Megawati
Chairwoman
DPP PDI
(Perjuangan)
Jl. Diponegoro 58
Jakarta

| 'Berita -1' | 'Berita -2' | 'Berita -3' | 'Berita -4' | 'Berita -5' | 'Berita -6' | 'Berita -7' |




Received on Fri Jun 26 04:52:25 MET DST 1998


From: situngtung jagotidur [email protected]

Hapus Dwifunsi abri
--------------------------------- 
Oleh : Tenty Amalia, SSos

Sebagai masyarakat biasa (rakyat), ingin segenap jiwa kita menjerit 
karena melihat ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kengawuran 
yang dilakukan oleh pihak yang selama ini dikenal sebagai pengaman 
dan pemberi rasa nyaman bagi masyarakat. Kasus-kasus yang belum
lama terjadi tapi masih membayang dialam penasaran kita, adalah 
penculikan illegal (walaupun setelah itu ada 'penyerahan' secara legal), 
penembakan dan penganiayaan 'pejuang-pejuang' reformasi. Walaupun
dari kesaksian Desmond Mahendra saja sebenarnya sudah bisa menyeret
3 perwira tinggi ABRI ke Mahkamah Militer. (Sebagai aktivis, tentu
saja Desmond hapal terhadap suara (voice) orang yang menginterogasinya 
saat ia diculik, apalagi tokoh-tokoh ini sering banget nongol di TV - 
Letjen Prabowo, Mayjen Syafrie Syamsuddin dan Brigjen Budi Silalahi).

Mengapa semua ini bisa terjadi ?
Tak lain karena ABRI ingin mengekalkan 'fungsi sosial politik'nya, 
terutama yang berhubungan dengan kekuasaan. Apalagi kini Presiden 
dijabat oleh orang dari sipil, yang mula-mula terkesan bahwa Habibie 
tangan kanan Suharto namun setelah berlangsung beberapa waktu, 
Habibie mulai menampakkan kesungguhannya dalam mewujudkan 
tuntutan reformasi. Melihat tingkah Habibie yang demikian, hati 
Suharto semakin menjadi gundah, setelah gundahnya diawali oleh 
pencopotan menantunya dari Pangkostraad. Lalu buru-buru Suharto 
memanggil KSAD Subagyo HS dan Pangdam Jaya Safrie Syamsudin
di TMII awal Juni lalu. Entah apa yang dibicarakan (mungkin saja 
arisan kompor), namun yang jelas isu yang dinilai banyak kalangan
akan segera terlaksana tentang akan copotnya Syafrie Samsudin dari
jabatan Pangdam Jaya, ternyata batal (atau terancam batal  gara-gara
pertemuan itu).

Untuk itu, ABRI seharusnya TAHU DIRI. MAU MENILAI DIRINYA
SENDIRI. Bukankah ABRI juga manusia biasa yang harus memper-
tanggungjawabkan segala perbuatannya kepada Tuhan. Wallahualam.
Apa dipikir nanti kalau mati di sorga/neraka masih bisa pakai bayonet 
buat nakut-nakutan ? (Emang punya moyang, elo ?)

Kesimpulannya, DWIFUNGSI ABRI HARUS DIHAPUSKAN. 
ABRI sepenuhnya berfungsi dalam bidang pertahanan dan keamanan. 
Sebab sejarah telah membuktikan, ABRI tak mampu menjadi penjaga
rakyat, justru menyengsarakan rakyat. Selama 32 tahun dalam masa 
orbato (Orde Barunya Suharto) kekuasaan militer sebagai  kekuatan
inti menjadi pengekang kebebasan rakyat.
Nah, gamblang khan ? Terus tunggu apalagi.

***************************************
Received on Fri Jun 26 05:17:21 MET DST 1998 From: Amanah islam [email protected] To : Presiden Habibie / MPR/DPR Sebaiknya di era reformasi ini diberi kesempatan agar Pangab dari TNI AU dan AL karena selama ini selalu didominasi oleh TNI AD padahal banyak kegagalan dari ABRI (AD), lihat saja kasus penculikan, penjarahan, penembakan trisakti, tanjung priok dan masih banyak lagi yang tidak sesuai dengan azas hukum dan kemanusiaan. Karena sebetulnya sumber kekacauan selama ini dan pusat kekuatan riil ada di AD. jadi harus dibersihkan tuh AD nya. oleh orang-orang yang betul-betul bersih, karena kalau terus dibiarkan AD terus mendominasi akan selalu mengganggu reformasi. Kepada Habibie, TNI AL, TNI AU jangan kuatir dengan TNI AD karena kami rakyat yang cinta refpormasi akan selalu berada di belakang kalian, kami rakyat tidak takut dengan intimidasi dari suharto dan TNI AD. wassalam dari AManah (takut diculik, diteror, diintimidasi). ***************************************
Received on Fri Jun 26 05:14:36 MET DST 1998 From: semar [email protected] Menganalisa Peristiwa Empat belas Mei 98 (Peremei 98) ada beberapa kejadian menarik, mirip dengan kejadian serupa dimasa lalu seperti misalnya Malari, 27 Juli dll. Berikut perbandingan yang saya dapatkan: 1. Malari. Dilatar belakangi pertentangan didalam tubuh ABRI antara Ali Murtopo dan Jend. Sumitro, terjadi gerakan mahasiswa menuntut perubahan. Gerakan mahasiswa UI dimotori oleh Hariman Siregar ketua Dewan Mahasiswa saat itu bergerak menuju istana dari kampus Salemba. Setibanya di persimpangan Senen, terjadi kerusuhan masa yang berakibat terbakarnya pasar Senen. ABRI bertindak meredam kerusuhan tersebut berikut gerakan mahasiswanya. Hasilnya, Hariman Siregar ditahan, Jend Sumitro Pangkopkamtob saat itu diganti. Sedang tuntutan/tantangan untuk mengusut tuntas kejadian tersebut hasilnya tidak ada hingga sekarang. 2. 27 Juli Masa begerak mengambil alih gedung DPP PDI yang dijaga oleh kubu Megawati. Kemudian berubah menjadi kerusuhan masa. Gedung DPP berhasil direbut masa PDI Suryadi, dan berakibat masa yang bertahan diadili dan dihukum untuk bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi. Sedangkan pihak penyerang tidak tersentuh tindakan hukum sama sekali. Belakangan terbuka bahwa masa penyerang sebenarnya orang orang bayaran dan disiapkan/berangkat dari Polda Metro. Mereka akhirnya menuntut Suryadi karena bayarannya belum terselesaikan. 3. Pantura Menjelang SU MPR 98 telah marak kerusuhan bersifat SARA di hampir sepanjang Pantura. Segera setelah ada kepastian Soeharto menjadi calon tunggal presiden/setelah kedatangan Walter Mondale yang kabarnya mendesak Soeharto untuk menghentikan kerusuhan, secara serentak kerusuhan kerusuhan tersebut berhenti. Sejauh itu hanya tercatat korban harta benda dan bangunan. 4. Isu SARA Sejak awal order baru, diawali dengan munculnya istilah Pribumi dan non pribumi, isue SARA menjadi sesuatu komoditi yang mudah dijual ke masyarakat untuk kepentingan beberapa pihak dan melang- gengkan status quo yang ada. Padahal dilain pihak Soeharto dan PPmP banyak bekerja sama dengan non pri untuk mengekploitasi bumi Nusantara. Isue SARA tetap dijaga ada sebagai katub pengaman serta saluran pengalihan perhatian rakyat dari kasus-kasus aktual. Pola kerja diatas juga terdapat juga pada Peremei 98 bedanya dari seluruh skenario yang ada, terdapat beberapa episode yang gagal dituntaskan sehingga resultat akhirnya malah menjadi bumerang dan memakan korban luarbiasa. Baik karena dijarah, dianiaya hingga meninggal, dibakar dan diperkosa ataupun yang terbakar. 1. Episode pertama - gagal. Dilakukan tindakan keras terhadap demo mahasiswa, diharapkan akan menyurutkan gerakan gerakan mahasiawa yang lain. Tetapi bukannya menyurut tetapi makin marak. 2. Episode kedua - berhasil. Membelokan gerakam murni mahasiswa menjadi kerusuhan masa (ingat Malari). Episode ini berhasil baik, kerusuhan yang dimulai di perempatan Grogol bergerak meluas di Jakarta. 3. Episode ketiga - gagal. Perpecahan didalam tubuh ABRI ternyata menghambat tindakan represi yang seharusnya langsung dijalankan. Hal ini terjadi kemungkinan karena: 1. Kostrad dan Kopasus yang merupakan satuan di Jakarta yang paling siap tidak bersedia bertindak. Dengan harapan akan menjatuhkan Pangab(ingat pula Malari). 2. Kemungkinan lain, disebarnya kedua korps elite tersebut dikuatirkan mengakibatkan Jakarta berada diluar kontrol Pangab, jadi dalam hal ini pihak Pangab menghindari memakai kops tersebut. Sebagai gantinya dida- tangkan korp Marinir dari Surabaya. Seorang netter menyebutkan hingga 8,000 personel, Panglima komar menyebutkan 2,800 personel. Akibatnya tindakan ABRI menjadi terlambat lebih dari 24 jam dan kerusuhan sudah menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Karena itu maka segera setelah Soeharto turun, panglima Kostrad dan Kopasus diganti. Mengapa sedemikian buru buru padahal situasi negara, khususnya Jakarta masih belum menentu???? Mengapa pula mahasiswa yang dikeluarkan dari DPR/MPR hanya mau keluar bila dikawal Marinir?????? Dalam persidangan kasus penembakan di Usakti yang kontroversial antara terdakwa, tuduhan serta saksi saksi, terdapat orang orang berbadan tegap dan berambut cepak. Orang orang ini ditengarai banyak terlibat dalam kasus kasus politik ditanah air. Aktifist juga diculik orang orang berbadan tegap dan berambut cepak. Hingga saat inipun tidak ada satu pejabatpun yang mengutuk Peremei 98. Desakan untuk mengusut tuntas adanya dalan dalam Peremei 98 pun kurang mendapat sambutan Pangab. Sangat kontras dengan reaksi Pangab dalam menyikapi hujatan hujatan kepada Soeharto ada apa ini???????????????????????? Begitulah kejamnya politik, tidak ada etika ataupun moral ataupun akidah kaidah agama. Bisakah dalang dalang tersebut mengaku diri Pancasilais??? Rupa rupanya negara kita kena sidrom leukemia. Darah putih yang seharusnya untuk menangkal penyakit jadi memangsa butir butir darah merah. Sebaiknya dipikirkan untuk mengurangi dana serta kekuatan ABRI dan memperbaiki kinerja dab kesejahteraan anggota POLRI. Sebab ABRI dilatih dan dibentuk untuk perang, bila tidak ada peperangan yang mereka cari mushs terdekat untuk diperangi. Pendalangan kerusuhan seperti diatas adalah sah sah saja dalam doktrin militer. Catatan penulis: Reaksi pemerintah/ABRI khususnya menghadapi tulisan tulisan seperti diatas biasanya minta bukti bukti konkret. Sebenarnya reaksi tersebut sangat absurd. Rakyat yang sudah berkewajiban membayar pajak untuk membiayai penyelengaraan negara termasuk gaji aparat, masih harus bersiskamling. Bila sekarang masih harus mengusut hal hal demikian lha terus apa gunanya kita punya ABRI dan Polri. Pendidikannya hingga luar negeri, hasilnya rakyat harus serba swakarsa. Beli pesawat pemburu F16, 39 buah kapal buangan dari Jerman Timur, maunya perang dengan siapa??????? Bila biaya tersebut dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan personil ABRI dan Polri serta juga perlengkapan kerja Polri tentunya swakarsa tersebut tidak perlu ada. Doktrin Hamkamrata itu sebenarnya untuk menangkal serangan aggresor dari luar bukannya untuk menangkap maling atau penjarah atau pemerkosa.

*************************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

BISNIS ABRI TAK LEPAS DARI CENDANA

(EKONOMI): Banyak bisnis ABRI yang berkaitan dengan keluarga Soeharto.
Tapi mengapa bisnis ABRI luput dari tuntutan reformasi?

Sepanjang 32 tahun kekuasaan Soeharto, bisnis ABRI menempel terus
dengan bisnis keluarga Soeharto. Dua kepentingan bisnis ini saling
memanfaatkan untuk mengeruk keungtungan bersama. Hampir di setiap
bisnis vital yang melibatkan anak-anak Soeharto, di situ pula terdapat
kepentingan bisnis ABRI. Sejauh ini pers Indonesia yang gencar mem-
bongkar bisnis keluarga mantan presiden itu lupa atau tak berani
menyentuh kepentingan bisnis ABRI yang sebenarnya sama jahatnya dengan
cara-cara bisnis keluaarga Cendana memperoleh kekayaan.

Bisnis ABRI yang paling tua adalah bisnis yang dijalankan Kostrad
(Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat). Soeharto yang berkuasa
pada awal Orde Baru mendirikan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma
Putra Kostrad (Yayasan Kostrad). Yayasan ini kemudian diserahkan
kepada Sofyan Wanandi. Di tangan mantan demonstran itu, didukung
Soedono Salim dan para konglomerat lainnya, bisnis Kostrad berkembang
pesat hingga memiliki berbagai perusahaan.

Hingga kini, Yayasan Kostrad kini misalnya memiliki saham sebesar 40%
di Mandala Airlines. Yayasan Kostrad belakangan ini juga memili saham
di Bank Windu Kentjana, PT Garuda Mataram, perakit mobil VW. Di bisnis
otomotif lainnya, Yayasan Kostrad memiliki saham di PT Toyota Astra
Motors, agen tunggal mobil Toyota di Indonesia, PT Federal Motor dan
agen sepeda motor merek Honda. Kostrad, seperti anak-anak Soeharto
juga menerima proyek dari Pertamina dengan menanamkan sahamnya di
pabrik plastik perusahaan tambang minyak negara itu.

Yayasan Kostrad tak hanya berbisnis. Mereka juga menerima upeti dari
sejumlah konlomerat yang diberi hak monopoli oleh Soeharto.Misalnya,
sejak tahun 1970-an, PT Bogasari yang memperoleh monopoli impor bijih
gandum sekaligus memonopoli penggilingannya dan distribusinya, wajib
menyerahkan 26 persen keuntungannya kepada Yayasan Kostrad dan Yayasan
Harapan Kita. Memang ketika Ny Bustanil Arifin, salah seorang kerabat
mendiang Ny Tien Soeharto upeti untuk Yayasan Kostrad di-stop namun,
upeti yang telah diterima dari Bogasari sudah cukup untuk mengembang-
kan bisnis Kostrad lainnya.

Salah satu perusahaan Yayasan Kostrad yang paling banyak menghasilkan
uang adalah PT Tri Usaha Bhakti (PT Truba). Bersama PT Nusamba, gurita
bisnis milik Soeharto dan Bimantara, PT Truba bergabung dalam PT
International Timber Corporation Indonesia mengelola ratusan ribu
hektar hutan yang menghasilkan kayu dan bubur kayu.

Yayasan TNI Angkatan Darat lainnya, di luar Kostrad adalah Yayasan
Kartika Eka Paksi (YKEP). Yayasan ini di bawah kontrol Mabes AD. Saham
yayasan ini juga tersebar di mana-mana, terutama juga berkongsi dengan
anak-anak Soeharto. Di PT Danayasa Arthatama yang memiliki saham PT
Plaza Indonesia Realty, properti kelompok Bimantara yang mengelola
pusat belanja kaum elit Sogo dan Hotel Grand Hyatt. Bersama Bambang
Trihatmodjo, YKEP merambah bidang konstruksi mengerjakan pembangunan
sejumlah gedung hotel Shangrila Surabaya gedung Bursa Efek Jakarta dan
banyak gedung lainnya.

YKEP juga pernah memperoleh keuntungan yang lumayan sebagai pemilik 20
persen saham PT Sempati Air. Di perusahaan penerbangan itu, YKEP
bermitra dengan Tommy Soeharto (Grup Humpuss) dan Bob Hasan (Grup
Nusamba). Sayang, Sempati bangkut karena tak efisien dan terhalang
krisis moneter. Bersama Bambang, YKEP juga ikut menanamkan modal di
bisnis telekomunikasi di PT Bimagraha Telekomindo. Kelompok bisnis di
kalangan Angkatan Darat yang mulai mencuat adalah bisnis pasukan elit
Kopassus. Melalui PT Korps Baret Merah (Kobame), di bawah Prabowo,
Danjen Kopassus kala itu, yang juga menantu Soeharto, bisnis ini
berhasil membangun Plaza Cijantung, pusat perbelanjaan di kompleks
Kopassus, Cijantung, Jakarta. Belakangan PT Kobame berusaha merampas
saham Hotel Horison di kompleks Ancol. PT Kobame ini didukung sejumlah
pengusaha keturunan Cina seperti keluarga Mas Agung.

Kongsi bisnis ABRI lainnya dengan keluarga Soeharto terus melebar ke
Angkatan Udara. Di PT Cardig Air, maskapai kargo udara milik Bimanta-
ra, Yayasan Adi Upaya AU (Yasau) memiliki sejumlah saham. Dengan
Bimantara pula Yasau bergabung dalam PT Jasa Angkasa Semesta yang
membuat peta udara dan jasa konsultasi. Dengan Tommy, Yasau juga
berkongsi di PT Batam Aircraft Maintenance, perusahaan perawatan
pesawat Singapore Arilines yang berbasis di pulau Batam.

Tak ketinggalan pula Angkatan Laut induk pasukan Marinir yang dalam
Reformasi Mei lalu banyak dukungannya terhadap aksi mahasiswa, ternya-
ta juga punya mega bisnis. Bersama Salim Grup, Yayasan Kesejahteraan
Angkatan Laut RI membangun kawasan industri dan pariwisata seluas 23
ribu Ha di Pulau Bintan. Di pulau itu pula kongsi itu mengembangkan
sumber air bersih seluas 37 Ha untuk menyupali kebutuhan Batam dan
Singapura. Kalau bisnis ABRI ini juga didapat dari hasil kolusi,korup-
si dan nepotisme, mengapa mereka tak ikut digugat? (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*****************************

Date: Sun, 28 Jun 1998 22:56:19 +0700
To:
From: Raden Poerwanto
Subject: KWARTET DALANG KASUS TRISAKTI DAN
KERUSUHAN 13-15 MEI 1998.

Setelah kami menyelidiki kasus Trisakti dan kerusuhan 13-15 Mei 1998,
baik dengan melakukan investigasi team kami (beranggotakan 52 orang),
juga hasil temuan di wawancara secara rahasia dengan beberapa prajurit
Kodam Jaya tertentu ,juga dengan beberapa hasil video dan puluhan photo,
maka kami sampaikan hasil temuan kami sebagai berikut :

Temuan - temuan :

1. Penembak sniper yang menewaskan mahasiswa Trisakti,adalah anggota
TNI-AD diambil dari Kopassus, BIA, jago-jago tembak Kodam Jaya.
Mereka sengaja memakai seragam abu-abu mirip POLRI ,baik untuk
penyamaran,sekaligus untuk mengkambing-hitamkan POLRI yang
saat itu bertugas di depan Trisakti.
2. Pemicu-penghasut kerusuhan ,baik seseorang yang dikira intel, maupun
oknum-yang menantang Dalmas POLRI, sesungguhnya juga orang- BIA
dan Kodam.
3. Mahasiswa yang menjadi emosi,baik saat peristiwa 12 Mei maupun saat
pengadilan berlangsung ,adalah mahasiswa yang sudah di pengaruhi oleh
BIA sehingga anti POLRI, begitu pula komentar Andi Andoyo yang
menyudutkan POLRI dan Adnan Buyung Nasution SH cs, juga saksi-
saksi dari Trisakti,semua dalam sekenario BIA dan sat intel Kodam.
4. Kelompok komando kerusuhan, sudah merencanakan dengan sistimatis
mulai dengan penembakan,penghasutan, penjarahan,pembakaran,
pemerkosaan.Termasuk pelatihan pembakaran, juga dana untuk uang
saku perusuh-perusuh .
5. Lambannya pasukan Kodam Jaya dan Kopassus dan Kostrad di Jakarta
bertindak memang direncanakan, disamping untuk mencapai target politis ,
juga menghindari bentrok dengan sesama TNI-AD yang sedang meng-
gerakkan kerusuhan ,POLRI Polda-Jaya diperintahkan Kodam Jaya untuk
ditarik dari lapangan juga untuk menghindari salah tembak atau bentrokan
atau tertangkapnya orang BIA dan Kodam Jaya yang sedang menggerakkan
kerusuhan.
6. KWARTET DALANG/KOMANDO :
6.1. Feisal Tanjung sebagai pencetus ide, untuk membela Soeharto,dan
pelampiasan dendam pada etnis Cina. Skenario umum, dia otak-nya.
6.2. Prabowo Subianto ,sebagai perencana rinci untuk pelaksanaannya.
Dana dibantu Prabowo, Kostrad di Kodam Jaya dan Kopassus
digerakkan oleh Prabowo (dibantu Muchdi).Dia yang mengatur
supaya kerusuhan dibiarkan,jangan ditindak,karena penggeraknya
juga anak buahnya .
6.3. Zacky Makarim, komandan BIA ini jelas sangat mengetahui situasi,
dia mengatur penyusupan dan mempengaruhi massa.
6.4. Syafrie Sjamsudin, dialah orang paling ahli teror di ABRI,memang
pernah di sekolahkan untuk itu, semua operasi penculikan, penembak
sniper, pelatihan dan penghasutan massa, penggerakan penjarahan
dan pembakaran dan pendorongan pemerkosaan ,dialah tokohnya
dengan persetujuan tokoh yang lain tersebut di atas.
7. Kelompok pelaksana utama kerusuhan di Jakarta :
7.1. Anggota-anggota BIA,Kodam Jaya,Kopassus ,sebagai penggerak utama
kelompok ini yang dikenali denga berbadan kekar,berambut cepak,
membawa HT, bersenjata pistol,bersepatu ABRI.
7.2. Anggota Pemuda Pancasila, kelompok ini yang dikenali berseragam
pelajar tetapi berwajah berbadan 40 tahun.
7.3. Anggota KISDI ,kelompok ini dikenali paling sering berteriak anti Cina
dan anti non Muslim, sulit diduga apakah digerakkan organisasinya atau
direkrut berdasarkan fanatisme.
7.4. Preman-preman Tanah Abang cs, dibawah komandan Hercules,
kelompok ini paling beringas,sadis dan pemerkosa-pemerkosa. Mereka
bertatto dan kejam
7.5. Masyarakat yang terhasut, ikut-ikutan menjarah,bahkan dikorbankan
juga mati terbakar di plaza-plaza. Golongan ini kasihan,sudah miskin
dihasut mereka yang sadar maka sebagian mengembalikan barang jarahan.
8. Dan Denpom ABRI dan Dan denpom Jaya ( Syamsu dan Hendardi), ditugaskan
jangan sampai ada anggota TNI-AD menjadi terdakwa,karena akan terbong-
karnya semua skenario kwartet dalang tadi, Dan jaga nama baik TNI-AD,
korbankan saja POLRI, maka tidak heran kalau dua orang ini berusaha
keras supaya terdakwa kasus Trisakti POLRI, hakim pengadilan dan oditur
juga sudah dipesan begitu. Maka juga tidak heran kalah KSAD Subagyo
dan Ghalib,berpendapat senada, intinya TNI-AD kebal hukum tidak ada salah.

----- End of forwarded message from Raden Poerwanto -----

*****************************

From:
Subject: pemerkosaan
To: Recipients of indonesia-act

Di bawah ini adalah berita yang saya terima dari sebuah sumber di Jakarta,
teman saya dari korps marinir.

=================================================

Salam reformasi,
Saya mendapatkan info yang sifatnya hampir benar yaitu bahasanya
kerusuhan dan pemerkosaan di Jakarta medio Mei di0rganisir oleh keluarga
Cendana cq Bambang Try dengan menggunakan tenaga Pemuda Pancasila
dibawah pimpinan Yapto dan Yoris. Selain itu kelompok lain yang bermain
adalah Intel Kodam Jaya atas perintah Syafrie. kebetulan saja anak buah
saya berhasil mengintersep berita / radio mereka pada hari kejadian.
Komunikasi mereka memakai Handy Talky yang umum dipakai tentera (
intelijen ).Rupanya yang paling mewarisi jiwa bajingan bapaknya adalah
Bambang Try, sedangkan Syafri adalh jenis perwira sadis yang
mengkompenseer diri karena perversi seksual (homoseksual- sado macho ).
sekian dulu berita dari saya.

Miranda Suryadjaja
Jl. Hang Tuah 43, Sanur 80227
BALI, Indonesia
Ph. 62-361-285027
Fax 62-361-286132
HP 0811 39 8554
email:

----- End of forwarded message from [email protected] -----

*****************************

From: "Lobilo Rumoko"
To:
Subject: BENARKAH PRABOWO DI BELAKANG PENEMBAKAN
MAHASISWA TRISAKTI?
Date: Fri, 26 Jun 1998 21:54:34 PDT

BENARKAH PRABOWO DI BELAKANG PENEMBAKAN
MAHASISWA TRISAKTI?

Tidak lama setelah Soeharto, sang "Raja Jawa" lengser dari takhtanya,
tersiar isu bahwa langkah akhir yang akan diambil sang Raja dalam
mempertahankan kekuasaannya, adalah mengumumkan keadaan darurat militer.
Namun kepercayaan terhadap Soeharto sudah sampai pada titik nol.
Demikian pula orang-orang di sekeliling Soeharto, yang selama ini
menikmati berbagai fasilitas dan memetik banyak keuntungan, mulai balik
badan. Bagi Soeharto, permainan kini sudah usai, peran harus berpindah
tangan kepada Wakil Presiden Habibie.

Sementara itu, banyak sekali cerita dilansir oleh berbagai pihak yang
sulit dilacak sumbernya, tentang peranan Letjen Prabowo Subianto, mantan
Panglima Kopassus yang baru saja dinobatkan sang Raja menjadi Panglima
Kostrad. Prabowo, menantu Soeharto itu, memang telah dirancang oleh
sang Raja untuk menduduki posisi puncak dan strategis, melangkahi
sejumlah tokoh senior di kalangan ABRI.

Prabowo telah menjadi figur utama dan menjadi incaran pers asing,
ketika dia berhasil membebaskan tawanan Indonesia dan asing yang
disandera oleh GPK Irian Jaya. Duta Besar Belanda, Australia dan Inggris
serta John Major (waktu itu Perdana Menteri Inggris) memuji keberhasilan
Prabowo dalam operasi pembebasan sandera itu.

Reputasi serta promosi yang begitu cepat diterima Prabowo dalam meniti
karir militernya, secara alamiah, memang menumbuhkan benih kecemburuan
dan menciptakan barisan sakit hati. Ketika Wiranto, Menhankam/Pangab
menggeser Prabowo ke posisi yang dianggap "mati", yakni diangkat menjadi
Dan Sesko ABRI di Bandung, ada pihak-pihak yang merasa lega.

Salah satu tindak kekerasan yang mula-mula terjadi adalah terbunuhnya
Kasat Intel Polres Bogor, Letda Dadang Rusmana, di depan sebuah mesjid
di Bogor pada tanggal 9 Mei 1998. Menurut cerita, Pamen polisi tersebut
ketika keluar dari mesjid sehabis sholat asar, rupanya dikenali oleh
mahasiswa dan menyerangnya yang kemudian melemparnya dengan batu. Versi
lain dari cerita itu adalah bahwa Pamen tersebut tidak membuka sepatunya
ketika memasuki mesjid, ini menyulut kemarahan pihak Islam.

Beberapa hari kemudian, yaitu tanggal 12 Mei 1998, terjadi demonstrasi
besar melibatkan mahasiswa di Kampus Universitas Trisakti, salah satu
kampus terkemuka yang mahasiswanya kebanyakan datang dari kelas
masyarakat menengah. Empat mahasiswa terbunuh secara mengenaskan dengan
luka tembak akibat peluru tajam, dan banyak lagi yang luka parah. Dalam
pengamanan demonstrasi di Universitas Trisakti tersebut pihak polisi dan
pasukan keamanan lainnya diperintahkan menggunakan peluru kosong dan
peluru karet, tetapi ternyata ada aparat keamanan menggunakan peluru
tajam. Menurut beberapa sumber, tindakan keras aparat keamanan ini
merupakan tindakan balas dendam yang dilakukan oleh satuan kepolisian,
atas kematian rekan mereka di tangan mahasiswa di Bogor tersebut.

Rumor yang tersebar malah menyebut terlibatnya Prabowo dan Kostrad dalam
penembakan mahasiswa Trisakti itu. Akan tetapi, mereka yang sangat anti
Prabowo pun (jumlahnya cukup banyak) tidak dapat membuktikan
keterlibatan Kostrad. Namun sesudah mahkamah militer mulai mengadili (6
Juni 1998), terdakwa yakni anggota polisi dan Brimob tidak dapat
melepaskan diri dari tanggung jawab atas penggunaan peluru tajam
terhadap demo damai mahasiswa Trisakti. Proses pengadilan terhadap
aparat kepolisian yang terlibat penembakan masih berlangsung saat
tulisan ini diturunkan.

Surat kabar The Washington Post edisi 8 Juni 1998 membeberkan tanggapan
Prabowo terhadap penembakan mahasiswa Trisakti: "Lima hari setelah
penembakan mahasiswa Trisakti dan sebelum penunjukannya menjadi Dan
Sesko ABRI di Bandung, Prabowo menyempatkan diri berkunjung ke rumah
salah satu korban, yaitu Hery Hartanto. Ketika Prabowo bertemu muka
dengan orang tua Hery, Prabowo mengambil AL Qur'an, kitab suci umat
Islam, menaruhnya di kepalanya sambil mengucapkan sumpah 'Demi Allah
saya tidak pernah memerintahkan pembantaian mahasiswa Trisakti itu'.

"Baru sekali dalam hidup saya menyaksikan kejadian seperti ini", ujar
ayah Hery Hartanto, Sjahrir Mulyo Utomo, 70 tahun, seorang pensiunan
tentara berpangkat Letnan Dua. Setelah kejadian itu, orang tua itu
berkata: "sekarang saya baru yakin bahwa Prabowo tidak terlibat."

Sehubungan dengan peristiwa Trisakti yang memilukan itu, ada hal yang
sangat ironis. Kematian Letda Dadang Rusmana di Bogor, seperti ramai
diberitakan media massa berdasarkan sumber polisi, bahwa kematian
tersebut akibat penganiayaan mahasiswa, ternyata hasil visum dokter
forensik, dr Yuli Budiningsih Tjatur SpF, membuktikan lain. Pamen
polisi itu meninggal karena serangan jantung. Pihak polisi tentu saja
tidak senang dengan kenyataan itu. Dokter forensik tersebut, seperti
dikutip surat kabar Kompas 19 Juni 1998, mengungkapkan bahwa dr Yuli
menerima surat ancaman bersamaan dengan diterimanya panggilan dari
Kepolisian Resor Bogor untuk meminta keterangan.

Prabowo terus mendapat simpati dari mantan pasukannya termasuk banyak
perwira senior lainnya di Kopassus yang ikut dibangunnya dengan baik dan
telah mendapatkan pengakuan internasional, sejajar pasukan elit
SAS-Inggris Walaupun kini hanya menduduki posisi yang tidak punya gigi
lagi, sebagai Dan Sesko ABRI, sosok Prabowo masih mengundang ketakutan
dan dianggap ancaman. Musuh-musuhnya tidak akan tinggal diam, mereka
akan terus berusaha agar Prabowo jatuh dan tidak pernah bangkit lagi.
Dan disinilah, peranan rumor dan rekayasa dimainkan.

*****************************

From:
Date: Sun, 28 Jun 1998 20:26:33 -0400 (EDT)
To:
Subject: Bangsa Preman

Kita Sudah Jadi Bangsa Preman

Ketika Ode Baru mulai berkuasa di pertengahan 1960-an, banyak anak
geng di Jakarta. Anak-anak geng kalau kumpul-kumpul, kerjanya itu
cuma nongkrong sampai pagi sambil merokok, kadang-kadang sambil
"nyekak" (ganja). Kalau tidak punya uang, lalu "ngompas" (merampas).
Biasanya yang di kompas itu anak cina yang sedang liwat, misalnya
sedang pulang sekolah. Anggapan bahwa anak cina lemah, punya uang dan
bisa di kompas sudah menjadi pendapat anak-anak remaja pribumi saat
itu, terutama anak-anak geng.

Kejadian 13 dan 14 Mei yang lalu benar-benar menyedihkan. Terus
terang saya malu mengaku jadi pribumi. Sudah menjarah, memperkosa,
lalu membunuh. Sungguh biadab bangsaku ini. Inilah bangsa preman.
Mengapa begitu banyak orang sudah tidak punya mata hati untuk
memberikan koreksi atas tindakan teman-temannya yang menjarah dan
memperkosa. Semua sudah jadi preman. Lantas saya coba merenung
kembali, mencoba manganalisa, mengapa hal ini bisa terjadi, sesudah
hampir 30 tahun.

Mengapa beberapa generasi bisa memiliki tingkah laku demikian ?
Sebagaimana anak belajar dari orang tuanya, demikianlah generasi kita
sejak 30 tahun yang lampau. Memperdaya, merampas, mengancam,
menculik, merusak, menyerobot, menyiksa, memperkosa,dan membunuh
adalah cara-cara yang diajarkan oleh orang tua mereka yang marjinal
dan sudah mulai mendapat angin "kekuasaan" pada saat itu. Militer
Indonesia, dengan organisasinya yang bernama ABRI sudah mulai
memperlihatkan kekuasaan yang seakan-akan memang diserahkan oleh
pimpinannya "geng"-nya. Karena ABRI punya pistol, dia bisa
menggunakan semua kebenaran yang dianutnya, yaitu kebenaran
berdasarkan hukum rimba, "siapa kuat dia menang".

Dari geng-geng itu muncullah preman-preman, yang notabene adalah
anak-anak ABRI tersebut. Sejak saat itu premanisme mulai merebak
keseluruh Indonesia. Di daerah Jawa Tengah dan Timur, biasanya
disebut gali. Mereka mulai mulai menguasai pasar-pasar, tempat
parkir, dan daerah-daerah bisnis pada umumnya, misalnya Blok M dan
Tanah Abang. Kini, yang jadi preman bukan hanya anak-anak ABRI,
tetapi juga anak-anak sipil kebanyakan. Kenyataannya, yang jadi
preman sekarang bukan hanya anak-anak kurang mampu. Bahkan pejabat-
pejabat pun sudah ketularan jadi preman. Kita bisa lihat berbagai
macam contoh kelakuan preman mulai dari yang dijalanan sampai dengan
yang dikantoran.

Pedagang-pedagang kecil di peras oleh preman-preman karena mencontoh
polisi yang memeras mereka dengan ancaman peraturan larangan
berdagang di areal tertentu. Di kompleks perumahan banyak lapangan
milik umum di semen lalu dijadikan tempat parkir pribadi, karena
mencontoh salah seorang penduduknya yang ABRI. Ada juga jalan
dibelakang rumah untuk pemadam kebakaran, ditutup untuk dijadikan
halaman rumahnya ABRI. ABRI memberi contoh praktek-praktek premanisme
di Indonesia.

Kalau rebutan karcis kereta ketika hari raya, sering kita lihat ABRI
berpakaian lengkap minta dispensasi, sehingga tidak perlu antri, dan
mendapat karcis jatahnya orang yang antri sejak pagi. Akibatnya
orang -orang banyak yang meniru lagak-lagak dan penampilan seorang
militer. Wartawan-wartawan juga banyak yang pemeras dan berpeilaku
seperti ABRI supaya ditakuti.

Gaya sok kuasa dan ingin ditakuti juga menghinggapi banyak aparat
pemerintah. Khusunya aparat kejaksaan dan kehakiman, adalah para
pemeras intelektual, sehingga muncul istilah "mafia peradilan".
Keadilan bisa dibeli dengan uang ataupun pistol. Ini adalah contoh
yang diberikan oleh biangnya ABRI yaitu Suharto. Bukankah kita ingat
ketika dia berkata beberapa kali akan "menggebuk siapa saja yang
melanggar konstitusi". Dengan mengatasnamakan konstitusi dan
peraturan pada umumnya, ABRI melakukan intimidasi dan kelakuan preman
lainnya untuk kepentingan pribadi ataupun golongannya.

Banyak sekali contoh-contoh yang diberikan oleh militer dan
lingkungannya kepada generasi anak geng, pada awalnya, dan ironisnya
menjadi semakin parah ketika turun kegenerasi-generasi yang
berikutnya. Anak-anak tawuran dijalannan sejak 10 sampai 20 tahun
terakhir ini adalah produk gaya militeris ataupun premanisme yang di
tularkan oleh rejim ini.

Penyerobotan tanah, perampasan proyek-proyek besar oleh para pejabat
dan sanak saudaranya, perilaku KKN para pejabat dan konco-konconya,
semua itu adalah bentuk premanisme juga. Tak heran kalau metromini,
mikrolet, bajaj, dan pengemudi-pengemudi di kota-kota besar menjadi
penyerobot jalanan yang tidak disiplin Mereka adalah produk dari
contoh-contoh para pemimpin rejim ini yang punya naluri militeris
yang premanis. "Ganyang habis musuh politik" adalah juga menjadi
pelajaran utama para politikus preman yang hipokrit dinegara ini.
Pengerdilan PDI merupakan contoh kekejaman rejim ini. Ingin menangis
rasanya melihat bagaimana orang-orang pintar, orang-orang dewasa yang
berpengalaman di PDI bisa di pecah-belah dan di kibuli seperti anak
kecil. Otak jahat rejim ABRI melalui tangan Sospol sudah terbaca oleh
semua orang normal. Bisa-bisanya pejabat yang "berwenang" mengatakan
bahwa pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kasus tersebut. 200
juta rakyat Indonesia dibohongi oleh orang-orang yang berpikir bahwa
mereka hebat karena bisa membodohi rakyat. Duaratus juta orang
dikibuli oleh sekelompok elit orang-orang yang punya senjata
bernaluri preman seperti Syarwan Hamid dan konco-konconya. Barangkali
juga Suryadi di ancam sampai keanak cucunya, sehingga dia takut dan
mau melakukan penghianatan terhadap PDI-nya. Tigapuluh tahun orang-
orang semacam itu terus saja melakukan kegiatan-kegiatan yang
mengatasnamakan stabilitas. Kejadian itu juga terjadi pada PPP ketika
jaman Naro. Cara berpikir dan bicara mereka juga hanya sekitar-
sekitar itu juga, seperti sudah menjadi doktrin. Mereka hanya tahu
cara-cara semacam itu, sudah sangat efektif untuk bisa hidup tenang
tidak diganggu oleh lawan politik. Mereka pikir dengan cara sederhana
itu mereka akan selalu berhasil membodohi banyak orang-orang pintar.
Mereka pikir dengan pistolya, senjatanya, berikut segala undang-
undang dan peraturan rekayasa yang mereka miliki, mereka akan
mendapatkan kemapanan dan kesejahteraan dalam berkuasa..

Ketika preman-preman "dibasmi" beberapa tahun yang lalu, muncul
berbagai pendapat tentang premanisme. Lepas dari bentuk-bentuk
premanisme yang ada, jelas sudah bahwa premanisme lahir sebagai
akibat cara rejim orde baru berkuasa. Kita bisa melihat tingkah laku
ABRI (yang terutama banyak memberi contoh), pejabat, preman-preman
sesungguhnya di jalanan, dan orang-orang dijalanan, berperilaku
preman untuk kepentingan pribadi ataupun golongannya.

Gaya sok kuasa, dekat dengan aparat, kenal dengan pejabat anu,
saudaranya Kolonel anu, sudah merupakan kebanggaan dan alat ancaman
yang ampuh. Secara tidak sadar, seluruh komponen bangsa ini telah
mendapat pelajaran, bahwa sikap dan tingkah laku semacam itu akan
memberikan manfaat dan kemenangan dalam berbagai konflik, dan
minimal, bisa untuk survival.

Untuk mencapai kepentingan politiknya, Golkar secara membabi buta
telah merangkul dan melegitimasi kelompok-kelompok preman seperti
AMS, PREMS, AMPI, dan kelompok yang lebih terstruktur antara lain
Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga. Dengan formalitas semacam
itu, terbukalah jalan bagi preman-preman tersebut menjadi wakil-wakil
rakyat yang duduk dilembaga yang seharusnya bersih dan dimulyakan
yaitu DPR dan MPR. Sebagai contoh adalah pemimpin-pemimpin preman
seperti Yapto dan Yoris. Bilamana rakyat sampai terwakili oleh orang2
semacam itu, mau dikemanakan bangsa ini. Bencana ekonomi dan politik
bangsa ini telah menjadi bukti, betapa buruknya kualitas wakil rakyat
semacam itu.

Yang seperti mereka itu ternyata banyak sekali di DPR/MPR. Para
pembaca pasti sudah dapat melihat sendiri, karena upaya-upaya menjadi
anggota DPR/MPR penuh dengan intrik, kelicikan dan ancaman-ancaman
gaya premanisme.

Ketika Pemilu tahun 1997, beberapa kawan yang bekerja sebagai pegawai
negeri, merasa sangat bingung. Kalau mereka diharuskan memilih
Golkar, berarti mereka memilih preman-preman tersebut, yang artinya
secara tidak langsung, mereka telah memilih orang-orang berdosa. Bila
tidak memilih Golkar....tahu sendiri akibatnya.

Betapa beratnya perjuangan bangsa ini dimasa mendatang, karena tabiat
preman telah merasuki segenap generasi. Anak-anak SD yang sudah
melihat keberhasilan Bapak dan Ibunya dengan cara demikian, akan
mudah menirunya. Apa sifat-sifat preman yang sudah bisa ditiru ?

Merampas, adalah kebiasaan preman. Peristiwa 14 dan 15 Mei yang lalu
membuktikan kelakuan preman di negara ini. Berapa banyak ? Banyak
sekali !!

Mengancam, ini cara yang efektif. Pejabat dan khususnya ABRI, sudah
terbiasa dengan kata-kata ancaman seperti menuduh tersangka sebagai
anggota PKI, GPK, ataupun ancaman UU subversif.

Menculik, sudah diberikan contoh konkrit oleh ABRI. Pius dan kawan-
kawan adalah korban dari perilaku preman.

Masih banyak lagi tingkah laku dan budaya buruk preman yang menulari
bangsa ini dan sudah terpelihara selama 30 tahun. Bagaimana kita bisa
memperbaikinya ? Buat saudara-saudaraku dari suku Cina yang juga
bangsa Indonesia. Maafkanlah suku bangsa pribumi yang preman ini.
Kami jadi preman itu karena kami diajari oleh Suharto selama 30
tahun. Kami tidak bisa menjamin, kapan dan berapa generasi lagi jiwa
PREMAN ini akan sirna, karena rejim ini masih dibayangi oleh kekuatan
bersenjata yang masih berdarah preman.

Semoga bencana yang menimpa bangsa ini bisa menjadi hikmah dan
membuka matahati kita semua. Semoga pula era reformasi ini bisa
memberi pelajaran pada generasi baru untuk tidak mengikuti jejak
buruk pendahulunya.

California, Juni 1998

Hilman Anwar

----- End of forwarded message from [email protected] -----

*****************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 26/I/27 Juni - 3 Juli 98
------------------------------

MENGAPA DIBYO DICOPOT?

(PERISTIWA): Pencopotan Jenderal Dibyo Widodo tak hanya berkaitan dengan
persidangan kasus Trisakti, tapi ambisinya menyaingi para perwira
Angkatan Darat.

Tak seperti biasa, Rabu malam, 25 Juni lalu, rumah dinas Kapolri di
Jalan Pattimura, Jakarta, tampak lengang. Tuan rumah, Jenderal (Pol)
Dibyo Widodo, tampak sedang bersantai bersama keluarga. Dengan tenang ia
meladeni berondongan pertanyaan wartawan seputar pergantian dirinya yang
diumumkan siang harinya oleh Kapuspen ABRI, Brigjen Samsul Ma'arif.

Tapi, ketika ditanyakan apakah pencopotannya berkaitan dengan
persidangan Kasus Trisakti yang menyeret belasan anak-buahnya, tiba-tiba
Dibyo menjawab dengan nada tinggi. "Apa tidak boleh kalau saya membela
korps saya?" ujarnya.

Tentu saja tidak. Yang justru mengagetkan adalah berita penggantian yang
terkesan mendadak. Dibyo sendiri mengaku baru menerima kabar tersebut
sehari sebelum diumumkan. Karena itu, meski Panglima ABRI Jenderal
Wiranto mengatakan penggantian Dibyo dan sejumlah perwira tinggi lainnya
sebagai mutasi jabatan biasa, peristiwa itu pasti ada apa-apanya.

Sepanjang menyangkut pencopotan Dibyo, spekulasi yang berkembang ya itu
tadi: berhubungan dengan persidangan Kasus Trisakti. Seperti diketahui,
untuk membela para anggota Brimob yang didakwa melakukan penembakan
mahasiswa Trisakti, Dibyo menggunakan jasa 122 pengacara swasta yang
dipimpin Adnan Buyung Nasution. Dan, sepak-terjang Buyung dan
kawan-kawan di persidangan kerap merepotkan Hakim Mahkamah Militer dan
Oditur Militer. "Dikhawatirkan para pengacara itu bisa merusak skenario
yang sudah disusun tim pemeriksa POM ABRI," kata sumber Xpos di Mabes
Polri.

Selain itu, pencopotan Dibyo juga dimaksudkan untuk mengerem ambisinya
menjadi orang nomor satu di ABRI. Sejak menjabat Kapolri, sepak terjang
Dibyo memang menganggu para perwira tinggi Angkatan Darat. Ia, misalnya,
seringkali mem-bypass hirarki komando ABRI. Di masa Soeharto masih
berkuasa, seringkali Dibyo dipergoki melapor ke Cendana, tanpa
sebelumnya memberitahu Panglima ABRI.

Akses Dibyo ke keluarga Cendana memang kuat. "Ia (Dibyo) itu tukang
pukul keluarga Cendana," kata sumber Xpos tadi. Maksudnya, selama
menjadi Kapolri banyak kepentingan keluarga Cendana yang
"diperjuangkan"nya. Misalnya, kasus penyidikan tiga Direktur Bank
Indonesia, yang dituduh melakukan korupsi dan kolusi dengan sejumlah
bankir. Ketiga bankir itu, yang akhirnya dilepaskan, merupakan korban
balas dendam Bambang Trihatmodjo - yang Bank Andromeda miliknya
dilikuidasi pemerintah.

Berkat kedekatannya dengan keluarga Soeharto, Dibyo jadi besar kepala
dan bertindak semaunya. Di masa kepemimpinannya, Polri kerap menangani
perkara-perkara basah yang sebelumnya menjadi lahan kejaksaan.
Akibatnya, kedua instansi penegak hukum itu sempat bentrok karena
rebutan lahan basah.
Bahkan, dulu sempat santer terdengar berita ia akan diangkat Soeharto
sebagai Wakil Panglima ABRI. Tapi, kini semua ambisi Dibyo itu kandas
bersama pencopotan dirinya. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*****************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 26/I/27 Juni - 3 Juli 98
------------------------------

TENTARA

(LUGAS): Zaman berubah. Masyarakat berubah. Semua berubah. Reformasi
mempercepat perubahan di semua segi kehidupan. Harapannya, tentu saja,
perubahan menuju ke arah yang lebih baik.

Satu kelompok yang banyak disoalkan sikapnya dalam menghadapi perubahan
adalah ABRI. Bagaimana ABRI menyesuaikan diri terhadap tuntutan
reformasi? Masyarakat ingin tahu, sebab, ABRI memang terlanjur dikenal
sebagai organisasi yang kaku, kurang luwes menghadapi tuntutan baru di
masyarakat.

Beberapa waktu lalu, kita mendapat sedikit gambaran tentang rencana ABRI
menghadapi reformasi. Ada desakan untuk Sidang Umum MPR, dan pemilihan
umum yang dipercepat menjadi Maret 1999. Tampaknya, ABRI responsif
terhadap tuntutan masyarakat. Tetapi, ada juga yang mengkhawatirkan.
Misalnya, kekukuhan ABRI untuk bertahan di DPR, tanpa lewat pemilu.

ABRI tak ingin anggotanya ikut mencoblos. Tapi, ingin anggotanya
diangkat di parlemen. Alasannya: ikut partai bisa memecah belah ABRI.
Sikap semacam ini, agaknya tak sesuai dengan reformasi menuju negara
modern. Sebab, dalam negara modern, semua warga negara - apapun
profesinya - diperlakukan sama di depan hukum. Punya hak politik dan
kewajiban yang sama. Perlakuan istimewa tak dikenal dalam negara yang
memandang warga negara sederajat.

Keengganan ABRI untuk ikut pemilu, tak berdasar. Kekhawatiran terpecah
belah, bila anggotanya ikut partai, mengandung kecurigaan tersembunyi
kepada partai politik. Di dasarnya ada asumsi, bahwa partai politik
adalah sumber kekacauan dan tidak bisa dipercaya. Padahal, di masyarakat
modern, partai adalah sarana yang wajar untuk menyalurkan aspirasi dan
mengelola konflik secara damai.

Sudah saatnya, ABRI melupakan trauma tentang partai politik. Kalau
tidak, format politik darurat akan selalu mempunyai dasar pembenaran.
ABRI yang mendukung reformasi, mestinya meninggalkan format politik masa
darurat. Dwi fungsi dan implikasinya yang abnormal dalam tatanan
politik, adalah produk masa darurat. Sekarang, zaman berubah. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*****************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 26/I/27 Juni - 3 Juli 98
------------------------------

GERILYA POLITIK JENDERAL WIRANTO

(PERISTIWA): Apa saja strategi militer untuk tetap mempertahankan
dominasi politiknya? Jenderal Wiranto pun melakukan "pembersihan" faksi
Prabowo. Akankah ambisi Wiranto menjadi "orang nomor satu" kesampaian?

Jenderal Wiranto tampaknya tak mau buang-buang waktu. Bagai striker
sepak bola nan handal, Panglima ABRI itu dengan sigap melakukan
manuver-manuver di tengah ketidakpastian politik sekarang ini. Pekan
lalu, misalnya, Wiranto melakukan "pembersihan" sejumlah perwira tinggi
yang selama ini dikenal dekat dengan seteru utamanya, Letjen Prabowo
Subianto.

Yang terkena pembersihan, antara lain, Mayjen Sjafrie Sjamsuddin
(Panglima Kodam Jaya) dan Mayjen Kivlan Zen (Kepala Staf Kostrad). Kedua
"orang dekat" Prabowo itu terpaksa masuk kotak. Sjafrie dipindah ke pos
Asisten Teritorial Kasum ABRI, sedangkan Kivlan menjadi Pati Mabes
Angkatan Darat.

Pencopotan Sjafrie sebenarnya sudah dipersiapkan Wiranto sejak lama,
menyusul pencopotan Prabowo dari jabatan Pangkostrad. Alasannya, Sjafrie
dianggap gagal mengatasi kerusuhan yang melanda ibukota, 13-14 Mei lalu.
Perwira kelahiran Sulawesi Selatan juga diisukan terlibat aksi
penculikan sejumlah aktivis pro-demokrasi, awal tahun ini.

Awalnya, langkah pembersihan Wiranto itu sempat tertahan. Pasalnya, kata
seorang pengamat politik, "Saat itu, Sjafrie masih dilindungi Habibie."
Tapi, rupanya tekanan politik terhadap Habibie makin kuat, hingga ia tak
kuasa lagi mempertahankan Sjafrie. Lalu, pos-pos strategis yang lowong
tadi diisi Wiranto dengan orang-orangnya. Jabatan Pangdam Jaya,
misalnya, diserahkan kepada Mayjen Djaja Suparman (Akabri 1972).
Sedangkan pos Kepala Staf Kostrad dipegang Mayjen Ryamizard Ryacudu,
menantu mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.

Gerakan Wiranto tak hanya sebatas intern ABRI. Lewat operator politik
utamanya, Kassospol ABRI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, faksi Wiranto
terus melakukan gerilya politik. Pekan lalu, misalnya, Wiranto dan
sejumlah petinggi ABRI lainnya menyerahkan draft konsep reformasi versi
ABRI kepada Habibie.

Dalam konsep reformasi, yang kabarnya digodok 35 perwira tinggi, itu
ABRI mengajukan agenda politik yang berbeda dengan yang digariskan
Presiden Habibie. Misalnya, ABRI menghendaki Sidang Istimewa MPR digelar
Oktober tahun ini. Padahal, kesepakatan Habibie dan pimpinan DPR acara
itu akan diselenggarakan Desember 1998. Selain itu, ABRI mengagendakan
pemilu diselenggarakan Maret tahun depan, lebih cepat dua bulan dari
kehendak Habibie.

Yang menarik, ABRI menuntut "peninjauan" Ketetapan MPR No. V/1998
tentang pelimpahan kekuasaan negara kepada presiden. Dulu, Ketetapan MPR
itu sempat ramai diperdebatkan karena memberikan kekuasaan besar kepada
presiden dalam memerintah negara. Bila ketetapan itu kelak dicabut,
bargaining position ABRI terhadap presiden tentunya menjadi lebih besar.
Ketetapan MPR lainnya yang dituntut pencabutannya adalah Tap No. IV/1998
tentang pengangkatan Soeharto sebagai presiden, dan Tap MPR No. VI/1998
yang mengangkat Habibie sebagai wakil presiden.

Ketika membaca konsep reformasi ABRI itu, kabarnya, Habibie sempat
grogi, karena merasa posisinya makin terjepit. Di satu sisi ia harus
mengambil simpati rakyat, tapi di pihak lain ia tak kuasa menolak
tuntutan pimpinan ABRI. Sudah jadi rahasia umum, selama ini pengaruh
Jenderal Wiranto cukup besar dalam menentukan berbagai kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah Habibie. Bahkan, kata pengamat politik tadi,
"Secara de facto, presiden Indonesia sekarang ini adalah Wiranto, bukan
Habibie."

Pendapat itu ada benarnya, jika kita mengamati perkembangan politik
akhir-akhir ini. Banyak kebijakan pemerintah Habibie yang didikte
pimpinan ABRI. Contoh paling mencolok, tentu saja, peristiwa pergantian
Jaksa Agung beberapa waktu lalu. Pencopotan Soedjono C. Atmonegoro, lalu
digantikan Letjen Andi Muhamad Ghalib - sebelumnya menjabat Oditur
Jenderal ABRI, tak lepas dari campur tangan Panglima ABRI Jenderal
Wiranto. (lihat Xpos, No.25/I)

Tak hanya itu. Campur tangan ABRI juga terjadi dalam perumusan revisi
undang-undang politik yang sedang digodok Tim Depdagri - di bawah
pimpinan Prof. Ryass Rasyid. Hampir semua anggota tim perumus bermaksud
berpendapat bahwa sebaiknya seluruh anggota DPR mendatang dipilih lewat
pemilu. Dengan begitu, jatah kursi ABRI dihilangkan. Mendengar itu, para
pimpinan ABRI tentu saja tak senang, lantas menelpon Mendagri Syarwan
Hamid. Akhirnya, diputuskan jatah kursi ABRI tetap dipertahankan, meski
dikurangi menjadi 50 kursi. Sedangkan jatah di DPRD disesuaikan dengan
jumlah anggota yang ada di daerah setempat.

Meski jatahnya di parlemen berkurang, tak berarti peran politik kaum
serdadu itu berkurang. Malah, belakangan tanda-tanda dominasi militer
justru makin menguat. Sejumlah jabatan yang sudah "diserahkan" kepada
sipil, kini direbut lagi. Contohnya, pos Jaksa Agung tadi.

Selain itu, sejumlah jabatan gubernur, terutama untuk wilayah basah,
kembali menjadi incaran para perwira ABRI. Kalimantan Timur, misalnya,
kini dipimpin Brigjen Suwarna Abdul Fatah. Padahal, sudah beberapa
periode terakhir propinsi penghasil minyak dan kayu hutan itu dipimpin
pejabat sipil. Sebelumnya, Mayjen Rizal Nurdin juga dilantik sebagai
Gubernur Sumatera Utara, dan Laksamana Muda Fredi Numberri jadi Gubernur
Irian Jaya.

Sampai saat ini, tercatat hampir separoh propinsi dipimpin para perwira
ABRI, baik yang masih aktif maupun sudah purnawirawan. Belakaangan,
nama-nama perwira tinggi bertebaran dalam daftar calon pemilihan
gubernur di beberapa daerah. Sejak lama, jabatan gubernur merupakan
salah satu "tugas karya" para perwira tinggi ABRI. Di awal Orde Baru,
sebagian besar propinsi justru dipimpin perwira militer. Pos lain yang
juga kerap diincar adalah jabatan eselon satu di departemen atau
instansi pemerintah lainnya. Sebab, selain menghasilkan banyak uang,
jabatan-jabatan tersebut jelas efektif untuk mengontrol stabilitas
politik.

Selain itu, ABRI menempati lebih dari 60% Ketua DPD Golkar. Meskipun
dalam retorika ABRI ingin Golkar mandiri.

Memang, belum jelas benar apakah makin besarnya "minat" para perwira
tinggi duduk di pos gubernur atau dirjen itu merupakan instruksi Mabes
ABRI, atau keinginan pribadi semata? Tapi, apapun motifnya, kita pantas
khawatir militerisme akan kembali mendominasi pentas politik nasional.
(*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*****************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 26/I/27 Juni - 3 Juli 98
------------------------------

BILA SERDADU IKUT PEMILU

(PERISTIWA): Pemerintah memutuskan ABRI tetap mendapat kursi di
parlemen. Apa untung-ruginya tentara ikut pemilu?

Para perwira ABRI, bisa jadi, merupakan kaum serdadu paling beruntung di
dunia. Berbagai hak istimewa mereka punya. Salah satunya, jatah kursi di
parlemen bagi para perwira aktif. Semula jatah itu berjumlah 100 kursi,
seperlima anggota DPR. Lalu, dikurangi menjadi 75 kursi. Dan kini,
berdasarkan rumusan Tim Departemen Dalam Negeri, jatah itu menjadi 50
kursi. "Jatah kursi diberikan karena ABRI tak ikut dalam pemilu," jelas
Ketua Tim Depdagri, Prof. Ryass Rasyid.

Tak ada hal baru dari penjelasan tersebut. Alasan itu pula yang selalu
dilontarkan para petinggi ABRI setiap kali ditanyakan soal jatah kursi
di DPR. Tapi, mengapa anggota ABRI tak diijinkan ikut pemilu? "Bisa-bisa
ABRI nanti terpecah-pecah," begitu jawaban yang selalu diulang-ulang
pimpinan ABRI. Maksudnya, jika ABRI ikut memilih atau dipilih dalam
pemilu, dikhawatirkan aspirasi politik mereka akan mengikuti
partai-partai politik yang saling bersaing di pentas nasional.

Argumen itu tak sepenuhnya benar. Buktinya, saat anggota ABRI ikut
memilih di Pemilu 1955 tak berpengaruh bagi kekompakan ABRI. Kalaupun
ada perpecahan, itu disebabkan ambisi pribadi para komandan pasukan.
Contoh paling mencolok adalah Peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu,
sepasukan tentara bersenjata lengkap, termasuk beberapa tank militer,
mengepung istana negara. Rupanya, komandan pasukan itu tak menyetujui
keputusan Presiden Soekarno mengangkat Kolonel Bambang Utoyo sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat.

Konflik internal di tubuh ABRI sekarangpun punya warna serupa,
disebabkan pertentangan antar "faksi Wiranto" dengan "kubu Prabowo".
Kedua jenderal itu saling berebut pengaruh, demi memuluskan ambisi
politiknya masing-masing. Jadi, jelaslah perpecahan yang terjadi di
ABRI sama sekali tak ada hubungannya dengan partai politik, apalagi
pemilu.

Di negara-negara demokratis, semua anggota militer ikut memilih dalam
pemilu. Yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota parlemen juga
diijinkan, tentunya dengan syarat keluar dulu dari kesatuannya alias
pensiun. Maklum, dalam sistem demokratis umumnya militer dilarang
mencampur-aduk urusan militer dengan politik.

Kalau begitu, mengapa ABRI tak mau ikut dalam pemilu? Ada dua
kemungkinan. Pertama, tidak berani, karena merasa tak cukup punya
kemampuan bermain politik secara fair. Atau kemungkinan lain, kaum
serdadu itu tak mau melepaskan hak istimewa yang telah dinikmatinya
selama ini. Jadi, buat apa susah-susah bertarung dalam pemilu, kalau
punya jatah kursi di parlemen. Berkat hak istimewa itulah para petinggi
ABRI mempertahankan dominasinya dalam perpolitikan nasional.

Keadaan itu tentu saja tak membantu reformasi sistem politik nasional.
Karena, bagaimanapun, jatah kursi ABRI itu paling tidak memperkecil
peluang politisi profesional untuk berkiprah di parlemen. Lagipula,
bukankah sistem politik yang sehat harus dibangun berdasarkan persaingan
sehat dan adil, bukan jatah-jatahan. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*************************************************
Date: Mon, 22 Jun 1998 00:52:26 -0700 (PDT)
From: Soekarno Chenata
>
Subject: INDO-CHAOS-->REFORMASI PENYELESAIAN MASALAH MINORITAS oleh Siauw
Tiong Djin
To:

Oleh: Siauw Tiong Djin - Juni 1998

Turunnya Suharto dari kedudukan Presiden RI pada tanggal 21 May 1998
yang lalu telah membuka peluang besar untuk rakyat Indonesia memasuki
era baru dalam sejarahnya, era Reformasi.

Para pejuang Reformasi dari semula menuntut terlaksananya Reformasi
Total, yang mempunyai arti yang sangat luas. Yang dimaksud dengan
Reformasi Total tidak bisa tidak berarti perombakan sistim yang
strukturil, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik menjadi
lebih baik.

Perombakan perombakan yang bersifat strukturil ini baru bisa berhasil
bilamana para pejuang Reformasi di Indonesia mempunyai kesungguhan
(commitment), ketekad bulatan (determination), dedikasi penuh dan
kesadaran penuh akan apa yang harus dirombak, apa yang harus
dipertahankan dan apa yang harus diperbaiki.

Dari sekian banyaknya sistim pemerintahan dan undang undang yang harus
dirombak atau diganti ini, terdapat pula berbagai sistem pemerintahan,
undang undang, peraturan peraturan pemerintah serta kebijaksanaan dari
berbagai pimpinan pemerintah maupun organisasi politik yang
berhubungan dengan masalah minoritas, khususnya dengan golongan
Tionghoa yang sebagian besar sudah bergenerasi hidup di Indonesia.

Penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian penting dari
Reformasi Total. Mengapa? Karena berlangsungnya tindakan tindakan
rasialistis dalam berbagai bidang, apalagi adanya ledakan ledakan
rasialis, baik yang terorganisir maupun yang spontan, yang dengan
keji merenggut jiwa, harta dan kehormatan golongan Tionghoa, akan
senantiasa menimbulkan perpecahan dalam tubuh masyarakat Indonesia.
Tindakan tindakan yang diskriminatif juga menimbulkan pemborosan
pemborosan yang menghambat pembangunan negara dan menyuburkan korupsi,
kolusi dan nepotisme.

Perpecahan dan pemborosan demikian akan senantiasa menghambat
pembangunan ekonomi nasional yang menjadi dasar dari kemakmuran
bersama. Adanya tindakan tindakan rasialistis juga dengan sendirinya
merusak prestasi Indonesia sebagai negara hukum yang mengindahkan hak
azazi manusia.

Tanpa adanya penyelesaian masalah minoritas yang bijaksana dan yang
diterima dan didukung oleh semua golongan di tanah air, Reformasi
apapun tidak akan bersifat Total.

Makalah ini ditulis untuk menuangkan bahan bahan pikiran yang bisa
digunakan dalam mempertimbangkan bentuk Reformasi yang bisa dicapai
sehingga Indonesia yang kita cintai ini berkembang menjadi negara yang
bebas dari rasialisme dan golongan minoritas Tionghoa-nya
terintegrasi/terbaur di dalam tubuh bangsa Indonesia. Dengan
demikian, Reformasi Total ini betul betul menjadi jembatan emas dalam
tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur seperti yang diidam
idami oleh setiap pejuang Reformasi.

Asal Usul Rasialisme di Indonesia

Apa sebenarnya yang menyebabkan rasialisme itu "subur" dan kian meraja
lela di Indonesia? Rasialisme sebenarnya adalah warisan dari
kolonialisme. Penjajah Belanda menjalankan politik Divide and Rule
untuk mempertahankan sistim penjajahannya di Indonesia, yang
berlangsung selama 350 tahun. Oleh Belanda, golongan Tionghoa selalu
dijadikan perisai dalam menghadapi kemarahan rakyat. Selalu
ditimbulkan kesan bahwa golongan Tionghoa itu di"lindungi" dan
di"anak-emas"kan olehnya. Bagaimana kenyataannya?

Orang Tionghoa sudah berada di Indonesia sejak abad ke 7. Pada waktu
Belanda tiba di Indonesia, pada abad ke 16, penduduk peranakan
Tionghoa di Indonesia sudah memainkan peranan penting dalam apa yang
sekarang dinamakan International Trade, karena mereka menjadi tulung
punggung perdagangan antar Tiongkok-Indonesia dan India-Indonesia
serta tempat tempat lainnya. Di dalam negeri, mereka-pun memegang
peranan penting dalam jaringan distribusi, sehingga hasil bumi rakyat
di pedalaman bisa masuk ke kota kota, dan barang barang dari kota bisa
masuk ke pedalaman. Pada jaman itu, golongan Tionghoa dan golongan
"pribumi" hidup bersama dengan harmonis. Mereka saling bantu membantu
dan tidak ada "racial prejudice".

Walaupun sebagian dari penduduk Tionnghoa di Jawa itu berdagang,
sebagian besar dari mereka hdidup sebagai tukang tukang kayu, pembuat
perabotan, pedagang eceran dan pemilik sertai pegawai restoran. Di
luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan, sebagian besar dari penduduk
Tionghoa hidup sebagai buruh pertambangan dan perkebunan milik Belanda.

Belanda memerlukan jaringan dagang yang sudah diciptakan oleh penduduk
Tionghoa ini sehingga pada mulanya terjalinlah hubungan dagang di
antar kedua golongan ini. Para pedagang Tionghoa yang besar dan
berjasa bagi Belanda, diberi titel Letnan, Kapten dan Mayor. Dengan
berkembangnya ekonomi penjajahan dan lebih besarnya persaingan antara
pedagang pedagang raksasa Tionghoa dan tokoh tokoh VOC-Belanda,
Belanda mengambil kebijaksanaan yang mendiskriminasikan golongan
Tionghoa. Keluarlah peraturan peraturan yang dinamakan Pass dan
Zoning system, yang berlangsung dari tahun 1863 sampai 1930-an. Orang
orang Tionghoa dipaksa untuk tinggal di daerah daerah yang hanya
dihuni oleh golongannya, sehinggal timbullah Pecinan di kota kota
pulau Jawa, semacam ghetoes-nya orang Yahudi di Eropa. Orang orang
Tionghoa juga dilarang berkeluaran dari daerahnya. Mereka harus
memiliki surat jalan dan hanya boleh keluar ke tempat tempat kerjanya.
Baru setelah golongan Tionghoa bangkit melawannya di awal abad 20,
pemerintah Belanda mulai menghentikan pass dan zoning system ini.

Akibat dari tindakan Belanda ini, di Indonesia terdapat ratusan daerah
Pecinan yang secara bergenerasi ditinggali oleh orang Tionghoa. Ini
suatu tanda bahwa hadirnya Pecinan atau China-towns bukanlah semata
mata kehendak dari orang orang Tionghoa untuk tidak keluar dari
daerahnya, melainkan akibat dari sistim penjajahan.

Masyarakat Indonesia lalu dikotak kotakkan oleh Belanda. Orang
Tionghoa dipisahkan dari masyarakat "pribumi". Status hukumnya
dibedakan. Mereka hanya boleh masuk sekolah sekolah khusus untuk
Tionghoa. Golongan Tionghoa dikambing hitamkan. Kemiskinan rakyat
sebagai akibat dari sistim penjajahan disalahkan pada golongan
Tionghoa. Mereka sering dihasut untuk dibenci dan membenci golongan
mayoritas-nya.

Proses pengotakan yang berlangsung beratus tahun dengan sendirinya
menimbulkan adanya "dinding pemisah" yang tebal antara golongan
Tionghoa dan golongan mayoritas Indonesia. Hasutan hasutan yang
sering dilakukan oleh Belanda dengan sendirinya menimbulkan adanya
benih benih rasialisme dalam tubuh ke dua golongan ini.

Benih benih rasialisme inilah yang menjadi dasar dari adanya ledakan
ledakan rasialisme pada masa revolusi (1945-1949). Belanda, yang
ingin kembali menjadi penjajah selalu menggunakan golongan Tionghoa
sebagai alat untuk memecah belah dan juga sebagai alasan untuk merusak
martabat Republik Indonesia yang masih muda di mata dunia. Sejarah
telah membuktikan bahwa Belanda seringkali mengorganisir orang orang
kriminil dari penjara penjara di daerah kekuasaannya untuk dibawa ke
daerah dareah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, untuk mengacau,
merampok dan membakar daerah daerah yang dihuni oleh golongan
Tionghoa.

Kekacauan keacauan itu lalu "dipadamkan" oleh pasukan Belanda, dengan
menembak para penjahat kriminil yang memimpin kekacauan dan
pengrusakan. Timbullah kesan bahwa Belanda "melindungi" Tionghoa dan
Tionghoa adalah "sekutu" Belanda. Inilah yang menyebabkan golongan
Tionghoa selalu dijadikan sasaran dari kemarahan kemarahan rakyat di
daerah daerah Republik, sehingga timbul exodus pengungsi Tionghoa
menuju daerah daerah yang dikuasai oleh Belanda. Ledakan ledakan
rasialis ini sering digunakan oleh Belanda untuk mempengaruhi opini
dunia bahwa Republik Indonesia tidak mampu menjaga keamanan dalam
negerinya sendiri.

Untuk meredakan dan mengatasai urusan minoritas, pemerintah Sjahrir
memerlukan adanya menteri Tionghoa di dalamnya. Tan Po Goan diangkat
menjadi menteri pada tahun 1946. Pada waktu Perdana Menteri Sjahrir
diganti oleh Amir Sjarifudin, Siauw Giok Tjhan menggantikan Tan Po
Goan sebagai menteri urusan minoritas. Baik Tan Po Goan maupun Siauw
Giok Tjhan menghadapi kesulitan dalam meyakinkan sebagian besar
golongan Tionghoa untuk tetap mendukung Republik Indonesia. Pada
umumnya, sebagai akibat dari ledakan ledakan rasialis yang menelan
jiwa, harta dan kehormatannya, mereka lebih condong mendukung Tiongkok
atau Belanda.

Setelah kemerdekaan terkonsolidasi pada tahun 1949-1950, rasa kuatir
mereka akan keselamatannya mulai berkurang dan tokoh tokoh Tionghoa
yang aktif berkecimpung dalam dunia politik mulai berhasil meyakinkan
mereka bahwa bagi mereka tidak ada jalan lain selain menganggap
Indonesia itu tanah airnya.

Perkembangan politik pada phase berikutnya ternyata tidak menolong
timbulnya keharmonisan hidup antara golongan Tionghoa dan golongan
mayoritas Indonesia. Massa Demokrasi Parlementer (1950-1959) ternyata
diwarnai dengan kekacauan politik yang menyebabkan seringnya terjadi
pergantian kabinet.

Pergantian kabinet ini menyebabkan timbulnya suatu kelas elite
politikus yang mewakili partai partai politik yang berjumlah tinggi
pada masa itu. Sebagai pimpinan partai partai politik, mereka juga
harus berusaha mengumpulkan dana untuk keberlangsungan hidup partai
partainya. Di samping itu, timbulnya kelas elite politikus ini
mendorong adanya keinginan untuk memperkaya dirinya masing masing.
Timbullah keinginan untuk mengambil alih kekuatan ekonomi domestik
yang berada di tangan pedagang Tionghoa. Prioritas politik bukan
didasarkan atas keinginan untuk melikwidasi ekonomi kolonial, dalam
pengertian mengambil alih perusahaan perusahaan milik multi-nasional
Belanda, melainkan ditujukan untuk mengambil alih usaha usaha yang
sudah berpuluh tahun berada di tangan pedagang Tionghoa.

Keluarlah peraturan peraturan yang bersifat diskriminatif dari menteri
menteri ekonomi dalam berbagai kabninet. Dimulai dengan Djuanda pada
tahun 50-51, lalu Sumitro pada tahun 52-53 dan kemudian Iskaq pada
tahun 53-54. Peraturan peraturan ini membatasi ruang lingkup usaha
pedagang Tionghoa dalam dunia transportasi (bus dan truk), export dan
import, penggilingan padi dan lain lain bidang. PP-10 yang
dikeluarkan pada tahun 59, melarang orang Tionghoa asing untuk
berdagang dan tinggal di daerah pedalaman sehingga timbullah exodus
yang berjumlah lebih dari 100,000 orang Tionghoa menuju ke Tiongkok
(1959-1960).

Usaha usaha untuk mengambil alih peranan yang dimainkan olehg golongan
Tionghoa ini juga mendorong beberapa pimpinan partai partai politik
yang dipelopori oleh Sunario,PNI (Menteri Luar Negeri -1953-1955)
untuk memperkecil jumlah warga negera keturunan Tionghoa, sehingga
peraturan peraturan yang melarang orang asing berdagang bisa
mengakibatkan banyaknya orang Tionghoa tidak bisa lagi berdagang.
Timbullah kebingungan, karena banyak orang Tionghoa yang sudah menjadi
WNI karena UU Kewarganegaraan 1946 dan Perjanjian KMB 49, mau
dijadikan warga negara asing. Usaha ini berhasil dibatalkan di DPR
atas perlawanan gigih dari para anggota parlemen Tionghoa yang
dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan.

Pada jaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), banyak peraturan peraturan
yang bersifat rasialistis dihapuskan. Kedudukan golongan Tionghoa
secara politis menjadi lebih baik karena dekatnya Sukarno dengan
pemerintah RRT. Ledakan ledakan rasialis memang ada, tetapi
pemerintah selalu siap untuk mengutuk dan menumpasnya. GBHN MPRS pada
tahun 65 menjamin dikembangkannya modal domestik milik pedagang
Tionghoa demi pembangunan ekonomi negara.

Tetapi "honey-moon" antara golongan Tionghoa dan Sukarno putus dengan
peristiwa G30S dan tampilnya kekuasaan Suharto pada akhir tahun 65.
Secara sistimatis Suharto menyamakan Tionghoa dengan RRT, sehingga
golongan Tionghoa dipersekusi pada awal kekuasaannya. Dengan
berkuasanya Suharto dan dimulainya Orde Baru, terminologi Cina, yang
mengandung penghinaan, diresmikan pada tahun 66 untuk menciptakan
inferiority complex pada golongan Tionghoa. Sekolah sekolah Tionghoa
ditutup. Penggunaan bahasa Tionghoa secara resmi dilarang. Secara
sistimatis dilangsungkan pemaksaan ganti nama massal. Peraturan
peraturan diskriminatis dikeluarkan secara terang terangan. Ledakan
ledakan anti Tionghoa sering terjadi.

Suharto menggunakan taktik Divide and Rule dan adu domba yang dipakai
oleh Belanda. Kesan sering ditimbulkan bahwa Tionghoa adalah sekutu
Suharto. Kemiskinan disalahkan pada golongan Tionghoa. Hasutan
hasutan atas golongan Tionghoa dijalankan oleh pimpinan pemerintahan
dan ABRI. Ledakan ledakan rasialisme pada umumnya dimulai dengan
adanya "provocateur", orang orang Suharto, yang membakar massa untuk
menjarah, merampok, memperkosa, membunuh dan merusak harta milik
Tionghoa. Setelah kekacauan timbul, pemerintah Suharto mengambil
tindakan yang memberi gambaran bahwa ia "melindungi" golongan Tionghoa.

Dalam bulan bulan terakhir kekuasaannya, terlihat adanya gerakan
gerakan anti Tionghoa yang diorganisasi. Pada tanggal 13 dan 14 Mei
yang lalu, truk truk yang mengangkut orang orang yang berperawakan
tegap, dengan potongan rambut pendek dan sepatu boot militer
bermunculan di daerah daerah yang dihuni oleh golongan Tionghoa.
Mereka inilah yang mengajak massa untuk menyerbu perumahan, toko toko
milik Tionghoa untuk dirusak, dirampok dan dibakar. Mereka inilah
yang mengajak sebagian dari massa untuk dengan keji memperkosa ratusan
wanita Tionghoa, bahkan membunuhnya.

Gerakan ini jelas terorganisasi, karena pihak pihak yang berkewajiban
ternyata berpeluk tangan dan tidak segera datang meredakan suasana.
Jeritan dari ribuan korban diabaikan. Baru setelah korban berjatuhan
dan harta rusak, pasukan pasukan datang menentramkan suasana.
Penangkapan penangkapan terhadap yang bertanggung jawab memang mulai
dilaksanakan, tetapi hanya terbatas pada kelompok orang yang menerima
perintah. Pemberi perintah atau instruksinya sampai sekarang masih
belum dituntut di hadapan pengadilan.

Dalam dua hari itu, 40 kompleks pertokoan besar, 4100 toko dan kantor
dan 1200 perumahan dirusak. 2000 orang diperkirakan meninggal. Belum
lagi diperkirakan akibat taruma yang diderita oleh beribu orang
Tionghoa sebagai akibat dari tindakan tindakan kejam ini. Sebagian
dari korban ini tidak akan bisa "pulih" sebagai manusia yang wajar
dalam hidupnya.
Banyak dari mereka juga tidak akan bisa menikmati hidup layak, karena
usaha yang sudah dipupuk bertahun tahun hancur, hubungan jasmani dan
rokhani di antaranya telah dirusak dan kestabilan jiwanya lenyap.

Secara ringkas bisalah disimpulkan bahwa rasialisme itu adalah warisan
kolonial yang diteruskan oleh para pimpinan partai politik di jaman
masa demokrasi parlementer (50-59) dan kemudian diperhebat oleh
Suharto dalam masa Orde Barunya. Dalam masa Orde Baru-nya Suharo,
benih benih rasialisme ini memang di "kembang biak-an" sehingga ujung
tombak kemarahan rakyat selalu ditujukan ke golongan Tionghoa.

Bagaimana benih benih rasialisme ini dilenyapkan? Diperlukan suatu
usaha kongkrit yang nyata dan efektif dalam tiga bidang utama.
Pertama partisipasi dalam bidang politik sehingga ada wakil wakil
golongan Tionghoa mempunyai kemampuan dalam menciptakan UU yang
menentang rasialisme atau menghilangkan UU serta peraturan peraturan
yang bersifat rasialistis. Kedua, Golongan Tionghoa harus aktif
berpartisipasi dalam menciptakan kemakmuran bersama dengan menyalurkan
semua funds dan resources serta pengalaman dan keakhliannya pada
kegiatan kegiatan yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan.
Ketiga, golongan Tionghoa harus mempunyai tekad dan kesungguhan dalam
mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia, sehingga
aspirasi rakyat juga menjadi aspirasi golongan Tionghoa.
Pengintegrasian dan pembauran ini harus bersifat penghayatan aspirasi,
bukan dalam bentuk biologis dan penujukan sikap yang semu.

BERSAMBUNG..

*******************************

Date: Mon, 22 Jun 1998 00:52:28 -0700 (PDT)
From: Soekarno Chenata
Subject: INDO-CHAOS-->REFORMASI PENYELESAIAN MASALAH MINORITAS oleh Siauw
Tiong Djin(2)
To:

Usaha yang akan memberi jalan keluar ini harus diupayakan dan dimulai
secara berbarengan karena ketiga-tiganya saling berhubungan dan
bergantungan.

1. Partisipasi dalam bidang politik

Kemampuan untuk mempengaruhi adanya berbagai undang undang, peraturan
peraturan serta kebijaksanaan yang menciptakan suasana yang ideal
untuk persatuan dan kesatuan bangsa, suasana dan lingkungan yang
bersih dari rasialisme, golongan Tionghoa harus mempunyai wakil wakil
yang efektif di dalam instansi intansi pemerintah dan organisasi
organisasi politik. Ini berarti pastisipasi dalam bidang politik.

Golongan Tionghoa di Indonesia memang mempunyai streotype yang
merugikannya. Mereka dianggap sebagai golongan yang bersifat
eksklusif, oportunistis, serakah, pelit, maunya untung dan enak saja,
akhli dalam menyogok dll. Walaupun ada segelintir orang Tionghoa yang
memiliki karakter negatif ini, sebagian besar dari mereka tidak
demikian. Ada pula yang terjun dalam bidang politik dan berjasa dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan membangun Indonesia.

Orang orang Tionghoa sudah berkecimpung dalam bidang politik sejak
awal abad ke 20. Di jaman penjajahan Belanda, ada tiga aliran dalam
golongan Tionghoa. Aliran yang berkiblat ke Tiongkok, diwakili oleh
kelompok Sin Po. Yang berkiblat ke Belanda, diwakili oleh Chung Hua
Hui, yang dipimpin oleh orang orang yang berpendidikan Belanda dan
yang berasal dari keluarga kaya raya. Yang menganggap Indonesia
adalah tanah airnya dan mendukung perjuangan mencapai kemerdekaan
diwakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dari ketiga aliran
ini, tokoh tokoh PTI-lah yang aktif dalam persiapan kemerdekaan dan
turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia di jaman revolusi
(1945-1949). Diantaranya Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok
Tjhan.

Pada masa Demokrasi parlementer (1950-1959), terdapat juga tokoh tokoh
Tionghoa yang aktif dalam parlemen. Salah satu yang paling aktif dan
cukup berpengaruh adalah Siauw Giok Tjhan. Dikatakan cukup
berpengaruh, karena dia memimpin suatu fraksi yang dinamakan Nasional
Progresif yang beranggotakan partai partai kecil (Murba, PRN, PIR,
Acoma, SKI, PERMAI dan Baperki) dan anggota non-partai seperti Moh.
Yamin dan Iwa Kusumasumantri. Dengan bantuan fraksi ini dan beberapa
anggota parlemen Tionghoa lainnya Yap Tjwan Bing, Tjoa Sie Hwie dan
Tony Wen dari PNI, Tan Po Goan dari PSI, Tjung Ting Yan dari Partai
Katolik, banyak UU atau peraturan peraturan yang bersifat rasialistis
bisa dibatalkan atau di ubah isinya sehingga dampaknya untuk golongan
Tionghoa menjadi tidak besar.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Baperki yang dipimpin oleh
Siauw Giok Tjhan menjadi semakin dekat dengan Sukarno dan dengan
demikian, seperti yang digambarkan di atas, banyak UU dan peraturan,
bahkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) MPRS yang bersifat anti
rasialis. Celakanya, hasil hasil yang dapat dikatakan gemilang ini,
harus dibayar dengan kehancuran Baperki total ketika polarisasi
politik berubah pada tahun 65. Baperki yang berada di posisi Sukarno
dengan sendirinya berdiri di kamp Sukarno/PKI, sehingga dihantam oleh
kekuatan sayap kanan yang didukung oleh militer pada akhir tahun 65.

Pengalaman Baperki menunjukkan bahwa harus ada suatu wadah yang bisa
menampung aspirasi golongan Tionghoa dan memperjuangkannya di dalam
lembaga lembaga legislatif dan eksekutif tertinggi sehingga kedudukan
golongan Tionghoa bisa dilindungi dalam batas batas yang berhubungan
dengan kepentingan nasional. Hilangnya Baperki dari permukaan politik,
lepas dari persepsi akan garis politiknya, ternyata menghasilkan
dampak dampak negatif.

Dalam jaman Orde Baru yang tidak mengenal proses demokratis, golongan
Tionghoa tidak lagi memiliki wadah dan pelindung politik yang efektif.
Dekatnya beberapa tokoh Tionghoa dengan pemerintah seperti Lem Bian
Kie dan Liem Bian Koen melalui CSIS-nya ternyata tidak bisa mencegah
keluarnya dan dilaksanakannya berbagai UU dan peraturan yang bersifat
rasialistis. Ada juga beberapa konglomerat Tionghoa yang dekat dengan
rejim Suharto, seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hassan, tetapi mereka
lebih mementingkan kesuksesan usaha dagangnya daripada memperdulikan
nasib golongan Tionghoa. Celakanya, mereka inilah yang menimbulkan
persepsi bahwa Tionghoa dan Suharto itu merupakan suatu aliansi
terkutuk yang bertanggung jawab akan kemiskinan di Indonesia.

Dengan hilangnya proses demokrasi dalam arti sesungguhnya, golongan
Tionghoa juga tidak lagi memiliki sarana untuk melampiaskan rasa
ketidak puasannya. Tokoh tokoh seperti Arief Budiman dan Kwik Kian
Gie hanya bisa mencanangkan pandangan pandangan kritisnya di luar
sistim pemerintahan sehingga tidak menghasilkan adanya perombakan atau
pembatalan UU atau peraturan peraturan yang di"ciptakan" oleh
pemerintah Suharto.

Setelah Suharto turun, proses realisasi demokrasi mulai berjalan.
Kesempatan ini harus digunakan oleh golongan Tionghoa untuk turut
berpartisipasi di dalamnya. Timbullah pertanyaan, jalan apa yang
harus ditempuh? Mendirikan wadah yang khusus memperjuangkan nasib
golongan Tionghoa? Atau menerjunkan diri ke dalam organisasi
organisasi nasional sambil berusaha mempengaruhi penentuan policy dari
organisasi organisasi ini?. Jawabannya adalah: kedua duanya harus
dijalankan secara berbarengan sehingga gerakan anti rasialisme ini
bisa menjadi efektif.

Berdasarkan pengamatan sejarah dapatlah disimpulkan bahwa penyelesaian
masalah minotitas tidak bisa dilepas dari penyelesaian masalah
nasional. Dengan demikian, memang tidak mungkin golongan Tionghoa
bisa memperjuangakn aspirasinya tanpa didukung oleh tokoh tokoh
nasional. Untuk itu, organisasi organisasi yang bertujuan
menyelesaikan masalah minoritas, harus menurut sertakan orang orang
dari golongan mayoritas untuk turut memperjuangkan tujuannya. Dalam
hal ini, masalah nama dan persepsi akan keanggotaan organisasi
memegang peranan. Harus diberi kesan bahwa wadah eadah yang dibentuk
itu terbuka untuk semua golongan di Indonesia.

Organisasi organisasi yang baru baru ini terbentuk di Indonesia,
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Pembauran
Indonesia (Parpindo) dan FORMASI (Forum Masyarakat Untuk Solidaritas
Demokrasi Indonesia), harus mempunyai program yang memprioritaskan
penyelesaian masalah nasional, yaitu reformasi sistim pemerintahan
yang menciptakan suasana dan lingkungan yang memungkinkan
berlangsungnya integrasi atau pembauran yang wajar sehingga tidak ada
lagi pengertian pribumi dan non-pribumi. Pimpinan kedua organisasi
ini dan organisasi organisai yang memperjuangkan hapusnya rasialisme
dari Indonesia, harus mempunyai visi nasional dengan pengertian
penyelesaian masalah minoritas adalah bagian dari reformasi total.

Kunci dari keberhasilan ini adalah terrealisasinya sistim yang
demokratis, yang memungkinkan semua pandangan dan kebutuhan dari
setiap golongan di jadikan dasar dari keluarnya dan dilaksanakannya
berbagai macam UU dan peraturan. Untuk itu, wakil wakil golongan
Tionghoa harus aktif berpartisipasi dalam lapisan lapisan tertinggi di
bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perlu dijamin keluarnya
dan dilaksanakannya UU anti rasialisme sehingga tidak ada lagi
perbedaan yang dilakukan melulu berdasarkan latar belakang ras di
semua bidang, terutama dalam bidang pemberian kredit, ijin ijin
perdagangan, pendidikan dan hukum. Dalam hal kewarganegaraan, perlu
dicapai pelaksanaan dari satu pengertian bahwa hanya ada satu macam
Warga Negara Indonesia, sehingga tidak ada lagi penggunaan istilah
Pribumi dan non pribumi atau WNI keturunan.

Dalam melaksanakan cita cita ini, para pemimpin golongan Tionghoa
harus senantiasa sadar bahwa tindak tanduknya bisa menimbulkan
persepsi umum pada golongan yang diwakilinya. Untuk itu pengalaman
pahit Baperki di jaman pra Orde Baru dan pengalaman para konglomerat
Tionghoa dalam jaman Orde Baru, harus selalu diamati. Para pemimpin
golongan Tionghoa harus selalu waspada untuk tidak terjerumus pada
kancah kancah yang bisa membawa golongan tionghoa ke mala petaka.
Dengan pergolakan reformasi, banyak pihak yang "menyanyikan" lagu lagu
yang bersifat "memeluk" golongan Tionghoa. Perlu diamati dan
dianalisa dasar dasar perjuangan mereka yang sesungguhnya, sebelum
beraliansi dengannya.

*******************************

Date: Mon, 22 Jun 1998 00:54:02 -0700 (PDT)
From: Soekarno Chenata
Subject: INDO-CHAOS-->REFORMASI PENYELESAIAN MASALAH MINORITAS Oleh:
Siauw Tiong Djin(3)
To:

2. Partisipasi Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional

Salah satu dampak negatif dari munculnya konglomerat konglomerat kelas
kakap seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hassan adalah persepsi
masyarakat akan terlibatnya golongan Tionghoa dalam proses KKN. Yang
disayangkan, pada umumnya konglomerat konglomerat kelas kakap Tionghoa
ini menggunakan hubungan dagang yang didasari KKN itu untuk turut
"memeras" rakyat Indonesia. Sehingga timbullah kesan bahwa Tionghoa
dan rezim Suharto beraliansi dalam menguras kekayaan negara. Kesan
ini harus dirubah, karena sebagian besar dari golongan Tionghoa
mempunyai nasib yang sama dengan rakyat terbanyak, sama sama menjadi
korban dari keserakahan tokoh tokoh rezim Suharto dan konco konco-nya.

Perlu juga dilempangkan kesalahan persepsi dari sementara orang yang
menyatakan bahwa 70% dari ekonomi Indonesia berada di tangan golongan
Tionghoa. Sampai sekarang belum ada data yang bisa membuktikan teori
ini. Teori seperti ini jelas salah. Logikanya mudah untuk dipahami.

Pedagang pedagang Tionghoa baik yang berkelas konglomerat maupun yang
non konglomerat, tidak memiliki usaha usaha besar dalam bidang bidang
agraria, pertambangan, perusahaan perusahaan besar milik negara
(Pertamina, Indosat, Telkom, BNI, BRI, PLN dll), infrastruktur besar
dalam bidang perhubungan (jalan jalan Tol, pelabuhan pelabuhan,
lapangan lapangan udara), jaringan usaha monopoli keluarga Cendana dan
para krabatnya dan insustri yang dikuasai perusahaan perusahaan milik
multinasional, seperti Siemens, Mitsubishi, Citi-Bank, Chase Manhattan
dll.

Modal modal raksasa yang digambarkan di atas itu merupakan kekuatan
kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan ekonomi yang dipegang
oleh para pedagang Tionghoa.

Seperti diuraikan di atas, orang Tionghoa sudah lama berkecimpung
dalam bidang usaha yang berhubungan dengan distribusi, ketrampilan,
retail dan service. Dengan demikian mereka mempunyai keahlian,
pengalaman dan infrastruktur usaha yang tidak bisa dengan mudah
diganti oleh kekuatan lain dalam waktu yang singkat. Sebagai
akibatnya, dalam bidang distribusi, retail dan services, pedagang
Tionghoa memang mempunyai pengaruh yang besar. Tetapi sektor sektor
ini tidak merupakan bagian yang terbesar dalam ekonomi Indonesia.

Perlu diingat, yang mencapai tingkat konglomerat jumlahnya sedikit
sekali. Sebagian besar dari orang Tionghoa yang berdagang merupakan
pedagang kelas kecil. Jumlah terbesar dari golongan Tionghoa adalah
buruh dan petani miskin.

Dengan demikian jelas, bahwa "sebulan" dari sementara kelompok yang
menyatakan bahwa 70% dari ekonomi Indonesia itu berada di tangan orang
Tionghoa, bermotivasi menghasut rakyat untuk menyalahkan segala
sesuatu kesulitan dan kegagalan dalam bidang ekonomi ke golongan
Tionghoa.

Padahal, para pengamat dan pakar ekonomi sudah dengan jelas menyatakan
bahwa hancurnya ekonomi Indonesia itu disebabkan adanya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme dan kerapuhan sistim ekonomi yang berlangsung
Siapakah yang paling bertanggung jawab akan KKN dan kerapuhan fondasi
ekonomi di Indonesia itu? Yang jelas bukan golongan Tionghoa.

Karakter dari perusahaan perusahaan raksasa multinasional tentunya
berbeda dengan karakter perusahaan perusahaan yang dimiliki oleh
pedagang pedagang Tionghoa. Di mana letak perbedaan utamanya?

Perusahaan perusahaan multinasional bermotivasi untuk menarik
keuntungan yang dibuatnya di Indonesia ke negara negara asalnya.
Disamping itu, mereka tidak mempunyai loyalitas akan perkembangan dan
kemajuan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Selama keuntungan bisa
dibuat, walalupun tindakan tindakan yang menghasilkan keuntungan itu
menghancurkan norma norma kesehatan, susila dan fondasi
sosial/masyarakat, mereka tidak akan memperdulikannya. Bilamana
situasi dan kondisi di Indonesia berubah dan mengancam kehadirannya
dan keuntungannya, mereka dengan sergap akan bergegas menarik modal
dan staf akhli-nya keluar dari Indonesia.

Sebagian besar pedagang pedagang non-konglomerat Tionghoa mempunyai
motivasi yang sangat berbeda, bahkan berlawanan. (Dikatakan sebagian
besar, karena tentunya ada sebagian kecil dari mereka yang mempunyai
sikap dan motivasi lain). Mereka menganggap Indonesia sebagai
tempat tinggal utamanya, di mana anak anak dan cucu cucunya akan hidup
dan di mana pada akhirnya mereka akan dikubur. Sebagian besar dari
keuntungan yang diperoleh akan diputar di Indonesia dan dipergunakan
untuk memperbesar usahanya. Berkembangnya mereka dengan sendirinya
membantu proses pembangunan ekonomi nasional.

Peristiwa peristiwa rasialis yang menghancurkan perdagangan yang
dimiliki oleh pedagang pedagang non - konglomerat Tionghoa ini
ternyata telah membuat jaringan distribusi dan retail berhenti.
Kepercayaan dari golongan Tionghoa akan keselamatan modal dan usahanya
dengan sendirinya hilang. Wajarlah kalau mereka lalu mempunyai
keinginan atau telah memindahkan modalnya itu ke luar negeri. Apakah
ini bisa dikatakan sikap tidak loyal? Tentunya tidak, karena yang
memindahkan modalnya ke luar negeri bukan saja pedagang pedagang
Tionghoa. Pedagang pedagang "pribumi", terutama mereka yang dari
keluarga Cendana dan para krabatnya, juga berbuat hal yang sama. Itu
adalah jiwa pedagang dan tidak bisa dikaitkan dengan latar belakang ras.

Ada juga suara suara yang menyatakan bahwa jumlah uang yang dibawa
keluar oleh golongan Tionghoa mencapai angka 100 Milyard US Dollar,
tapi belum ada yang bisa mengeluarkan data data kongkrit yang
mendukungnya. Bilmana benar ada jumlah yang demiian besarnya dibawa
keluar dari Indonesia, bisa saja jumlah itu berasal dari kekuatan
kekuatan ekonomi yang digambarkan di atas, bukan semata mata berasal
dari golongan Tionghoa.

Pemerintah seharusnya menjamin hadirnya dan bertambahnya jumlah
perusahaan perusahaan domestik yang digambarkan di atas tanpa
memperdulikan keturunan ras dari para pemilik dan pengelolanya. Untuk
ini, kepercayaan dari para pedagang Tionghoa akan kestabilan politik
dan ekonomi, serta kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan program
ekonomi nasional, harus dipulihkan secepatnya.

Sebaliknya dari pihak golongan Tionghoa juga diperlukan adanya
kesungguhan dan dedikasi untuk mempercepat pembangunan ekonomi
nasional. Usaha dalam bidang pembangunan, industri dalam negeri yang
bersifat padat karya, pengembangan teknologi melalui research and
development dalam negeri, pendidikan teknologi dan training dan
penggunaan serta pengolahan hasil bumi Indonesia, harus menjadi
priotitas daripada program investment.

Ini tentu dilakukan tanpa mengurangi kegiatan dalam bidang bidang yang
tetap menguntungkan dan menghasilkan dipertingginya GNP (Gross
National Product).

Sebagian dari keuntungan yang diperoleh seyogyanya dipergunakan untuk
mempercepat dicapainya kemakmuran yang merata. Pembangunan sekolah
sekolah, rumah rumah sakit, pengembangan indsutri di daera daerah
pedalaman perlu mendapat prioritas dari penyaluran keuntungan
keuntungan dari usaha domestik ini.

Dengan demikian, timbullah situasi di mana masyarakat luas akan
merasakan ruginya mereka kalau usaha usaha yang dilakukan itu
mengalami kemunduran. Ini akan menjamin berkurangnya ledakan ledakan
rasialis yang ditujukan ke usaha usaha milik golongan Tionghoa, karena
kerugian dari pengrusakan pengrusakan dan pemborosan pemborosan itu
akan secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.

*******************************

Date: Mon, 22 Jun 1998 00:55:55 -0700 (PDT)
From: Soekarno Chenata
Subject: INDO-CHAOS-->REFORMASI PENYELESAIAN MASALAH MINORITAS Oleh:
Siauw Tiong Djin(4/HABIS)
To:

3. Mengintegrasikan dan membaurkan diri dalam tubuh bangsa Indonesia

Istilah integrasi dan assimilasi pernah dijadikan suatu perdebatan
sengit dan prinsipil di dalam jaman Demokrasi Terpimpin.

LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang dipimpin oleh K.
Sindhunata mengeluarkan konsep assimilasi sebagai jalan keluar dari
masalah minoritas Tionghoa. Bagi LPKB, assimilasi berarti golongan
Tionghoa tidak lagi mempunyai eksistensi sosial dan kultural sebagai
golongan yang terpisah dari tubuh masyarakat Indonesia. Assimilasi
ini dapat dicapai bilamana orang Tionghoa mengganti nama Tionghoanya
dengan nama Indonesia, menikah dengan orang Indonesia "asli" atau
"pribumi" dan menanggalkan semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa
dari kehidupan sehari harinya. Walalupun LPKB tidak menganjurkan
adanya assimilasi secara paksa, tetapi bagi mereka, orang warag negara
keturunan Tionghoa yang baik semestinya mengikuti anjuran assimilasi
ini.

Jalan asimilasi, menurut LPKB, akan menjamin diterimanya golongan
Tionghoa oleh golongan "asli" atau pribumi.

Di lain pihak, Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan,
menganjurkan jalan integrasi. Bagi Baperki, golongan Tionghoa di
Indonesia seharusnya diterima sebagai salah satu suku dari bangsa
Indonesia. Dengan demikian, orang Tionghoa bisa menjadi patriot
Indonesia tanpa harus menanggalkan ciri ciri etnis Tionghoanya dan
bisa tetap mempertahankan ke-Tionghoaannya. Yang penting adalah
praktek hidup sehari harinya merupakan manifestasi dari keinginan
untuk berbakti pada kepentingan rakyat Indonesia .

Bagi Baperki, urusan nama, urusan perkawinan serta adat istiadat
adalah urusan pribadi yang tidak bisa dijadikan ukuran dari rasa cinta
seseorang pada tanah airnya. Penggantian nama dan kawin campuran,
menurut Baperki tidak akan menjamin lenyapnya rasialisme dari
Indonesia.

Kedua dua teori itu memang memerlukan test dan analisa yang
komprehensip. LPKB dalam jaman Orde Baru berhasil mendorong adanya
pergantian nama secara massal. Sebagian besar dari orang Tionghoa di
Indonesia sekarang memiliki nama yang tidak mengandung ke-Tionghoa-an.
Kawin campuran pun secara statistik bertambah. Orang Tionghoa juga
telah selama 30 tahunan dipaksa untuk menghentikan berlangsungnya
kebiasaan kebiasaan Tionghoa, sampai sampai, merayakan tahun baru
imlek secara terang terangan-pun dilarang. Tetapi "terapi" ini
ternyata tidak menghilangkan rasialisme. Ledakan ledakan rasialisme
tetap meraja lela dan korban korbannya masih terus bergelimpangan.
Pemerintah tetap menjalankan kebijaksanaan yang menyakiti hati orang
Tionghoa, karena hak azazi manusia dasar tetap di injak injak secara
sewenang wenang.

"Terapi" integrasi masih belum mengalami ujian jangka panjang, karena
memang dalam jaman Orde Baru, keadaan dan suasana tidak memungkinkan
untuk orang Tionghoa mengintegrasikan dirinya dalam tubuh bangsa
Indonesia secara wajar. Selama masih berlaku praktek praktek
diskriminasi rasial, keinginan untuk berintegrasi secara wajar dengan
sendirinya tidak ada atau kecil.

Akan tetapi cukup banyak contoh yang menunjukkan bahwa orang orang
Tionghoa, seperti Arief Budiman dan Kwik Kian Gie yang bersedia hidup
dalam kalangan rakyat dan bersikap bijak dalam kehidupan sehari
harinya, diterima oleh masyarakat luas sebagai orang Indonesia sejati.
Nama atau bentuk raut mukanya sebagai ciri ciri biologis-etnis (yang
tidak mungkin bisa hilang sama sekali) ternyata tidak menjadi ukuran
atas kesungguhannya membela kepentingan negara Indonesia. Ini
membuktikan bahwa kalau ada keinginan untuk mengintegrasikan dirinya
ke dalam masyarakat Indonesia luas, persoalan nama dan latar belakang
etnis menjadi hal yang tidak berarti. Orang tentunya jauh lebih
menghargai Kwik Kian Gie yang mempunyai ciri khas Tionghoa daripada
Bob Hassan yang mempunyai gaya "pribumi" dan yang juga sudah masuk
Islam. Bob Hassan akan tetap diingat dalam sejarah sebagai
penyelundup besar yang serakah dan partner dekat Suharto.

Perlu diingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
yang Bhineka Tunggal Ika, masyarakat yang mengenal adanya banyak suku.
Presiden Sukarno pernah menyatakan dengan bangga ke mendiang Ho Chi
Minh, kepala negara Vietnam Utara: "Di Indonesia kita tidak mengenal
adanya kelompok minoritas. Suku Dayak, suku Jawa, suku Irian, suku
Tionghoa bukanlah kelompok minoriti. Tidak ada Minoriti. Karena kalau
ada minoriti tentu ada Mayoriti. Kalau ada mayoriti akan timbul
exploitasi daripada minoritet oleh mayoritet. Suku berarti sikil,
kaki. Jadi bangsa Indonesia itu banyak kakinya. Ada kaki Jawa, ada
kaki Batak, ada kaki Sumba dan ada kaki peranakan Tionghoa.
Kesemuanya adalah kaki kaki dari satu tubuh, yaitu tubuh bangsa
Indonesia".

Formulasi Presiden pertama RI ini sejalan dengan "terapi" integrasi,
karena setiap suku di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari tubuh bangsa Indonesia dan "kaki kaki" ini tidak perlu hilang
identitasnya. Yang Batak bisa tetap mempertahankan kebudayaan
Bataknya, yang Padang, yang Jawa, yang Ambon dan yang berketurunan
Tionghoa juga demikian, asal mereka saling berkembang "menyehatkan"
dan "menguatkan" tubuh Bangsa Indonesia. Dari segi kebudayaan, setiap
kebudayaan dari semua golongan etnis yang ada merupakan sumbangan
positif dalam memperkaya kebudayaan nasional.


Dalam belasan tahun belakangan ini, kata assimilasi dan integrasi
tidak lagi dimasalahkan. Terminologi yang sering diutarakan adalah
Pembauran. Kata pembauran dalam hal ini mempunyai konteks yang lebih
luas daripada assimilasi, karena membaur tidak mengandung konotasi
"menghilangkan ciri ciri etnis". Membaur bisa berarti mengasosiasi
dirinya dengan masyarakat luas dan "mengawinkan" dirinya dengan
masyarakat luas.

Yang penting dalam menginterpretasi definisi ini adalah adanya
pengertian bahwa pertama, berlangsungnya proses membaur itu harus
bersifat wajar, natural - tanpa paksaan. Yang kedua, dan yang tidak
kalah pentingnya, definisi membaur itu tidak mutlak berarti pembauran
biologis. "Perkawinan" yang dianjurkan adalah "perkawinan" sosial,
perkawinan antara golongan minoritas Tionghoa dengan golongan
mayoritas Indonesia untuk membangun "Rumah Tangga Indonesia" yang
harmonis. Perkawinan yang harmonis tidak bisa didasarkan atas
hilangnya identitas dari salah satu partner perkawinan. Yang harus
dijalin adalah sifat toleransi dan kesungguhan dalam menciptakan
keharmonisan hubungan. Dalam konteks "perkawinan-perkawinan" dalam
bidang bidang sosial, ekonomi dan politik, pembauran adalah kelanjutan
dan penkonsolidasian dari proses integrasi.

Sedangkan pembauran yang berdasarkan pengertian yang bersifat biologis
semata mata tidak akan menghasilkan jalan keluar. Adanya perkawinan
campuran antara orang Tionghoa dengan orang Minang misalnya adalah
urusan dan hak pribadi yang tidak bisa dan tidak boleh dicampuri oleh
organisasi maupun pemerintah. Parpindo (Partai Pembauran Indonesia)
yang dipimpin oleh Yusuf Hamka dan dibina oleh Junus Jahja, salah
seorang pendiri LPKB, baru baru ini, mengakui pula akan adanya suku
Tionghoa. Dengan demikian, ada kesan bahwa Parpindo juga mendukung
teori pembauran itu harus diinterpretasikan sebagai "perkawinan
perkawinan" dalam bidang bidang sosial, ekonomi dan politik.

Dengan demikian, keinginan untuk membaur bisa dimanifestasikan dalam
tindakan wajar yang menentang ke-eksklusifan, bersatu dengan berbagai
golongan etnis lainnya, menganggap dirinya bagian dari tubuh bangsa
Indonesia, menjadikan aspirasi golongan mayoritas sebagai aspirasi
dirinya sendiri dan kesemuanya ini dilakukan tanpa harus menanggalkan
ke Tionghoa-annya.

Diharap kesadaran yang mulai timbul di kalangan golongan yang
dinamakan "pribumi", yang mulai menginginkan adanya pertunjukan
pertunjukan barongsai dan Liang Liong dalam acara acara umum seperti
yang terjadi di Cirebon beberapa minggu yang lalu, akan menjalar
secara wajar di seluruh Indonesia, karena ini akan mempercepat proses
pengintegrasian dan pembauran yang wajar yang menghilangkan adanya
prasangka rasial (racial prejudice) di Indonesia.***

INDO-CHAOS(http://www.geocities.com/Pentagon/3233)

==
INDO CHAOS Team
email:
url : http://www.geocities.com/Pentagon/3233/
----------------------------------------------
Human Rights Equality for Indonesian Chinese

*******************************

Date: Fri, 26 Jun 1998 11:49:52 +0700
To:
From: ICEL
Subject: Panggil saya CHE LIO KANG
Cc:

SUDARDJI ALIAS CHE LIO KANG
oleh : Ari Mohammad*

Pengantar.
Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya
menimbulkan kesedihan yang mendalam pada masyarakat Indonesia. Tragedi yang
menimbulkan banyak korban manusia tercatat sebagai lembaran hitam dalam
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu pihak yang menjadi korban
adalah saudara kita yang beretnis Cina. Tragedi yang dipacu dengan
tertembaknya beberapa mahasiswa Trisaksi ketika melakukan aksi damai untuk
menuntut pemerintah melakukan reformasi pada akhirnya berlanjut kepada
tindakan-tindakan penghancuran, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan bahkan
sampai kepada penghilangan nyawa saudara-saudara kita itu. Bakom PKB (Badan
Komunikasi Penghayatan Kesatuan bangsa) telah menerima sejumlah + 3000
pengaduan dari saudara-saudara kita yang beretnis Cina yang menderita akibat
pembakaran, penghancuran, penjarahan. Dari + 3000 tadi, terdapat 400 orang
yang menjadi korban pemerkosaan. 80 orang diantara yang diperkosa tadi ada
yang dianiaya, dibakar, yang mengakibatkan korban meninggal. Beratus-ratus
kepala keluarga mengamankan diri dan keluarganya keluar negeri meninggalkan
tanah airnya.

Sungguh sedih dan miris hati kita mendengar hal itu. Sampai kapan tragedi
ini berakhir ?. Sulit kita menjelaskan dengan akal sehat, apa yang ada
dihati orang-orang yang melakukan itu semua. Alasan apa yang membuat mereka
berbuat seperti itu atau mungkin mereka adalah orang-orang yang juga
mengalami tekanan yang berat akibat hidup yang dihadapinya akibat sistem
yang diciptakan oleh penguasa. Tetapi apakah alasan itu dapat dibenarkan
untuk menindas saudara kita, hanya oleh karena sikap dan kelakuan beberapa
etnis Cina yang dianggap merugikan bangsa dan negara ? Dikemanakan moral dan
ajaran agama kita yang memerintahkan kita saling menghargai dan menyayangi
?. Seribu pertanyaan kenapa hal itu mesti terjadi di bumi Pancasila ini.

--&--

Sejarah Cina di Indonesia
Dalam sejarahnya di Indonesia, kedatangan orang Cina ke Indonesia telah
dilakukan sejak beratus-ratus tahun yang lalu untuk melakukan hubungan
dagang. Diketahui pula jauh sebelumnya, kerajaan Kubilai Khan didalam upaya
memperluas daerah kekuasaannya memaksa raja kertanegara untuk mengakui atau
takluk dibawah kekuasaannya. Dikatakan setelah melewati konflik kedua
kerajaan itu mulai ramailah hubungan diantara kedua bangsa itu. Hubungan
ekonomi yang dijalin merambat kepada hubungan kebudayaan, sehingga lahirlah
budaya-budaya yang sekarang dianggap milik bangsa Indonesia yang merupakan
hasil assimilasi dan akulturasi kedua kebudayaan bangsa tersebut.

Awal kedatangan sebagai pedagang pada akhirnya melekat atau identik dengan
sosok etnis Cina. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sejarah mereka yang
berambisi memperbaiki taraf hidup mereka , dibanding ketika masih tinggal
di negeri Cina. Kekuatan dibidang perdagangan dan ekonomi yang semakin kuat
dikalangan Cina didorang juga dengan peristiwa geger Pecinan di Batavia pada
tahun 1750. Sejak tragedi tersebut mereka menjauhi politik dan
berkonsentrasi ke ekonomi (Tjuk Sukardi, staf pengajar FE Unair). Tetapi
apakah benar tragedi tersebut membuat trauma sampai kini ?

Pada masa penjajahan Belanda, keberadaan orang-orang Cina sebagai pedagang
dimanfaatkan oleh pemerintahan Belanda, yang dalam hal ini VOC demi
kepentingannya. Orang-orang Cina dimanfaatkan sebagai jembatan untuk menjual
kekayaan Indonesia yang dirampas pihak VOC kepada bangsa Indonesia sendiri.
Penempatan orang-orang Cina sebagai masyarakat pedagang ditunjang dengan
pemberian fasilitas sebagai masyarakat kelas dua, lambat laun menimbulkan
friksi diantara orang-orang Cina tersebut dengan masyarakat pribumi karena
dengan kebijakan pemerintahan VOC ini pada akhirnya memperlemah bisnis
pribumi. Kecurigaan pribumi terhadap etnis Cina ini akhirnya melahirkan
pergolakan anti Cina pada tahun 1913 yang terjadi di seluruh pantai utara
Jawa dan Solo dan peristiwa pembantaian Cina di kota Kudus tahun 1918
(Jousairi Hasbullah di dalam tulisannya di KOMPAS, Tentang Kapok Jadi
Nonpri, pada tanggal 23 Juni 1998)

Pasca kemerdekaan friksi antara etnis Cina dengan pribumi kembali memuncak,
ketika pemerintahan presiden Soekarno (yg didukung oleh PKI) yang dalam
kebijakan luar negerinya berporos ke Peking-- tentunya menguntungkan mereka
dan ini adalah sikap yang wajar mengingat Cina adalah tanah leluhur mereka
-- kondisi ini pada akhirnya membawa kerugian bagi etnis Cina, ketika
peristiwa yang menjadi puncak atau antiklimaks dari hubungan antara
orang-orang Cina dengan pribumi, yaitu meletusnya peristiwa G.30 S/PKI, yang
dilanjutkan dengan turunnya presiden Soekarno. Sejak itu orang-orang Cina
yang berada di Indonesia diisolasikan dari kegiatan politik.

Upaya peng-"Indonesia"an
Pada masa pemerintahan Orde Baru, penguasa mencoba untuk
"meng-Indonesia-kan" mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
bersifat semu dan tindakan yang timbul dari etnis Cina sendiri, seperti
penghilangan bahasa dan huruf Cina, mengganti nama, melakukan perkawinan
campuran dan ganti agama yang sebetulnya bukanlah penyelesaian dari akar
permasalahan. Konflik-konflik masih tetap saja terjadi. Sebetulnya apabila
kita sadari penghilangan bahasa dan huruf merupakan tindakan diskriminasi
pemerintah, namun kebijakan diambil karena dianggap yang terbaik pada saat
itu, kecuali tindakan yang muncul dari orang Cina itu sendiri karena hal itu
menyangkut keyakinannya.

Assimilasi budaya yang sudah terjalin ratusan tahun rupanya masih tidak
berhasil menghilangkan kecurigaan-kecurigaan diantara pribumi kepada etnis
Cina, begitupun sebaliknya etnis Cina kepada pribumi. Jumlah etnis suku dan
agama yang heterogen disadari akan menjadi ancaman keutuhan suatu bangsa
oleh karena itu menjadi dasar pemikiran penguasa bahwa sesuatu yang berbau
suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) harus dijauhkan dari pikiran
masyarakat Indonesia. Overprotective terhadap isu SARA yang diberikan negara
yang dalam hal ini penguasa, yang pada akhirnya justru membahayakan kita
sendiri.

Sikap appriori terhadap etnis Cina
Adanya anggapan etnis Cina yang salah dari sebagian masyarakat pribumi masih
terjadi sampai sekarang ini. Etnis Cina digambarkan sebagai sosok yang tidak
memiliki jiwa nasionalis, mereka kadang melupakan ketika mereka melihat
saudara kita yang beretnis Cina itu berjuang membela nama bangsa pada suatu
event olah-raga, lewat sejarah kita dapat mengetahui tokoh-tokoh etnis Cina
yang membela bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan, masa lahirnya
orde baru, dll. Sebagian masyarakat kita menganggap ertnis Cina adalah
kumpulan orang-orang kaya yang tidak mau bermasyarakat, tukang kolusi,
korupsi dan berbagai atribut negatif lainnya. Tanpa bermaksud
mengesampingkan adanya realitas seperti yang dituduhkan tadi, hendaknya kita
jangan terlalu cepat menggeneralisir semua etnis Cina seperti itu.

Ketika sebagian masyarakat mendengar ada seorang pembantu rumah tangga yang
bekerja pada keluarga etnis Cina dianiaya karena dianggap tidak becus
memegang pekerjaannya, serta merta masyarakat menyerang dan membakar
kediaman keluarga tadi yang dilanjutkan kepada tetangganya yang kebetulan
beretnis Cina pula. Kita sepakat bahwa tindakan keluarga yang menganiaya
pembantu tadi merupakan tindakan biadab yang harus dipertanggungjawabkan
tindakannya, tetapi kita sebaiknya mengembalikan peristiwa itu sebagai suatu
peristiwa yang terjadi ditengah masyarakat yang mungkin atau bahkan banyak
terjadi pula dimana majikan dan pembantunya adalah sama-sama pribumi.
Apabila cara berpikir tadi dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi alasan
pembenar bagi kita melakukan tindakan main hakim sendiri. Itu sama hal-nya
dengan kita memaafkan tindakan oknum aparat militer yang melakukan tindakan
pungli pada pengemudi hanya karena gajinya yang minim (karena sebelumnya
dia sadar dan harus menerima resiko sebagai seorang aparat).

Perilaku sebagian masyarakat etnis Cina yang negatif inilah yang dapat
menjadi salah satu kemungkinan terbentuknya gambaran masyarakat etnis Cina
oleh kalangan pribumi, yang pada suatu saat dapat menjadi sasaran kemarahan
masyarakat pribumi ketika terjadi gejolak sosial. Untuk itu dianjurkan
kepada saudara kita yang beretnis Cina untuk melakukan hubungan sosial
dengan cara membaur ke tengah kehidupan masyarakat. Jauhkan pemikiran bahwa
segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan uang. Begitupun kepada kita
jangan menganggap bahwa mereka adalah orang yang selalu kelebihan harta,
sehingga dianggap sebagai lahan untuk mendapatkan uang. Sehingga kita dapat
menyalami dan memahami satu sama lain.

Faktor kendala
Penguasaan sektor ekonomi oleh etnis Cina yang didukung oleh rezim Orde
baru sebagai bagian dari strategi politiknya , sudah saatnya dilakukan
perombakan sehingga benar-benar tumbuh suatu sistem yang menunjang
terjadinya pemerataan kesempatan berusaha yang sama, seperti diamanatkan
oleh konstitusi kita. Dengan catatan pada masa sekarang ini, pemerintahan
reformasi harus mendahulukan dan memajukan para pengusaha kecil yang tidak
memiliki akses modal, teknologi, manajemen dan hilangkan kebiasaan
mendahulukan kepada suatu kelompok yang memiliki akses kepada penguasa.

Di satu sisi kurangnya kesempatan yang diberikan kepada etnis Cina dibidang
pendidikan, pemerintahan, militer dan politik harus dihilangkan, tempatkan
mereka sebagai warga negara Indonesia yang sama-sama memiliki hak dan
kewajiban. Buka kesempatan lebar-lebar agar mereka dapat membuktikan sebagai
warga negara yang mampu bersama kita membawa bangsa ini menjadi bangsa yang
besar. Berapa jumlah etnis Cina di Indonesia yang diberikan kesempatan
untuk dapat mengikuti pendidikan di perguruan tinggi negeri ?. Berapa jumlah
etnis Cina yang duduk di pemerintahan dan militer ? atau yang terjun ke
dunia politik ? Mungkin semuanya dapat kita hitung dengan jari. Mereka
bukannya tidak mampu tetapi memang kita tidak memberikan kesempatan kepada
mereka.

Begitu pula saatnya kita mengharapkan agar sikap diskriminasi oleh etnis
Cina terhadap masyarakat pribumi dihapuskan, walaupun kemungkinan itu
terjadi akibat sempitnya lahan profesi mereka. Buka kesempatan yang sama
kepada warga pribumi untuk membuktikan bahwa mereka mampu duduk ditempat
yang sesuai dengannya. Banyak kita saksikan di bank-bank swasta yang umumnya
milik etnis Cina, berapa banyak warga pribumi yang duduk di level tingkat
manajer ?.

Kebiasaan rezim Orde Baru yang selalu mengintervensi kepentingan para pihak
yang bersengketa, melalui kekuatan militer contohnya pada kasus konflik
antara buruh dengan pihak pengusaha, yang kebetulan pemiliknya adalah etnis
Cina (menjaga stabilitas selalu menjadi alasan penguasa atau mungkin juga
diantara mereka sudah ada kolusi) , lambat laun tanpa disadari menimbulkan
kesan/image bahwa aparat yang seharusnya bersikap netral malah melindungi
pengusaha, padahal apa yang dituntut oleh para buruh adalah hak normatif
yang tidak dijalankan oleh pengusaha itu. Kesan ini pada akhirnya
menimbulkan kebencian kepada pengusaha atau pemilik pabrik tersebut.

Peluang dan kesempatan
Dengan melihat realitas sekarang ini bahwa etnis Cina mendominasi
perekonomian indonesia, sebaiknya hal itu dijadikan peluang atau kesempatan
sebagai mitra yang sejajar (hak dan kewajiban) bagi para pelaku ekonomi
pribumi untuk bersama-sama membangun kembali kehidupan ekonomi menuju kearah
yang lebih baik. Hilangkan rasa curiga dan ketakutan diantara kita dengan
saling memberi kesempatan berusaha secara sehat dan adil. Kepada saudara
kita yang sempat mengamankan diri keluar negeri, sebaiknya kembali ke
Indonesia.

Pemerintah reformasi harus dapat membuktikan kepada masyarakat luas untuk
mengungkapkan secara transparan tragedi 13-14 Mei 1998 yang lalu, dengan
mengusut siapa otak dan pelaku utama dari tragedi itu secara cepat dan
tepat, dengan menjauhkan rekayasa. Menjamin bahwa peristiwa itu tidak akan
terulang kembali dengan memberikan pelayanan keamanan kepada setiap warga
negara Indonesia.

Pada era reformasi ini, dimana pengakuan akan demokratisasi dan hak asasi
manusia didengungkan, sudah bukan saatnya mentabukan membicarakan perbedaan
diantara kita mengenai suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA)selama
pembicaraan itu membawa kepada kemaslahatan demi menyelesaikan
perbedaan-perbedaan pandangan guna suatu pemecahan masalah yang kemudian
melahirkan keputusan atau pandangan yang lebih baik. Penekanan kepada arti
Tunggal Ika tetapi dengan mengesampingkan ke-Bhineka-an atau perbedaan sama
saja artinya dengan memungkiri keberadaan etnis/suku, agama, ras dan antar
golongan yang ada di Indonesia. Seperti pernah kita dapatkan di bangku
sekolah bahwa perbedaan itu selayaknya dijadikan suatu kekayaan dan kekuatan
bangsa ini. Sehingga apabila kondisi ini tercipta, maka tidak mustahil
seorang etnis Cina akan bangga mengatakan,"Nama saya Che Lio Kang ". Tanpa
harus menyebutkan nama "Indonesia" nya.

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial


----- End of forwarded message from ICEL -----

*******************************

From:
Date: Mon, 29 Jun 98 18:59:15 -0500
To:
Subject: HRW: Attacks on Ethnic Chinese Women; What You Can Do

June 26, 1998

ATTACKS ON ETHNIC CHINESE WOMEN IN INDONESIA
What You Can Do

Since the beginning of the current crisis in Indonesia, Human Rights Watch
has received hundreds of appeals for help every week from people around the
world who are concerned about recent violence against Chinese-Indonesians.
Of particular concern are reports of rapes of ethnic Chinese women during
the May 13-14 riots. Despite the efforts of nongovernmental organizations
in Jakarta, there is a clear concern that not enough is being done by the
Indonesian government to investigate the allegations, to offer assistance
to victims, or to prevent such abuse in the future. A prompt official
acknowledgment of the gravity of the allegations, the trauma of the
victims, and the need to undertake a thorough and sensitive investigation
is crucial.

* As a first step, Human Rights Watch advises concerned individuals
to send letters to Indonesia's National Human Rights Commission (Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia or KOMNAS-HAM) to give particular
attention to this issue and to establish safe and confidential
mechanisms to investigate the reported rapes.

Komnas itself has suggested that rioting might have been instigated, but
even if attacks on ethnic Chinese were carried out without the knowledge of
the Indonesian government, failure to thoroughly investigate the reports
would make the government complicit, by negligence or omission, in a grave
human rights violation.

In the course of such an inquiry, the Indonesian government must make every
effort to protect the identities of rape victims in order to prevent
further victimization through reprisals or stigmatization; it should ensure
that women receive appropriate medical and psychological care, as well as
legal assistance for those who wish to pursue prosecution of their
attackers.

*Letters urging the Indonesian government to take these important
steps can be sent directly to President Habibie with copies to local
Indonesian embassies, and to the Jakarta office of KOMNAS-HAM.

The voice of the international community is also critical.

*Concerned individuals living outside Indonesia should appeal to
their own governments through parliamentarians (in the U.S., members of
Congress) to press the Indonesian authorities to investigate these
reports.

*Indonesia's international donors must press Indonesia to ensure
human rights accountability as a key to the country's political reform.
They should be urged to raise two issues in particular during the annual
meeting of the Consultative Group on Indonesia (CGI) when it meets in
Paris on July 29-30, 1998: the anti-Chinese violence and the
disappearance of political activists.

To find out the names of delegates to the CGI meeting from your country,
contact the Indonesia desk of the bilateral aid agency of your government.
Selected addresses are provided below.

*Persons with information about recent attacks in Indonesia should
inform Radhika Coomaraswamy, United Nations Special Rapporteur on
Violence against Women. Expressions of concern should also be copied to
the relevant Indonesian authorities.

CONTACT INFORMATION

The Indonesian National Human Rights Commission can be reached at:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (KOMNAS HAM)
Mr. Baharudin Lopa, General Secretary
Jl. Latuharhary No.4B
Jakarta Pusat
INDONESIA
Phone: 62 21 392 5230
Fax: 62 21 392 5227

Persons wishing to contact the Indonesian Government directly can send
their comments to President Bacharuddin Jusuf Habibie at email:
or via internet at:
http://habibie.ristek.go.id/kontak/addguest.htm.

RADHIKA COOMARASWAMY:
United Nations Special Rapporteur on Violence Against Women
International Centre for Ethnic Studies (ICES)
No. 8 Kynsey Terrace, Colombo 8, Sri Lanka
fax: 94 1 696 618

SELECTED ADDRESSES FOR BILATERAL AID AGENCIES:

Canada
Canadian International Development Agency (CIDA)
Phone: 819 997-5006
Toll free: 1-800-230-6349;
Fax: 819 953-6088
For the hearing and speech impaired (TDD/TTY): 819 953-5023
Internet address: http://w3.acdi-cida.gc.ca
E-mail:

Japan
Ministry of Foreign Affairs
2-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo-100-0013
Phone: 03-3580-3311
http://www.mofa.go.jp

Sweden
Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA)
S - 105 25 Stockholm
Phone - Int + 46 8 - 698 50 00
(Information Centre 698 55 80)
Fax: Int + 46 8 - 20 88 64
(Information Centre 698 56 15)
Email:

United States
U.S. Agency for International Development (USAID)
Information Center
Ronald Reagan Building
Washington, D.C. 20523-0016
Phone: 202-712-4810
FAX: 202-216-3524
http://www.info.usaid.gov/about/
email:

Germany
Deutsche Gesellschaft f_r Technische Zusanmenarbeit (GTZ)
Dag-Hammarskjold-Weg 1-5
65760 Eschborn Germany
Phone: (+49 61 96) 79-0
fax: (+49 61 96) 79-1115

INDONESIAN EMBASSIES IN SELECTED ASEAN AND CGI COUNTRIES

Malaysia
Indonesian Embassy
No 233, Jalan Tun Razak
50400 Kuala Lumpur
Malaysia
P.O. Box 10889
Phone: (03) 984 2011, 984 1354,
Fax: (03) 984 7908, 983 0737

Philippines
No. 185 Salcedo Street
Legaspi Village P.O. Box 1671
M.C.P.O. Makati 1200
Metro Manila, Philippines
Phone: 855 061 to 855 068
Fax: 818 4441

Singapore
Embassy of Indonesia
7 Chatsworth Road, Singapore 1024
Phone: 737 74 22
Fax : 737 50 37, 235 57 83

Thailand
Embassy of Indonesia
600-602 Petchburi Road
Phyathai, Bangkok 10400, Thailand
Phone: 252 31 35 to 40, 252 31 75, 252 31 80
Fax : 252 12 67

Vietnam Socialist Republic
Embassy of Indonesia
50, Ngo Quyen Street-Hanoi, Vietnam
Phone: 256316, 253353, 253324, 252788
Fax: 84-259274
Telex: 411434 INDOHA VT
Cable: INDONESIA HANOI

Australia
Embassy of The Republic ofIndonesia
8, Darwin Avenue, Yarralumla
A.C.T. 2600, Canberra, Australia
P.O.Box 616 Kingston 2604
Phone: (06) 258 6000
Fax: (06) 250 8666

Canada
Embassy of Indonesia
287 Maclaren Street, Ottawa
Ontario, Canada K2P OL9
Phone: (613) 236 7403
Fax: (613) 563 2858

Denmark
Indonesian Embassy
Orehoj Alle 1, 2900 Hellerup
Copenhagen - Denmark
Phone: 45.31 - 624 422, 624 184
Fax: 45.31 - 624 483

France
Embassy of Indonesia
47-49, Rue Cortambert 75116
Paris, France
Phone: (01)45030760, 5030760
Fax : (0033-1) 45045032
Telex: 42-648031 INDON F,42-648036 INDON F
Cable: indonesia paris
FRANCE

Germany
Indonesische Botschaft
Bernkasteler Strasse 2 53175 Bn
Bundesrepublik Deutschland
Phone: 0228-38 2990
Fax: 0228-31 1393

Japan
Indonesian Embassy
5-2-9 Nighashi Qotanda
Shinagawa-Ku, Tokyo 141 Japan
Phone: (81-3) 3441 4201
Fax: (81-3) 3447 1697

Italy
Embassy of Indonesia
Via Nomentana, 201
00161 Roma, Italy
Phone: (01)8542109
Fax : (0039-6)4880280
Telex: 06/622183 INDORO 1, 06/6220087 INDORO1
Cable: indonesia roma

United Kingdom
Indonesian Embassy
38, Grosvenor Square
London Wix 9AD
United Kingdom
Phone: 44 171-499 7661
Fax: 44 171-491 4993

United States of America
Embassy of Indonesia
2020 Massachussetts Ave., N.W.
Washington, DC 20036
Phone: (202) 775-5200
Fax: (202) 775-5365

******

HUMAN RIGHTS WATCH
* 350 Fifth Ave, 34th Floor * New York, NY 10018-3299 *
* Phone: +1 212 216-4700 * Fax: +1 212 216-1300 * Email: *
* Website: http://www.hrw.org *

*****************************

From: "hider as"
To:
Subject: Hati ini semakin membeku
Date: Sun, 28 Jun 1998 21:27:15 PDT

- TRAGEDI TIONGHOA INDONESIA - (1)

oleh : inihuaren

Kerusuhan rasial anti Tionghoa Indonesia yang terjadi tanggal 13-14 Mei
1998, adalah lembaran paling hitam bagi bangsa Indonesia, adalah
peristiwa paling tragis dan paling berdarah, yang tidak mungkin
terlupakan bagi Tionghoa Indonesia, adalah kejadian bidab yang tidak
berperi kemanusiaan yang pernah ada dalam sejarah bangsa-bangs di dunia.

Pendjarahan terjadi dimana-mana, bahkan disiang hari bolong, ditonton
oleh aparat keamanan yang tidak berbuat apa-apa, dishooting dengan bebas
bahkan oleh CNN dan dipancar-luaskan keseluruh dunia.

Pembunuhan terjadi dimana-mana, tanpa ada aparat keamanan yang mau
menolong, sepertinya Tionghoa Indonesia itu hanya ayam potong yang boleh
dibantai begitu saja.

Pelecehan seksual dan perkosaan brutal secara beramai-ramai disertai
penganiayaan terjadi dimana-mana, juga sodomi melalui lubang dubur,
perusakan vagina dengan kayu dan benda-benda lainya, lebih biadab lagi
mereka memotong payu dara wanita Tionghoa Indonesia, setelah
wanita-wanita Tionghoa itu diringkus, ditelikung, atau diikat tali,
mereka dalam keadaan yang sangat tidak berdaya dan tidak bisa melawan
sama sekali.

Bisa dibayangkan betapa menyayatkan jerit kesakitan keputus-asaan dari
para korban tanpa ada yang hirua peduli, malah sebaliknya ditonton para
barbar yang bejat dan tidak memiliki hati manusia itu.

Menurut penuturan salah satu handai taulan korban perkosaan, pada suatu
acara Peduli Tionghoa Indoneisa oleh TV Hongkong, ada dua gadis
kakak-beradik Tionghoa yang diseret dari dekapan ibunya, lalu diperkosa
dan dianiaya beramai-ramai, salah seorang dari gadis itu, dalam
keputus-asaan atas aib yang menimpa dirinya, nekad mengambil serpihan
kaca dilantai dan memotong urat nadinya hingga tewas....

Sang kakak perempuannya, dalam kesakitan sekujur badan dan kegetiran
batin yang luar biasa, tertatih-tatih, merangkak menghampiri ibunya,
tangisannya sudah tidak bersuara lagi, air matanya sudah kering terkuras
tatkala diperkosa dan dianiaya secara bergilir oleh binatang binatang
itu tadi, yang dilakukan diluar batas-batas kemanusiaan.

Dengan sisa tenaga yang ada, pandangan mata yang hampa, ia pai kui atau
bersembah sujud kehadapan bunda tercinta, yang selama ini telah
membesarkan mereka dengan penuh kehangatan serta kasih sayang.

Namun kini semuanya telah lumat terkoyak-koyak oleh binatang-binatang
biadab, ia mohon maaf dan menyampaikan penyesalannya karena tidak bisa
lagi berbakti kepada ibunya, setelah itu, dengan diiringi pandangan mata
kosong ibunya, ia menuju ke jendela loteng dan melompat bunuh diri .....

Seorang gadis Tionghoa korban perkosaan dan penganiayaan
binatang-binatang keji, setelah ditolong dan dirawat oleh team relavan,
selalu menangis dan berteriak-teriak histeris, ia minta dipanggilkan
dokter, ia sudah tidak kuat lagi menanggung derita dan beban aib yang
terjadi padanya, ia mohon dengan sangat, agar dokter bisa melakukan
suntik mati untuk dirinya, demikian disiarkan SCTV siang baru-baru ini.

Hutang darah ini, akan tetap dicatat dan takan mungkin dilupakan
sepanjang jaman .....

Namun, ditengah kesedihan dan penderitaan Tionghoa Indonesia, sangat
disesalkan sikap pemerintah Indonesia yang tidak tanggap dan peduli,
walaupun mengupayakan sekedar kata-kata menghibur untuk mengurangi
penderitaan mereka.

Sampai sekarang Presiden Habibie tidak pernah menyesali dan minta maaf
kepada rakyatnya yang Tionghoa, atas penderitaan dan kesedihan yang
mereka alami, bahkan kalau dilihat, kata Presiden, ini bukan masalah
sara, tapi masalah yang menyangkut keadilan....

Pangab Jendral Wiranto juga 'masih sibuk konsolidasi intern' hingga
belum bisa menyingkap tuntas dan menindak pelaku-pelakunya.....

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Dra Hj Tutty Alawiyah AS bahkan
menyangsikan kejadian perkosaan tersebut, dan menyatakan bahwa data
korban-korban itu 'baru sekedar isu' .....

Kastaf Angkatan Darat Jendral Subagio menantang untuk dibuktikan kalau
ABRI terlibat dalam kerusuhan tersebut .....

Gubenur DKI Jakarta mengatakan bahwa ia akan menyesali kejadian tersebut
'kalau benar ada terjadi perkosaan-perkosaan itu' .....

Ya Gusti, hati ini semakin membeku .....

> Apparently-to:
> From: CSVI/GPDI

SEGERA KUBUR ORDE BARU DAN BANGUN ORDE DEMOKRATIS KERAKYATAN (1/2)

(oleh : dr. R. Ciptaning P.) *

ORDE BARU SEBAGAI SEBUAH SISTIM EKONOMI POLITIK YANG BERWATAK OTORITER
DAN ANTI RAKYAT

Gerakan rakyat yang tertindas selama 32 tahun dibawah sistim orde baru
adalah gerakan yang melawan penindasan itu sendiri. Gerakan yang
berawal dari sebuah kritik terhadap pemerintahan Soeharto yang
merampas kekuasaan dari tangan pemerintahan Soekarno yang sah lewat
sebuah kudeta militer, didukung oleh mahasiswa angkatan 66,--yang
tergabung dalam KAMI dan KAPI dengan dalih Soekarno telah terpengaruh
oleh faham-faham komunis pada waktu itu,--awalnya membangkitkan
kesadaran sebagian dari eksponen mahasiswa angkatan 66 itu sendiri.
Dengan cepat angkatan Soe Hok Gie (untuk membedakan dengan angkkatan
66) dapat melihat secara kritis kesalahan angkatan 66 itu bahwa
mahasiswa ternyata telah ditunggangi oleh kepentingan Soeharto dan
Amerika untuk melakukan pembantaian terhadap orang-orangg kiri
(komunis, sosialis dan nasionalis kiri) dengan tujuan untuk memastikan
keamanan Amerika di Asia Tenggara. Sejumlah tulisan iliha lewat
berbagai penelitian telah dilakukan oleh beberapa intelektual seperti
Wertheim, Peter Dale Scott, Harold Crouch dan berbagai tulisan lainnya yang
selama Rezim Diktaktor Soeharto berkuasa menjadi barang haram untuk
dibaca dan dikaji.

Langkah pertama Soeharto setelah memanipulasi SUPER SEMAR adalah
melakukan politik adu domba di kalangan rakyat yang menyebabkan 3 juta
jiwa (menurut pengakuan Sarwo Edi) kaum komunis, sosialis dan
nasionalis kiri menjadi korban keganasan fascisme Soeharto. Sebagian
berada dalam kamp-kamp tahanan Orde Baru di kota-kota besar hampir di
seluruh Indonesia dan di Pulau Nusa Kambangan dan Pulau Buru. Hal
inilah yang membuka mata Soe Hok Gie dan yang lainnya, bahwa mahasiswa
telah ditunggangi oleh Angkatan Darat pada waktu itu dipimpin oleh
Soeharto sebagai pengemban SUPER SEMAR. Lewat sebuah sidang MPR yang
telah direkayasa oleh petinggi-petinggi Angkatan Darat pada waktu itu,
setelah pidato pertanggungjawaban Soekarno di tolak maka Soeharto
dikukuhkan sebagai Presiden. Sebagai sebuah epilog dari skenario
perebutan kekuasan lewat kudeta.

Setelah berkuasa maka Soharto dengan cepat membubarkan KAMI dan KAPI
yang terlihat mulai sadar akan nasib mahasiswa yang menjadi pecundang
gerakan yang dibiayai oleh CIA. Badan inteljen Amerika berperan besar
dalam beberapa percobaan pembunuhan Soekarno. Badan ini dibiayai oleh
pemilik-pemilik modal besar Amerika dan pemerintahan Amerika yang
memang dari dulu sangat anti Soekarno yang bercita-cita untuk
membangun masyarakat adil dan makmur berbasiskan Sosialisme Indonesia
berdasarkan pada UUD 45 dan Panca Sila. Jelas Soekarno adalah
penghambat bagi kepentingan pemilik modal asing (meminjam istilah
Soekarno sendiri : Neo Kolonialis dan Imperialisme). Pada waktu Orde
Baru berkusa sejak awalnya jelas dilandasai oleh kepentingan pemilik
modal besar. Kapitalismelah yang menjadi landasan filosofi bagi orde
baru, sebagai antitesa dari sistim sosialis yang di bangun oleh
Soekarno dan founding father lainnya.

Setelah orde baru berkuasa penuh dengan filosofi pembangunannya
sebagai baju kapitalisme maka rangkaian program politik dibangun untuk
memperkuat kediktaktorannya. Beberapa ekonom lulusan Amerika diajak
(yang dengan licik akhirnya juga disingkirkan oleh Soeharto menjelang
kejatuhannya) untuk menjadi think-tank program-program ekonominya.
Kekuasaan diktaktor Soeharto juga , terus terang saja diperkuat oleh
angkatan darat yang semakin menguat ditubuh ABRI. dengan bekal DWI
FUNGSI sebagai legitimasi untuk mengawasi rakyat, menakut-nakuti
rakyat bahkan melakukan penangkapan-penangkapan dan serangkaian
pembunuhan politik terhadap kaum sipil maupun militer yang mulai
sadar dan kritis terhadap Soeharto. Keduanya, ekonomi dan politik
berada dalam satu jalur komando langsung dari diktaktor Soeharto yang
berkuasa penuh sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Lemaga-lembaga ilegal
bikinan Soeharto dari KOPKAMTIB sampai BAKORSTRANAS didukung oleh
aparatus intelejen BAKIN, BAIS dan BIA yang di bawah komando Soeharto
langsung menjadi gada pemukul rakyat yang mencoba kritis dan melawan.
Dengan stikma eksrim kanan, ekstrim kiri, eksrim tengah sampai GPK,
tetap menjadi hantu-hantu yang diciptakan oleh Soeharto dan aparatus
orde barunya dari awal berkuasa sampai menjelang kejatuhannya,--bahkan
sampai sekarang tetap diberlakukan untuk tetap bisa mempertahankan
bangunan Orde Baru yang sudah hampir runtuh. Bahkan setelah tidak
berkuasa lagi aparatus orde baru yang tersisa di dalam tubuh ABRI dan
Birokrat tetap memelihara teror, penculikan, pemenjaraan, pecah-belah
dan adu homba dengan isu SARA.

Dwi fungsi adalah konsepsi dan praktek yang sangat bertentangan dengan
rakyat dan Sapta Marga ABRI sendiri. Tentara Dwifungsi adalah tentara
yang menginjak-injak perjuangan luhur Panglima Besar Sudirman karena
selama 32 tahun menjadi alat penindas dan pembantai rakyat karena
telah menjadi Watchdog dari pemilik modal. Sebagain besar
perusahaan-perusahaan besar menggunakan perwira-perwira aktif maupun
purnawirawan duduk sebagai komisaris atau direksi. Mereka di gaji
untuk menjaga perusahaan dan mempermudah perusahaan untuk melakukan
ekspansi. Perwira-perwira menanam saham dalam apa yang dinamakan tugas
kekaryaan mereka. Sampai tingkatan terendah (satpam dan sistim
security lainnya) dari sebuah perusahaan besar dapat ditemui baju
hijau yang makan dari gaji pada pemilik-pemilik modal. Adalah benar
bahwa kolusi terbesar dan terkuat di Indonesia dilakukan oleh
Kapitalis dan tentara dan selama 32 tahun menjadi sah oleh DWI FUNGSI
yang dipelihara oleh Soeharto. Dengan DWI FUNGSI, Soeharto berhasil
menumpulkan cita-cita Sudirman terhadap tentara,--yaitu sebagai tentara
rakyat.

Pembangunan sebagai baju filosofi dilengkapi dengan Pancasila dan UUD
45 yang telah dimanipulasi dalam satu paket doktrin P4, harus berjalan
diatas logika modal. Kesadaran kritis yang coba tumbuh akan berhadapan
dengan program de-politisasi yang secara nyata dan terang-terangan
tanpa tahu malu memerkosa hak-hak rakyat di semua sisi kehidupan :
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan,
secara legal dilakukan dan menjadi sah di atas nilai, hukum dan aturan
yang berlaku di seluruh sendi kehidupan masyarakat selama 32 tahun.

Penyimpangan tadinya mungkin berawal dari lingkaran elit politik dan
militer saja namun perlahan-lahan penyimpangan-penyimpangan seperti
Kolusi, Korupsi, Nepotisme, Pungli masuk merasuk dan meluas sampai
keseluruh tingkatan masyarakat dan menjadi sebuah nilai moral baru
yang harus diterima secara wajar dalam sistim Orde Baru yang
seolah-olah berhasil menyelamatkan Indonesia dari kemiskinan dan
kekacauan politik yang di bangun Orde Soekarno. Proyek-proyek besar
didasari konsep-konsep besar dengan iming-iming globalisasi yang
menjanjikan kesejahteraan bagi bangsa Indoesia setiap harinya semakin
kuat menjadi pilar-pilar berdirinya Orde Baru di bawah Pemerintahan
Diktaktor Soeharto. Boom Minyak ditahun 70-an menutup mata semua orang
seakan-akan bangsa ini akan sangat siap untuk tinggal landas.

Investasi modal asing dan hutang luar negeri diklaim sebagai sebuah
keniscayaan yang bisa mempertipis jurang kemiskinan dan membangun
kelas menengah baru. Sektor pertanian yang pada awal orde baru
dijanjikan sebagai target prioritas pembangunan harus berhadapan
dengan penggusuran lahan-lahan produktif untuk diganti dengan industri
dan pendukung industri seperti waduk-waduk raksasa yang memelaratkan
jutaan rakyat pedesaan yang menjadi miskin akibat ambisi serakah dari
kepentingan modal yang dipoles dengan modernisasi desa dan peningkatan
sumber daya manusia dari petani menjadi buruh=97yang juga diperas dengan
upah murah bahkan diekspor keluar negeri secara sah.

Di bidang politik Golkar yang pada awalnya dibangun oleh angkatan
darat untuk melawan Soekarno, menjadi kekuatan politik terbesar di
bawah Orde Baru. Golkar memilik hak melebihi dua Partai lainnya yang
dibentuk sebagai hasil fusi ( baca : kontrol dan injak) yang
direkayasa oleh angkatan darat diktaktor Soeharto. Golkar dengan
dukungan ABRI dan Birokrat Orde Baru yang pada perkembangan berikutnya
berhasil menyeret sebagian kekuatan agama dalam hal ini Islam menjadi
satu kekuatan yang melegitimasikan sistim Orde Baru yang semakin lama
semakin serakah menelan investasi asing dan hutang luar negeri.
Semenjak berdirinya Orde Baru Islam telah dimanipulasi oleh Soeharto
dan aparatus orde barunya untuk terlibat mensahkan sebuah sistim
politik hipokrit yang anti rakyat. Tujuannya adalah sebagai tameng
moral dan agama untuk melaksanakkan praktek-praktek Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme. Kenyataan pahit ini tidak akan pernah bisa dihapus dari
sejarah bahwa Soeharto dan orde Barunya adalah berhasil memutar
balikkan nilai-nilai luhur dan perjuangan Islam untuk pembebasaan.

Golkar telah bekerja sebagai kekuatan konsolidatif semua kekuatan
Islam untuk mendukung sistim yang sebenarnya menjadi musuh bagi
cita-cita Islam. Islam-Islam Orde Baru yang lahir tumbuh dan disusui
oleh kroni Kapitalisme sangat memusuhi perjuangan rakyat untuk
pembebasan dan sangat mudah dimobilisir untuk di adu domba sesama
rakyat oleh aparatus orde baru..

Golkar sangat pandai dan kuat mengatur serangkaian manipulasi menjadi
sah. Desa-desa yang telah dide-politisasikan tidak diizinkan untuk
dimasuki oleh kekuatan lain selain Golkar. Baik dari aparatus desa
sampai kyai-kyai Golkar adalah senjata ampuh bagi Golkar untuk
menggalang massa rakyat pedesaan. Semuanya itu dibiayai oleh kapitalis
kroni Soeharto.

(Bersambung bagian II)

* dr. R. Ciptaning P. Koordinator Komite Pendukung Megawati-KPM,
seorang dokter yang sedang kehilangan hak prateknya dan pernah
menginap dalam tahanan Orde Baru-Soeharto, dan merasakan berada
di ruang interogator BIA, sebagai konsekwensi dari perjuangan
sebuah keyakinan.

*******************************

> Apparently-to:
> From: CSVI/GPDI

SEGERA KUBUR ORDE BARU DAN BANGUN ORDE DEMOKRATIS KERAKYATAN (2/2)

(oleh : dr. R. Ciptaning P.) *

Sistim, rezim diktaktor dan aparatus orde baru adalah satu paket
komplotan yang pada bulan Mei kemarin seharusnya secara konsekwen di
tumbangkan. Namun ternyata sistim dan aparatus orde baru tetap tersisa
dan berkuasa setelah serangkaian peristiwa-peristiwa besar dalam
perubahan yang berpuncak menjelang akhir bulan Mei. Kepala negara
boleh diganti dari Soeharto ke Habibie (habis bicara bingung) tapi
sistim orde baru dan aparatus tetap dipertahankan agar rakyat tetap
dikuasai dalam satu paket tipu muslihat diktaktor Soeharto yang
dilakukan secaara legal.

Susunan MPR dan DPR tetap orang-orang yang dihasilkan oleh seleksi
Orde Baru dan Rezim Soeharto. Susunan kabinet Habibie adalah
orang-oang Soeharto yang sekarang diberi nama Kabinet Reformasi. Tap
MPR, Hukum dan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan Soeharto
tetap diberlakukan. Beberapa reformasi diberlakukan bukan untuk
merubah landasan filosofi, ekonomi dan politik bernegara yang sudah
hancur dengan menggantikan landasan tersebut dengan sistim yang pro
rakyat dan demokratis kemudian mempersiapkan sebuah program ekonomi
politik yang menguntungkan bagi kehidupan ekonomi politik rakyat,--
namun lebih sebagai program-program yang berwatak politis untuk
mempersiapkan rangkaian tipu muslihat baru, yang merupakan kelanjutan
dari tipu muslihat yang dilancarkan sebelumnya.

Sementara kekuatan sisa-sisa orde Baru menyusun kembali tipu muslihat
mereka, rakyat semakin terperosok dalam penderitaan. Jutaan orang
sekarang menjadi pengangguran baru dan akan menyusul jutaan lainnya.
Dalam tempo singkat yang akan datang kemiskinan merajalela, ekonomi
semakin terpuruk pada kubangan kehancuran. Pemerintahan Habibie yang
baru tidak berhasil mendapat dukungan dan kepercayaan masa rakyat dan
semakin lama semakin tidak populer dimata internasional. Habibie
bukannya menyiapkan jalan keluar bagi persoalan rakyat melainkan
semakin menyeret rakyat dalam permainan kapitalisme internasional. IMF
dan World Bank cukup beralasan untuk tidak segera membantu program
Habibie karena tidak ada perubahan yang mendasar dilakukan oleh
pemerintahan Habibie yang bisa berarti bagi penyelamatan 200 juta
rakyat yang terancam kelaparan.

Kekuatan-kekuatan Soehartois dan sisa-sisa Orde baru semakin
memperburuk keadaan. Mereka tidak menginginkan sebuah pengadilan
tuntas bagi Soeharto, dan masih berusaha menyelamatkan Soeharto.
Sejarah bangsa ini akan terus mengalir melewai celah dan hambatan yang
akan menentukan proses perjuangan rakyat. Keadaan seperti sekarang
justru mempersiapkan jalan bagi sebuah revolusi,--sebuah kata yang
menakutkan bagi semua elemen orde baru yang selama 32 tahun hidup
mapan dan berkecukupan bahkan berlebihan. Seharusnya kita sadar bahwa
revolusi sebagai sebuah tuntutan sejarah, cepat atau lambat pasti akan
datang. Ia akan membelah dua sisi yang saling berhadap-hadapan secara
radikal. Segala usaha untuk konsesi dan moderasi hanya akan
berhadapann dengan revolusi itu sendiri.

Hanya ada dua pilihan skenario dalam kenyataan sejarah esok yang akan
membelah rakyat sipil maupun militer. Pilihan pertama adalah mereka
yang masih ingin mempertahankan orde baru sebagai sebuah sistim
(stelsel ) penindasan lama yang walaupun telah hancur, dicoba
diperbaiki agar berguna bagi kepentingan mereka yaitu mempertahnan
kekuasaan. Mereka adalah Kaum Soehartois, Komplotan Habibie, mereka
yang telah merebut jalan reformasi dari tangan para pejuang reformasi
sendiri. Jalan yang mereka pakai adalah melakukan reformasi sesuai
dengan kebutuhan ekonomi dan politik komplotan penguasa elit dan
tekanan internasional. Reformasi tersebut adalah tambal sulam atas
nama kebutuhan rakyat dengan demagogi reformasi damai yang lebih
mencerminkan ketakutan akan keruntuhan Orde Baru tersebut secara
radikal. Jalan keluar mereka adalah Sidang Istimewa yang dilakukan
oleh orang-orangnya Soeharto di dalam MPR/DPR sebagai sebuah tipu
muslihat untuk cari aman dan tetap mempertahankan sistim dan perangkat
Orde Baru. Muslihat berikutnya adalah konsolidasi kekuatan orde baru
untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan kembali, atau mungkin akan
mengembalikan kekuasaan ketangan Soeharto lagi. Jelas ! Skenario
mereka adalah untuk memperpanjang penderitaan rakyat atau malah
menyeret kembali ke dalam kubangan orde baru yang berumur 32 tahun ala
Soeharto, dengan munculnya seorang figur militer. Sebagai penyelamat
bangsa seperti 32 tahun yang lalu.

Skenario kedua adalah skenario yang diperankan oleh massa rakyat yang
selama ini berjuang untuk keluar dari penindasan, yaitu melanjutkan
perjuangan revolusioner yang telah dibuka oleh mahasiswa dan
intelektual. Keharusan untuk memenuhi tuntutan rakyat yaitu
segala-galanya adalah dari dan untuk rakyat serta hanya bisa
dijalankan oleh rakyat. Langkah bagi skenario ini adalah rakyat
merebut kekuasaan secara paksa dari tangan penguasa penguasa ilegal.
Secara paksa berarti tanpa toleransi dan kompromi rakyat yang akan
memimpin dan melakukan perebutan kekuasaan tersebut. Cara ini adalah
untuk segera bisa membangun landasan baru bagi kepentingan rakyat,
bangsa dan negara ini dan segera menyiapkan proram-program pemulihan
ekonomi rakyat yang paling pokok.

Program-program ekonomi ini akan dikontrol langsung oleh rakyat, hanya
bila Kedaulatan Rakyat berjalan sepenuhnya tanpa ada manipulasi dan
bersih dari sisa-sisa sistim dan elemen Orde Baru. Cara dan skenario
kedua inilah yang bernama revolusi. Revolusi yang dilakukan oleh
seluruh rakyat karena terdesak untuk segera membangun sebuah sistim
baru yang dijalani oleh rakyat dan mendapat dukungan penuh dari
seluruh rakyat untuk segera mengatasi persoalan ekonomi rakyat. Cara
dan skenario ini sebenarnya telah mendapatkan bentuknya dalam tuntuan
Reformasi Total. Dalam tindakan berbentuk aksi-aksi yang berkelanjutan
dikalangan pemuda dan mahasiswa hampir disetiap kota besar. Aksi-aksi
pengambil-alihan tanah oleh kaum tani di Sumatra Selatan, Sumatra
Utara, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur serta Jakarta Barat. Massa
rakyat mengambil alih untuk berproduksi. Mahasiswa menduduki DPRD
setempat menuntut pejabat-pejabat korup untuk mundur dari jabatan.
Kelompok Pendukung Megawati mengambil alih dan menduduki kantor-kantor
PDI Suryadi, semakin lama partisipasi aktif rakyat akan semakin luas
dan semakin tinggi tuntutannya. Semua ini berlangsung karena Rakyat
tidak percaya terhadap sistim lama yang dijalankan oleh Pemerintahn
baru Habibie. Sistim dan Pemerintaha yang idak segra menjawab
persoalan pokok rakyat yaitu penyelesaian persoalan ekonomi fasar
rakyat Inilah Jalan Revolusi Demokratik yang menjadi keharusan sejarah
bangsa ini. Revolusi yang pernah tertunda selama 32 tahun oleh Rezim
diktaktor Soeharto. Cepat atau lambat Revolusi yang dipimpin oleh
Soekarno akan kembali menemukan bentuknya

Sebetulnya kedua cara dan skenario tersebut dalam kenyataaannya sedang
berjalan bersamaan walaupun terpisah dan berbeda muaranya

MEMBANGUN ORDE DEMOKRATIS DAN KERAKYATAN

Dalam pengalaman gerakan sejarah perubahan , yang dialami oleh bangsa
ini terutama dalam minggu-minggu terakhir ini sewajarnyalah dapat
disimpulkan apa yang menjadi tuntutan rakyat dalam perjuangan massa
yang berhasil mendesak mundur Soeharto,--yaitu kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakat ini juga yang secara implisit maupun eksplisit ada
dalam otak dan sanubari para pelopor mahasiswa pemuda yang berjuang di
setiap kota. Kedaulatan rakyat inilah yang diharapkan akan menjalankan
demokrasi yang sejati. Tuntutan akan kedaulatan rakyat yang dibawa
oleh mahasiswa dan pemuda dalam rangkaian perjuangan ini adalah
counter tehadap sistim diktaktor orde baru di bawah Jenderal Soeharto.
Kedaulatan rakyat inilah yang murni menjadi poros penggerak dari setiap
gerakan selama32 tahun. Kedaulatan rakyat berarti rakyat yang aktif
berjuang dan merebut kedaulatannya dari tangan sang diktaktor Soeharto.

Setelah itu rakyat pulalah yang akan membangun dan menjalankan negara
ini. Rakyat yang harus segera membangun landasan filosofi/ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, --berlandaskan
kepentingan rakyat. Rakyat pulalah yang akan membuat program, menjalani dan
mengawasi dari tingkatan nasional sampai desa, kampung, RT, RW-nya, agar
semua berguna buat rakyat.

Sistim Orde baru harus sudah dikubur habis. Rakyat harus melahirkan
sebuah Orde yang berbasiskan pada kepentingan bersama. Maka Orde Baru
diganti dengan Orde Demokrasi Kerakyatan, yang berarti pemerintahan
demokratis untuk sebuah masyarakat demokratis yang dijalankan oleh
rakyat dari rakyat dan untuk rakyat. Efisiensi dan efektifitas
partisipasi rakyat ini harus di jalankan oleh lembaga-lembaga
pemerintahan/lembaga-lembaga legislatif rakyat secara menyeluruh.

Lembaga rakyat yang terpenting adalah berdirinya Dewan-dewan
Pembebasan Rakyat yang bersih daari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang
ada dalam sisa-sisa orde baru. Dewan-dewan Pembebasan Rakyat yang
independen ini sebagai wadah demokrasi rakyat untuk menjalankan roda
pemerintahan rakyat sementara. Sementara disini adalah sebelum
dewan-dewan rakyat ini melaksanakan sebuah pemilihan umum yang
demokratis. Dewan-dewan Pembebasan rakyat tersebut harus didirikan
atas inisiatif rakyat disemua wilayah dari RT, RW, Kelurahan,
Kecamatan, Kabupaten, Kotamadya, Propinsi sampai Nasional. Dewan dewan
tersebut harus didirikan ditingkatan pabrik, kantor maupun kampus dan
sekolahan. Semuanya ada dibawah kekuasaan Dewan dewan Pembebasan
Rakyat. Demikian halnya dengan Tentara, ia harus menjadi satu dengan
rakyat dan memiliki fungsi bersama dalam hankam. Tentarapun berhak dan
berkewajiban bekerja dalam sektor produksi bersama rakyat bahkan
sebelumnya membantu mangambil alih alat-alat produksi untuk dijalankan
oleh rakyat. Peran tentara sebagai pengabdi rakyat hanya bisa berjalan
jika DWIFUNGSI di hapuskan dan ABRI profesional benar-benar tunduk
pada supremasi politik sipil yang demokratis kerakyatan.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh dewan rakyat ini bukan
Sidang Istimewa atau Pemilu tapi segera memobilisir hak Rakyat untuk
mengambil alih kembali alat-alat produksi : tanah pertanian dan
perkebunan serta pabrik, yang dirampas oleh Orde Baru Diktaktor
Soeharto sekeluarga. Rakyat juga berhak untuk mengambil alih semua
aset harta Soeharto sekeluarga (yang ada saham keluarga Soeharto)
untuk kepentingan umum (Bank, Perumahan, Rumah sakit dll) Pengambil
alihan tersebut dilindungi dan diawasi oleh Dewan Pembebasan Rakyat
setempat atas nama rakyat. Alat-alat produksi tersebut di jalankan
untuk segera bisa menyelesaikan persoalan ekonomi rakyat setempat.
Dan tugas dewan memobilisir modal untuk engembangan usaha rakyat.

Ekonomi harus berlandaskan pada gorong royong dan koperasi.
Modernisasi disektor pertanian dan industri pada langkah awal adalah
bertujuan memberikan makan dan memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Modal swasta dalam negeri dan Investasi asing hanya boleh beroperasi
di Indoensia sejauh dapat dikontrol dan berguna buat poros-poros
kooperasi rakyat. Pinjaman Hutang sejauh tidak mengikat, dan diadakan
pemutihan terhadap hutang Indonesia selama ini. Hal yang mendesak bagi
rakyat selain sembako adalah fasilitas pendidikan dari tingkatan dasar
sampai perguruan tinggi harus disubsidi oleh negara dan demikian
halnya dengan kesehatan. Sehingga bahan makanan cukup, pendidikan dana
kesehatan gratis.

Sambil berjalan Dewan-dewan mencabut semua undang-undang, aturan Tap
MPR, semua kebijakan yang selama ini anti rakyat dan tidak sesuai
dengan Pancasila dan UUD 45 yang sejati. Semua produk Orde Baru yang
menyokong penindasan harus di musnahkan. Dewan-dewan juga segera
menyiapkan pengadilan yang bersih dan terbuka bagi diktaktor Soeharto.

Setelah itu Dewan-dewan rakyat mempersiapkan sebuah pemilu yang
demokratis dimana semua partai apapun ideologinya asal mendukung Orde
Demokrasi dan Kerakyatan boleh berdiri dan ikut dalam Pemilihan Umum.
Demikianlah cita-cita sejarah untuk membangun masyarakat adil dan
makmur harus ditempatkan dalam perjalanan revolusioner, atau cita-cita
tersebut hanya akan menjadi sebuah demagogi belaka dari sebuah kelas
berkuasa.

* dr. R. Ciptaning P. Koordinator Komite Pendukung Megawati-KPM,
seorang dokter yang sedang kehilangan hak prateknya dan pernah
menginap dalam tahanan Orde Baru-Soeharto, dan merasakan berada
di ruang interogator BIA, sebagai konsekuensi dari perjuangan
sebuah keyakinan.

*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:

Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

REVOLUSI MEI DI JAKARTA

Oleh: Aboeprijadi Santoso

(OPINI): Beberapa pekan lalu, pengamat politik Indonesia cenderung
berpikir dalam dua model perubahan: Model Tiananmen dan People's
Power. Sangat mengejutkan banyak orang, perisitiwa-peristiwa di Jakar-
ta bukan menghasilkan pertumpahan darah seperti di China ataupun
Filipina, tetapi suatu perubahan yang cepat dan damai. Meski begitu,
dua model di atas tetap relevan untuk dibandingkan, mengingat harapan
dan kekhawatiran mengenai peristiwa yang akan datang.

Model Tiananmen, 4 Juni 1989, mengasumsikan bahwa tindakan keras dari
represi negara untuk mengatasi krisis, perlu dilakukan dan bisa dite-
rima dunia internasional. Memang, pemerintah China secara efektif
berhasil mengelola dasar negara yang ditentang mahasiswa; dan memulih-
kan stabilitas, setelah perubahan dalam elit negara dan partai; serta
membatasi dampak kerusahakan sosial dan ekonomi akibat perlawanan
selama tiga bulan. Pada akhirnya, rezim monolitik bisa bertahan karena
negara menemukan resep untuk memperbaiki status quo dengan penumpasan
berdarah terhadap kekuatan oposisi.

Sebaliknya people's power di Manila, 1986, menghasilkan sesuatu yang
bertolak belakang dengan penyelesaian di China. Kemarahan terhadap
diktator Ferdinand Marcos muncul dari semua lapisan masyarakat. Kepe-
mimpinan sipil dan spiritual siap diwujudkan dalam figur janda senator
yang populer Aquino, Corazon Aquino dan Kardinal Jaime Sin. Platform
oposisi rakyat telah tersedia, dan dipimpin oleh Front Demokrasi
Nasional (NDF) - sayap nasionalis kiri; dan gerakan lain.

Selama dekade kediktatoran Marcos, masyarakat Filipina sangat terpoli-
tisasi dan mengalami radikalisasi. Jadi yang diperlukan untuk menying-
kirkan Marcos, hanyalah langkah kecil dari para jenderalnya untuk
"menyebrang". Hal itu terjadi, pada momen kritis, ketika Jenderal
Ramos memihak Aquino. Tetapi, people's power juga terbuka dan segera
terancam oleh berlan-jutnya rivalitas dalam tentara dan pemberontakan
- dengan contoh terkenal permainan Rambo, Kolonel Gringo Honasan.

Dalam skala lebih luas, perpecahan penting terjadi ketika NDF memboi-
kot pemilu pertama yang diselenggarakan Aquino. Seandainya, NDF tidak
memboikot, peta politik Filipina akan sangat berbeda. Namun, yang
terjadi, perpolitikan Filipina menjadi demokratis tetapi elitis.
Revolusi EDSA berakhir dengan apa yang disebut oleh orang-orang Fili-
pina sebagai "demokrasi elit".

Revolusi Mei di Jakarta - istilah yang kini populer untuk menyebut
perlawanan mahasiswa yang akhirnya menggulingkan Soeharto - mengandung
campuran berbagai unsur. Seperti di China, ketidakimbangan kekuatan
mahasiswa dan aparat negara memang tampak di Jakarta. Seperti di
China, perlawanan mahasiswa juga sangat aktif dan diam-diam didukung
masyarakat. Tetapi, kepemimpinan nasional di Indonesia - baik sebelum
dan sesudah Soeharto jatuh - menghadapi krisis yang jauh lebih serius
dibanding China.

Permainan simbol yang muncul dari kekuatan mahasiswa Jakarta dan
Beijing tampaknya menciptakan kesulitan lebih besar, dan memancing
tindakan negara yang lebih cepat, dibanding Manila. Seperti di China,
mahasiswa Indonesia memilih menyalurkan perlawanan mereka di tempat
yang sangat tepat. Kompleks gedung MPR/DPR dan Monas, diharapkan
menandai legitimasi protes mereka melawan parlemen dan pemerintahan
yang mereka anggap tidak sah. Gema aksi Jakarta bergaung sampai Paki-
stan dan Zimbabwe, menekankan efek simbolis itu.

Dalam kasus China, sangat sedikit, kalau pun ada, bangunnya kesadaran
kelas menengah - terutama kemarahan moral -, dalam gerakan seperti di
Manila atau Jakarta. Model Tiananmen kekurangan daya gugat moral yang
spesifik seperti di Manila setelah tertembaknya Aquino; dan di Jakarta
setelah tewasnya mahasiswa Trisakti. Hal ini menjelaskan kenapa ada
dukungan begitu luas di Indonesia dan Filipina. Sebaliknya di China,
tanpa unsur spesifik itu, tentara menjadi ancaman potensial yang bisa
terjadi di manapun, dalam tahap selanjutnya.

ABRI memainkan peran menentukan, tetapi sangat hati-hati. Letjen
Syarwan Hamid, yang ketika itu Wakil Ketua MPR/DPR mengizinkan demon-
strasi mahasiswa berlangsung di kompleks parlemen. Ia tampaknya tak
akan melakukan itu, tanpa sepenge-tahuan atasannya. Lebih penting
lagi, selama minggu-minggu pertengahan Mei, ABRI hanya menunggu; dan
akhirnya setuju untuk meminta Soeharto turun.

ABRI harus mengatasi krisis internalnya sementara waktu; dan mulai
mewujudkan janjinya untuk tut wuri handayani. Di tengah globalisasi -
era "Reformasi atau mati" ABRI tampaknya memang tak punya pilihan lain
kecuali menyesuaikan diri. Dan, seperti di Filipina, aksi massa juga
memicu dan meningkatkan rivalitas di tubuh tentara. Jatuhnya Prabowo
yang mendadak dari Pangkostrad, mengesankan bahwa "Revolusi Mei" di
Jakarta juga punya cerita seperti Gringo Honasan. Persaingan itu, akan
tetap ada, selama pemerintahan Habibie atau penggantinya gagal memu-
lihkan kepercayaan domestik dan internasional.

Seruan reformasi total dari Senayan, bisa mempunyai akibat lebih dalam
- bukan hanya tumbangnya Soeharto, tetapi juga pemenuhan kebutuhan
riil rakyat dan awal demokratisasi - seandainya Revolusi Mei itu tidak
dibelit soal rasial, China non China, dan manuver Honasan seperti di
Filipina.

Seperti di Beijing, gerakan pro demokrasi di Indonesia kurang memiliki
platform politik yang solid, untuk memimpin peru-bahan. Sebab, maha-
siswa sudah lama dikungkung dalam selimut "gerakan moral" dan poli-
tisinya terpecah-pecah. LSM dan ormas-ormas secara politik sangat
lemah, akibat tiga dekade di bawah tekanan Soeharto. (Wartawan tinggal
di Amsterdam. Artikel ini disadur dari The Jakarta Post, 9 Juni 1998)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 25/I/20 - 26 Juni 98
------------------------------

KOALISI AMIEN-EMIL, CEGAH SOEHARTOISME

(PERISTIWA): Duet Amien Rais dan Emil Salim makin mantap. Ada platform
bersama untuk Pemilu dan arah menuju reformasi. Perlu tindakan segera
untuk mencegah kembalinya kaki-tangan Soeharto.

Ibarat bendungan pecah, air meluap ke segala arah. Begitu pun yang
terjadi, setelah Soeharto mundur dari kursi presiden. Setelah 32 tahun
dikungkung bangungan represif Orde Soeharto, masyarakat politik mabuk
kepayang menikmati kebebasan. Partai-partai lahir bak jamur di musim
hujan. Walaupun kebebasan itu sebetulnya masih semu. Bukan kebebasan
sejati yang dijamin hukum.

Namun, di tengah euforia itu, banyak juga tokoh yang berpikir tenang
sambil menyusun strategi. "Kita tunggu air bahnya menep. Biar kelihatan
petanya. Baru kita atur langkah," kata Amien Rais, Jurubicara Majelis
Amanat Rakyat (MARA), beberapa waktu lalu. Ternyata, waktu menunggu
mengendapnya banjir itu tak perlu lama-lama. Amien Rais segera mengambil
langkah: koalisi lebih mantap dengan kelompok pro-demokrasi lain,
mengingat bahaya munculnya kekuatan Orde Soeharto di panggung politik.

Langkah pertama, penguatan koalisi itu, adalah dengan Emil Salim, tokoh
Gema Madani. Dua tokoh reformasi itu bertemu di kediaman Emil Salim, di
kawasan Kuningan, pekan lalu. Mereka membicarakan paltform bersama untuk
pemilihan umum; dan juga meletakkan arah reformasi. Pertemuan itu
kabarnya, berlangsung dalam suasana akrab, dan sangat produktif
merumuskan platform bersama. "Pak Emil terkesan dengan Amien Rais," kata
sumber di Gema Madani.

Dalam pertemuan itu, Amien memang meyakinkan Emil tentang beberapa hal
yang selama ini menjadi kecurigaan masyarakat terhadap Amien. Misalnya,
soal minoritas Cina, negara Islam dan isu sektarianisme. "Minoritas Cina
harus diperlakukan seperti halnya warga negara lain. Tanpa
diskriminasi," kata Amien. Ia pun menegaskan sikapnya tentang perlunya
negara pluralistik, dan bukan negara Islam untuk ditegakkan di bumi
Indonesia. Hal-hal semacam ini, telah memudahkan timbulnya saling
kepercayaan antara Amien Rais dan Emil Salim; dan akan menjadi modal
diluaskannya koalisi itu dengan tokoh-tokoh lain seperti Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarnoputri.

Amien dan Emil, yang bisa dibaca sebagai mewakili MARA dan Gema Madani,
tampaknya punya kesamaan sikap tentang penyelesaian krisis politik ini.
Mereka memandang penting diselenggarakannya pemilu yang demokratis dan
dipercepat, untuk mendapatkan pemerintahan yang sah dan didukung rakyat.
Ide tentang pemilu yang dipercepat itu, sesungguhnya juga mendapat
tanggapan positif dari kelompok pro-demokrasi lainnya. Hanya, ada
sebagian kelompok yang menginginkan dibentuknya "presidium pemerintahan
sementara," sebelum pemilu digelar.

"Masalah dalam pembentukan presidium itu, siapa yang akan memilih
anggotanya. Dan darimana kita mendapat hak memilih anggota presidium,"
kata Emil Salim, dalam satu pertemuan dengan para pendukung gagasan
presidium.

Amien dan Emil sepakat tentang beberapa gagasan dalam penyelenggaraan
pemilu, partai dan susunan DPR/MPR. Antara lain:
* Pemilu dilakukan Desember 1998
* Pemilu diselenggarakan oleh partai-partai, diawasi lembaga independen
dari dalam dan luar negeri
* Pemilu dilakukan dengan sistem gabungan; sistem distrik dan
proporsional.
* Partai-partai bebas didirikan.
* Partai hendaknya bersifat terbuka, tidak menutup keanggotaan hanya
untuk etnis, atau agama tertentu
* Partai yang mendapat suara kurang dari 5% hendaknya bergabung dengan
partai lain
* Seluruh anggota DPR/DPRD dipilih lewat pemilu
* Keanggotaan MPR terdiri dari 500 orang hasil pemilu, ditambah dua
orang utusan daerah dari tiap propinsi yang dipilih DPRD; dan 25 dari
ABRI serta 25 orang dari golongan profesional yang dipilih oleh
masing-masing organisasi.
* DPRD dipisahkan dari struktur pemerintah daerah

Gagasan yang ditawarkan duet Amien-Emil itu memang masih mengandung
pertanyaan. "Bagaimana kalau Habibie tidak mau menggelar pemilu
Desember, dan dengan UU yang sudah diubah?" tanya seorang aktifis
pro-reformasi. Emil tampaknya berkeyakinan, Habibie akan terpaksa
menerima ide itu, daripada dijatuhkan oleh konspirasi kaki tangan
Soeharto, yang kini bergerilya lewat militer dan Golkar.

Masalah lain dari ide pemilu itu adalah kesiapan partai-partai
pro-reformasi. Kekhawatiran orang adalah, pemilu itu nantinya akan
dimenangkan kembali oleh Golkar. "Apalagi kalau pakai sistem distrik,
saya khawatir Golkar bisa muncul sebagai pemenang," kata Mochtar
Pabottingi, peneliti senior di LIPI.

Potensi kemenangan Golkar itu, bisa menjadi ancaman untuk kubu
reformasi. Sebab, kaki-tangan Soeharto telah mulai aktif menggerpol -
gerilya politik - di tubuh partai beringin itu. Mereka misalnya, telah
berhasil menguasai kepanitiaan Munas Luar Biasa yang akan digelar 9-11
Juli mendatang. Dapat diduga, Ketua Umum Golkar akan jatuh ke tangan
orang-orang Soeharto; dan mereka akan mendesakkan Sidang Istimewa untuk
memilih presiden dan wakilnya yang bisa dikendalikan efektif oleh
Soeharto. Habibie akhir-akhir ini dirasa terlalu menyimpang dari
Cendana, sehingga pada ulangtahun Soeharto, 8 Juni lalu, ia tak
diundang.

Menghadapi pertentangan elit yang kian mengkristal itu, kubu reformasi
memang harus segera merapatkan barisan."Tokoh-tokoh reformasi mesti
segera bersatu, mencegah kembalinya Soeharto ke panggung politik," kata
seorang mahasiswa. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

Yeni Rosa Damayanti, Aktivis Pro-demokrasi:
"BENTUK KOALISI NASIONAL, LIBATKAN KAMPUS"

(DIALOG): Setahun penuh ia mendekam di penjara antara tahun 1993-1994.
Bersama 20 aktifis mahasiswa se-Jawa dan Bali yang tergabung dalam Front
Aksi Mahasiswa Indonesia, ia didakwa menghina Soeharto. Mereka kala itu
menuntut diadakannya sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungja-
waban Soeharto akibat berbagai persoalan pembangunan. Dari situ,
mahasiswi Fakultas Biologi Universitas Nasional ini makin dikenal
sebagai demonstran. Baru beberapa bulan bebas dari penjara ia mesti
meninggalkan tanah air, menuju negeri Belanda. Namun, sama sekali ia
tidak meninggalkan minatnya terhadap persoalan politik di tanah air.
Bahkan, ia aktif mengkampanyekan persoalan HAM dan demokrasi Indonesia
selama 3 tahun berada di sana. Sekembalinya dari perantauan, Xpos
berkesempatan berbincang-bincang dengannya. Gayanya, masih tetap lugas
dan bersemangat. Petikannya:

T: Banyak isu yang mengemuka saat ini, namun banyak juga yang kurang
menyentuh akar reformasi. Apa yang mendesak untuk segera dilaksanakan?
J: Menurut saya mesti ada pemerintahan sementara yang merupakan bentu-
kan dari koalisi sipil nasional. Kita tidak bisa mengharapkan MPR/DPR
untuk berperan menentukan pemerintahan. Sebab, saya tidak mengakui
keabsahan wakil-wakil rakyat yang sekarang. Mereka toh, dipilih berda-
sarkan pemilu yang curang dan menggunakan produk undang-undang dari
Paket 5 UU Politik yang jauh dari demokratis.

T: Apa tugas koalisi nasional ini?
J: Memimpin periode transisi ini menuju ke pemilihan umum. Tentunya
dengan undang-undang baru yang demokratis.

T: Jadi, tidak perlu sidang istimewa?
J: Kalaupun ada sidang istimewa, tujuannya semestinya, adalah agar MPR
mendemisionerkan dirinya dan menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan
sementara. Bukan memberikan mandat dan tugas reformasi pada Habibie
atau pemerintahan baru lainnya.

T: Apakah realistis membentuk koalisi itu, sementara kita dikejar
waktu untuk segera membentuk pemerintahan yang dipercaya dalam dan
luar negeri?
J: Realistis. Orang-orangnya sudah ada kok. Dan itu lebih baik, dari
pada menyerahkannya pada Habibie untuk memutuskan penyelenggaraan
pemilu yang masih lebih dari setahun lagi. Padahal, perekonomian kita
tidak membaik, malah memburuk.

T: Bagaimana agar pembentukannya dipercepat?
J: Kampus-kampus harus kembali melakukan apel akbar dan menyatakan
dukungan terhadap pembentukannya. Sekaligus menyodorkan nama-nama.
Pihak kampus juga harus mempunyai perwakilan dalam koalisi itu. Seba-
gai ujung tombak reformasi, mereka adalah yang paling berhak menentu-
kan.

T: Apa hal penting lain mesti segera diagendakan?
J: Soal dwi-fungsi ABRI. Maunya sih, kita bilang sama tentara, "eh elo
masuk barak aja." Tapi, mana mau mereka begitu.

T: Mengapa tidak banyak yang membicarakan soal ini?
J: Ini isu yang sama pentingnya dengan isu penurunan Soeharto, bebera-
pa waktu lalu. Mungkin, karena isu Soeharto itu lebih "nyata", sedang-
kan soal dwi-fungsi ini tidak begitu kelihatan. Membicarakan ini
adalah membicarakan konsep. Jadi, bukan person yang mudah dikenali.
Dan membicarakan konsep, bagi kebanyakan orang yang telah terkena
depolitisasi selama 32 tahun, memang tidak semudah membicarakan per-
son.

T: Apa yang mengkhawatirkan dari dwi-fungsi?
J: Yang saya khawatirkan, tentara akan mempertahankan interest-nya, di
bidang politik dan ekonomi. Bentuk maksimalnya adalah kemungkinan
pengambil-alihan kekuasaan. Namun, yang lebih memungkinkan adalah
seperti yang selama ini terjadi dalam pemerintahan Orde Baru. Yaitu,
dengan konsep kekaryaan, memasuki partai-partai politik, lalu mengkon-
trol pemerintahan sipil. Juga dengan adanya badan-badan ekstra yudi-
sial seperti Bakorstranas, dan sebagainya.

T: Apakah pengambil-alihan kekuasaan itu masih mungkin, mengingat
kehadiran tentara secara terang-terangan justru bisa memperparah
krisis ekonomi?
J: Saya kira tidak mungkin mereka nekad melakukan kudeta. Namun, bisa
saja terus berada di belakang. Dan interest-nya akan tetap menjadi
faktor yang penting dalam perpolitikan masa depan. Dia tidak akan
mengambil-alih kekuasaan, tapi akan mendukung mati-matian rezim yang
dianggap memberikan garansi bagi kepentingan-kepentingannya.

T: Nah, bagaimana supaya pihak militer mau kepentingannya dibatasi?
Mereka kan punya senjata...
J: Kalau kita bikin rate, kepentingan tentara itu kan terdiri dari,
misalnya, satu sampai sepuluh. Kita harus melakukan tawar-menawar
dengan mereka. Supaya, jumlah interest-nya kita kurangi. Dari sepuluh
menjadi 3, atau kalau mungkin dihilangkan sama sekali. Misalnya,
bagaimana kalau campur tangannya dalam BUMN serta tender proyek peme-
rintah dihilangkan sama sekali.

T: Tapi, dalam bidang politik, militer masih punya argumentasi histo-
ris mengenai keterlibatannya...
J: Memang, mereka punya argumen bahwa dalam perjuangan kemerdekaan,
tentara tidak saja terlibat dalam peperangan, tapi juga di sektor
politik. Itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa sesudah negara mer-
deka, tentara harus mempertahankan posisi politiknya. Karena, yang
sekarang menjadi sipil pun, pada periode perjuangan kemerdekaan ikut
berjuang di dua sektor. Di politik dan di medan perang. Yang bergeri-
lya itu kan bukan semua tentara. Pada saat Indonesia merdeka, mereka
menanggalkan baju perangnya dan kembali menjadi rakyat sipil. Jadi,
kalau tentara ingin berpolitik pun, harus menanggalkan baju tentara-
nya.

T: Dengan mencabut Paket 5 UU Politik, bukankah peran tentara dalam
politik akan terbatasi?
J: Nah, ini yang selalu saya katakan. Bagaimana caranya melakukan
tawar-menawar dengan tentara? Pertama, perkuat politik sipil. Kedua,
menggalang dukungan dari luar negeri. Bagaimana memperkuat politik
sipil? Ya, mencabut Paket 5 UU Politik dan produk undang-undang lain
yang mengekang. Dengan ikut serta dalam pembuatan undang-undang yang
lebih demokratis, kita sudah mulai memperkuat posisi sipil. Sebab,
tentara tidak bisa lagi melarang rakyat untuk demonstrasi, bikin
partai dan sebagainya. Jadi, penguatan civil society dengan sendirinya
akan mengurangkan dominasi militer. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 25/I/20 - 26 Juni 98
------------------------------

5 PROGRAM REFORMASI VERSI AMIEN-EMIL

(PERISTIWA): Gerakan reformasi memasuki tahap kritis. Sementara kekuatan
reformasi belum menemukan platform bersama, kaki tangan Soeharto kembali
masuk ke struktur kekuasaan. Bukan hanya Golkar yang diincar, tapi
posisi-posisi kunci, seperti Jaksa Agung, kini dipegang orang-orang dari
Orde Soeharto. Mencermati perkembangan itu, Amien Rais dan Emil Salim,
mengajak seluruh komponen pro-reformasi untuk bersatu. Mereka ajukan
lima masalah pokok sebagai dasar dan arah koalisi untuk reformasi itu.
Berikut ringkasanya:

* Penyelesaian Politik:
Akar dari krisis saat ini adalah macetnya fungsi politik Orde Soeharto
selama tiga dekade, sehingga kehilangan kredibilitas di mata masyarakat.
Suatu penyelesaian politik yang cepat, sangat dibutuhkan untuk
memulihkan kepercayaan publik. Jalan untuk itu adalah pemilihan umum
yang demokratis dan segera.

* Bongkar NKK (Nepotisme, Kolusi, Korupsi) dan deSoehartoisasi:
NKK mewarnai praktek Orde Soeharto dalam tiap segi kehidupan, membawa
kerugian tak hanya dari segi ekonomi tapi juga demoralisasi. Praktek NKK
mesti dihentikan, akar-akar Soeharto dalam pemerintahan mesti
disingkirkan.

* Memenuhi Kebutuhan Pangan, Obat-obatan dan Mengatasi Pengangguran:
Sementara krisis politik belum teratasi, keadaan ekonomi makin buruk.
Pangan untuk rakyat menghilang, kalaupun ada harganya melambung.
Penyelesaian darurat mesti dilakukan lewat program "jaringan
penyelamatan sosial", yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bantuan
internasional untuk kemanusiaan harusnya dikelola masyarakat, untuk
menghindari korupsi.

* Menyembuhkan Luka Akibat Kerusuhan Rasial:
Kerusuhan, ketegangan politik akhir akhir ini, membawa kerugian tak
hanya dari segi materiil dan jiwa, tetapi juga meninggalkan trauma
psikologis berkepanjangan akibat kekerasan terhadap etnis Cina. Hubungan
yang rusak antar etnis, agama, mesti dipulihkan lewat usaha-usaha yang
menghormati pluralitas dan perasaan sebangsa.

* Mengusut Tuntas dan Menghentikan Politik Kekerasan:
Selama Orde Soeharto, kekerasan sering dipakai untuk membungkam
perbedaan politik. Kasus-kasus berserakan, meninggalkan korban kekerasan
tanpa penyelesaian. Tanjung priok, Lampung, Aceh, Penculikan aktivis,
Peristiwa 27 Juli, Insiden Trisakti, Kerusuhan Mei dan Timor Timur
adalah contoh politik kekerasan yang belum diusut tuntas. Kita menuntut
penyelesaian kasus-kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi di masa
depan. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:

Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

DARI DULU MEREKA DIMUSUHI

(PERISTIWA): Kerusuhan anti-Cina mewarnai sejarah kelam bangsa Indone-
sia. Kerusuhan besar pertama meledak di Tangerang, di awal kemerde-
kaan, 1946. Lalu, disusul berbagai kejadian serupa. Yang menonjol,
antara lain:

PERISTIWA GERAKAN 10 MEI 1963 DI BANDUNG DAN JAWA BARAT:
Dipicu perkelahian antara mahasiswa keturunan Cina dan pribumi, di
kampus ITB. Dari sini, kerusuhan meluas ke seantero kota Bandung.
Lalu, merembet ke sejumlah kota kabupaten di Jawa Barat, bahkan sampai
ke Surabaya, Malang, dan Medan. Akibat peristiwa itu, tujuh mahasiswa
penggeraknya - termasuk Muslimin Nasution (Menteri Kehutanan dan
Perkebunan sekarang) dan Siswono Judohusodo (mantan Menteri Transmi-
grasi) - dipenjara 50 hari.

KERUSUHAN 9-11 APRIL 1980 DI UJUNGPANDANG:
Bermula kematian seorang pembantu rumah tangga, yang didesas-desuskan
akibat penganiayaan majikannya yang keturunan Cina. Massa yang menga-
muk toko dan rumah milik warga keturunan Cina. Akibatnya, tercatat
1.100 lebih rumah dan toko, 29 mobil dan 42 sepeda motor dirusak.
Ditaksir kerugian mencapai Rp. 318 juta, jumlah yang lumayan besar
untuk ukuran saat itu.

KERUSUHAN DI SOLO DAN SEMARANG (NOVEMBER 1980):
Berawal dari soal sepele, serempetan sepeda seorang murid SGO dengan
seorang pemuda keturunan Cina, di salah satu jalan utama di Solo. Si
pelajar di pukul hingga berdarah kepalanya, tapi kabar yang beredar ia
tewas. Begitu kabar angin itu menyebar, ribuan massa segera mengamuk
dan merusak toko-toko milik warga keturunan Cina. Kerusuhan itu kemud-
ian meluas ke Semarang, serta beberapa kota di Jawa Tengah.

KERUSUHAN DI MEDAN (APRIL 1990):
Dipicu oleh demonstrasi belasan ribu buruh, kerusuhan kemudian mulai
berbau rasial. Puluhan pabrik dan toko dibakar dan dirusak, serta
puluhan warga keturunan cidera dikeroyok massa. Seorang diantaranya,
Yuly Kristanto, tewas dikeroyok massa yang menghajar mobil yang diken-
darainya.

PERISTIWA RENGASDENGKLOK (1997):
Terjadi saat bulan Ramadhan, awal 1997. Pasalnya, seorang warga ketu-
runan menegur anak-anak yang sedang memukul bedug mesjid di salah satu
gang. Entah bagaimana, terjadi keributan kecil. Dan, berita keributan
itu menyebar ke seantero kota, lalu meledak menjadi kerusuhan rasial.

DI AKHIR 1997:
Giliran Ujungpandang kembali dilanda kerusuhan rasial. Penyebabnya,
pembunuhan seorang anak kecil oleh warga keturunan yang kurang waras.
Akibatnya, ratusan toko dan rumah milik warga keturunan Cina diamuk
massa. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*********************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

Ester Yusuf, Aktivis Solidaritas Nusa Bangsa:
"KAMI SIAPKAN UU ANTI DISKRIMINASI"

(PERISTIWA): Sejumlah pegiat sosial merasa prihatin dengan kerusuhan
14 Mei yang meninggalkan bekas traumatik di kalangan Cina. Berikut
petikan wawancara dengan salah satu aktivis Solidaritas Nusa Bangsa.

T: Kapan Solidaritas Nusa Bangsa ini dibentuk?
J: Jum'at, 5 Juni lalu di deklarasikan di kantor LBH Jakarta. Sebenar-
nya prosesnya sudah dimulai pada saat kerusuhan terjadi. Pada saat itu
kami dari LBH Jakarta dan beberapa individu-individu yang concern pada
masalah sosial melakukan evakuasi, karena banyaknya korban dari warga
negara Indonesia keturunan Cina dan tidak mendapat bantuan yang sela-
yaknya dari aparat keamanan. Terjadi perlakuan diskriminatif terhadap
warga keturunan Cina. Mereka sudah dijarah, dibunuh dan diperkosa
pula, dan tak ada pembelaan apa-apa dari aparat keamanan.

T: Bisa diberi contoh nyata?
J: Menurut salah seorang korban, saat terjadi tindakan biadab, pemer-
kosaan terhadap dirinya, di perumahan Green Garden, Jakarta Barat, ada
aparat keamanan yang menonton saja melihat perlakuan orang-orang kalap
itu. Aparat keamanan diam saja, dan malah melihat seolah-olah sah-sah
saja itu terjadi. Sah dan menganggap warga keturunan Cina itu bukan
manusia.

T: Kenapa ini terjadi?
J: Ini terjadi karena praktek kekuasaan yang dijalankan Soeharto saat
memerintah membeda-bedakan perlakuan terhadap keturunan Cina. Bukti-
nya, kalau mau ngurus kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor harus
dilampirkan kartu kewarganegaraan, belum lagi biaya yang berbeda,
tentunya lebih mahal dari biaya warga negara yang lain. Juga tempat
yang berbeda kalau mau kawin.

T: Bagaimana pendapat Anda tentang hal yang berbaru SARA itu?
J: Itu tugas negara untuk menyelidikinya. Mengapa sampai ada isu-isu
yang memecah belah etnis Cina dan Indonesia? Itu tanggungjawab peme-
rintah.

T: Ada pendapat etnis Cina tidak mau membaur, hanya memikirkan bis-
nis. Bagaimana menurut Anda?
J: Memang masih ada masalah proses integrasi Indonesia - dan keturunan
Cina. Tapi pendapat itu tidak selalu benar, misalnya, ada Soe Hok Gie,
Arief Budiman dan banyak lagi orang-orang keturunan Cina yang memikir-
kan dan memperjuangkan rakyat dan bangsa ini. Tapi soal ada pemikiran
bahwa etnis Cina tidak usah ikut politik juga ada. Mereka takut menja-
di korban. Tidak ikut-ikutan politik saja menjadi korban, apa lagi
mereka ikut campur politik, akan lebih repot.

T: Apa yang paling penting untuk diperbaiki?
J: Lima paket Undang-undang politik. Juga soal UU anti diskriminasi
ras yang sedang kami siapkan draft-nya untuk diajukan kepada pemerin-
tah. Di luar negeri semua ras dijamin keberadaannya, juga kebebasan
bicara. Tapi disini hanya omong doang pemerintahnya. Tindakan yang
terjadi terhadap etnis Cina justru lebih biadab, katanya, bangsa yang
berbudi luhur, tapi menjarah, membunuh dan memperkosa. Anehnya aparat
dan pemerintah seolah-olah merestui itu.

T: Kenapa ini terjadi?
J: Ini bagian dari praktek politik di bawah kepemimpinan Soeharto,
yang membagi porsi, etnis Cina hanya boleh ikut pada urusan ekonomi
dan Indonesia pada porsi yang lainnya. Saat terjadi kebangkrutan
ekonomi, lalu etnis Cina dijadikan korban dan kambing hitamnya.

T: Tapi, kan, ketika terjadi kerusuhan mereka ramai-ramai lari ke luar
negeri?
J: Memang itu yang tampak dan di-ekspose televisi. Padahal masih
banyak orang Cina yang tidak pergi ke luar negeri dan tidak mampu
untuk pergi kesana dan tetap berada disini. Saya kira wajar, mereka
yang lari ke luar negeri, karena disini tak ada jaminan. Mereka dija-
rah, dibunuh bahkan diperkosa dan aparat hanya diam saja. Ini per-
soalan mempertahankan hidup, nyawa menjadi taruhan. Kalau ada jaminan
bisa hidup tenang, walau ada kerusuhan sosial dan bukan menjadi sa-
saran amukan atau kambing hitam, saya yakin mereka akan tetap bertahan
disini. Karena memang disinilah negeri tempat mereka dilahirkan,
mencari uang dan hidup bermasyarakat.

T: Bagaimana sebaiknya pemerintah transisi Habibie ini sekarang ber-
tindak agar tidak terjadi lagi seperti yang dialami pada masa Soeharto
berkuasa?
J: Seharusnya ada pernyataan jaminan dari pemerintah, bukan hanya
dengan kata-kata saja, tapi harus dengan tindakan kongkrit. Yaitu
dengan adanya aturan hukum yang tidak diskriminatif. Kalau tidak ada
jaminan lewat aturan perundang-undangan, bencana bagi etnis Cina akan
terus terjadi di negeri ini. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

*******************************

Received on Fri Jun 26 05:13:36 MET DST 1998


ANUGERAH PEKERTI *
Mereka Menyukai Indonesia

PADA 17 Mei lalu, saya menerima surat dari Sidney Jones, Direktur Human
Rights Watch untuk Asia. Ia menyatakan kengeriannya atas ketakberdayaan
Pemerintah Indonesia mencegah tindak kekerasan terhadap keturunan
Tionghoa dalam kerusuhan baru-baru ini. Padahal, kejadian semacam itu bisa
diperkirakan, karena sudah sering terjadi.
Ia meminta -lewat Human Rights Watch- kepada Pemerintah Amerika Serikat dan
Indonesia agar orang Indonesia keturunan Tionghoa dilindungi dari kekerasan
para perusuh. Berikut ini tanggapan saya atas surat Sidney Jones tersebut:

Sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa, saya senantiasa ikut berpikir
dan berbuat untuk memecahkan masalah masyarakat ini. Sebagai pribadi, saya
memilih hidup dan bekerja di Indonesia, walau punya kesempatan di negara
lain. Tapi banyak keturunan Tionghoa memilih hidup di luar negeri. Bagi
saya, setiap orang memang berhak memilih hidup di mana saja di dunia ini
dengan alasan politik, ekonomi, dan lain-lain.
Di tingkat perorangan, tak seorang pun bisa menjamin seseorang tak akan
terkena tindak kekerasan karena asal keturunannya. Itu sama musykilnya
dengan memberikan jaminan kepada orang yang tinggal di daerah rawan
kejahatan, seperti Los Angeles Timur, bahwa ia tak akan menjadi korban
kejahatan. Jelas pula, jaminan keamanan kepada penduduk Los Angeles Timur
tak bisa diberikan dengan mengimbau Presiden Bill Clinton, dan menuntut PBB
agar menekan Clinton. Masalah itu harus diselesaikan pada lingkungan
setempat.
Indonesia jelas merupakan tempat berisiko tinggi terjadinya kekerasan bagi
keturunan Tionghoa. Banyak keturunan Tionghoa yang berulang kali menjadi
korban kekerasan, tapi bisa membangun kembali hidup dan usahanya, sebab
hidup di Indonesia lebih enak ketimbang di tempat lain. Keuntungan hidup di
sini lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang hanya sesekali mereka
alami karena kekerasan.
Tapi banyak pula keturunan Tionghoa yang trauma berat karena kekerasan yang
menimpanya. Mereka terpaksa tinggal di Indonesia karena memang tak ada
pilihan lain. Dan tugas pemerintah yang utama adalah memberikan rasa aman
pada semua warganya.
Jakarta, tempat kerusuhan besar baru-baru ini, bukan kota yang tingkat
kejahatannya tinggi. Saya merasa lebih aman berkeliling di Jakarta ketimbang
di Los Angeles Timur. Sungguh menakjubkan, para penegak hukum yang bergaji
sangat kecil itu, dalam keadaan normal, mampu memelihara keamanan. Tapi rasa
aman itu runtuh kala seseorang harus berhadapan langsung dengan badan
penegak hukum. Soalnya, kita sering terpaksa membeli keamanan (menyuap)
kepada para petugas itu. Bahkan, pemadam kebakaran pun pasang harga untuk
jasanya. Semua orang harus bayar, tapi keturunan Tionghoa lebih mahal.
Bila keamanan diperdagangkan, maka perilaku petugas keamanan sangat
ditentukan oleh pertimbangan untung-rugi. Mungkin ini bisa menjelaskan
mengapa para petugas keamanan tak kelihatan atau pura-pura tak melihat,
ketika para perusuh menjarah dan membakar perusahaan milik keturunan
Tionghoa. Para prajurit dan polisi, yang bergaji kecil, niscaya kurang
bermotivasi untuk menindak orang seperti mereka, karena sama-sama menderita
akibat kesenjangan ekonomi.

Singkatnya, di tingkat individu, keturunan Tionghoa punya beberapa pilihan
untuk menghindarkan diri dari kekerasan etnis: (1) pergi dari negeri ini;
(2) membeli keamanan ekstra dengan menggandeng atau menyuap pihak yang
berkuasa; (3) berbaur, artinya hidup dan bekerja dalam lingkungan yang
majemuk yang tak eksklusif; dan (4) membangun ketahanan diri sebagai korban,
artinya menerima penderitaan sebagai biaya hidup yang lebih enak ketimbang
orang banyak. Di tingkat tatanan sosial ini, tak banyak yang bisa diubah
melalui advokasi (menggugat para pengambil kebijaksanaan). Advokasi mungkin
akan efektif kalau masalahnya dapat dipahami pada tatanan sistemik yang
lebih luas.
Saya mencoba memahami masalah orang Indonesia keturunan Tionghoa dalam
kerangka sistem yang lebih luas serta dari sudut pandang sosial dan
pemerintahan. Keturunan Tionghoa berbeda penampilan, budaya, dan agamanya
dari sebagian besar penduduk lokal. Penguasa kolonial Belanda sengaja
memisahkan mereka menurut hukum, profesi, dan tempat permukimannya dengan
kelompok lain dalam masyarakat Indonesia.
Setelah merdeka, masalah ini menjadi bagian dari proses pengindonesiaan,
yakni menyatukan orang yang berbeda ras, suku, budaya, dan agamanya menjadi
warga negara Indonesia. Untuk menyatukan penduduk yang sangat beragam itu,
pengindonesiaan harus menawarkan cita-cita, nilai, dan visi yang diinginkan
serta diterima bersama. Misalnya, identitas baru sebagai negara dan bangsa
yang besar. Dalam hal ini Indonesia berhasil bersatu dengan menciptakan
bahasa persatuan dan identitas bersama yang transendental. Namun, kita
kurang berhasil mendukung persatuan itu dengan menciptakan keadilan sosial
dan ekonomi, yang akan memperkuat persatuan. Sebaliknya, kesenjangan akan
menimbulkan rasa ketakadilan dan perpecahan. Maka, masalah keturunan
Tionghoa harus dipecahkan sebagai bagian dari kebijaksanaan sosial dan
ekonomi yang lebih adil. Mereka bukan satu-satunya kelompok yang menjadi
korban ketakadilan di Indonesia.
Orde Baru memberikan pertumbuhan ekonomi luar biasa. Tapi pertumbuhan itu
menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi, sebab pertumbuhan ekonomi lebih
menguntungkan keturunan Tionghoa dibandingkan dengan kelompok lain di
masyarakat. Sebagai kelompok, mereka makin mencuat dan menjengkelkan orang
lain. Kebijaksanaan sosial ekonomi Orde Baru telah menciptakan masyarakat
yang terbelah oleh kekayaan bendawi dan memperkokoh dominasi keturunan
Tionghoa dalam dunia usaha.
Pada akhir 1960-an, ada kebijaksanaan menutup sekolah Tionghoa dan membatasi
penerimaan keturunan Tionghoa di sekolah dan universitas negeri serta
lembaga pemerintahan. Kebijaksanaan itu telah mendorong keturunan Tionghoa
muda memilih pekerjaan di dunia usaha. Mereka mencurahkan segala daya dan
kemampuannya dalam dunia usaha, dan berhasil. Mereka menjadi sangat dominan
dalam dunia usaha, sehingga tersebar pendapat bahwa 70% perekonomian
Indonesia dikuasai keturuan Tionghoa.
Keberhasilan itu makin didorong oleh serangkaian kebijaksanaan pembangunan
yang bertujuan menciptakan peluang usaha bagi pertumbuhan ekonomi. Di
antaranya, pembangunan besar-besaran dari uang hasil minyak bumi, membuka
diri untuk investasi asing, membangun industri substitusi impor, dan
pertumbuhan dipacu ekspor. Semua kebijaksanaan itu, secara tak disengaja,
lebih menguntungkan kelompok pengusaha keturunan Tionghoa yang memang
memiliki pengalaman berusaha selama beberapa abad. Mereka menguasai pasar
dan saluran distribusi, yang merupakan bagian dari jaringan bisnis nasional
serta regional.
Kebijaksanaan itu tak seimbang. Tak ada investasi dan upaya yang sama
besarnya untuk meningkatkan kompetensi berbisnis kelompok lain. Investasi
dan upaya semacam itu seharusnya dapat memberdayakan kelompok lain, sehingga
dapat secara adil bersaing memanfaatkan peluang bisnis yang diciptakan
pemerintah. Misalnya, Program Pascasarjana Manajemen Lembaga Pendidikan dan
Pembinaan Manajemen (LPPM) -berdiri pada 1967- tak ada saingannya selama 20
tahun. Pemerintah baru mendirikan program tersebut pada 1988. Sementara itu,
para pengusaha keturunan Tionghoa yang kaya mengirimkan anak-anaknya belajar
teknik dan manajemen bisnis di luar negeri.
Pada 1985, misalnya, ada sekitar 400 mahasiswa Indonesia di University of
Southern California, Amerika Serikat, dan 95% dari jumlah itu keturunan
Tionghoa. Kepada berbagai tokoh bisnis dan masyarakat, saya ungkapkan
kerisauan saya tentang perkembangan timpang ini. Jika tak dilakukan tindakan
sistematis untuk mengoreksi ketimpangan itu, dominasi keturunan Tionghoa di
dunia bisnis makin hebat. Dan itu merupakan bom waktu yang akan meledak
menjadi keresahan, bahkan kerusuhan sosial, walau dipicu dengan masalah
kecil.
Ketimpangan sosial semacam itu bisa dikoreksi dengan menyediakan peluang
belajar bagi kelompok lain dalam masyarakat. Beasiswa yang kami berikan
sejak 1968 di LPPM memberikan peluang semacam itu. Namun, kontribusi program
ini kecil. Pemerintah harus melakukan investasi besar-besaran untuk
menciptakan peluang belajar dan mendorong masuknya anggota masyarakat lain
untuk berkarya dalam dunia usaha. Dalam sistem demokrasi dan pasar bebas,
menyediakan peluang belajar yang terjangkau seluruh lapisan masyarakat
adalah salah satu cara yang paling bisa dilaksanakan dan diterima untuk
mengoreksi warisan sosial yang tak adil itu.
Sebaliknya, masyarakat bisnis keturunan Tionghoa juga harus aktif mengoreksi
ketimpangan itu. Mereka, misalnya, harus sungguh-sungguh membuka diri
menerima orang di luar kelompoknya dalam jaringan usahanya, serta bermitra
dalam menjalankan usaha.
Dominasi keturunan Tionghoa dalam bisnis makin buruk citranya oleh ulah
sekelompok kecil orang yang sangat kaya karena berkolusi dengan elite
politik dan militer. Kolusi ini makin memperbesar kesenjangan dan
ketakadilan dalam masyarakat. Kekuasaan yang amat terpusat itu mencekik
kemerdekaan, kreativitas, dan menumbuhkan rasa benci kepada kelompok yang
diwakili segelintir orang itu. Sebaliknya, para penguasa menjadi sombong dan
tak peka pada penderitaan rakyat.
Untuk meniadakan kesenjangan dan ketakadilan struktural ini diperlukan
perombakan total tata kekuasaan ekonomi, politik, dan militer. Gerakan
reformasi, yang meledak beberapa bulan ini, menuntut perubahan struktural.
Mundurnya Soeharto adalah langkah awal yang penting, tapi itu tak berarti
tatanan kekuasaan telah berubah secara sistemik. Sistem benar-benar sudah
berubah bila rakyat diberi peluang bebas memilih wakilnya di DPR dan
terbentuknya pemerintahan yang bersih dan sungguh-sungguh melayani rakyat.
Merombak dan membangun kembali lembaga yang telah menguasai kehidupan selama
30 tahun ini sungguh tantangan besar. Namun -ini yang saya sampaikan kepada
Sidney Jones- bangsa Indonesia tak bisa berhenti. Bangsa Indonesia harus
memelihara momentum yang telah menggerakkan negeri ini selama beberapa bulan
belakangan. Semua kelompok masyarakat yang satu cita-cita harus terus
menekan golongan yang mau mempertahankan tatanan lama dan harus mengadakan
perubahan radikal tanpa kekerasan.
Dan masyarakat keturunan Tionghoa harus ikut dalam gerakan reformasi ini. Di
dunia usaha, khususnya, mereka harus ikut menegakkan cara berbisnis yang
bersih dan adil. Citra keturunan Tionghoa yang tampil di televisi adalah
ribuan orang yang berlomba-lomba meninggalkan Indonesia. Sementara itu,
jutaan yang tinggal dan ribuan mahasiswa yang ikut gerakan reformasi tak
tertampilkan dalam media massa. Banyak keturunan Tionghoa yang jujur dan
bekerja keras telah menjadi korban kerusuhan di berbagai tempat di
Indonesia. Mereka kehilangan harta, terancam nyawa, dan terampas
martabatnya, bahkan ada yang terbakar hidup-hidup. Tak ada manusia di dunia
ini yang patut menjadi korban kekerasan yang tak adil. Juga tak ada kelompok
yang berhak menjadikan orang lain korban kekerasan.
Namun, kaum keturunan Tionghoa bukan satu-satunya korban kerusuhan. Ada 500
penjarah yang mati terbakar, jutaan orang kehilangan pekerjaan, jutaan anak
putus sekolah, dan 40% anak-anak Indonesia kekurangan gizi. Ini merupakan
korban krisis yang sedang dialami bangsa ini. Ada jutaan orang yang
menderita karena sistem sosial dan ekonomi yang tak adil. Karena itu, kepada
Sidney Jones saya katakan, segenap rakyat Indonesia harus mendukung
perjuangan mengubah sistem yang tengah berlangsung ini, agar kelak tak ada
lagi orang yang harus menjadi korban kekerasan dan ketakadilan.
* Pengamat masalah kesatuan bangsa

*****************************

Received on Fri Jun 26 05:14:36 MET DST 1998 From: semar [email protected] Menganalisa Peristiwa Empat belas Mei 98 (Peremei 98) ada beberapa kejadian menarik, mirip dengan kejadian serupa dimasa lalu seperti misalnya Malari, 27 Juli dll. Berikut perbandingan yang saya dapatkan: 1. Malari. Dilatar belakangi pertentangan didalam tubuh ABRI antara Ali Murtopo dan Jend. Sumitro, terjadi gerakan mahasiswa menuntut perubahan. Gerakan mahasiswa UI dimotori oleh Hariman Siregar ketua Dewan Mahasiswa saat itu bergerak menuju istana dari kampus Salemba. Setibanya di persim- pangan Senen, terjadi kerusuhan masa yang berakibat terbakarnya pasar Senen. ABRI bertindak meredam kerusuhan tersebut berikut gerakan mahasiswanya. Hasilnya, Hariman Siregar ditahan, Jend Sumitro Pangkopkamtob saat itu diganti. Sedang tuntutan/tantangan untuk mengusut tuntas kejadian tersebut hasilnya tidak ada hingga sekarang. 2. 27 Juli Masa begerak mengambil alih gedung DPP PDI yang dijaga oleh kubu Megawati. Kemudian berubah menjadi kerusuhan masa. Gedung DPP berhasil direbut masa PDI Suryadi, dan berakibat masa yang bertahan diadili dan dihukum untuk bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi. Sedangkan pihak penyerang tidak tersentuh tindakan hukum sama sekali. Belakangan terbuka bahwa masa penyerang sebenarnya orang orang bayaran dan disiapkan/berangkat dari Polda Metro. Mereka akhirnya menuntut Suryadi karena bayarannya belum terselesaikan. 3. Pantura Menjelang SU MPR 98 telah marak kerusuhan bersifat SARA di hampir sepan- jang Pantura. Segera setelah ada kepastian Soeharto menjadi calon tunggal presiden/setelah kedatangan Walter Mondale yang kabarnya mendesak Soeharto untuk menghentikan kerusuhan, secara serentak kerusuhan kerusuhan tersebut berhenti. Sejauh itu hanya tercatat korban harta benda dan bangunan. 4. Isu SARA Sejak awal order baru, diawali dengan munculnya istilah Pribumi dan non pribumi, isue SARA menjadi sesuatu komoditi yang mudah dijual ke masyarakat untuk kepentingan beberapa pihak dan melang- gengkan status quo yang ada. Padahal dilain pihak Soeharto dan PPmP banyak bekerja sama dengan non pri untuk mengekploitasi bumi Nusantara. Isue SARA tetap dijaga ada sebagai katub pengaman serta saluran pengalihan perhatian rakyat dari kasus-kasus aktual. Pola kerja diatas juga terdapat juga pada Peremei 98 bedanya dari seluruh skenario yang ada, terdapat beberapa episode yang gagal dituntaskan sehingga resultat akhirnya malah menjadi bumerang dan memakan korban luarbiasa. Baik karena dijarah, dianiaya hingga meninggal, dibakar dan diperkosa ataupun yang terbakar. 1. Episode pertama - gagal. Dilakukan tindakan keras terhadap demo mahasiswa, diharapkan akan menyurut- kan gerakan gerakan mahasiawa yang lain. Tetapi bukannya menyurut tetapi makin marak. 2. Episode kedua - berhasil. Membelokan gerakam murni mahasiswa menjadi kerusuhan masa (ingat Malari). Episode ini berhasil baik, kerusuhan yang dimulai di perempatan Grogol ber- gerak meluas di Jakarta. 3. Episode ketiga - gagal. Perpecahan didalam tubuh ABRI ternyata menghambat tindakan represi yang se- harusnya langsung dijalankan. Hal ini terjadi kemungkinan karena: 1. Kostrad dan Kopasus yang merupakan satuan di Jakarta yang paling siap tidak bersedia bertindak. Dengan harapan akan menjatuhkan Pangab(ingat pula Malari). 2. Kemungkinan lain, disebarnya kedua korps elite tersebut dikuatirkan mengakibatkan Jakarta berada diluar kontrol Pangab, jadi dalam hal ini pihak Pangab menghindari memakai kops tersebut. Sebagai gantinya dida- tangkan korp Marinir dari Surabaya. Seorang netter menyebutkan hingga 8,000 personel, Panglima komar menyebutkan 2,800 personel. Akibatnya tindakan ABRI menjadi terlambat lebih dari 24 jam dan kerusuhan sudah menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Karena itu maka segera setelah Soeharto turun, panglima Kostrad dan Kopasus diganti. Mengapa sedemikian buru buru padahal situasi negara, khususnya Jakarta masih belum menentu???? Mengapa pula mahasiswa yang dikeluarkan dari DPR/MPR hanya mau keluar bila dikawal Marinir?????? Dalam persidangan kasus penembakan di Usakti yang kontroversial antara terdakwa, tuduhan serta saksi saksi, terdapat orang orang berbadan tegap dan berambut cepak. Orang orang ini ditengarai banyak terlibat dalam kasus kasus politik ditanah air. Aktifist juga diculik orang orang berbadan tegap dan berambut cepak. Hingga saat inipun tidak ada satu pejabatpun yang mengutuk Peremei 98. Desakan untuk mengusut tuntas adanya dalan dalam Peremei 98 pun kurang mendapat sambutan Pangab. Sangat kontras dengan reaksi Pangab dalam menyikapi hujatan hujatan kepada Soeharto ada apa ini???????????????????????? Begitulah kejamnya politik, tidak ada etika ataupun moral ataupun akidah kaidah agama. Bisakah dalang dalang tersebut mengaku diri Pancasilais??? Rupa rupanya negara kita kena sidrom leukemia. Darah putih yang seharusnya untuk menangkal penyakit jadi memangsa butir butir darah merah. Sebaiknya dipikirkan untuk mengurangi dana serta kekuatan ABRI dan memperbaiki kinerja dab kesejahteraan anggota POLRI. Sebab ABRI dilatih dan dibentuk untuk perang, bila tidak ada peperangan yang mereka cari mushs terdekat untuk diperangi. Pendalangan kerusuhan seperti diatas adalah sah sah saja dalam doktrin militer. Catatan penulis: Reaksi pemerintah/ABRI khususnya menghadapi tulisan tulisan seperti diatas biasanya minta bukti bukti konkret. Sebenarnya reaksi tersebut sangat absurd. Rakyat yang sudah berkewajiban membayar pajak untuk membiayai penyelengaraan negara termasuk gaji aparat, masih harus bersiskamling. Bila sekarang masih harus mengusut hal hal demikian lha terus apa gunanya kita punya ABRI dan Polri. Pendidikannya hingga luar negeri, hasilnya rakyat harus serba swakarsa. Beli pesawat pemburu F16, 39 buah kapal buangan dari Jerman Timur, maunya perang dengan siapa??????? Bila biaya tersebut dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan personil ABRI dan Polri serta juga perlengkapan kerja Polri tentunya swakarsa tersebut tidak perlu ada. Doktrin Hamkamrata itu sebenarnya untuk menangkal serangan aggresor dari luar bukannya untuk menangkap maling atau penjarah atau pemerkosa.

*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:

Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

KUASA

(LUGAS): Banyak orang kaget, ketika Soeharto mengundurkan diri, 21 Mei
lalu. Peristiwa itu bukan hanya berlangsung begitu cepat; tetapi juga
di luar perkiraan orang - yang kebanyakan berpikir Soeharto akan
habis-habisan mempertahankan diri di kursi presiden. Perkiraan itu,
bukan tanpa alasan. Sebab Soeharto telah 32 tahun berkuasa, dan tak
menunjukkan tanda-tanda akan bersedia turun dengan suka rela. Ia malah
merekayasa berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kekuasaan memang bisa jadi semacam bius. Ia melenakan. Orang enggan
turun dari kursi yang begitu nyaman - apalagi kalau kekuasaan ternyata
dipakai untuk memperkaya diri sendiri, sehingga menumpuk harta sekitar
Rp 200 trilyun. Dua bulan lalu, rakyat tak pernah membayangkan Soehar-
to akan bersedia turun.

Kecurigaan itu, kini meruyak lagi. Kabar-kabar mengatakan, Soeharto
lewat kaki tangannya sedang mencoba bangkit dan menguasai pentas
politik lagi. Anak-anaknya, dan para loyalis - yang untuk mudahnya
disebut Soehartois - mencoba menguasai Golkar dan mendesak Sidang
Istimewa MPR. Mereka ingin mencapkan kuku-kuku lagi di masyarakat
kita.

Bukan hanya politik yang digerilya. Kaum Soehartois karena menguasai
aset produksi dan dana begitu besar, tampak bisa memainkan pasar
sekehendak mereka. Susu, gula, minyak goreng, tepung terigu, adalah
kebutuhan masyarakat yang mulai menghilang dan kalaupun ada, harganya
meroket. Kaum Soehartois diduga menyabot produksi dan distribusi
barang-barang itu, agar menimbulkan suasana kacau dan panik di kalan-
gan masyarakat. Bila orang mulai lapar, mereka akan berpikir bahwa
zaman Soeharto lebih baik.

Nafsu berkuasa, memang sulit dihapus. Apalagi di kalangan kaum yang
lebih dari tiga dekade berada di puncak pimpinan pemerintahan. Maka,
kita harus bersiap akan datangnya masa gonjang-ganjing, karena rezim
lama memaksakan diri untuk berkuasa. Sementara rakyat sudah muak
terhadap mereka. Mereka yang mau belajar dari sejarah, pasti paham:
kehendak kuasa dari kaum loyalis itu tak akan menundukkan kehendak
bebas dari masyarakat. Jadi, harapan kita ada di depan. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

**************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

POLITIK RASIAL REJIM SOEHARTO

(PERISTIWA): Sentimen anti-Cina dipelihara rejim Soeharto, dengan
praktek "cukongisme". Kerusuhan rasial gampang tersulut. Siapa dalang
dibalik kerusuhan Mei lalu.

Amien Rais tersentak. Dalam sebuah pertemuan dengan ribuan warga
keturunan Cina di Solo, pekan lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu
diberondong keluh kesah tentang nasib yang mereka alami. "Pak Amien,
nasib kami seperti hewan kurban saja. Dipelihara hingga gemuk, lalu
disembelih begitu saja," keluh seorang warga keturunan Cina.

Mendengar itu, Amien tampak haru. "Saya menyaksikan kerusuhan yang
terjadi di Jakarta. Tapi, di Solo ternyata lebih dahsyat lagi," tutur
Amien. Kerugian materil akibat kerusuhan di Solo, 14-15 Mei lalu,
ditaksir Rp. 600 milyar lebih. Tapi, yang lebih memprihatinkan Amien
adalah tindakan biadab para penjarah yang menginjak-injak martabat
orang lain. "Apalagi bila sampai terjadi perkosaan. Sebagai bangsa
kita sungguh malu," kata Amien.

Bila melihat data ini mestinya kita lebih malu lagi. Menurut Badan
Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), hingga saat ini
sekitar 1.300 warga keturunan Cina melaporkan musibah yang menimpa
mereka selama kerusuhan massa di Jabotabek, 13-14 Mei lalu. Bentuk
musibah itu macam-macam: pembakaran rumah atau toko, penjarahan,
pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai jatuhnya korban jiwa.

Tak cuma itu. Penyelidikan yang dilakukan Tim Relawan untuk Kemanu-
siaan menunjukkan bahwa kerusuhan-kerusuhan tadi dilakukan secara
terorganisir. Itu terlihat dari pola kerusuhan yang terjadi di sejum-
lah sentra perdagangan yang dijarah massa. Dalam setiap kerusuhan,
misalnya, selalu didahului aksi sekelompok orang tak dikenal (yang
bukan warga sekitar lokasi kerusuhan). Kelompok itu pula yang menyedi-
akan "amunisi" untuk merusak atau membakar pertokoan yang sudah sele-
sai dijarah massa. "Kalau dilihat polanya, aksi kerusuhan seperti
teror yang sudah terlatih," kata Sekretaris Tim Relawan, Romo Sandya-
wan Sumardi, saat melapor ke Komnas HAM.

Bagai menegaskan temuan Tim Relawan, Amien Rais mengungkapkan kerusu-
han massa, baik di Jakarta maupun Solo, memang ada dalangnya. "Tentang
siapa dalangnya akan ketahuan nanti. Orang Jawa bilang, sing sapa
salah, seleh (siapa salah akan jatuh)," ujar Amien.

Sampai saat ini memang belum terungkap siapa dalang di balik kerusuhan
massa yang membakar Jakarta. Tapi, penyelidikan Tim Relawan menemukan
beberapa hal menarik. Di sejumlah lokasi kerusuhan, aksi penjarahan
disulut oleh kelompok pria berambut cepak dan berbadan kekar. Bahkan,
menurut beberapa saksi mata, penyulut perusakan show room Bimantara di
Jalan Salemba dikenali sebagai aparat Badan Intelijen ABRI (BIA) dan
Dinas Sospol DKI Jakarta. Kelompok lain yang berhasil dikenali adalah
preman-preman yang direkrut ormas-ormas onderbouw Golkar.

Temuan Tim Relawan juga menyebutkan, aksi-aksi kerusuhan sengaja
diarahkan ke pertokoan dan perumahan warga keturunan Cina. Itu sesuai
dengan banyaknya korban kerusuhan yang berasal dari keturunan Cina.

Yang paling mengenaskan tentunya nasib yang menimpa kaum wanita.
Banyak diantara mereka yang mengalami pelecehan seksual (misalnya,
ditelanjangi, bahkan diperkosa), setelah rumah dan tokonya dijarah
habis. Seorang ibu yang ditemui Tim Relawan bahkan mengalami stres
berat, setelah menyaksikan dua adik kandungnya diperkosa, lalu dilem-
parkan ke kobaran api hingga tewas.

Anehnya, pemerintah tak banyak memperhatikan para korban kerusuhan
rasial itu. Padahal, seperti dikatakan anggota Komnas HAM, Clementino
Dos Reis Amaral: "Yang menciptakan diskriminasi ras bukan rakyat, tapi
pemerintah sendiri."

Pernyataan Amaral itu ada benarnya. Bahkan, sesungguhnya, politik
rasial itu merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Sentimen
anti-Cina sengaja diciptakan sebagai "bumper" pemerintah kolonial.
Caranya, dengan membatasi ruang gerak warga keturunan Cina hanya di
sektor-sektor perdagangan. Sedangkan di pemerintahan, mereka dilarang
masuk.

Setelah kemerdekaan pola itu tenyata diteruskan. Di masa rejim Soehar-
to malah bertambah kukuh, dengan maraknya praktek-praktek
"cukongisme". Maksudnya, kolusi antara pengusaha keturunan Cina dengan
penguasa (biasanya, pejabat militer). Contoh paling mencolok, tak
lain, perkoncoan Soeharto dengan Liem Sioe Liong. Berkat konsesi yang
diberikan Soeharto, terutama sejak menjadi presiden, Liem berhasil
menjadi salah satu konglomerat terkaya di Asia. Sebaliknya, Soeharto
dan keluarganya ikut kebagian rejeki yang ditangguk Liem.

Dominasi ekonomi warga keturunan Cina di Indonesia memang diakui.
Menurut penelitian Gordon Redding di awal 1990-an, warga keturunan
Cina (yang hanya 2 persen dari populasi penduduk Indonesia) menguasai
75 persen modal swasta yang diputar di dalam negeri. Kenyataan ini
seringkali menimbulkan kecemburuan penduduk pribumi. Sentimen anti
Cina bertambah dengan perbedaan agama dan adat istiadat.

Maka, dengan gampangnya setiap ketidakpuasan masyarakat terhadap
kekuasaan, misalnya, dibelokkan menjadi kerusuhan rasial anti Cina.
Itulah, agaknya, yang terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang marak
selama rejim Orde Baru.

Soalnya kemudian, siapakah dalang dibalik kerusuhan massa yang mereng-
gut ribuan nyawa manusia, Mei lalu? Yang paling bertanggungjawab
mencarinya, tentu saja, pemerintah transisional Habibie!! (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

******************************

Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------

SOEHARTO BALIK GUGAT

(EKONOMI): Orang-orang dekatnya membela kiprah bisnis Soeharto. Bekas
presiden itu sewa pengacara untuk gugat pembocor rahasia kekayaannya.

Mantan Presiden RI Soeharto ancang-ancang untuk gugat balik. Sasaran-
nya: pihak-pihak yang menuding dia telah melakukan penumpukkan ke-
kayaan selama 32 tahun menjabat presiden. Dan menurut Jaksa Agung,
Soeharto sudah resmi menunjuk pengacara dari luar negeri untuk melaku-
kan penuntutan itu. Adalah Probosutejo yang membocorkan niat Soeharto
itu.

Sebelumnya, orang-orang dekat dengan Soeharto muncul dan ikut-ikutan
menantang pihak-pihak yang menuding Soeharto korup. Beberapa pejabat
Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto yaitu mantan Wapres Sudarmono,
mantan Kabulog Bustanil Arifin, dan mantan Mensesneg Moerdiono menye-
lenggarakan konferensi pers. Mereka mengemukakan sejumlah pembelaan
terhadap Soeharto. Tentunya, juga membela dirinya sendiri yang juga
terlibat dalam masalah itu.

Jumlah kekayaan yang dilansir oleh sejumlah surat kabar dibantah
Soedharmono. Terutama kekayaan empat yayasan besar yang dipimpin
Soeharto, yaitu Yayasan Darmais, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila dan Yayasan Dana Abadi Karya (DAKAB), yang kata
Soedharmono hanya Rp. 2,5 trilyun. Dan ada upaya menghindarkan keter-
libatan Soeharto sebagai presiden dalam yayasan itu. "Jadi, pak Harto
bukan sebagai presiden, tetapi sebagai pribadi," kata Soedharmono.

Anehnya, ketika mereka gembar-gembor mengatakan bahwa Yayasan itu
bersih dari kolusi dan korupsi, Soedharmono tanpa sadar mengakui bahwa
Yayasan Darmais mendapatkan fasilitas dari menteri keuangan melalui SK
Menteri Keuangan Nomor 333/KMK/01/1978. SK itu terang-terangan minta
agar setiap BUMN menyumbangkan 5% laba bersihnya kepada yayasan.

Atau penggalian dana Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang dituangkan
dalam Kepres No 92/1996 tentang penyerahan 2 persen bagi mereka yang
berpenghasilan lebih dari Rp. 100 juta per tahun.

Moerdiono dalam kesempatan itu juga mengakui yayasan Dakab dalam
mencari dananya memotong gaji pegawai negeri dan ABRI. Pihak-pihak
yang menuding Soeharto pun masih tetap dalam pendirian. Walaupun
Christianto Wibisono dari PDBI akhirnya menegaskan bahwa Rp. 200
trilyun itu merupakan kekayaan keluarga Cendana, dari Soeharto hingga
chrony-nya.

George Junus Aditjondro walaupun tidak menyebut jumlah kekayaan Soe-
harto masih tetap yakin bahwa ada bukti-bukti kolusi-korupsi dan
nepotisme Soeharto ketika menjadi presiden. Mantan dosen Satya Wacana
ini dalam sebuah wawancaranya mengungkapkan, Soeharto dan anak-anaknya
selalu memulai usahanya dengan menggunakan fasilitas umum. Dengan
modal dengkul saja mereka bisa membuka peternakan sebesar 720 hektar
di Tapos pada sekitar tahun 70-an.

Ketika Soeharto menjadi panglima Mandala, dia juga main selundup
dengan alasan untuk kesejahteraan prajurit. Tapi nyatanya prajurit
anak buahnya tetap tidak sejahtera. Justru sebaliknya, tapi operator
bisnisnya yaitu Liem dan Bob Hasan semakin sejahtera. Begitu juga
kolusi sangat kuat ketika Soeharto mendatangkan sapi-sapi bantuan dari
Malcolm Frisher itu dari Australia ke Indonesia. Pengangkutannya
menggunakan kapal angkatan laut. Ketika sapi yang sudah disilangkan di
Tapos dan akan disumbangkan ke propinsi-propinsi, anaknya yaitu Sigit
Hardjojudanto membuat PT Bayu Air dengan modal pesawat Hercules AURI
dan menutup logonya dengan PT Bayu Air.

Begitu pula cara yang sama yang dilakukan anak sulung Soeharto Siti
Hardiyanti Rukmana atau Tutut ketika membangun TPI. Bos grup perusa-
haan Citra Lamtorogung dan pernah menjabat menteri sosial selama dua
bulan itu menggunakan stasiun TVRI sebagai stasiun sementara TPI.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana sebenarnya mampu menjelaskan kepada
masyarakat tentang penumpukan kekayaan keluarga Soeharto. Misalnya
saja pertanyaan, berapa gaji presiden sehingga mampu memberikan uang
saku yang diberikan bapaknya kepada Tommy sehingga ia bisa punya 6
juta dollar Selandia Baru untuk membeli kawasan hunting resort, seluas
28.000 hektar. Bagaimana Tommy bisa punya 16 juta dollar Australia
untuk cruiser-nya yang selalu mampir di Darwin? Dari mana dia punya
uang untuk balap mobil Paris-Dakkar? Dan dari mana Tutut bisa punya
uang untuk beli rumah di Boston dan sering shopping ke luar negeri?
(*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

***************************

BERITA UTAMA WASPADA

RABU, 24 JUNI 1998


Dari 200 Orang Terkaya Di Dunia;
Keluarga Soeharto No. 74

WASHINGTON (Waspada): Keluarga mantan Presiden Soeharto berada dalam urutan ke-74 daftar 200 orang terkaya di dunia yang dirilis majalah Forbes edisi 6 Juli. Menurut majalah itu, kelurga Soeharto memiliki kekayaan 4 milyar dolar AS yang ditanam pada sektor investasi.

Berbeda dengan kriteria sebelumnya, Forbes kali ini memperketat kriteria dalam penilaiannya, hanya menetapkan kriteria working rich atau yang kaya karena memang bekerja. Mereka adalah yang berusaha dari nol atau yang bekerja serius melanjutkan usaha warisan orangtua masing-masing.

Disebutkan, keluarga Soeharto yang baru masuk tahun ini dalam kriteria baru ini, memiliki saham di sekitar 3.200 perusahaan. Kekayaan di ribuan perusahaan itu tidak termasuk dalam jumlah 4 milyar dolar AS yang disebut sebagai "kekayaan keluarga" (family fortune).

Selain Soeharto, orang-orang Indonesia lain yang masuk ke daftar 200 orang terkaya di dunia itu adalah Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Eka Tjipta Widjaya dan keluarga Wonowidjojo. Mereka masing-masing menduduki urutan ke-182, 74 dan 154.

Lim Sioe Liong disebut sebagai pengusaha yang memiliki kekayaan 1,7 milyar dolar AS. Jenis usahanya adalah makanan, perbankan, dan berbagai usaha lain (diversified).

Sementara Eka Tjipta mencatat mencatat kekayaan 4 milyar dolar AS, atau sama dengan keluarga Soeharto. Eka Tjipta bergerak dalam sektor kertas, bubur kertas dan makanan.

Sedangkan keluarga Wonowidjojo berkekayaan 2,1 milyar dolar AS, seluruhnya berasal dari bisnis rokok Gudang Garam.

Dengan kriteria baru itu, Forbes menyatakan Bill Gates menjadi nomor satu terkaya di dunia berkat usahanya lewat Microsoft Corp, yang berkedudukan di Kota Seattle, AS.

Akibat ditetapkannya kriteria baru itulah maka sejumlah milyuner yang tadinya masuk daftar sebelumnya, kali ini terlempar ke luar daftar. Mereka antara lain keluarga Quandt (Jerman) yang tercatat berkekayaan 15,3 milyar dolar AS berkat saham terbesar pada perusahaan otomotif BMW, keluarga Bettencourt (Perancis) sejumlah 14,1 milyar dolar AS melalui perusahaan L'Oreal, dan keluarga Cox (AS) 7,1 milyar dolar AS dari Cox Enterprises yang bergerak di bidang media.

Daftar yang dikeluarkan setiap tahun dalam 12 tahun terakhir ini oleh Forbes, tidak menyertakan pula keluarga-keluarga kerajaan dan para kepala negara/pemerintahan. Oleh sebab itu Soeharto kali ini masuk daftar, karena ia telah mengundurkan diri dari jabatan presiden.

Jika raja atau ratu masuk daftar, maka Sultan Brunei Hasannal Bolkiah akan menduduki peringkat ketiga dengan kekayaan 36 milyar dolar AS. Sampai tahun lalu, Sultan yang kaya berkat minyak mentah itu masih lebih kaya ketimbang Gates. (AP/bas/sp)

DAFTAR 20 ORANG TERKAYA DUNIA

Nama; Negara; Jumlah (milyar dolar); Jenis Usaha

1.William Gates; AS; 51; Microsoft Corp
2. Kel Walton; AS; 48; Wal-Mart
3. Warren Buffet; AS; 33; Berkshire Hathaway
4. Paul Allen; AS; 21; Microsoft Corp.
5. Kenneth Thompson; Kanada; 14,4; Thompson Corp.
6. Kel. Mars; AS; 13,5; Permen/coklat Mars
7. Jay Pritzker; AS; 13,5; Keuangan
8. Pangeran Al-Walid Al Saud; Arab Saudi; 13,3; Investasi, perbankan dan konstruksi
9. Lee Shau Kee; China; 12,7; Real Estat
10. Kel.Albrecht; Jerman; 11,7; Eceran
11. Steven Ballmer; AS; 10,7; Microsoft Corp.
12. Kel. Mulliez; Perancis; 10,3; Eceran
13. Michael Dell; AS; 10; Dell Computer
14. Li Ka Shing; China; 10; Real Estat dan telekomunikasi
15. Kel. Botin; Spanyol; 9,2; Perbankan
16. Kel. Newhouse; AS; 9; Media
17. Kel. Cargill; AS; 8,8; Cargill Inc.
18. Kel. Anschutz; AS; 8,8; Minyak dan jalan raya
19. Kel. Tsa Wan-lin; Taiwan; 8,5; Asuransi dan keuangan
20. Kel. Haas; AS; 8,2; Levi Strauss and Co

Sumber: Forbes

BERITA UTAMA WASPADA

RABU, 24 JUNI 1998


Gus Dur: Sulit Mengusut Kekayaan Soeharto

JAKARTA (Waspada): Ketua Umum PB NU K.H. Abdurrahman Wahid menilai, sulit mengusut kekayaan Soeharto, bahkan dengan cara legal sekali pun. "Karena Pak Harto paling pintar mengatur yang begituan," katanya kepada Wartawan di kediamannya di Jakarta Senin (22/6).

Begitu pun Gus Dur, panggilan akrab cucu pendiri NU itu, memuji sikap Pak Harto yang mempersilahkan semua pihak mengambil hartanya jika terbukti hasil KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

"Baguslah kalau dia mau, " ujarnya seraya menyebut dalam pengusutannya harus diperhatikan legal atau tidaknya pembuktian tersebut.

Gus Dur mengusulkan, agar lebih efektif dalam pembuktian, pengusutannya harus dibarengi pemeriksaan aset-aset produktif dan harus diketahui publik secara transparan.

Menurut estimasi Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) yang diungkapan ketuanya Christianto Wibisono, harta Soeharto dan keluarganya mencapai Rp 200 trilyun. Namun jumlah tersebut dibantah oleh keluarga Soeharto sebagaimana disampaikan Probosutedjo.

Sedangkan Ketua Gerakan Peduli Harta Negara (Gempita) Jakarta Albert Hasibuan, SH sepakat untuk melacak harta Soeharto perlu bukti. Tujuannya untuk mengetahui secara pasti di mana saja kekayaan mantan presiden dan keluarganya itu, apakah disimpan di dalam atau di luar negeri.

Pelacakan itu, katanya, juga untuk memisahkan harta mana saja yang legal dan ilegal. Dia mengakui, walaupun bukti-bukti kekayaan itu belum terungkap, namun Albert mengakui dia sudah banyak memperoleh informasi dari masyarakat.

Langkah yang sudah dilakukan oleh Albert Hasibuan, melacak pajak mobil Timor yang mendapat dispensasi dari pemerintah sehingga merugikan negara berkisar 1,2 milyar dolar AS.

Calon Pengacara Diteror

Sementara itu, calon pengacara Pak Harto mendapat teror melalui telepon gelap dari pihak-pihak tertentu. Intinya mereka tidak senang ada pembelaan kepada Pak Harto.

Sekjen Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IKADIN), Masiga Bugis yang ikut sebagai calon pengacara Pak Harto mengaku, sejak tersiar dia akan ikut menjadi pengacara Pak Harto jika ada tuntutan, sudah 15 kali telepon gelap baik di rumah maupun di kanto bernada mengancam.

Sedangkan Menkeh Prof Muladi, SH menegaskan, para kuasa hukum yang akan memberikan bantuan hukum kepada mantan Presiden Soeharto harus mengajukan permohonan izin secara insidentil kepada pengadilan negeri.

"Kuasa hukum tersebut harus mengajukan permohonan beracara secara insidentil kepada Ketua PN, dalam hal ini PN Jakarta Pusat, yang kemudian Ketua PN Jakpus akan menerbitkan surat izin khusus beracara untuk perkara tertentu," katanya di Jakarta, Selasa, di sela-sela kunjungan Jaksa Agung MA Ghalib SH.

Peraturan perundang-undangan itu, lanjut Muladi, memungkinkan seseorang yang bukan advokat/pengacara praktek secara khusus diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/tergugat dalam perkara tertentu. (Rep/Mdk/Ant/R-m17)

*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:

Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 25/I/20 - 26 Juni 98
------------------------------

BERGELAP-GELAP ALA TANRI

(EKONOMI): Tanri Abeng mulai bertindak tak wajar. Teman-teman dekatnya
satu-persatu disusupkan ke Sejumlah BUMN.

Entah apa yang ada dibenak Tanri Abeng, menejer satu miliar yang kini
Menteru Pemdayagunaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu. Teka-teki
menyusupnya Ispat International NV ke PT Krakatau Steel (KS) belum
terang benar, kini ia mulai lagi di PT Telkom dan PT Garuda Indonesia.
Manuver Tanri di PT KS memang sudah kandas, karena ada perlawanan di
sana. Menurut Sofyan Djalil, Asisten Kepala Badan Pengelola BUMN, MoU
dengan Ispat akhirnya dibatalkan. Alasannya, Ispat tak mampu memenuhi
due delligence yang berakhir 21 Juni. Tanri sendiri kepada wartawan
mengatakan tak tahu menahu kalau MoU itu batal. "Tanya Djalil saja,"
katanya.

Aneh kalau Tanri tak tahu. Memang kabarnya, kalangan BUMN, termasuk para
pejabat di lingkungan Kantor Menteri Pendayagunaan BUMN sendiri tak suka
cara-cara Tanri merestrukturisaasi sejumlah BUMN. Bacilius Ruru, mantan
Dirjen BUMN Departemen Keuangan, direktorat yang kini dihapus itu,
kabarnya tak setuju permintaan Tanri agar PT Telkom segera melakukan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa.

Permintaan Tanri soal ini memang dirasa aneh. Soalnya, PT Telkom, BUMN
yang sudah go public melalui Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Saham New
York dan London itu baru saja melakukan RUPS, 17 April lalu."Tanri harus
memberikan alasan yang rasional untuk RUPS Luar biasa, untuk
menghadirkan para pemegang saham di London dan New York," kata A.A.
Nasution.

Tanri hingga kini memang belum memberikan alasan rasional yang diminta
Telkom. Alasan satu-satunya yang dilontarkan Tanri adalah, Dewan
Komisaris harus diganti orang-orang yang profesional. Alasan Tanri itu
dinilai belum cukup rasional untuk menyelenggarakan RUPS. Telkom sendiri
bukanlah perusahaan yang bermasalah, bahkan mendatangkan banyak uang
untuk negara. Mungkin saja Tanri melihat, kinerja Telkom masih bisa
ditingkatkan jika ia merombak susunan direksi dan komisaris.

Namun, banyak kalangan melihat langkah-langkah Tanri merombak susunan
direksi dilandasi kepentingannya sendiri. Misalnya ketika ia menyusupkan
Robby Johan, kawan lamanya sendiri sebagai Direktur Utama PT Garuda
Indonesia menggantikan Soepandi. Robby Johan adalah mantan Direktur
Utama Bank Niaga. Soal tuduhan itu secara tak langsung Tanri berkelit,
"Apa salahnya memasukkan teman-teman sendiri? Yang penting kan apakah
mereka diberi kemudahan-kemudahan apa tidak," ujarnya.

Soal penjualan 49 persen saham PT KS kepada Ispat pun, Tanri punya
banyak argumen. Namun hampir semua argumennya tak mampu menjawab mengapa
ia menawarkan saham itu kepada Laksmi Mitthal, pemilik Ispat yang sudah
lama dikenalnya, secara diam-diam. Tanri bahkan tak memberi tahu
komisaris dan direksi PT KS bahwa ia akan menjual sebagian sahamnya
kepada Ispat. Jawaban Tanri soal ini malah tak masuk akal dan bahkan
terkesan sok kuasa, "Sebagai wakil pemilik saham yakni negara, saya
berhak melakukannya," katanya.

Tanri bahkan membela pilihannya menjual kepada Ispat dengan menuduh PT
KS selama ini tak laku dijual. Menurut Tanri, sudah untung Ispat mau
membelinya. Namun tuduhan Tanri ini dibantah Komisaris Utama PT KS
Wahyudi Prakarsa yang mengatakan jika para investor diperbolehkan
membeli hingga 51 persen saham PT KS, seperti MoU yang dibuat antara
Tanri dan Ispat, banyak investor yang akan berminat. Setelah Ispat
mundur, memang terbukti banyak investor yang berminat membeli saham PT
KS.

Memang, kita tahu, banyak BUMN yang bobrok. Sejumlah kalangan pun
mendukung langkah-langkah Tanri membersihkan BUMN dari para koruptor dan
tukang mark up di sejumlah BUMN gemuk seperti PT KS, PT Telkom,
Pertamina, PT PLN dan sebagainya.

Namun, banyak kalangan jadi risih karena Tanri pun melakukan
tindakan-tindakan yang tidak transparan dan malah melakukan praktek
koncoisme. (*)

------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:

************************

Date: Mon, 29 Jun 1998 17:04:45 +0700
From: Hendy Gunawan
To:
Subject: Saksi Hidup tragedi Tanjung Priok

Aksi penembakan yang masih perlu diusut menyalahi
prosedur atau tidak, dan lebih penting berapa
sebenarnya jumlah korban dan di mana kuburnya,
menempel pada Peristiwa Priok sampai sekarang.
Mereka menuntut itu dijelaskan, dan yang bertanggung
jawab diadili.

PERISTIWA Tanjungpriok, berapa persis korbanmu? Hingga
kini tak jelas. Mungkin pemerintah menyebut angka 19 orang.
Tapi, berbagai kesaksian yang kemudian muncul, apalagi
sekarang di masa yang disebut sebagai zaman reformasi,
menyebut-nyebut angka 200-an korban.=20

Peristiwanya itu sendiri pun masih belum sangat jelas.
Menurut Panglima ABRI (Pangab) kala itu, Jenderal Benny
Moerdani, satu regu pasukan (15 orang) harus menghadapi
massa yang mengamuk yang berjumlah 1.500 orang di by
pass kawasan Priok. Usaha persuasif gagal, dan massa tetap
berteriak-teriak mendesak maju. Tembakan peringatan
dilakukan, tapi "Mereka terus menyerang dengan
mengayun-ayunkan celurit dan berusaha merebut senjata
petugas," tutur Benny dalam sebuah konferensi pers, Kamis,
13 September 1984, 14 jam setelah peristiwa terjadi (lihat
TEMPO, 22 September 1984).=20

Menurut Jenderal Benny pula, peristiwa itu didalangi oleh Amir
Biki, Syaripin Maloko, dan M. Natsir. Mereka secara berkala
mengadakan ceramah di Rawabadak, "Secara sepihak
melontarkan kritik yang tidak sehat kepada sebagian pejabat
pemerintah maupun pemerintah sendiri."=20

Tapi, kenapa mereka bergerak? Di situlah tidak jelasnya. Ada
yang bilang gara-gara ada hansip masuk musala tanpa
melepas sepatu. Maka, warga marah dan membakar
motornya. Yang dibilang hansip ternyata Serma Hermanu. Ia
masuk musala? Benar, tapi dengan melepaskan sepatu. Ia
berniat meminta para pemuda yang berkumpul di situ untuk
melepaskan poster di dinding musala yang isinya mengajak
para wanita mengenakan pakaian Islam, termasuk jilbab.
Permintaan Hermanu ditolak.=20

Esok siangnya, Hermanu melihat poster masih ada, lalu
mencelupkan koran ke air selokan, dan mengusapkannya ke
poster, mencoba menghapus tulisannya. Warga setempat pun
marah, ada yang membakar motornya. Empat orang
kemudian ditangkap dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.=20

Itulah awal kemarahan massa, karena permintaan agar pihak
kodim melepaskan empat kawan mereka yang ditahan tak
mendapat tanggapan. Lalu, terjadilah aksi massa itu.=20

Seorang saksi mata yang bisa ditemui D&R kemudian
membeberkan yang ia lihat dan alami. Yusron, kala itu 20
tahun, salah seorang korban dan saksi hidup Peristiwa
Tanjungpriok, 12 September 1984. Ia kala itu pengurus Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) cabang Koja, Jakarta Utara.
Berikut penuturannya, ketika gerakan massa itu dimulai.=20

Kesaksian Yusron=20

"Saya, setelah mendapatkan perintah akan sama-sama ke
kodim, sempat pulang dulu ke rumah. Setelah itu, saya
menuju ke kodim. Massa sudah jalan, saya masih berusaha
mengejar massa. Saya berdiri di depan gereja supaya massa
tidak merusak gereja di dekat SMP 30. Massa terus jalan
agak ke depan, saya lari ke depan lagi, sampai di depan,
tepatnya di Jalan Yos Sudarso.=20

Petugas sudah membuat barikade dua lapis. Dua lapis itu
tentara semuanya. Pada malam itu, saya tidak melihat
seorang pun polisi yang bertugas. Tentara itu bersenjata
lengkap tanpa tameng. Artinya yang dikerahkan bukan
pasukan antihuru-hara. Sampai di sana tidak ada negosiasi
apa pun, langsung terjadi kontak (bentrok langsung) antara
massa dan petugas. Petugas langsung bereaksi saat melihat
massa, salah seorang di antaranya, belakangan saya tahu
bernama Kapten Sriyanto, teriak mundur.=20

Mereka mundur dua langkah, dan langsung menembaki
massa. Tembakan itu langsung diarahkan ke tubuh massa.
Saya mencoba bilang pada massa dengan cara berteriak,
tiarap. Tetapi, saat massa tiarap, justru tembakan diarahkan
ke bawah. Para tentara itu maju mendatangi massa yang
berusaha tiarap.=20

Ada seorang persis di sebelah saya; saya ingatkan supaya ia
tidak lari. Saat itu, saya tiarap di antara massa ada yang
sudah luka. Saya sendiri baru sadar kalau saya sudah luka
dan dalam beberapa menit kemudian dada saya, punggung,
dan tangan sudah luka tertembak. Karena itu, tangan saya
terus saya tempelkan ke dada. Kalau saya lepas, darahnya
bisa muncrat. Jadi, saya pegang terus.=20

Mungkin ketakutan, orang di sebelah saya tadi lari. Begitu dia
lari, dihantam oleh tiga orang dengan tembakan beruntun, dan
ia roboh persis di depan saya. Ketika itu, saya masih tiarap
dan masih ketakutan. Lalu, dari arah utara ke arah selatan
truk ABRI itu melewati massa yang saat itu juga masih tiarap.
Dari atas truk itu juga ABRI melakukan tembakan.=20

Itu saya lihat benar-benar, saya melihat apinya.... Saya sudah
membayangkan pada malam itu saya juga akan terlindas truk
itu. Di Jalan Yos Sudarso yang bisa saya lihat, ada tiga truk.
Pada saat itu saya sempat berdoa supaya saya pingsan, agar
tidak melihat adegan-adegan yang menyeramkan.=20

Tetapi, Allah tidak memberi saya pingsan. Maka, saya
saksikan orang-orang dilindas truk, dan dari atas truk tentara
itu menembaki massa yang tiarap. Ya, Allah, saya sudah
pasrah. Sampai di sinilah umur saya, tetapi ternyata truk itu
berhenti sekitar tiga meter dari tempat saya tiarap.=20

Saya diseret. Ada tentara yang mengatakan, =11Ini masih hidup.=12
Lalu, kepala saya diinjak. Senapan diarahkan dan berada di
kepala saya. Bunyinya persis di sebelah telinga. Saya
diseret, diputar-putar, dibanting, kemudian dilemparkan ke
atas truk. Terasa di truk sudah ada dua tumpukan manusia.
Setelah itu masih ditumpuk lagi; dua tumpukan lagi di atas
saya. Jadi, ada lima tumpukan semuanya. Lalu mobil jalan,
saya dibawa ke RSPAD Gatot Soebroto. Saya waktu itu tidak
pingsan. Tetapi, saya tidak berani lagi untuk bangkit, karena
di atas truk itu juga tentara mengawal dengan senjata yang
ditodongkan.=20

Sampai di rumah sakit, saya baru berani teriak, =11Saya masih
hidup.=12 Waktu dipilah-pilah, sekitar 40 orang di atas truk yang
berada di sana, yang luka di dada ada tiga, lalu ketika saya
dirawat saya tahu banyak yang mati.=20

Saya dijaga sangat ketat. Tiap kamar dijaga oleh petugas
bersenjata. Bahkan, kalau kami harus rontgen, dari kamar
menuju ruang rontgen di bawah, kami dikawal di bawah
todongan senjata. Di dalam kamar kami ada enam orang, bila
salat berjamaah langsung digampar. Mereka memperlakukan
kami seenaknya.=20

Selama tiga bulan di rumah sakit itu, kami hanya mendapat
jatah makanan rumah sakit. Kami tidak dapat makanan
tambahan lain. Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada
perawat-perawat RSPAD yang dengan tulus merawat kami.
Mereka hanya melihat ini persoalan kemanusian, beberapa
orang suster yang tidak saya ingat namanya juga mencoba
membantu dengan memberikan makanan, dia kirim roti. Roti
itu ditaruh di antara obat di bawah perban.=20

Setiap suster masuk selalu dikawal oleh tentara. Suatu
malam suster itu datang saat saya lagi tidur dan suster itu
membangunkan saya. "Mau menyuntik," katanya. Saya
kaget, kok, mau disuntik lagi. Lalu, suster itu minta petugas
keluar kamar karena akan memeriksa saya. Saat itulah ia
memberikan satu potong roti. Itu sering dia lakukan.=20

Saya dirawat tiga bulan. Dari RSPAD saya dibawa ke Corps
Polisi Militer Guntur, di sana digebuk habis-habisan. Padahal,
saat itu saya masih lemah dengan luka-luka tembak itu. Satu
hari di Guntur lalu dikirim ke Rumah Tahanan Militer (RTM)
Cimanggis, Bogor. Untuk menuju sel di RTM itu kami harus
merangkak di antara alang-alang yang tingginya sepohon
jagung, dan mulai pos sampai kamar, kami digebuki terus
sambil dimaki-maki seperti =11anjing=12, =11biadab=12, dan makian =
lain.=20

Di RTM Cimanggis, tiga bulan, lalu ke Salemba dan Penjara
Cipinang. Saya diadili dan divonis satu tahun penjara dengan
tuduhan awal pasal-pasal subversif tapi di pengadilan
kemudian dijerat dengan Pasal 214-- melakukan perlawanan
terhadap petugas negara. Saya dibebaskan pada 17 Agustus
1985.=20

Jadi, sangat bohong kalau pemerintah bilang korban hanya 19
orang. Di dalam truk saya saja, yang hidup hanya saya.
Sampai sekarang, yang mengadu kehilangan sanak
saudaranya ada 421 keluarga.=20

Memang, dekat setelah kejadian, tidak ada seorang pun yang
berani datang untuk menanyakan atau mencari keluarga yang
hilang. Sebab, kalau ada keluarga yang datang mencari, kalau
dia laki-laki langsung ditahan. Itu terjadi pada beberapa
keluarga. Ada beberapa orang yang mencari keluarga yang
ditahan di Cimanggis. Kalau dia perempuan, akan dihina dan
diteror oleh pihak militer atau kejaksaan.=20

Jadi, kenapa Try Sutrisno baru-baru ini mengatakan persoalan
Tanjungpriok sudah selesai? Saya bersyukur bila Pak Try
mau memberi kesaksian peristiwa Tanjungpriok. Yang berhak
menyelesaikannya adalah lembaga peradilan yang lebih
beradab, dengan semangat reformasi yang sekarang. Saat
saya diadili, saya yakin pengadilan berada dalam tekanan
rezim Soeharto, termasuk di dalamnya Benny Moerdani, dan
Try Sutrisno.=20

Peristiwa Tanjungpriok itu bisa selesai kalau orang-orang yang
bertanggung jawab, Try Sutrisno, Benny Moerdani, dan lain
-lain diadili. Paling tidak mereka harus diperiksa. Sampai saat
ini, kan, mereka belum pernah diperiksa. Lalu, peristiwa itu
bisa selesai kalau kami diberitahu di mana mayat-mayat
kawan kami dikuburkan, dan berapa jumlah korban
sebenarnya. Peristiwa ini kami anggap selesai kalau nama
kami sudah direhabilitasi. Karena, selama ini saya dituduh
melakukan perlawanan terhadap petugas. Pada saat itu saya
tidak melakukan perlawanan sama sekali.=20

Kalau pemerintah diam dalam persoalan Tanjungpriok, kami
akan membawa masalah-masalah ini ke lembaga-lembaga
internasional."=20

Laporan Ahmad Taufik=20
Majalah D&R, 27 Juni 1998

----- End of forwarded message from Hendy Gunawan -----

***********************