberi fasilitas khusus (kecuali yang 
dijadikan boneka oleh para koruptor). Fasilitas yang tersedia akan 
diberikan kepada siapa saja, baik pengusaha asing maupun pengusaha dalam 
negeri - pribumi ataupun non pribumi - sepanjang mereka mampu memenuhi 
persyaratan yang telah ditetapkan. 

Untuk pengusaha asing disediakan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman 
Modal Asing, dan untuk pengusaha dalam negeri disediakan UU No.6 tahun 
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Beberapa pengusaha besar dari 
kalangan pribumi yang sukses antara lain Bakrie, Sahid, Jusuf Kalla, 
dsb. Fasilitas yang diberikan melalui kedua UU tersebut sebenarnya 
hal-hal yang wajar yang diperlukan dalam investasi, yang di negara lain 
tidak dianggap sebagai sesuatu yang istimewa (ingat dalam masa Orde Lama 
Indonesia tertutup untuk investasi asing dan modal besar). Tanpa 
fasilitas ini, tidak akan ada investor asing yang mau menanamkan 
modalnya di Indonesia. 

Fasilitas khusus yang sering dipublikasikan pemerintah seolah-olah 
diberikan kepada pengusaha non-pribumi, sebenarnya hanya diberikan 
secara terbatas kepada pihak keluarga sendiri seperti : Tutut, Tomy, 
Bambang, Sigit, Titik, Mamiek, Probosutedjo, dan Sudwikatmono. Ingat 
proyek jalan tol nya Tutut, monopoli cengkehnya Probosutedjo yang 
kemudian direbut Tomy, Mobnas-nya Tomy, listriknya Bambang, dan 
lain-lain yang terlalu panjang untuk diuraikan semuanya di sini.

CINA DAN STRATEGI POLITIK
Dari uraian singkat di atas, kiranya dapat diasumsikan bahwa sentimen 
anti Cina yang cukup hangat belakangan ini adalah salah satu strategi 
dari pemerintah sekarang yang di dominasi Golkar dengan korupsi dan 
nepotismenya. Untuk membersihkan Golkar dari tuduhan anti Cina; yang 
sampai sejauh ini masih diperlukan untuk mendapat bantuan dari negara 
lain, dicarilah kambing hitam agar Golkar tetap bersih dan pemerintah 
Suharto tetap berjaya. Pilihan yang terbaik adalah fanatisme agama Islam 
dan PPP.

Agama Islam yang secara tradisional selama ratusan tahun hidup 
berdampingan secara damai dengan agama lain dijadikan alat untuk 
mempercepat munculnya "musuh bersama", yang kebetulan kurang pengikutnya 
dari kalangan warga keturunan Cina. Pesantren-pesantren secara 
sistematis disusupi agen-agen pemerintah untuk menggiring murid-muridnya 
yang masih polos, menjadi anti Cina yang di-identik-kan dengan Kristen. 
Padahal penganut Kristen di Indonesia, sebagian besar adalah warga 
pribumi dari daerah Indonesia Timur, dan tidak semua warga keturunan 
Cina penganut Kristen. 

PPP sebagai wadah aspirasi politik dari kalangan Islam otomatis memikul 
dampaknya, sehingga dianggap kurang bersahabat oleh warga keturunan Cina 
dan non Islam. Tindakan brutal terhadap toko-toko milik warga keturunan 
Cina, Gereja dan Vihara sekitar Pemilu 1997 yang lalu sering dikaitkan 
dengan kampanye PPP. Padahal para petinggi PPP bukan orang bodoh untuk 
melakukan hal-hal seperti itu, yang otomatis tidak akan mendapat 
simpatik dari kalangan moderat Islam di dalam negeri maupun di luar 
negeri. Kalau diteliti lebih lanjut, tindakan brutal terhadap warga 
keturunan Cina yang silih berganti terjadi setelah terbentuknya ICMI di 
bawah pimpinan Habibie yang kader Golkar, sebelumnya tindakan brutal 
seperti itu jarang sekali terjadi.

Sayangnya PPP dalam usaha meningkatkan pendukungnya kurang tegas 
memisahkan antara anggota / pendukung yang sebenarnya dengan "pendukung 
palsu" yang ingin mendiskriditkan PPP atau mengail di air keruh. 
Tantangan Gus Dur untuk membuktikan dalang kerusuhan yang sebenarnya 
dalam peristiwa Tasikmalaya; yang sebelumnya mengkambing-hitamkan salah 
satu organisasi sosial Islam yang erat kaitannya dengan ibundanya, tidak 
pernah mendapat tanggapan dari pihak penguasa.

Dihembuskanlah isu bahwa kalau PPP sampai menang Pemilu, maka Indonesia 
akan dijadikan negara Islam dan semua warga keturunan Cina harus masuk 
Islam. Oleh karena itu dalam setiap kampanye Pemilu selalu ditekankan 
(secara tertutup) bahwa warga keturunan Cina dan kalangan non Islam 
lainnya harus memilih Golkar, kalau tidak posisi Golkar menjadi agak 
lemah dan mudah disaingi PPP. Kalau hal ini sampai terjadi, tentu akan 
menjadi bencana besar bagi warga keturunan Cina dan non Islam. Suatu 
taktik kampanye yang hebat bukan? Padahal secara logika, 3 dari 5 fraksi 
yang ada di DPR (Golkar, Utusan Daerah dan Wakil ABRI) identik dengan 
Golkar, sehingga kalaupun perolehan suara untuk ketiga kontestan Pemilu 
sama besar, Golkar akan tetap unggul di DPR / MPR karena didukung fraksi 
ABRI dan Utusan Daerah yang ditunjuk langsung oleh presiden tanpa 
melalui Pemilu.

Dengan demikian, maka aspirasi politik warga keturunan Cina hanya 
memiliki 2 alternatif, yaitu Golkar dan PDI. Sebaliknya apabila banyak 
warga keturunan Cina yang menjadi anggota PDI, maka diperkirakan PDI 
akan menjadi ancaman utama bagi Golkar, karena warga keturunan Cina ini 
diyakini akan menjadi penyumbang dana yang sangat potensial. Dengan 
dukungan dana yang kuat, maka PDI akan mampu melaksanakan berbagai 
program sosial kemasyarakatan yang akan meningkatkan simpati masyarakat 
luas. Apalagi kalau PDI dipimpin oleh Megawati yang bagaimanapun masih 
membawa karisma Bung Karno, yang sampai saat ini masih banyak mendapat 
simpati masyarakat.. 

Oleh karena itu pemerintah dengan berbagai cara berusaha memecah belah 
PDI, dan puncaknya adalah kasus Surjadi. Terhadap warga keturunan Cina 
sendiri, secara sistematis dilakukan intimidasi oleh kalangan intelijen 
AD dengan disertai ancaman. Pengusaha yang ketahuan menjadi pendukung 
PDI, diancam ijin usahanya akan dicabut. Perusahaan pendukung Golkar 
yang mempekerjakan orang-orang PDI juga diancam, sehingga sebagian 
terpaksa mem PHK nya. Salah satu contoh yang mendapat sorotan luas 
adalah Laksamana Sukardi yang (dipaksa) mengundurkan diri dari jabatan 
Direktur Lippo Bank dengan alasan yang tidak masuk akal, sekalipun dia 
bukan keturunan Cina.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi warga keturunan Cina 
untuk menampung aspirasi politiknya selain Golkar. Dengan dukungan dana 
dari para pengusaha besar keturunan Cina (sebagian adalah milik mereka 
juga dan yang bukan milik mereka dalam prakteknya dipaksa) maka Golkar 
menjadi tak tertandingi oleh partai-partai lain. Pengusaha-pengusaha 
keturunan Cina yang rakus, otomatis akan memanfaatkan hal ini dengan 
meminta proyek-proyek baru dari pemerintah untuk menutup kerugian dana 
yang disumbangkan ke Golkar. Sumbangan ke Golkar ini akhirnya 
berlangsung secara rutin dan berkembang menjadi sumbangan ke 
pribadi-pribadi pejabat dari berbagai eselon, dan terciptalah kolusi 
yang bagaikan lingkaran setan yang disebut-sebut sebagai penyebab 
timbulnya ekonomi biaya tinggi.

Dalam hal ini perlu ditekankan sekali lagi, kolusi ini hanya terjadi di 
kalangan pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang rakus saja yang dengan 
tekhnik kolusinya mampu berkembang menjadi pengusaha besar, tetapi 
jumlahnya hanya puluhan perusahaan saja. Masih banyak 
pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang yang jujur, yang karena 
kejujurannya usahanya tidak berkembang sepesat pengusaha yang rakus, 
sehingga tidak masuk nominasi sebagai penyandang dana Golkar. Bahkan ada 
beberapa di antaranya yang rela menjual perusahaannya, karena tidak 
tahan menghadapi pemeras-pemeras berdasi. Contoh yang cukup menghebohkan 
adalah dijualnya Bank Niaga milik keluarga Tahija yang sebenranya cukup 
sehat, kepada seorang pengusaha yang mempunyai akses kuat ke pucuk 
pimpinan negara. Padahal Tahija juga bukan keturunan Cina.

Meskipun demikian, di dalam tubuh Golkar sendiri pasti banyak 
orang-orang jujur dengan jiwa nasionalisme yang tinggi yang menginginkan 
kemajuan bangsa dan negara Indonesia, tanpa bercita-cita menumpuk 
kekayaan pribadinya. Mereka inilah sebenarnya yang sangat potensial 
untuk melakukan pembenahan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Seperti 
apa yang dikatakan Harmoko, pencalonan diri Amien Rais dan Megawati 
sebagai presiden dalam SU-MPR yang akan datang di luar sistem yang 
berlaku, sekalipun mereka juga mendapat dukungan rakyat. Maka secara 
konstitusional mustahil Amien Rais dan Megawati dapat mencalonkan diri 
menjadi presiden. 

Tetapi kalau yang mencalonkan diri anggota Golkar sendiri yang saat ini 
duduk di DPR/MPR, masalahnya menjadi lain dan Harmoko tidak dapat lagi 
mengatakan bahwa hal ini di luar sistem yang berlaku (yang sampai 
kapanpun tidak mungkin dirubah untuk memberikan kesempatan pada Amien 
Rais dan Megawati mencalonkan diri menjadi presiden). Oleh karena itu 
selama Pak Harto masih berkuasa, tidak heran kalau ada pejabat yang 
jujur dan berprestasi selalu dipensiunkan lebih awal atau disingkirkan 
sebagai Dubes, karena dikhawatirkan akan banyak pendukungnya. 

Penempatan sang menantu sebagai Komandan Kopassus diduga untuk mencegah 
segala kemungkinan, mengingat Kopassus yang dulu masih bernama RPKAD 
adalah faktor kunci yang mendukung keberhasilan perjuangan Angkatan 66. 
Sikap prefentif ini juga tampak jelas dari berita terakhir mengenai 
Sofyan Wanadi yang dijadikan kambing hitam oleh Feisal Tanjung, karena 
dia terang-terangan menolak memberikan sumbangan ketika dihubungi pak 
kumis. Beberapa tokoh Angkatan 66 kawan seperjuangan Sofyan Wanadi, 
terang-terangan membela dia karena mereka sudah tahu dengan jelas sampai 
di mana jiwa nasionalisme Liem Bian Koen yang Cina ini. 

Keluarga Amir Biki yang sakit hati terhadap Benny Moerdani dalam 
Peristiwa Tanjung Priuk, diperalat untuk menjatuhkan Sofyan Wanadi yang 
dekat dengan Benny Moerdani. Liem Sioe Liong yang tidak ada hubungan 
apapun juga turut dilibatkan. Tidak heran kalau ada beberapa radio luar 
negeri menyebutkan hal ini hanya rekayasa Faizal Tanjung semata-mata 
untuk membalas dendam terhadap Benny Moerdani Cs yang pernah 
menyingkirkannya semasa menjabat sebagai Pangab.
Bersambung ke bagian 2.

******************************************

Received on Thu Feb 12 03:49:40 MET 1998


Subject: Akar Masalah Sentimen Anti Cina - bagian 2
   Date: Mon, 09 Feb 1998 18:04:50 PST
   From: "wong chin na" ([email protected])
     To: [email protected]

Subject : Akar Masalah Sentiman Anti Cina - Bagian 2
        
Oleh : DR.Wong Chin Na, SE, Ak, MBA

KRISIS MONETER.
Krisis moneter adalah sesuatu yang wajar yang terjadi di negara manapun, 
apabila kondisi keseimbangan pasar (equilibrium) dalam bidang moneter 
negara bersangkutan terganggu. Secara teoritis, apabila penerimaan dan 
pengeluaran negara kita (ke negara lain) sama, maka nilai tukar rupiah 
terhadap US$ akan tetap nilainya. Rupiah akan menguat jika penerimaan 
negara kita lebih besar dari pengeluarannya (surplus), sebaliknya rupiah 
akan melemah jika penerimaan negara kita lebih kecil dari pengeluarannya 
(defisit).

Dalam batas tertentu, pembelian barang-barang modal (mesin-mesin) dari 
luar negeri meskipun untuk sementara mengakibatkan defisit dapat 
diterima, dengan catatan barang-barang modal tersebut dalam batas waktu 
yang wajar dapat menghasilkan barang yang sebelumnya harus diimpor, 
dengan harga yang lebih murah. Keuntungan yang diperoleh, meskipun 
diterima oleh pihak swasta, secara makro merupakan penghematan devisa 
bagi negara kita yang sebelumnya dinikmati oleh negara lain. 

Contoh yang saya anggap cukup berhasil dalam hal ini adalah produk 
tekstil. Dengan kwalitas yang cukup baik dan harga yang kurang dari 
separuh tekstil impor, maka tanpa disuruhpun rakyat akan lebih suka 
membeli tekstil produk dalam negeri daripada tekstil impor yang mahal. 
(Catatan: sayangnya industri tekstil di Indonesia akhirnya menjadi 
bumerang bagi negara kita sendiri, akibat salah urus yang parah dan 
pengusahanya lebih mementingkan kekayaan pribadi daripada pengembangan 
perusahaan.)

Keuntungan yang diperoleh dari subsitusi barang impor, dipakai untuk 
mencicil utang pembelian barang modal yang memproduksi barang tersebut. 
Setelah lunas, keuntungan ini menjadi cadangan devisa bagi negara kita. 
Jadi secara keseluruhan, pengeluaran negara kita akan berkurang sehingga 
akan meningkatkan surplus atau mengurangi defisit. Dengan demikian nilai 
tukar rupiah akan menguat terhadap US$. 

Sebaliknya, apabila perusahaan yang mengimpor barang modal ini tidak 
dapat bekerja secara efisien, maka barang yang dihasilkan lebih mahal 
dari harga impor sehingga tidak mampu bersaing di pasaran. Akibatnya 
impor barang yang sama akan tetap berlangsung. dan perusahaan yang 
bersangkutan akhirnya bangkrut. Secara macro, bangkrutnya perusahaan ini 
akan memboroskan devisa negara dan akhirnya menambah defisit neraca 
pembayaran. Contohnya dalam hal ini adalah produk otomotif dalam negeri 
yang jauh lebih mahal dari mobil impor.

Kalau impor barang modal ini dari tahun ke tahun terus bertambah besar 
tanpa perhitungan yang matang, sekalipun masing-masing perusahaan yang 
mengimpornya mampu menghasilkan barang yang dapat bersaing dengan produk 
impor, suatu saat akumulasi cicilan hutang atas barang modal tersebut 
mencapai jumlah yang jauh lebih besar dari devisa yang dapat dihemat. 
Kondisi seperti ini bukan menghemat devisa, tetapi malahan memboroskan 
devisa. Analog dengan ini dapat diibaratkan suatu keluarga yang membeli 
sebuah minibus bekas seharga Rp 10 juta secara cicilan untuk dipakai 
bersama-sama, agar menghemat biaya tranportasi sehari-hari. Biaya 
transportasi yang dihemat dipakai untuk membeli bensin dan membayar 
cicilan minibus tersebut. Bayangkan kalau minibus tersebut setelah lunas 
diganti dengan Pajero seharga Rp 200 juta, apa keuangan keluarga 
tersebut tidak terkuras habis?

Keadaan ini akan bertambah parah apabila rakyat dicekoki terus setiap 
hari melalui iklan TV untuk membeli barang-barang mewah ex impor. Makan 
buah-buahan impor dianggap lebih bergengsi dibandingkan buah-buahan 
lokal, padahal kandungan vitamin di dalamnya relatif sama. Banyak 
orang-orang kaya yang hanya untuk menunjukkan eksistensi dirinya, khusus 
mengimpor bahan-bahan bangunan untuk istana yang sedang dibangunnya. 
Ibadah Haji dijadikan komoditi business tersendiri, sehingga banyak 
rakyat kecil di pedesaan dan pinggiran kota yang jatuh miskin setelah 
pulang Haji. Dalam ajaran Islam, ibadah Haji wajib bagi yang mampu 
(kaya), tetapi tidak dianjurkan kalau untuk ibadah Haji tersebut harus 
menjual sawah atau kebun yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Tanah 
miliknya langsung berpindah tangan ke pengusaha properti yang didukung 
pejabat tertentu, dan secara tidak sadar mereka telah turut memboroskan 
devisa negara.

Para pejabat pemerintah yang berwenang dalam soal impor atau Depag tentu 
tahu hal ini, tetapi tidak ada usaha yang sungguh-sungguh untuk 
mencegahnya, karena pribadinya diuntungkan melalui berbagai macam cara. 
Di antaranya karena perusahaan importir tersebut sebagian milik 
keluarganya sendiri, atau pejabat bersangkutan mendapat komisi yang 
cukup besar. Uang komisi dan hasil korupsi lainnya agar aman disimpan di 
luar negeri, dan akibatnya menambah beban pengeluaran devisa negara.

Inilah sebenarnya faktor utama terjadinya krisis moneter di Indonesia. 
Apabila pada masa krisis moneter ini banyak orang yang memburu dolar dan 
mengirimkannya ke luar negeri, itu hanya sekedar ekses dari keadaan 
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Meskipun ditinjau dari segi 
nasionalisme hal seperti ini merupakan perbuatan tercela, tetapi 
tindakan ini secara manusiawi - tanpa melihat pribumi atau non pribumi - 
adalah sekedar usaha manusia untuk menyelamatkan harta kekayaannya. 
Akibat yang terjadi, krisis rupiah bertambah parah, jauh di atas 
kewajaran secara teori ekomoni dan moneter.   

Bantuan IMF dengan berbagai saran-sarannya yang memberatkan negara kita, 
lebih diterima oleh pemerintah daripada saran-saran yang dikemukakan 
akhli-akhli bangsa Indonesia sendiri. Para penguasa negara lebih rela 
negara kita secara tidak langsung dikuasai oleh bule-bule daripada oleh 
bangsa sendiri yang tidak sehaluan. Kenyataannya sampai sejauh ini IMF 
hanya membantu sebesar $ 3 milyar dari $ 23 milyar yang dijanjikan. Maka 
timbullah gosip-gosip yang silih berganti yang intinya menjurus kepada 
timbulnya kekacauan masal dan penggantian pemerintahan yang sudah sejak 
lama tidak mendapat dukungan rakyat akibat berbagai macam kebohongan 
yang ditimbulkan sendiri.

Krisis moneter seperti ini, merupakan peluang bagi kalangan tertentu 
untuk memperkokoh keberadaan "musuh bersama", yaitu warga keturunan Cina 
dengan segala sepak terjangnya di dunia business, yang di isukan sebagai 
penyebab timbulnya krisis moneter di Indonesia. Dengan cara ini maka 
"musuh bersama" yang sebenarnya dapat tidur nyenyak di atas tumpukan 
dolarnya. 

KREDIT MACET. 
Salah satu pelaksanaan dari sekian banyak usulan IMF, adalah mergernya 
beberapa bank pemerintah dan dibentuknya lembaga keuangan khusus yang 
menangani kredit macet. Bukan rahasia lagi kalau kredit macet di 
bank-bank pemerintah sebagian besar adalah kredit dari perusahaan 
anak-anak presiden dan anak-anak pejabat tinggi lainnya, atau 
perusahaan-perusahaan di mana mereka turut terlibat di dalamnya termasuk 
perusahaan milik warga keturunan Cina. 

Kalau atas desakan IMF kredit macet ini harus segera diseret ke 
pengadilan, perhatian international semua akan tertuju kepada mereka. 
Oleh karena itu diterapkan taktik tarik-ulur sambil menunggu mereka 
dapat menyelesaikan kredit macetnya. Kredit macet dapat diatasi kalau 
mereka dapat menemukan sumber uang yang cukup besar. Dengan sedikit 
pengetahuan soal moneter, sumber uang segera ditemukan melalui krisis 
moneter yang menimbulkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap US$ yang 
cukup besar.

Kalau kita menutup dolar pada saat kursnya turun, dan melepas kembali 
pada saat kurs naik otomatis kita akan mendapat keuntungan. Kalau ini 
dapat terjadi dalam 10 kali, dan setiap kali untung Rp.1.000,- per US$, 
maka dengan bermain US$ 100 juta saja kita akan mendapat keuntungan Rp.1 
triliun. Makin besar modal yang dipakai akan makin besar dan makin cepat 
keuntungan yang didapat untuk menutup kredit macet. Hanya masalahnya 
kita tidak tahu kapan dolar akan turun dan kapan akan naik, kecuali kita 
punya uang yang sangat besar seperti Soros sehingga mampu mempermainkan 
nilai tukar rupiah terhadap US$. 

Orang yang mempunyai kemampuan seperti Soros di Indonesia rasanya tidak 
ada, tetapi lembaga yang mempunyai kemampuan seperti itu ada yaitu Bank 
Indonesia. Kalau Soros bertindak demikian disebut spekulasi yang 
tujuannya untuk kepentingan pribadi, kalau BI yang bertindak disebut 
intervensi meskipun mekanismenya sama karena BI bertindak demi 
kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Kalau anda mempunyai kekuasaan 
untuk mengatur BI, apa bedanya dengan Soros meskipun anda tidak punya 
uang? Anda bisa menyuruh anak-anak anda untuk membeli dan menjual dolar 
pada saat yang tepat.

Skenario ini harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan 
kecurigaan pihak lain, sampai anak-anak anda cukup mendapat keuntungan 
untuk menutup kredit macetnya. Mengingat efek dari sekenario ini sangat 
berbahaya bagi perkeonomian Indoneisa, nilai tukar rupiah harus diatur 
tidak terlalu tinggi - kurang lebih dua kali harga yang wajar, oleh 
karena itu kurs rupiah terhadap dolar bertahan agak lama pada level 
Rp.6.000 - Rp.7.500 . Selain itu agar semua skenario dapat berjalan 
lancar, perlu dicari kambing hitam yaitu warga keturunan Cina dengan 
segala sepak terjangnya di dunia business dan sudah terbukti cukup kuat 
memerankan kambing hitam dalam berbagai keperluan. Singapore dengan 
mayoritas penduduknya keturunan Cina, juga dapat dipakai untuk lebih 
menghitamkan kambing hitam yang ada.

Hutang-hutang perusahaan swasta kepada pihak luar negeri, dipakai 
sebagai alat untuk menyebarkan isu bahwa kelangkaan dollar akibat 
diborong pihak swasta untuk membayar hutang-hutangnya yang jatuh tempo. 
Perusahaan swasta di mata orang awam adalah milik warga keturunan Cina, 
jadi yang memborong dolar tidak lain keturunan Cina. Fakta yang ada di 
mana banyak perusahaan milik warga keturunan Cina yang mendapat kredit 
dari negara lain, membuat orang awam makin terbuai. Jika dilihat dari 
banyaknya perusahaan mungkin benar, tetapi dilihat dari jumlah uangnya 
tidak ada yang tahu yang mana sebenarnya yang lebih besar : jumlah 
seluruh hutang swasta non-pribumi atau hutang yang dibuat oleh group 
Cendana plus anak-anak pejabat lainnya. Dengan demikian pihak yang dapat 
mengatur naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa tidur 
nyenyak di atas tumpukan dolarnya sedang yang kena getahnya warga 
keturunan Cina. Supaya lebih dramatis, dicetuskan Gerakan Cinta Rupiah, 
di mana pelopornya langsung di-expose semua saluran TV dan dinobatkan 
sebagai pahlawan.

Bagi yang mengerti akuntansi dan management keuangan, isu hutang dolar 
yang jatuh tempo dianggap lelucon yang tidak lucu. Memangnya hutang 
dolar ke pihak luar negeri semuanya jatuh tempo pada tahun 1997 dan 
tahun sebelumnya tidak ada hutang dolar yang jatuh tempo? Kenapa 
tahun-tahun sebelumnya tidak ada masalah dan baru tahun 97-98 ini yang 
menimbulkan gejolak demikian hebatnya? 

Pihak yang tidak sejalan berpendapat, krisis moneter di Indonesia 
sekarang ini akibat imbas dari krisis regional Asia Tenggara dan 
sekitarnya. Apakah benar demikian bobroknya perekonomian Indonesia? 
Thailand dan Filipina yang secara politis dan ekonomi tidak lebih baik 
dari Indonesia, depresiasi mata uangnya terhadap US$ mampu bertahan di 
bawah 50%, sedangkan Indonesia yang sebelumnya dipuji berbagai pihak 
memiliki fundamental ekonomi yang kuat mata uangnya jatuh sampai lebih 
dari 500%. Tentu ada faktor X yang mengendalikan kejatuhan rupiah ini, 
tidak semata-mata masalah moneter atau ekonomi. 

Lalu mengapa para kreditur di luar negeri secara serempak tidak bersedia 
melakukan rollover kreditnya. Tapi anehnya mengapa beberapa mega proyek 
tetap ngotot harus terus dijalankan, bahkan dalam keadaan krisis yang 
demikian parahnya masih ada pihak asing yang bersedia membangun 
mega-proyek baru kilang minyak dan listrik swasta bekerja sama dengan 
anak presiden, meskipun akhirnya proyek yang dimaksud ditangguhkan.
IPTN yang produknya hanya laku ditukar ketan, tetap ngotot untuk 
meneruskan proyek N-2130 nya.

CINA DAN GLOBALISASI.

Ide globalisasi dicetuskan pihak barat, yang pada dasarnya mencari 
market yang luas untuk memasarkan produk mereka. Biaya produksi yang 
tinggi di negara barat, menyebabkan mereka tidak dapat bersaing dengan 
produk dari Asia dan negara berkembang lainnya. Peluang yang masih 
terbuka hanya produk yang berlandaskan hi-tech, tetapi biaya research 
dari produk hi-tech sangat tinggi. Untuk mengatasinya maka produk 
hi-tech yang dibuat harus secepat mungkin dipasarkan seluas-luasnya agar 
dapat menutup biaya research, sebelum ditiru oleh negara berkembang. 
Dengan globalisasi, maka semua negara anggota harus membuka pintu 
lebar-lebar yang berarti market bagi mereka.

Dengan globalisasi mereka dapat menginvestasikan modalnya di negara 
manapun, dan sekaligus merupakan relokasi industri dari negara maju yang 
biaya produksinya sangat mahal ke negara berkembang. Di antara 
negara-negara berkembang yang sangat potensial menjadi negara industri 
adalah Indonesia, yang memiliki kekayaan alam dan sumber bahan baku yang 
cukup. Daerah yang sangat luas merupakan nilai tambah bagi perkembangan 
industri di masa yang akan datang, dan jumlah penduduk yang 200 juta 
merupakan pasar yang sangat potensial. 

Krisis moneter di kawasan Asean dan sekitarnya, telah membuka mata 
mereka (atau mungkin juga diatur oleh mereka) bahwa apabila kurs rupiah 
terhadap US$ sangat tinggi, maka modal yang mereka perlukan untuk 
membuka industri di Indonesia menjadi relatif murah. Tapi kalau industri 
yang dimaksud harus dibangun dari awal, membutuhkan waktu lama untuk 
membangunnya dan sangat merepotkan. Akan lebih praktis kalau dapat 
membeli perusahaan di Indonesia yang sudah berjalan.

Rencana ini tampak jelas dari syarat-syarat yang diajukan IMF yang 
seolah-olah ingin mengikat erat sekujur tubuh kita. IMF hanya sebuah 
lembaga, sedang yang mengelola lembaga tersebut mayoritas orang barat 
dengan Amreika sebagai pemimpinnya. Jadi tidak heran kalau syarat yang 
diajukan IMF cenderung membuka jalan bagi rencana expansi mereka ke Asia 
khususnya Indonesia, di mana dengan modal minimum mereka akan 
mendapatkan hasil yang maksimum. 

Krisis moneter yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk menutup kredit 
macetnya yang sangat besar, dimanfaatkan pula oleh pihak barat untuk 
memaksa Indonesia membuka peluang masuknya investor asing dengan 
meng-conversikan piutang mereka yang membengkak akibat kenaikan kurs, 
dengan penyertaan modal pada perusahaan di mana mereka memberikan 
piutang. Tahap pertama yang paling solid adalah dalam busines perbankan, 
dari sini selanjutnya dapat dikontrol arus uang dan kemudian 
dikembangkan lebih lanjut ke bidang usaha lainnya.

Karena ekonomi Indonesia mayoritas dikuasi oleh warga keturunan Cina, 
maka strategi yang paling sederhana adalah membuat mereka takut atau 
memojokkan mereka sedemikian rupa agar tidak mempunyai pilihan lain, 
sehingga dengan segera mereka mengobral perusahaan miliknya. Dari bawah 
mereka memanfaatkan kalangan extrimis tertentu yang anti Cina untuk 
menimbulkan keresahan dan ketakutan. Dari atas mereka menekan pemerintah 
yang dasarnya sudah diskriminatif dengan berbagai syarat yang arahnya 
untuk mempersempit ruang gerak warga keturunan Cina, yang sebagian 
memang kredit luar negerinya sudah jatuh tempo atau terlibat kredit 
macet di dalam negeri.

Ini tidak lain adalah kolonialisme bentuk baru. Mereka tidak perlu 
menyediakan pasukan seperti jaman VOC untuk mengamankan investasinya, 
cukup mengadakan pendekatan-pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat 
memberikan perlindungan total dengan sedikit komisi. Peralatan militer 
yang mayoritas berasal dari negara barat, merupakan alat ampuh untuk 
menekan pihak militer mengikuti kemauan mereka. Apalah artinya pesawat 
F15, Mirage, dan sejenisnya kalau spareparts nya tidak tersedia.

Kalau Indonesia dapat dikuasai, tinggal selangkah lagi bagi Amerika 
untuk memindahkan pangkalan angkatan laut dan angkatan udara yang semula 
di Filipina ke salah satu pulau kecil di Indonesia. Dilhat dari strategi 
kemiliteran, pulau kecil di Indonesia lebih strategis dan lebih 
exclusive dari pada pangkalan Subic di Filipina dan lebih dekat ke 
sasaran "musuh baru" Amerika di sebelah utara Indonesia (RRC). Pangkalan 
khusus untuk perawatan dan perbaikan kapal di Singapore ditinjau dari 
segi militer kurang strategis dan cukup riskan serta mahal. 
Bersambung ke bagian 3.

**************************************

[email protected]
Thu, 12 Feb 1998 19:36:50 -0700 (MST) 



Subject: Akar Masalah Sentimen Anti Cina - bagian 3
Date: Mon, 09 Feb 1998 18:06:56 PST
From: "wong chin na" ([email protected])
To: [email protected]

Subject : Akar Masalah Sentiman Anti Cina - Bagian 3

Oleh : DR.Wong Chin Na, SE, Ak, MBA

CINA DAN NASIONALISME.
Setiap ras apapun di dunia memiliki segi positif dan segi negatif. Segi 
positif dilakukan oleh orang-orang yang berkelakuan baik yang merupakan 
bagian terbesar dari anggota ras bersangkutan, sedangkan segi negatif 
dilakukan oleh sebagian kecil anggota ras tersebut. Dalam hal warga 
keturunan Cina di Indonesia, yang oleh pihak penguasa telah diciptakan 
sebagai "musuh bersama", segi positifnya selalu ditutup-tutupi tetapi 
segi negatifnya selalu ditonjolkan. Kalau ada warga keturunan Cina yang 
melakukan tindak pidana maka nama Cinanya selalu disebut-sebut, tetapi 
kalau yang berbuat baik atau berjasa bagi negara tidak pernah disebutkan 
nama Cinanya.

Yang mempunyai peran aktif dalam menyebarkan masalah ini adalah media 
massa, yang sebenarnya dikuasi oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. 
Bukan rahasia lagi kalau saham-saham dari koran atau majalah terkemuka 
di Indonesia dikuasai oleh pejabat-pejabat tertentu atau anggota 
keluarganya, sehingga setiap terbit arahnya harus menyuarakan 
kepentingan penguasa. Media massa yang berani membeberkan fakta yang 
sebenarnya seperti Tempo, dianggap menghasut masyarakat dan dibredel 
tanpa ampun. 

Tindakan negatif dari sebagian warga keturunan Cina selalu dikaitkan 
dengan isu a-nasionalisme, padahal pengertian nasionalisme sendiri akan 
mengundang perdebatan yang tak pernah selesai. Tidak kurang dari 
Moerdiono sebagai Mensetneg salah mengartikan nasionalisme baru ala Liem 
Sioe Liong. Penjualan saham perusahaan ke anak perusahaan yang lain di 
luar negeri dengan teori "mark-up" nya yang semata-mata untuk meraih 
keuntungan yang sebesar-besarnya dikatakan nasionalisme baru. 
Salah-salah orang yang merampok di luar negeri yang membawa uang hasil 
rampokannya ke Indonesia juga disebut sebagai nasionalisme baru.

Menurut saya, secara sederhana nasionalisme dapat diartikan sebagai 
sikap kepedulian terhadap kemajuan bangsa dan negara Indonesia, sesuai 
dengan kemampuan masing-masing. Dalam suasana perang, nasionalisme dapat 
diartikan sebagai kesediaan untuk turut mempertahankan keutuhan negara 
Indonesia dengan konsekuensi mungkin akan kehilangan harta dan bahkan 
nyawanya. Tapi sebaliknya dalam suasana damai, terlalu naif jika ada 
orang yang mengatakan bahwa, seorang nasionalis harus rela berkorban 
harta dan nyawa demi bangsa dan negara Indonesia. Kalau pernyataan ini 
dianggap benar, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang berpendapat 
demikian, apakah dirinya sendiri bersedia melakukan hal tersebut? Inilah 
salah satu nasionalisme picik yang tujuannya hanya untuk memojokkan 
orang lain yang kebetulan secara materi lebih berhasil.

Tommy dan Habibie, kalau dia seorang nasionalis otomatis akan rela 
menangguhkan proyek Mobnas Korea dan N-2130 nya. Apakah anak-anak 
presiden yang saat ini kaya raya dan tidak jelas asal-usul modalnya 
bersedia menjual dolar simpanannya (bukan hanya jual dolar pura-pura 
demi kepentingan politis). Pertanyaannya, kenapa kalau ada warga 
keturunan Cina yang tidak mau menjual dolarnya disebut tidak nasionalis 
(yang mungkin juga tidak punya atau diperlukan untuk transaksi impor), 
sedangkan putra-putri Pak Harto dan putra-putri pejabat lainnya tidak 
disebut a-nasionalis? Ironisnya banyak orang yang berpikiran picik, yang 
mengukur nasionalisme warga keturunan Cina dari kesediaan mengorbankan 
harta bendanya untuk kepentingan orang lain tidak peduli orang yang 
bersangkutan akhirnya miskin.

Saya sangat setuju kalau semua orang yang menimbun dolar dalam krisis 
moneter sekarang ini disamakan dengan subversif dan penghianat negara, 
yang harus dihukum seberat-beratnya. Tetapi dalam hal ini harus adil dan 
objektif, serta harus dibedakan antara uang diam atau modal kerja. Tidak 
peduli keturunan Cina, Jawa, Sunda, Batak, Padang, dan sebagainya, semua 
harus dihukum tanpa pilih bulu tidak terkecuali anak-anak presiden. Kita 
harus belajar dari Korea yang berani menghukum bekas presidennya sendiri 
maupun anak presiden yang sedang berkuasa karena terbukti korupsi.

Seorang warga keturunan Cina yang secara tidak resmi diakui memiliki 
jiwa nasionalisme adalah Kwik Kian Gie, yang kebetulan mempunyai 
kemampuan yang baik dalam bidang politik & ekonomi, dan mampu menuangkan 
buah pikirannya secara tertulis di media massa sehingga dapat dikenal 
masyarakat luas. Kalau Kwik tidak mempunyai bakat menulis, tentu tidak 
banyak orang yang mengenal buah pikirannya dan belum tentu disebut 
nasionalis. Pertanyaannya apakah tidak ada warga keturunan Cina lain 
yang mempunyai jiwa nasionalisme seperti Kwik Kian Gie? 

Tentu saja banyak, hanya mungkin karena kurang mempunyai bakat menulis 
jadi kurang dikenal masyarakat luas, atau mungkin kemampuannya masih di 
bawah Kwik sehingga media massa tidak bersedia memuat tulisannya. 
Tengoklah dosen-dosen non-pri di berbagai Universitas, mungkin akan 
banyak yang heran jika mengetahui motivasi mereka menjadi dosen padahal 
gajinya kecil. Sebagain besar dari mereka mempunyai idealisme yang 
tinggi untuk turut memajukan bangsa dan negara Indonesia melalui jalur 
pendidikan, bukan hanya sekedar mencari uang semata-mata. Akan lebih 
mengherankan lagi jika diketahui cukup banyak pejabat perusahaan swasta 
keturunan Cina dengan gaji yang cukup besar, masih mau bercapai lelah 
menjadi dosen dengan gaji yang minim.

Kalau ini dapat dipakai sebagai tolok ukur, berarti pandangan terhadap 
nasionalisme warga keturunan Cina, khususnya dari kalangan yang 
berpendidikan tinggi harus dikoreksi. Terlalu absurd jika masalah 
nasionalisme ditanyakan kepada para pedagang kelontong keturunan Cina di 
sekitar pusat perdagangan, yang karena tingkat pendidikannya yang sangat 
minim tidak pernah terlintas di benaknya untuk turut memikirkan masalah 
nasionalisme. Namun dalam hal ini belum tentu mereka tidak mempunyai 
rasa nasionalisme sama-sekali, hanya bahasanya yang seringkali terlalu 
tinggi sehingga barangkali kurang dapat dimengerti. 

Untuk mendapatkan gambaran yang objektif, adakanlah suatu penelitian 
terhadap mereka mengenai masalah nasionalisme dengan menggunakan bahasa 
yang sederhana, bandingkan hasilnya dengan hasil penelitian yang sama 
terhadap para pedagang pribumi. Mungkin hasilnya tidak akan jauh berbeda 
karena keduanya sama-sama awam terhadap teori kebangsaan dan 
nasionalisme. Selanjutnya buatlah suatu program untuk meningkatkan 
nasionalisme semua rakyat Indonesia baik pribumi maupun non-pribumi, dan 
tidak perlu dipolitisir seperti program P4.

HUKUM DAN KEADILAN. 
Di negara-negara maju, umumnya hukum ditegakkan relatif adil terutama 
untuk hal-hal yang sudah menjadi sorotan masyarakat dan dunia. Sentimen 
anti ras tertentu tetap akan mendapat tempat tersendiri di hati 
masyarakat, tetapi semua kerusuhan akan ditindak tegas tanpa pandang 
bulu. Oleh karena itu Ku-Klux-Klan sekalipun yang secara organisatoris 
cukup kuat dan mendapat dukungan dana dari ras tertentu, akhirnya tidak 
berani berkutik dan nyaris punah saat ini. Tetapi di Indonesia, hukum 
lebih memihak kepada para penguasa atau orang-orang yang dekat dengan 
pusat kekuasaan. 

Apabila hukum ditegakkan secara adil di Indonesia, maka semua perusuh 
yang membakar toko-toko, mobil, Gereja, Vihara, dsb akan berpikir 
beberapa kali sebelum bertindak. Sangat lucu kalau seorang ibu keturunan 
Cina yang menegur anak-anak muda yang berteriak-teriak tidak karuan di 
pagi buta dihukum lebih berat dari orang-orang yang merusak dan membakar 
rumah orang lain. Sebaliknya kalau ada pengusaha keturunan Cina yang 
melakukan kecurangan, kolusi, diskriminasi dalam business dan penerimaan 
pegawai, segera dilaporkan ke Polisi untuk diusut kebenaranya dan 
dikenakan sanksi hukum yang seadil-adilnya. Di Amerika ada peraturan 
yang mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk menerima pegawai dengan 
komposisi rasial tertentu yang ditetapkan pemerintah. Setiap pelanggaran 
akan dikenakan sanksi yang cukup berat. 

Demikian juga apabila hukum di Indonesia dapat menjangkau para koruptor 
dan pelaku komersialisasi jabatan, maka kolusi antara pejabat dengan 
pengusaha keturunan Cina tidak akan berlangsung terus. Pungli walaupun 
belum tentu dapat dihapuskan100%, minimal tidak keterlaluan seperti 
sekarang ini, dari tingkat RT sampai presiden. BCA yang secara umum 
dikenal sebagai milik Liem Sioe Liong, ternyata saat ini sahamnya hanya 
tinggal 19% saja sedangkan sisanya yang 81% milik anak-anak presiden dan 
adik iparnya. 
Akhir tahun yang lalu seorang kenalan mengeluh, 50% saham perusahaannya 
yang cukup solid yang berkembang atas keringatnya sendiri, akan dibeli 
oleh salah satu anak presiden. Sedangkan pembayaran atas saham tersebut 
akan dicicil diambil dari bagian keuntungannya yang 50%. Pengusaha lain 
juga pernah mengeluhkan hal yang sama beberapa tahun yang lalu. Apakah 
ini suatu teori baru dalam "Portfolio Management" ciptaan putra-putra 
presiden yang perlu dikembangkan lebih lanjut agar mendapat hadiah Nobel 
dalam bidang ekonomi?

Demi keadilan hukum, para pelaku kredit macet harus segera diseret ke 
pengadilan. Bankir yang hanya bisa menipu uang rakyat kalau perlu 
dihukum mati, sebagai imbalan atas beberapa orang nasabah yang menjadi 
gila dan bunuh diri karena uangnya amblas di bank yang dilikuidasi. Tak 
terhitung banyaknya nasabah yang menjadi sengsara akibat dilikuidasinya 
16 bank yang bermasalah. Tegakkanlah hukum secara adil tanpa pandang 
bulu, tidak peduli terhadap anak cucu penguasa neraka sekalipun. 
Perusahaan-perusahaan publik perlu di audit dengan seksama, kalau 
terbukti melakukan praktek "mark-up" pada saat memasuki pasar modal, 
segera diseret ke pengadilan sebagai penipu rakyat. Praktek-praktek 
insider trading dalam perdagangan saham juga harus diusut tuntas dan 
diberi hukuman yang setimpal. 

Hukum yang adil hanya dapat ditegakkan jika didukung oleh pemerintah 
yang bersih. Sepanjang pemerintah yang berkuasa hanya memikirkan 
keuntungan pribadi-pribadinya semata-mata, maka mustahil bisa ditegakkan 
hukum yang adil karena akan menjerat dirinya sendiri.

KETURUNAN CINA DI INDONESIA
Pada masa lalu, warga keturunan Cina di Indonesia dapat dibagi dalam 3 
kelompok besar, namun saat ini ketiga kelompok tersebut sudah berbaur 
menjadi satu sehingga sulit dibedakan oleh "orang luar". Walaupun 
demikian, sisa-sisa ex masing-masing kelompok kalau diteliti lebih jauh 
masih dapat dilihat perbedaannya. 

Kelompok pertama adalah yang disebut Cina Peranakan, yaitu keturunan 
dari nenek moyang yang datang ke Indonesia sejak ratusan tahun yang 
lampau sampai dengan akhir abad ke 19. Semua anggota keluarga kelompok 
ini sehari-hari berbicara bahasa Indonesia atau bahasa daerah, dan 
jarang sekali yang bisa berbahasa Cina. Pada masa pra kemerdekaan, 
sebagian besar dari mereka tinggal di daerah-daerah dan mereka diyakini 
sebagai keturunan dari nenek moyang yang kawin campur dengan pribumi. 
Pada masa lampau cara berpakaian mereka, terutama kaum wanitanya lebih 
meniru pribumi, yaitu berkebaya atau menggunakan pakaian yang mirip 
dengan pakaian adat setempat. 

Setelah kemerdekaan, anak-anak mereka sekolah di sekolah-sekolah negeri 
berbaur dengan pribumi setempat, sehingga walaupun bukan pemeluk agama 
Islam mereka cukup akrab dengan agama Islam. Pekerjaan mereka sebagian 
besar pegawai atau pedagang kecil kebutuhan sehari-hari. Sejalan dengan 
kemajuan yang dicapai dalam masa Orde baru, generasi mudanya banyak yang 
melanjutkan sekolah ke kota-kota besar, dan setelah menyelesaikan 
sekolah mereka berkeluarga di kota besar sampai sekarang. Sebagian dari 
mereka yang berhasil banyak yang bekerja sebagai profesional, dosen, 
dan pejabat perusahaan swasta. Sebagian kecil berhasil menjadi pengusaha 
menengah tetapi jarang sekali yang berhasil menjadi pengusaha besar, 
kecuali William Surjadjaja (pendiri Astra).

Kelompok kedua adalah orang-orang Cina Peranakan yang pada masa pra 
kemerdekaan tinggal di kota-kota besar dan sekolah di sekolah-sekolah 
Belanda. Sehari-hari mereka berbahasa Belanda campur Indonesia, dan 
jarang yang bisa berbahasa dearah sehingga mereka sering diejek sebagai 
Cina Blandis. Pekerjaan mereka umumnya sebagai profesional atau pekerja 
pada perusahaan Belanda, hampir tidak ada yang berprofesi sebagai 
pedagang atau pengusaha. 

Kelompok ini dapat dikatakan sebagai kelompok elite nya kaum Cina 
Peranakan saat itu, tetapi sekarang sudah hampir tidak ada lagi, kecuali 
orang-orang tua yang berumur di atas 60 tahun. Sejalan dengan 
menyusutnya orang-orang yang bisa berbahasa Belanda, mereka berbaur 
dengan kelompok pertama sebagai Cina Peranakan. Pada jaman pemerintahan 
Bung Karno, sebagian anggota kelompok ini dipercaya untuk menduduki 
berbagai jabatan di pemerintahan, bahkan adapula yang diangkat sebagai 
Menteri Negara seperti Tan Po Gwan, Oeij Tjoe Tat, dan Ong Eng Die. 
Kalau tidak salah, Yap Thiam Hien yang terkenal karena kegigihannya 
menegakkan hukum di Indonesia berasal dari kelompok ini.

Kelompok ketiga adalah yang sering disebut sebagai Cina Totok, yaitu 
orang-orang Cina yang datang ke Indonesia sekitar PD I dan II, ketika 
timbul revolusi di negeri Cina sampai berkuasanya pemerintahan komunis 
di bawah Mao Ze Dong. Anggota kelompok ini sekarang jumlahnya tinggal 
sedikit dan umumnya sudah berumur lebih dari 60 tahun. Pekerjaan mereka 
sebagian besar adalah pedagang / pengusaha atau pegawai pada perusahaan 
milik kerabatnya sendiri. Banyak di antara mereka yang sukses sebagai 
pengusaha besar saat ini, terutama dari suku Hok Chi'a seperti : Liem 
Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Mochtar Riyadi, dan beberapa konglomerat 
non pri lainnya dari kelompok Tapos.

Anak cucu mereka merupakan generasi perahilan antara Cina Totok dan Cina 
Peranakan. Dalam komunikasi dengan orang tuanya mereka umumnya 
menggunakan bahasa Cina, sedangkan dalam pergaulan sehari-hari generasi 
mudanya menggunakan bahasa campuran, Cina, Indonesia dan bahasa dearah 
kasar. Mereka juga banyak yang berhasil sebagai pengusaha besar 
mengikuti jejak orang tuanya, tetapi jarang sekali yang bekerja sebagai 
profesional. 

Bagi pihak yang sering berhubungan dengan warga keturunan Cina, tidak 
sulit membedakan Cina Peranakan dengan Cina Totok melalui bahasa dan 
kebiasaannya dalam pergaulan sehari-hari, meskipun secara fisik mereka 
tidak dapat dibedakan. Dalam masalah agama, sebagian besar dari kelompok 
ini penganut agama Kong Hu Cu dan Budha, hanya sebagian kecil yang 
menganut agama Kristen, terbalik dengan kaum Cina Peranakan yang 
sebagian besar menganut agama Krsiten terutama generasi mudanya, dan 
hanya sebagian kecil yang memeluk agama Kong Hu Cu dan Budha.

Perbedaan-perbedaan di atas tidak lepas dari peraturan pemerintah dalam 
bidang kewarganegaraan, di mana kelompok pertama yang orang tuanya lahir 
di Indonesia, berdasarkan PP .10 / 1959, secara otomatis dapat 
mengajukan Kewarganegaraan Indonesia, dan konsekwensinya tidak boleh 
sekolah di sekolah yang berbahasa Cina. Sedang kelompok kedua yang orang 
tuanya lahir di luar Indonesia, jika ingin mendapatkan kewarganengaraan 
Indonesia harus melalui naturalisasi yang dalam prakteknya sangat sulit. 
Konsekwensinya mereka tidak boleh sekolah di sekolah Indonesia, kecuali 
ada ijin khusus dari PDK, jadi mereka hanya bisa sekolah di sekolah 
khusus untuk orang Cina yang bukan warga negara Indonesia. 

Ketika tahun 1966 sekolah Cina ditutup, otomatis mereka yang pada tahun 
1966 berada pada usia sekolah antara 5 sampai dengan 20 tahun tidak bisa 
sekolah lagi. Yang kaya dapat melanjutkan sekolah ke Singapore, 
Hongkong, atau Taiwan. Beberapa tahun kemudian, ketika pemerintah mulai 
melonggarkan ijin untuk masuk sekolah Indonesia, yang masih anak-anak 
banyak yang masuk sekolah Indonesia, tapi yang saat itu sudah remaja 
dan sudah bisa membantu orang tuanya berdagang kebanyakan tidak 
melanjutkan sekolah tetapi meneruskan berdagang.

Karena pengalamannya dalam berdagang sejak usia dini, otomatis mereka 
lebih piawai dalam mencari peluang-peluang business dibandingkan yang 
lain, sehingga mereka banyak yang sukses sebagai pengusaha besar. 
Segi-segi lain yang perlu mendapat perhatian adalah pandangan mereka 
yang cenderung agak sulit dimengerti, mungkin akibat trauma yang 
dihadapi ketika mereka harus drop-out dari sekolahnya. Beberapa orang 
"tokoh" dari kelompok ini yang pernah populer sampai ke tingkat 
nasional di antaranya adalah : Endang Wijaya (kasus Pluit), Edy Tanzil, 
Hong Lie (boss judi yang kabur ke Singapura dan diduga ada kaitannya 
dengan pembunuhan Njoo Beng Seng yang sama-sama boss judi), dll.
Bersambung ke bagian 4.

*****************************************

[email protected]
Thu, 12 Feb 1998 02:27:26 -0700 (MST) 



Subject: Akar Masalah Sentimen Anti Cina - bagian 4/habis
Date: Mon, 09 Feb 1998 18:09:05 PST
From: "wong chin na" ([email protected])
To: [email protected]

Subject : Akar Masalah Sentiman Anti Cina - Bagian 4 / habis.

Oleh : DR.Wong Chin Na, SE, Ak, MBA

HIPOTESIS (KESIMPULAN SEMENTARA).
(Karena kesimpulan akhir harus didukung oleh data hasil penelitian di 
lapangan, sedangkan penelitian seperti ini hampir mustahil dilakukan di 
Indonesia saat ini. )

1. Merebaknya sentimen anti Cina dewasa ini berkaitan erat dengan 
pemerintahan yang tidak demokratis, yang tidak dapat menerima adanya 
perbedaan pendapat. Untuk mengamankan kekuasaannya, pihak penguasa 
hanya mengutamakan orang-orang yang berasal dari sukunya sendiri. 
Pejabat-pejabat yang jujur dan berprestasi selalu dipensiun lebih awal 
atau disingkirkan sebagai Dubes kalau tidak mau menuruti kemauan 
penguasa.

Untuk menutupi segala tindakannya, penguasa merekayasa keadaan 
sedemikian rupa seolah-olah keadaan negara masih memerlukan penanganan 
khusus, salah satunya adalah rekayasa kerusuhan rasial terhadap warga 
keturunan Cina. Cara ini untuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap 
tindakan diktator dan korupsi para penguasa, padahal beberapa puluh 
(ratus) orang Cina dimanfaatkan untuk mengelola uang hasil korupsinya. 

2. Orang-orang sekelas Edy Tanzil yang hanya berpendidikan SD diajak 
kolusi oleh para penguasa dan diberi rekomendasi untuk memperoleh kredit 
yang sangat besar. Setelah berhasil saham kosongnya ditarik dan Edy 
Tanzil dijerumuskan sebagai subversi sambil diexpose ke-Cina-annya. Boss 
boneka yang mengelola uang hasil korupsi mereka dengan sengaja diexpose 
melalui berbagai media massa (milik mereka juga) bahwa business-nya 
kurang etis, diskriminatif, dan segudang predikat jelek lainnya. Dengan 
demikian orang awam akan beranggapan bahwa semua keturunan Cina pasti 
kaya dari hasil business curangnya, padahal mayoritas warga keturunan 
Cina hidupnya juga melarat.

Hal yang sama dengan versi yang berbeda-beda diterapkan pula terhadap 
orang-orang keturunan Cina dari berbagai kalangan, terutama dari 
kalangan dunia hitam seperti Hong Lie dan Hartono, di mana pelindung 
mereka sebenarnya adalah para penguasa juga. Dengan cara ini maka 
"musuh bersama" dapat dipelihara terus menerus.

3. Krisis moneter yang terjadi saat ini, dalam waktu singkat telah 
merontokkan business kelompok tertentu dari warga keturunan Cina, yang 
menjadi boneka penguasa atau kolusi dengan penguasa. Perusahaan demikian 
umumnya cenderung mencari utang sebesar-besarnya sehingga dalam waktu 
singkat berkembang menjadi perusahaan raksasa, padahal perkembangan 
tersebut bukan karena prestasi para pengelolanya. 

Pada saat krisis moneter mereka tidak mampu lagi menanggung utang dan 
beban bunga yang tinggi. Sebaliknya kelompok lain yang berusaha atas 
keringatnya sendiri; yang umumnya berskala kecil atau menengah, meskipun 
sangat terpukul dengan krisis moneter ini tidak sampai membuat mereka 
bangkrut karena mereka menggunakan kredit bank dalam jumlah yang wajar. 
Ini suatu bukti bahwa tidak semua warga keturunan Cina tukang kolusi, 
masih banyak di antara mereka yang memiliki business yang bersih. 

4. Sebagian organisasi massa Islam dan Pesantren disusupi oleh agen-agen 
pemerintah yang bertujuan menggiring mereka mengikuti rencana 
pemerintah, di antaranya tindakan brutal terhadap warga keturunan Cina 
dan non Islam sehingga tampaknya seolah-olah dimotori oleh organisasi 
massa Islam. Mereka memanfaatkan orang-orang extrim (yang pasti ada 
dalam agama apapun) dibantu para pencoleng dan kaum preman yang telah 
dibina secara intensif melalui Pemuda Pancasila yang pimpinannya 
beberapa hari yang lalu tertangkap basah berjudi.. 

Para pemimpin ormas Islam sekelas Gus Dur atau Amien Rais, tidak mungkin 
merestui tindakan seperti ini, bahkan tantangan Gus Dur untuk 
menunjukkan dalang sebenarnya dalam kerusuhan Tasikmalaya, ternyata 
tidak ditanggapi. Kalau kita telusuri waktunya, ternyata tindakan 
radikal tersebut muncul setelah terbentuknya ICMI di bawah pimpinan 
Habibie, yang notabene adalah organnya Gokar. Tidak berlebihan jika ada 
yang berasumsi bahwa semua ini taktik adu domba ormas Islam dengan warga 
keturunan Cina dan non Islam. Dilarangnya koalisi Mega-Bintang 
memperkuat asumsi di atas. 

5. Keadaan negara kita saat ini sudah demikian parahnya, krisis moneter 
yang terjadi diyakini berbagai kalangan sebagai penjabaran dari krisis 
politik. Tetapi pemerintah tetap ngotot bahwa krisis moneter akibat US$ 
diborong pihak swasta (dalam arti perusahaan milik warga keturunan Cina) 
untuk membayar utangnya, dan tidak ada sedikitpun pengakuan bahwa ini 
adalah akibat krisis politik. Kalau rupiah melemah dari Rp.2.450 menjadi 
sekitar Rp.3.500, bisa diterima bahwa ini adalah krisis moneter dan bisa 
dijelaskan dengan berbagai teori. 

Secara teoritis, tanpa ulah spekulan di kawasan Asean pun suatu saat 
Indonesia akan dilanda krisis moneter akibat program yang kacau balau 
dalam impor barang modal untuk keperluan investasi, yang campur aduk 
dengan kepentingan pribadi para penguasa. Dalam kurun waktu lebih dari 
20 tahun setiap tahun investasi selalu lebih besar dari tabungan, 
sehingga neraca pembayaran kita selalu defisit - di mana sebagian besar 
pinjaman luar negeri dan investasi untuk kepentingan "Soeharto 
Incorporations". 

6. Peranan media massa sangat dominan untuk menyebarkan isu bahwa 
kredit macet adalah ulah pengusaha keturunan Cina, dan sekaligus 
menutupi kredit macet yang dibuat "Soeharto Inc". Taktik tarik ulur dari 
Soeharto sebagai presiden RI dengan IMF, diduga untuk memberi kesempatan 
"Soeharto Inc" menarik keuntungan dari fluktuasi dolar yang sangat tajam 
sampai terkumpul dana yang cukup untuk menutupi kredit macet yang dulu 
uangnya sudah disimpan di bank-bank luar negeri. 

Sebagai orang yang sangat "nasionalis", beliau merasa bertanggung jawab 
untuk menjaga agar dalam permainan ini rupiah tidak terlalu ambruk, 
sehingga dipertahankan pada level Rp.6.000 - Rp.7.500. Oleh karena itu 
nilai tukar tersebut bertahan cukup lama. Sayangnya ide cemerlang ini 
tercium pihak lain (atau mungkin juga kerja sama) yang meniru taktik 
yang sama dalam rangka investasinya di Indonesia.

7. Krisis moneter yang melanda kawasan Asean dan sekitarnya, diduga 
dimotori oleh kekuatan asing yang dalam rangka globalisasi bermaksud 
memindahkan (relocation) industrinya ke kawasan Asean yang biaya 
produksinya murah. Apabila mata uang di negara Asean - khususnya 
Indonesia menjadi sangat rendah, maka harga beli pabrik di Indonesia 
dalam US$ menjadi sangat murah. Diaturlah suatu kerja sama antara IMF, 
para kreditor, dan calon investor di Indonesia, untuk menekan 
perusahaan-perusahaan debitor di Indonesia yang tidak bisa membayar 
utangnya, agar mau mengconversikan utangnya sebagai penyertaan modal 
(saham). 

Langkah pertama adalah penguasaan sektor perbankan sebagai faktor kunci, 
sehingga dalam persyaratan yang diajukan IMF Indonesia harus menghapus 
pembatasan penyertaan modal asing sebesar 49% di dalam perbankan 
Indonesia. Tahap berikutnya baru memasuki sektor riel (industri) yang 
menguntungkan, dan sasarannya adalah perusahaan milik warga keturunan 
Cina yang sebelumnya sudah dipojokkan lebih dahulu (untuk tujuan lain). 
Ironis sekali, pemerintah lebih rela ekonomi Indonesia dikuasai oleh 
orang luar daripada oleh "anak tirinya", karena anak kandungnya sendiri 
tidak mampu mengelola. Kalau rencana ini sudah terlaksana, saya yakin 
nilai tukar US$ terhadap rupiah akan turun kembali ke level yang wajar 
sekitar Rp.4.000 - Rp.5.000, dan sentimen anti Cina otomatis akan 
mereda.

8. Segala tindakan negatif dari orang-orang keturunan Cina selalu 
dikaitkan dengan a-nasionalisme, padahal tindakan para penguasa korup 
sekarang ini jelas-jelas a-nasionalisme. Cukup banyak orang-orang 
keturunan Cina (yang tidak terkenal) yang memiliki jiwa nasionalisme 
yang tinggi yang tidak kalah dengan pribumi. Terlalu absurd jika 
nasionalisme warga keturunan Cina seolah-olah hanya diwakili oleh para 
pengusaha terkenal, yang karena tingkat pendidikannya belum tentu 
mengerti arti kata nasionalisme. 

Walaupun mereka kaya dan tinggal di daerah elite, tidak berarti bahwa 
mereka kaum elite warga keturunan Cina. Apakah gambaran nasionalisme 
dari kalangan pribumi dapat diwakili oleh keluarga Soeharto, peragawati, 
artis terkenal, atau oleh para pedagang di pasar dan orang-orang yang 
setiap hari berkeliaran di tempat ramai tanpa tujuan jelas? 

9. Apabila hukum dapat ditegakkan, tindakan-tindakan brutal terhadap 
warga keturunan Cina akan mereda dengan sendirinya, dan sekaligus kolusi 
antara penguasa dengan kelompok tertentu warga keturunan Cina juga akan 
berhenti. Dalam pemerintahan yang bersifat anarkhis, para penguasa 
berusaha mempertahankan kekuasaannya selama mungkin sambil menumpuk 
kekayaan sebanyak-banyaknya. 

Hukum akhirnya ditegakkan hanya untuk membenarkan dan melindungi 
penguasa semata-mata. Setelah pemerintah yang bersih pasca Soeharto 
terbentuk di Indonesia, diharapkan hukum akan dapat ditegakkan dengan 
adil dan hak azasi manusia dihormati dengan baik, termasuk persamaan hak 
warga pribumi dan non pribumi dalam segala bidang. 

10. Keturunan Cina di Indonesia meskipun ciri-ciri pisiknya hampir sama, 
kalau diteliti lebih lanjut ternyata terbagi dalam 2 kelompok besar 
(semula ada 3 kelompok besar, tetapi 2 kelompok pertama telah melebur 
menjadi satu), yang mudah dibedakan dari budaya, bahasa, agama, 
pekerjaan, makanan, pendidikan, dan lain-lain. Kelompok pertama sangat 
dipengaruhi oleh budaya setempat, bahkan sebagian besar diyakini sebagai 
keturunan pribumi dari garis ibu sedangkan kelompok kedua masih kuat 
dipengaruhi tradisi negara asalnya. Tidak adil kalau kedua kelompok ini 
disama ratakan karena dalam banyak hal mereka seringkali bersimpangan 
jalan, bahkan banyak anggota kelompok pertama yang enggan bermenantukan 
anggota kelompok kedua atau sebaliknya. 

Kalau pemerintah sungguh-sungguh berniat mengadakan asimilasi antara 
warga pribumi dan keturunan Cina demi terciptanya kesatuan dan persatuan 
bangsa (nasionalisme Indonesia), program yang akan diterapkan harus 
memperhatikan perbedaan kedua kelompok tersebut dengan tetap berpedoman 
pada hak azasi manusia - bukan dengan program untuk meng-Islam-kan warga 
keturunan Cina melalui kawin campur yang cenderung dipaksakan. Kawin 
campur akan otomatis terjadi dengan sendirinya dalam lingkungan 
pergaulan masing-masing, jika kedua belah pihak - pribumi dan keturunan 
Cina- dapat hidup rukun dan damai. 

HIMBAUAN
a. Kepada saudara-saudara warga keturunan Cina.
1. Kalau kita masih berpikir bahwa kita Cina maka orang lain akan 
mempunyai pikiran yang sama, sebaliknya kalau kita berpikir bahwa kita 
adalah orang Indonesia maka orang lain yang mengenal kita lambat laun 
akan mengakui bahwa kita adalah bagian dari bangsa Indonesia, meskipun 
kita berwajah Cina. Sebaliknya seorang Cina Indonesia yang terlalu 
berlebih-lebihan (overacting) dalam usahanya agar dianggap sama dengan 
pribumi, malah akan dianggap tidak wajar dan menyebalkan mereka. Jadi 
bertindaklah wajar apa adanya dengan ke-Cina-an kita, tunjukkanlah 
biarpun kita Cina tetapi kita juga merasa sebagai bangsa Indonesia.

2. Dalam pergaulan, hendaknya kita tidak membatasi diri pada sesama 
keturunan Cina saja tetapi cobalah bergaul dengan kalangan pribumi, 
mulailah bergaul dengan mereka yang keadaanya kira-kira setara dengan 
anda agar pergaulan anda seimbang. Kalau kebetulan anda fasih berbahasa 
Cina, janganlah menggunakan bahasa tersebut di depan orang lain yang 
tidak mengerti karena akan membuat mereka tersingung. Anda juga akan 
tersinggung jika mendengar orang lain berbahasa Belanda di muka anda, 
seolah-olah anda disisihkan dari mereka. Sebagian dari kita mungkin 
pernah dikecewakan oleh pribumi atau bahkan mungkin mobil / rumahnya 
dibakar, tapi janganlah hal ini dijadikan patokan bahwa semua pribumi 
demikian, apalagi ada dugaan kuat bahwa semua ini rekayasa penguasa.

3. Khusus kepada anda yang kebetulan kaya raya, janganlah kekayaan anda 
dipamerkan secara menyolok dalam bentuk mobil mewah, handphone, baju 
buatan perancang mode terkenal, dan berbagai macam atribut kemewahan 
lainnya, otomatis tindakan ini akan membuat orang lain tidak suka, 
termasuk sesama keturunan Cina yang lebih bersahaja. Apalagi kalau 
kekayaan anda hasil kolusi dengan para pejabat korup, hentikanlah segera 
kolusi anda dan bertobatlah di depan Tuhan. Ingat tindakan anda selain 
menyengsarakan rakyat banyak, juga menyebabkan seluruh populasi warga 
keturunan Cina di Indonesia harus menanggung resiko menjadi sasaran 
kebencian rasial. Anda sendiri dapat dengan mudah bersembunyi di balik 
perlindungan pejabat korup partner anda.

b. Kepada saudara-saudara warga pribumi.
1. Saya menghimbau kepada anda; khususnya dari kalangan yang terpelajar, 
hendaknya anda bisa berpikir secara realistis bahwa dengan segala 
kekurangan dan kelebihannya, warga keturunan Cina telah memberikan warna 
tersendiri terhadap kehidupan bangsa dan negara kita. Suka atau tidak 
suka, kami secara legal telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. 
Kalau kebetulan anda pernah dikecewakan oleh tingkah laku salah seorang 
dari kami, harap dilihat orang per orang dan tidak di generalisasikan 
sebagai mewakili seluruh warga keturunan Cina. Cukup banyak Cina kaya 
yang hanya drop-out dari "Chung Hwa Sie Siaw" (sekolah Cina setingkat 
TK, SD, SMP dan SMA yang ditutup pada tahun 1966) sehingga kelakuannya 
bagaikan "petruk jadi raja". Walaupun kami sama-sama keturunan Cina, 
kami juga muak dengan kelakuan sebagian dari mereka yang sering 
overacting.

2. Bagi anda yang selama hidup belum pernah berteman dengan salah 
seorang warga keturunan Cina, cobalah iseng-iseng anda mendekati mereka 
yang pendidikannya setaraf dengan anda, sehingga secara prinsip cara 
berpikirnya tidak berbeda dengan anda. Pelajarilah sikap dan pandangan 
hidup mereka terhadap pribumi khususnya, atau terhadap bangsa & negara 
Indonesia pada umumnya. Universitas adalah tempat terbaik untuk 
pendekatan demikian. Secara psychologis, kebencian terhadap orang lain 
yang tidak kita kenal adalah luapan dari obsesi kita terhadap orang 
tersebut tanpa dia tahu apa yang kita pikirkan. Mudah-mudahan setelah 
mempunyai beberapa orang kawan keturunan Cina, pandangan anda terhadap 
kami menjadi lain. Percayalah, di hati kami, hanya Indonesia 
satu-satunya tanah air kami.

3. Kepada para pimpinan organisasi massa Islam, saya menghimbau anda 
untuk lebih berhati-hati terhadap para anggota masing-masing karena 
sebagian di antaranya adalah agen-agen yang disusupkan oleh penguasa 
yang hendak mengadu domba kalangan Islam dengan non Islam, atau Islam 
dengan warga keturunan Cina. ICMI dengan KISDI nya lebih banyak 
merugikan umat Islam daripada memberikan sumbangan yang berarti bagi 
kemajuan umat Islam Indonesia. Perhatikanlah para Da'i yang hendak 
memberikan dakwah di Mesjid-mesjid dan Pesantren, agar mereka tidak 
mencampur adukan dakwah agama dengan hasutan yang membakar kebencian 
terhadap agama lain dan keturunan Cina. Marilah kita bersatu padu 
membangun kembali negara kita yang hampir ambruk ini.

Sekian.
Hidup Indonesia.

***********************************

Date sent: Sat, 14 Feb 1998 12:35:33 -0800 (PST)
From: "Ir. Soekarno" ([email protected])
Subject: LAGI-LAGI ETHNIC CHINESE
Forwarded to : [email protected]


salam,

terlebih dahulu izinkanlah saya memperkenalkan diri kepada anda
sekalian..saya student di jerman dan ethnic chinese. Sengaja saya
tidak memakai istilah:
1. Warga Negara Indonesia Keturunan Cina
karena saya merasa diri saya adalah WNI yang menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD45. Untuk apa saya mengunakan WNIK segala, soalnya
saya lahir di Indonesia. Bahasa dan budaya Cina sekalipun tidak lagi
saya mengerti.

2. Cina
istilah Cina ini sebenarnya tidak salah, tetapi kata Cina tersebut
telah menjadi sebuah kata yang buruk dan bisa membuat trauma minoritas
ethnic chinese di Indonesia.(berhubung dengan penggayangan Cina
sewaktu masa PKI)

saya menulis email ini lantaran saya tidak bisa lagi menahan
menyaksikan dan mendengar peristiwa2 SARA di Indonesia setiap hari.
Saya sedih sekali melihat saudara2 ethnic chinese saya yang tak
bersalah di indonesia, tetapi selalu menjadi sasaran empuk
orang/golongan/partai pribumi tertentu.
Ethnic chinese mendapat perlakuan yang sangat tidak cocok dengan hak2
asasi manusia.
Toko/rumah mereka dirusaki/dibakar,
Harta/Kekayaan material yang dikumpulkan mereka dengan susah payah
sepanjang hidup diambil/dirusaki,
dan malahan ada yang mendapat perlakuan fisik yang sangat keterlaluan.

Mengapa selalu saja ethnic chinese yang di jadikan kambing-hitam???
tidak cukupkah pengalaman pahit yang dialami oleh ethnic chinese di
masa lalu??? Adakah agama yang mengajarkan umatnya untuk
mencuri/merampok/membakar/memukul/merusak ??? sejauh manakah toleransi
pribumi terhadap warga-negaranya sendiri???

Krisis ekonomi bukan lah kesalahan ethnic chinese!!!. Ini hanya suatu
propaganda yang dibuat-buat. Dan kebetulan saja ethnic chinese di
indonesia yang sebagian besar bekerja di bagian ekonomi/ berusaha
adalah kambing-hitam yang sangat cocok untuk krisis seperti ini.
Padahal krisis ekonomi ini adalah kesalahan pemerintah sendiri.
Lihat saja semua negara di asia tenggara dan asia timur juga tidak
luput dari krisis, tetapi mengapa hanya indonesia saja yang begitu
parah???
Jawaban nya adalah karena system ekonomi yang dilaksanakan pemerintah
kita amburadul. (baca: korupsi, kolusi, etc.)
Kalo saja pejabat bersih dan basis ekonomi kuat pasti tidak akan
terjerumus begitu dalam, lihat Singapura dan Malaysia, atau Korsel
yang tengah membaik terus-menerus.
Pemerintah sekarang telah gagal total dan sudah sewaktunya
bercermin-diri dan melaksanakan reformasi politik dan ekonomi.

Saya mengerti betul mengapa sebagian pribumi dengan mudahnya bisa
dihasut oleh orang/golongan/partai tertentu yang tak bertanggung-jawab.
Saya sendiri juga ikut merasakan penderitaan rakyat indonesia
sekarang, harga bahan pokok makanan terus melejit, harga barang2 pun
ikut melambung keatas.
Sehingga sebagian besar rakyat indonesia yang masih hidup dibawah
garis kemiskinan harus menderita dan menahan kelaparan.
Akibatnya mereka pun mulai mencari sumber krisis tersebut dan oleh
karena adanya isu2/propaganda itu, kerusuhan anti ethnic chinese pun
tidak bisa lagi di hindari.
Sangat disayangkan mengapa hal2 tsb selalu terulang kembali, padahal
kerusuhan2 tsb tidak bisa memecahkan masalah dan hanya akan
memperuncing problem yang ada.

Ada juga pribumi yang merasa tidak senang/cemburu terhadap ethnic
chinese, karena ethnic chinese dirasakan terlalu berkuasa dan kaya.
Sebenarnya argumen seperti itu tidak lah bisa diterima dengan akal
sehat.
Engkong saya sendiri pernah bercerita kepada saya sewaktu hidupnya,
bahwasan dia datang ke indonesia tanpa berbekal apa2, dia harus
berjuang mati2an untuk mengisi perutnya setiap hari dan bekerja-keras
tanpa pamrih. Demikian juga ethnic chinese yang lainnya. Mereka semua
kebanyakan adalah pelarian dari Provinsi Fujian(China) yang dilanda
kelaparan masa itu dan miskin sekali. Hanya dengan perjuangan dan
jerih payah lah, mereka itu berhasil.

Tetapi jangan dikatakan semua ethnic chinese di indonesia kaya2. Kalo
memang itu jawaban anda, maka anda harus berlayar di indonesia dari
sabang sampai merauke untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
Banyak juga ethnic chinese terutama di sumatra yang hidup melarat dan
tak punya apa2. Saya datang ke jerman juga lantaran dipinjami uang
oleh tetangga, yang harus saya kembalikan lagi setelah saya
mendapatkan pekerjaan nantinya. Boleh percaya boleh tidak. Saya
sewaktu ke jerman hanya berbekal DM2500,- (mehr nichts) dan hidup
sampai sekarang tanpa adanya bantuan dari rumah dan tanpa
beasiswa(stipendium) segala.

Berbicara mengenai Konglomerat ethnic chinese yang menguasai ekonomi,
saya rasa pernyataan tersebut perlu kiranya di review kembali. Lihat
saja pengumuman Dirjen Perpajakan pada awal Februari 98, banyak nama2
konglomerat pribumi yang berada dalam 200 besar pembayar pajak
perseorangan terbanyak. Apalagi keluarga Cendana yang berada di posisi
top ten. Setelah krisis ekonomi kita semuanya telah mengetahui bagaimana
praktek2 ekonomi keluarga cendana selama ini. Lihat saja bank
investment hongkong yang bangkrut desember tahun lalu karena sebagian
besar uangnya dipinjamkan kepada putri tertua keluarga cendana yang
tidak membayar kewajiban nya itu.
Seharusnya jangan hanya konglomerat ethnic chinese yang selalu di
beritakan, khan kalo gitu namanya tidak fair dan open.

Begitu juga pedagang2 ethnic chinese yang berada dalam dilemma. Gimana
tidak, harga barang2 naik terus-menerus..., nah kalo mereka seandainya
tidak ikut menaikkan harga maka mereka akan rugi besar dan akibatnya
harus menanggung sendiri kerugian yang mereka perbuat, dengan begitu
existensi kehidupan mereka akan terancam.
Sebaliknya kalo harga dinaikkan, maka mereka akan diserang dan hidup
dalam ketakutan, padahal apalah yang bisa mereka perbuat, harga
sebenarnya dinaikkan oleh distributor/produser. Dan produser sendiri
juga harus menaikkan harga karena sebagian besar produk2 di indonesia
memiliki kandungan import yang tinggi. Dengan demikian harga otomatis
akan melejit karena dollar mahal.

Introspeksi lah diri kita sendiri, bukan saatnya mencari siapa yang
salah, siapa yang harus dijadikan kambing-hitam. Semuanya itu tidak
akan memberi jalan keluar.
Pemerintah terlalu lamban dalam menangani masalah dan tidak transparan
dalam melaksanakan program2.

Saya sangat mengharapkan agar propaganda anti ethnic chinese ini bisa
dihentikan dan jangan diulangi lagi. Terutama kepada Bapak2/Ibu2,
Mahasiswa2 pribumi diluar-negri, yang telah menghirup udara demokrasi
negara lain, supaya bisa kiranya menjadi gambaran utama buat pribumi
lainnya yang masih terlalu mudah hanyut dalam isu2 tertentu.
Hanya  ditangan anda lah merah-putih akan tetap berkibar dengan
perkasa di udara, karena anda lah kaum cendikiawan dan kaum yang telah
merasakan bagiamana demokrasi yang adil dan terbuka di negara orang.
Dan kepada ethnic chinese dimana pun anda berada, saya sangat memohon
agar anda2 bisa menahan diri, sabar dan jangan mudah terbawa kearus
yang bisa mengakibatkan situasi sekarang semakin tajam.
Trima-kasih atas perhatian anda. Semoga tuhan melindungi kita semua.
Semoga.

***********************************


Kembali ke halaman pembuka (Back to the Welcome Site)


© 1996 - 1998 M[email protected]
Last Update on 17.02.1998