![](../images/go_top_b.gif)
*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
POLITIK RASIAL REJIM SOEHARTO
(PERISTIWA): Sentimen anti-Cina dipelihara rejim Soeharto, dengan
praktek "cukongisme". Kerusuhan rasial gampang tersulut. Siapa dalang
dibalik kerusuhan Mei lalu.
Amien Rais tersentak. Dalam sebuah pertemuan dengan ribuan warga
keturunan Cina di Solo, pekan lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu
diberondong keluh kesah tentang nasib yang mereka alami. "Pak Amien,
nasib kami seperti hewan kurban saja. Dipelihara hingga gemuk, lalu
disembelih begitu saja," keluh seorang warga keturunan Cina.
Mendengar itu, Amien tampak haru. "Saya menyaksikan kerusuhan yang
terjadi di Jakarta. Tapi, di Solo ternyata lebih dahsyat lagi," tutur
Amien. Kerugian materil akibat kerusuhan di Solo, 14-15 Mei lalu,
ditaksir Rp. 600 milyar lebih. Tapi, yang lebih memprihatinkan Amien
adalah tindakan biadab para penjarah yang menginjak-injak martabat
orang lain. "Apalagi bila sampai terjadi perkosaan. Sebagai bangsa
kita sungguh malu," kata Amien.
Bila melihat data ini mestinya kita lebih malu lagi. Menurut Badan
Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), hingga saat ini
sekitar 1.300 warga keturunan Cina melaporkan musibah yang menimpa
mereka selama kerusuhan massa di Jabotabek, 13-14 Mei lalu. Bentuk
musibah itu macam-macam: pembakaran rumah atau toko, penjarahan,
pelecehan seksual, pemerkosaan, sampai jatuhnya korban jiwa.
Tak cuma itu. Penyelidikan yang dilakukan Tim Relawan untuk Kemanu-
siaan menunjukkan bahwa kerusuhan-kerusuhan tadi dilakukan secara
terorganisir. Itu terlihat dari pola kerusuhan yang terjadi di sejum-
lah sentra perdagangan yang dijarah massa. Dalam setiap kerusuhan,
misalnya, selalu didahului aksi sekelompok orang tak dikenal (yang
bukan warga sekitar lokasi kerusuhan). Kelompok itu pula yang menyedi-
akan "amunisi" untuk merusak atau membakar pertokoan yang sudah sele-
sai dijarah massa. "Kalau dilihat polanya, aksi kerusuhan seperti
teror yang sudah terlatih," kata Sekretaris Tim Relawan, Romo Sandya-
wan Sumardi, saat melapor ke Komnas HAM.
Bagai menegaskan temuan Tim Relawan, Amien Rais mengungkapkan kerusu-
han massa, baik di Jakarta maupun Solo, memang ada dalangnya. "Tentang
siapa dalangnya akan ketahuan nanti. Orang Jawa bilang, sing sapa
salah, seleh (siapa salah akan jatuh)," ujar Amien.
Sampai saat ini memang belum terungkap siapa dalang di balik kerusuhan
massa yang membakar Jakarta. Tapi, penyelidikan Tim Relawan menemukan
beberapa hal menarik. Di sejumlah lokasi kerusuhan, aksi penjarahan
disulut oleh kelompok pria berambut cepak dan berbadan kekar. Bahkan,
menurut beberapa saksi mata, penyulut perusakan show room Bimantara di
Jalan Salemba dikenali sebagai aparat Badan Intelijen ABRI (BIA) dan
Dinas Sospol DKI Jakarta. Kelompok lain yang berhasil dikenali adalah
preman-preman yang direkrut ormas-ormas onderbouw Golkar.
Temuan Tim Relawan juga menyebutkan, aksi-aksi kerusuhan sengaja
diarahkan ke pertokoan dan perumahan warga keturunan Cina. Itu sesuai
dengan banyaknya korban kerusuhan yang berasal dari keturunan Cina.
Yang paling mengenaskan tentunya nasib yang menimpa kaum wanita.
Banyak diantara mereka yang mengalami pelecehan seksual (misalnya,
ditelanjangi, bahkan diperkosa), setelah rumah dan tokonya dijarah
habis. Seorang ibu yang ditemui Tim Relawan bahkan mengalami stres
berat, setelah menyaksikan dua adik kandungnya diperkosa, lalu dilem-
parkan ke kobaran api hingga tewas.
Anehnya, pemerintah tak banyak memperhatikan para korban kerusuhan
rasial itu. Padahal, seperti dikatakan anggota Komnas HAM, Clementino
Dos Reis Amaral: "Yang menciptakan diskriminasi ras bukan rakyat, tapi
pemerintah sendiri."
Pernyataan Amaral itu ada benarnya. Bahkan, sesungguhnya, politik
rasial itu merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Sentimen
anti-Cina sengaja diciptakan sebagai "bumper" pemerintah kolonial.
Caranya, dengan membatasi ruang gerak warga keturunan Cina hanya di
sektor-sektor perdagangan. Sedangkan di pemerintahan, mereka dilarang
masuk.
Setelah kemerdekaan pola itu tenyata diteruskan. Di masa rejim Soehar-
to malah bertambah kukuh, dengan maraknya praktek-praktek
"cukongisme". Maksudnya, kolusi antara pengusaha keturunan Cina dengan
penguasa (biasanya, pejabat militer). Contoh paling mencolok, tak
lain, perkoncoan Soeharto dengan Liem Sioe Liong. Berkat konsesi yang
diberikan Soeharto, terutama sejak menjadi presiden, Liem berhasil
menjadi salah satu konglomerat terkaya di Asia. Sebaliknya, Soeharto
dan keluarganya ikut kebagian rejeki yang ditangguk Liem.
Dominasi ekonomi warga keturunan Cina di Indonesia memang diakui.
Menurut penelitian Gordon Redding di awal 1990-an, warga keturunan
Cina (yang hanya 2 persen dari populasi penduduk Indonesia) menguasai
75 persen modal swasta yang diputar di dalam negeri. Kenyataan ini
seringkali menimbulkan kecemburuan penduduk pribumi. Sentimen anti
Cina bertambah dengan perbedaan agama dan adat istiadat.
Maka, dengan gampangnya setiap ketidakpuasan masyarakat terhadap
kekuasaan, misalnya, dibelokkan menjadi kerusuhan rasial anti Cina.
Itulah, agaknya, yang terjadi dalam kerusuhan-kerusuhan yang marak
selama rejim Orde Baru.
Soalnya kemudian, siapakah dalang dibalik kerusuhan massa yang mereng-
gut ribuan nyawa manusia, Mei lalu? Yang paling bertanggungjawab
mencarinya, tentu saja, pemerintah transisional Habibie!! (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
******************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
DARI DULU MEREKA DIMUSUHI
(PERISTIWA): Kerusuhan anti-Cina mewarnai sejarah kelam bangsa Indone-
sia. Kerusuhan besar pertama meledak di Tangerang, di awal kemerde-
kaan, 1946. Lalu, disusul berbagai kejadian serupa. Yang menonjol,
antara lain:
PERISTIWA GERAKAN 10 MEI 1963 DI BANDUNG DAN JAWA BARAT:
Dipicu perkelahian antara mahasiswa keturunan Cina dan pribumi, di
kampus ITB. Dari sini, kerusuhan meluas ke seantero kota Bandung.
Lalu, merembet ke sejumlah kota kabupaten di Jawa Barat, bahkan sampai
ke Surabaya, Malang, dan Medan. Akibat peristiwa itu, tujuh mahasiswa
penggeraknya - termasuk Muslimin Nasution (Menteri Kehutanan dan
Perkebunan sekarang) dan Siswono Judohusodo (mantan Menteri Transmi-
grasi) - dipenjara 50 hari.
KERUSUHAN 9-11 APRIL 1980 DI UJUNGPANDANG:
Bermula kematian seorang pembantu rumah tangga, yang didesas-desuskan
akibat penganiayaan majikannya yang keturunan Cina. Massa yang menga-
muk toko dan rumah milik warga keturunan Cina. Akibatnya, tercatat
1.100 lebih rumah dan toko, 29 mobil dan 42 sepeda motor dirusak.
Ditaksir kerugian mencapai Rp. 318 juta, jumlah yang lumayan besar
untuk ukuran saat itu.
KERUSUHAN DI SOLO DAN SEMARANG (NOVEMBER 1980):
Berawal dari soal sepele, serempetan sepeda seorang murid SGO dengan
seorang pemuda keturunan Cina, di salah satu jalan utama di Solo. Si
pelajar di pukul hingga berdarah kepalanya, tapi kabar yang beredar ia
tewas. Begitu kabar angin itu menyebar, ribuan massa segera mengamuk
dan merusak toko-toko milik warga keturunan Cina. Kerusuhan itu kemud-
ian meluas ke Semarang, serta beberapa kota di Jawa Tengah.
KERUSUHAN DI MEDAN (APRIL 1990):
Dipicu oleh demonstrasi belasan ribu buruh, kerusuhan kemudian mulai
berbau rasial. Puluhan pabrik dan toko dibakar dan dirusak, serta
puluhan warga keturunan cidera dikeroyok massa. Seorang diantaranya,
Yuly Kristanto, tewas dikeroyok massa yang menghajar mobil yang diken-
darainya.
PERISTIWA RENGASDENGKLOK (1997):
Terjadi saat bulan Ramadhan, awal 1997. Pasalnya, seorang warga ketu-
runan menegur anak-anak yang sedang memukul bedug mesjid di salah satu
gang. Entah bagaimana, terjadi keributan kecil. Dan, berita keributan
itu menyebar ke seantero kota, lalu meledak menjadi kerusuhan rasial.
DI AKHIR 1997:
Giliran Ujungpandang kembali dilanda kerusuhan rasial. Penyebabnya,
pembunuhan seorang anak kecil oleh warga keturunan yang kurang waras.
Akibatnya, ratusan toko dan rumah milik warga keturunan Cina diamuk
massa. (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
*******************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
Ester Yusuf, Aktivis Solidaritas Nusa Bangsa:
"KAMI SIAPKAN UU ANTI DISKRIMINASI"
(PERISTIWA): Sejumlah pegiat sosial merasa prihatin dengan kerusuhan
14 Mei yang meninggalkan bekas traumatik di kalangan Cina. Berikut
petikan wawancara dengan salah satu aktivis Solidaritas Nusa Bangsa.
T: Kapan Solidaritas Nusa Bangsa ini dibentuk?
J: Jum'at, 5 Juni lalu di deklarasikan di kantor LBH Jakarta. Sebenar-
nya prosesnya sudah dimulai pada saat kerusuhan terjadi. Pada saat itu
kami dari LBH Jakarta dan beberapa individu-individu yang concern pada
masalah sosial melakukan evakuasi, karena banyaknya korban dari warga
negara Indonesia keturunan Cina dan tidak mendapat bantuan yang sela-
yaknya dari aparat keamanan. Terjadi perlakuan diskriminatif terhadap
warga keturunan Cina. Mereka sudah dijarah, dibunuh dan diperkosa
pula, dan tak ada pembelaan apa-apa dari aparat keamanan.
T: Bisa diberi contoh nyata?
J: Menurut salah seorang korban, saat terjadi tindakan biadab, pemer-
kosaan terhadap dirinya, di perumahan Green Garden, Jakarta Barat, ada
aparat keamanan yang menonton saja melihat perlakuan orang-orang kalap
itu. Aparat keamanan diam saja, dan malah melihat seolah-olah sah-sah
saja itu terjadi. Sah dan menganggap warga keturunan Cina itu bukan
manusia.
T: Kenapa ini terjadi?
J: Ini terjadi karena praktek kekuasaan yang dijalankan Soeharto saat
memerintah membeda-bedakan perlakuan terhadap keturunan Cina. Bukti-
nya, kalau mau ngurus kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor harus
dilampirkan kartu kewarganegaraan, belum lagi biaya yang berbeda,
tentunya lebih mahal dari biaya warga negara yang lain. Juga tempat
yang berbeda kalau mau kawin.
T: Bagaimana pendapat Anda tentang hal yang berbaru SARA itu?
J: Itu tugas negara untuk menyelidikinya. Mengapa sampai ada isu-isu
yang memecah belah etnis Cina dan Indonesia? Itu tanggungjawab peme-
rintah.
T: Ada pendapat etnis Cina tidak mau membaur, hanya memikirkan bis-
nis. Bagaimana menurut Anda?
J: Memang masih ada masalah proses integrasi Indonesia - dan keturunan
Cina. Tapi pendapat itu tidak selalu benar, misalnya, ada Soe Hok Gie,
Arief Budiman dan banyak lagi orang-orang keturunan Cina yang memikir-
kan dan memperjuangkan rakyat dan bangsa ini. Tapi soal ada pemikiran
bahwa etnis Cina tidak usah ikut politik juga ada. Mereka takut menja-
di korban. Tidak ikut-ikutan politik saja menjadi korban, apa lagi
mereka ikut campur politik, akan lebih repot.
T: Apa yang paling penting untuk diperbaiki?
J: Lima paket Undang-undang politik. Juga soal UU anti diskriminasi
ras yang sedang kami siapkan draft-nya untuk diajukan kepada pemerin-
tah. Di luar negeri semua ras dijamin keberadaannya, juga kebebasan
bicara. Tapi disini hanya omong doang pemerintahnya. Tindakan yang
terjadi terhadap etnis Cina justru lebih biadab, katanya, bangsa yang
berbudi luhur, tapi menjarah, membunuh dan memperkosa. Anehnya aparat
dan pemerintah seolah-olah merestui itu.
T: Kenapa ini terjadi?
J: Ini bagian dari praktek politik di bawah kepemimpinan Soeharto,
yang membagi porsi, etnis Cina hanya boleh ikut pada urusan ekonomi
dan Indonesia pada porsi yang lainnya. Saat terjadi kebangkrutan
ekonomi, lalu etnis Cina dijadikan korban dan kambing hitamnya.
T: Tapi, kan, ketika terjadi kerusuhan mereka ramai-ramai lari ke luar
negeri?
J: Memang itu yang tampak dan di-ekspose televisi. Padahal masih
banyak orang Cina yang tidak pergi ke luar negeri dan tidak mampu
untuk pergi kesana dan tetap berada disini. Saya kira wajar, mereka
yang lari ke luar negeri, karena disini tak ada jaminan. Mereka dija-
rah, dibunuh bahkan diperkosa dan aparat hanya diam saja. Ini per-
soalan mempertahankan hidup, nyawa menjadi taruhan. Kalau ada jaminan
bisa hidup tenang, walau ada kerusuhan sosial dan bukan menjadi sa-
saran amukan atau kambing hitam, saya yakin mereka akan tetap bertahan
disini. Karena memang disinilah negeri tempat mereka dilahirkan,
mencari uang dan hidup bermasyarakat.
T: Bagaimana sebaiknya pemerintah transisi Habibie ini sekarang ber-
tindak agar tidak terjadi lagi seperti yang dialami pada masa Soeharto
berkuasa?
J: Seharusnya ada pernyataan jaminan dari pemerintah, bukan hanya
dengan kata-kata saja, tapi harus dengan tindakan kongkrit. Yaitu
dengan adanya aturan hukum yang tidak diskriminatif. Kalau tidak ada
jaminan lewat aturan perundang-undangan, bencana bagi etnis Cina akan
terus terjadi di negeri ini. (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
![](../images/go_top_b.gif)
*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
SOEHARTO BALIK GUGAT
(EKONOMI): Orang-orang dekatnya membela kiprah bisnis Soeharto. Bekas
presiden itu sewa pengacara untuk gugat pembocor rahasia kekayaannya.
Mantan Presiden RI Soeharto ancang-ancang untuk gugat balik. Sasaran-
nya: pihak-pihak yang menuding dia telah melakukan penumpukkan ke-
kayaan selama 32 tahun menjabat presiden. Dan menurut Jaksa Agung,
Soeharto sudah resmi menunjuk pengacara dari luar negeri untuk melaku-
kan penuntutan itu. Adalah Probosutejo yang membocorkan niat Soeharto
itu.
Sebelumnya, orang-orang dekat dengan Soeharto muncul dan ikut-ikutan
menantang pihak-pihak yang menuding Soeharto korup. Beberapa pejabat
Yayasan-yayasan yang diketuai Soeharto yaitu mantan Wapres Sudarmono,
mantan Kabulog Bustanil Arifin, dan mantan Mensesneg Moerdiono menye-
lenggarakan konferensi pers. Mereka mengemukakan sejumlah pembelaan
terhadap Soeharto. Tentunya, juga membela dirinya sendiri yang juga
terlibat dalam masalah itu.
Jumlah kekayaan yang dilansir oleh sejumlah surat kabar dibantah
Soedharmono. Terutama kekayaan empat yayasan besar yang dipimpin
Soeharto, yaitu Yayasan Darmais, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila dan Yayasan Dana Abadi Karya (DAKAB), yang kata
Soedharmono hanya Rp. 2,5 trilyun. Dan ada upaya menghindarkan keter-
libatan Soeharto sebagai presiden dalam yayasan itu. "Jadi, pak Harto
bukan sebagai presiden, tetapi sebagai pribadi," kata Soedharmono.
Anehnya, ketika mereka gembar-gembor mengatakan bahwa Yayasan itu
bersih dari kolusi dan korupsi, Soedharmono tanpa sadar mengakui bahwa
Yayasan Darmais mendapatkan fasilitas dari menteri keuangan melalui SK
Menteri Keuangan Nomor 333/KMK/01/1978. SK itu terang-terangan minta
agar setiap BUMN menyumbangkan 5% laba bersihnya kepada yayasan.
Atau penggalian dana Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang dituangkan
dalam Kepres No 92/1996 tentang penyerahan 2 persen bagi mereka yang
berpenghasilan lebih dari Rp. 100 juta per tahun.
Moerdiono dalam kesempatan itu juga mengakui yayasan Dakab dalam
mencari dananya memotong gaji pegawai negeri dan ABRI. Pihak-pihak
yang menuding Soeharto pun masih tetap dalam pendirian. Walaupun
Christianto Wibisono dari PDBI akhirnya menegaskan bahwa Rp. 200
trilyun itu merupakan kekayaan keluarga Cendana, dari Soeharto hingga
chrony-nya.
George Junus Aditjondro walaupun tidak menyebut jumlah kekayaan Soe-
harto masih tetap yakin bahwa ada bukti-bukti kolusi-korupsi dan
nepotisme Soeharto ketika menjadi presiden. Mantan dosen Satya Wacana
ini dalam sebuah wawancaranya mengungkapkan, Soeharto dan anak-anaknya
selalu memulai usahanya dengan menggunakan fasilitas umum. Dengan
modal dengkul saja mereka bisa membuka peternakan sebesar 720 hektar
di Tapos pada sekitar tahun 70-an.
Ketika Soeharto menjadi panglima Mandala, dia juga main selundup
dengan alasan untuk kesejahteraan prajurit. Tapi nyatanya prajurit
anak buahnya tetap tidak sejahtera. Justru sebaliknya, tapi operator
bisnisnya yaitu Liem dan Bob Hasan semakin sejahtera. Begitu juga
kolusi sangat kuat ketika Soeharto mendatangkan sapi-sapi bantuan dari
Malcolm Frisher itu dari Australia ke Indonesia. Pengangkutannya
menggunakan kapal angkatan laut. Ketika sapi yang sudah disilangkan di
Tapos dan akan disumbangkan ke propinsi-propinsi, anaknya yaitu Sigit
Hardjojudanto membuat PT Bayu Air dengan modal pesawat Hercules AURI
dan menutup logonya dengan PT Bayu Air.
Begitu pula cara yang sama yang dilakukan anak sulung Soeharto Siti
Hardiyanti Rukmana atau Tutut ketika membangun TPI. Bos grup perusa-
haan Citra Lamtorogung dan pernah menjabat menteri sosial selama dua
bulan itu menggunakan stasiun TVRI sebagai stasiun sementara TPI.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana sebenarnya mampu menjelaskan kepada
masyarakat tentang penumpukan kekayaan keluarga Soeharto. Misalnya
saja pertanyaan, berapa gaji presiden sehingga mampu memberikan uang
saku yang diberikan bapaknya kepada Tommy sehingga ia bisa punya 6
juta dollar Selandia Baru untuk membeli kawasan hunting resort, seluas
28.000 hektar. Bagaimana Tommy bisa punya 16 juta dollar Australia
untuk cruiser-nya yang selalu mampir di Darwin? Dari mana dia punya
uang untuk balap mobil Paris-Dakkar? Dan dari mana Tutut bisa punya
uang untuk beli rumah di Boston dan sering shopping ke luar negeri?
(*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
![](../images/go_top_b.gif)
*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
REVOLUSI MEI DI JAKARTA
Oleh: Aboeprijadi Santoso
(OPINI): Beberapa pekan lalu, pengamat politik Indonesia cenderung
berpikir dalam dua model perubahan: Model Tiananmen dan People's
Power. Sangat mengejutkan banyak orang, perisitiwa-peristiwa di Jakar-
ta bukan menghasilkan pertumpahan darah seperti di China ataupun
Filipina, tetapi suatu perubahan yang cepat dan damai. Meski begitu,
dua model di atas tetap relevan untuk dibandingkan, mengingat harapan
dan kekhawatiran mengenai peristiwa yang akan datang.
Model Tiananmen, 4 Juni 1989, mengasumsikan bahwa tindakan keras dari
represi negara untuk mengatasi krisis, perlu dilakukan dan bisa dite-
rima dunia internasional. Memang, pemerintah China secara efektif
berhasil mengelola dasar negara yang ditentang mahasiswa; dan memulih-
kan stabilitas, setelah perubahan dalam elit negara dan partai; serta
membatasi dampak kerusahakan sosial dan ekonomi akibat perlawanan
selama tiga bulan. Pada akhirnya, rezim monolitik bisa bertahan karena
negara menemukan resep untuk memperbaiki status quo dengan penumpasan
berdarah terhadap kekuatan oposisi.
Sebaliknya people's power di Manila, 1986, menghasilkan sesuatu yang
bertolak belakang dengan penyelesaian di China. Kemarahan terhadap
diktator Ferdinand Marcos muncul dari semua lapisan masyarakat. Kepe-
mimpinan sipil dan spiritual siap diwujudkan dalam figur janda senator
yang populer Aquino, Corazon Aquino dan Kardinal Jaime Sin. Platform
oposisi rakyat telah tersedia, dan dipimpin oleh Front Demokrasi
Nasional (NDF) - sayap nasionalis kiri; dan gerakan lain.
Selama dekade kediktatoran Marcos, masyarakat Filipina sangat terpoli-
tisasi dan mengalami radikalisasi. Jadi yang diperlukan untuk menying-
kirkan Marcos, hanyalah langkah kecil dari para jenderalnya untuk
"menyebrang". Hal itu terjadi, pada momen kritis, ketika Jenderal
Ramos memihak Aquino. Tetapi, people's power juga terbuka dan segera
terancam oleh berlan-jutnya rivalitas dalam tentara dan pemberontakan
- dengan contoh terkenal permainan Rambo, Kolonel Gringo Honasan.
Dalam skala lebih luas, perpecahan penting terjadi ketika NDF memboi-
kot pemilu pertama yang diselenggarakan Aquino. Seandainya, NDF tidak
memboikot, peta politik Filipina akan sangat berbeda. Namun, yang
terjadi, perpolitikan Filipina menjadi demokratis tetapi elitis.
Revolusi EDSA berakhir dengan apa yang disebut oleh orang-orang Fili-
pina sebagai "demokrasi elit".
Revolusi Mei di Jakarta - istilah yang kini populer untuk menyebut
perlawanan mahasiswa yang akhirnya menggulingkan Soeharto - mengandung
campuran berbagai unsur. Seperti di China, ketidakimbangan kekuatan
mahasiswa dan aparat negara memang tampak di Jakarta. Seperti di
China, perlawanan mahasiswa juga sangat aktif dan diam-diam didukung
masyarakat. Tetapi, kepemimpinan nasional di Indonesia - baik sebelum
dan sesudah Soeharto jatuh - menghadapi krisis yang jauh lebih serius
dibanding China.
Permainan simbol yang muncul dari kekuatan mahasiswa Jakarta dan
Beijing tampaknya menciptakan kesulitan lebih besar, dan memancing
tindakan negara yang lebih cepat, dibanding Manila. Seperti di China,
mahasiswa Indonesia memilih menyalurkan perlawanan mereka di tempat
yang sangat tepat. Kompleks gedung MPR/DPR dan Monas, diharapkan
menandai legitimasi protes mereka melawan parlemen dan pemerintahan
yang mereka anggap tidak sah. Gema aksi Jakarta bergaung sampai Paki-
stan dan Zimbabwe, menekankan efek simbolis itu.
Dalam kasus China, sangat sedikit, kalau pun ada, bangunnya kesadaran
kelas menengah - terutama kemarahan moral -, dalam gerakan seperti di
Manila atau Jakarta. Model Tiananmen kekurangan daya gugat moral yang
spesifik seperti di Manila setelah tertembaknya Aquino; dan di Jakarta
setelah tewasnya mahasiswa Trisakti. Hal ini menjelaskan kenapa ada
dukungan begitu luas di Indonesia dan Filipina. Sebaliknya di China,
tanpa unsur spesifik itu, tentara menjadi ancaman potensial yang bisa
terjadi di manapun, dalam tahap selanjutnya.
ABRI memainkan peran menentukan, tetapi sangat hati-hati. Letjen
Syarwan Hamid, yang ketika itu Wakil Ketua MPR/DPR mengizinkan demon-
strasi mahasiswa berlangsung di kompleks parlemen. Ia tampaknya tak
akan melakukan itu, tanpa sepenge-tahuan atasannya. Lebih penting
lagi, selama minggu-minggu pertengahan Mei, ABRI hanya menunggu; dan
akhirnya setuju untuk meminta Soeharto turun.
ABRI harus mengatasi krisis internalnya sementara waktu; dan mulai
mewujudkan janjinya untuk tut wuri handayani. Di tengah globalisasi -
era "Reformasi atau mati" ABRI tampaknya memang tak punya pilihan lain
kecuali menyesuaikan diri. Dan, seperti di Filipina, aksi massa juga
memicu dan meningkatkan rivalitas di tubuh tentara. Jatuhnya Prabowo
yang mendadak dari Pangkostrad, mengesankan bahwa "Revolusi Mei" di
Jakarta juga punya cerita seperti Gringo Honasan. Persaingan itu, akan
tetap ada, selama pemerintahan Habibie atau penggantinya gagal memu-
lihkan kepercayaan domestik dan internasional.
Seruan reformasi total dari Senayan, bisa mempunyai akibat lebih dalam
- bukan hanya tumbangnya Soeharto, tetapi juga pemenuhan kebutuhan
riil rakyat dan awal demokratisasi - seandainya Revolusi Mei itu tidak
dibelit soal rasial, China non China, dan manuver Honasan seperti di
Filipina.
Seperti di Beijing, gerakan pro demokrasi di Indonesia kurang memiliki
platform politik yang solid, untuk memimpin peru-bahan. Sebab, maha-
siswa sudah lama dikungkung dalam selimut "gerakan moral" dan poli-
tisinya terpecah-pecah. LSM dan ormas-ormas secara politik sangat
lemah, akibat tiga dekade di bawah tekanan Soeharto. (Wartawan tinggal
di Amsterdam. Artikel ini disadur dari The Jakarta Post, 9 Juni 1998)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
![](../images/go_top_b.gif)
*************************************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 25/I/20 - 26 Juni 98
------------------------------
KOALISI AMIEN-EMIL, CEGAH SOEHARTOISME
(PERISTIWA): Duet Amien Rais dan Emil Salim makin mantap. Ada platform
bersama untuk Pemilu dan arah menuju reformasi. Perlu tindakan segera
untuk mencegah kembalinya kaki-tangan Soeharto.
Ibarat bendungan pecah, air meluap ke segala arah. Begitu pun yang
terjadi, setelah Soeharto mundur dari kursi presiden. Setelah 32 tahun
dikungkung bangungan represif Orde Soeharto, masyarakat politik mabuk
kepayang menikmati kebebasan. Partai-partai lahir bak jamur di musim
hujan. Walaupun kebebasan itu sebetulnya masih semu. Bukan kebebasan
sejati yang dijamin hukum.
Namun, di tengah euforia itu, banyak juga tokoh yang berpikir tenang
sambil menyusun strategi. "Kita tunggu air bahnya menep. Biar kelihatan
petanya. Baru kita atur langkah," kata Amien Rais, Jurubicara Majelis
Amanat Rakyat (MARA), beberapa waktu lalu. Ternyata, waktu menunggu
mengendapnya banjir itu tak perlu lama-lama. Amien Rais segera mengambil
langkah: koalisi lebih mantap dengan kelompok pro-demokrasi lain,
mengingat bahaya munculnya kekuatan Orde Soeharto di panggung politik.
Langkah pertama, penguatan koalisi itu, adalah dengan Emil Salim, tokoh
Gema Madani. Dua tokoh reformasi itu bertemu di kediaman Emil Salim, di
kawasan Kuningan, pekan lalu. Mereka membicarakan paltform bersama untuk
pemilihan umum; dan juga meletakkan arah reformasi. Pertemuan itu
kabarnya, berlangsung dalam suasana akrab, dan sangat produktif
merumuskan platform bersama. "Pak Emil terkesan dengan Amien Rais," kata
sumber di Gema Madani.
Dalam pertemuan itu, Amien memang meyakinkan Emil tentang beberapa hal
yang selama ini menjadi kecurigaan masyarakat terhadap Amien. Misalnya,
soal minoritas Cina, negara Islam dan isu sektarianisme. "Minoritas Cina
harus diperlakukan seperti halnya warga negara lain. Tanpa
diskriminasi," kata Amien. Ia pun menegaskan sikapnya tentang perlunya
negara pluralistik, dan bukan negara Islam untuk ditegakkan di bumi
Indonesia. Hal-hal semacam ini, telah memudahkan timbulnya saling
kepercayaan antara Amien Rais dan Emil Salim; dan akan menjadi modal
diluaskannya koalisi itu dengan tokoh-tokoh lain seperti Abdurrahman
Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
Amien dan Emil, yang bisa dibaca sebagai mewakili MARA dan Gema Madani,
tampaknya punya kesamaan sikap tentang penyelesaian krisis politik ini.
Mereka memandang penting diselenggarakannya pemilu yang demokratis dan
dipercepat, untuk mendapatkan pemerintahan yang sah dan didukung rakyat.
Ide tentang pemilu yang dipercepat itu, sesungguhnya juga mendapat
tanggapan positif dari kelompok pro-demokrasi lainnya. Hanya, ada
sebagian kelompok yang menginginkan dibentuknya "presidium pemerintahan
sementara," sebelum pemilu digelar.
"Masalah dalam pembentukan presidium itu, siapa yang akan memilih
anggotanya. Dan darimana kita mendapat hak memilih anggota presidium,"
kata Emil Salim, dalam satu pertemuan dengan para pendukung gagasan
presidium.
Amien dan Emil sepakat tentang beberapa gagasan dalam penyelenggaraan
pemilu, partai dan susunan DPR/MPR. Antara lain:
* Pemilu dilakukan Desember 1998
* Pemilu diselenggarakan oleh partai-partai, diawasi lembaga independen
dari dalam dan luar negeri
* Pemilu dilakukan dengan sistem gabungan; sistem distrik dan
proporsional.
* Partai-partai bebas didirikan.
* Partai hendaknya bersifat terbuka, tidak menutup keanggotaan hanya
untuk etnis, atau agama tertentu
* Partai yang mendapat suara kurang dari 5% hendaknya bergabung dengan
partai lain
* Seluruh anggota DPR/DPRD dipilih lewat pemilu
* Keanggotaan MPR terdiri dari 500 orang hasil pemilu, ditambah dua
orang utusan daerah dari tiap propinsi yang dipilih DPRD; dan 25 dari
ABRI serta 25 orang dari golongan profesional yang dipilih oleh
masing-masing organisasi.
* DPRD dipisahkan dari struktur pemerintah daerah
Gagasan yang ditawarkan duet Amien-Emil itu memang masih mengandung
pertanyaan. "Bagaimana kalau Habibie tidak mau menggelar pemilu
Desember, dan dengan UU yang sudah diubah?" tanya seorang aktifis
pro-reformasi. Emil tampaknya berkeyakinan, Habibie akan terpaksa
menerima ide itu, daripada dijatuhkan oleh konspirasi kaki tangan
Soeharto, yang kini bergerilya lewat militer dan Golkar.
Masalah lain dari ide pemilu itu adalah kesiapan partai-partai
pro-reformasi. Kekhawatiran orang adalah, pemilu itu nantinya akan
dimenangkan kembali oleh Golkar. "Apalagi kalau pakai sistem distrik,
saya khawatir Golkar bisa muncul sebagai pemenang," kata Mochtar
Pabottingi, peneliti senior di LIPI.
Potensi kemenangan Golkar itu, bisa menjadi ancaman untuk kubu
reformasi. Sebab, kaki-tangan Soeharto telah mulai aktif menggerpol -
gerilya politik - di tubuh partai beringin itu. Mereka misalnya, telah
berhasil menguasai kepanitiaan Munas Luar Biasa yang akan digelar 9-11
Juli mendatang. Dapat diduga, Ketua Umum Golkar akan jatuh ke tangan
orang-orang Soeharto; dan mereka akan mendesakkan Sidang Istimewa untuk
memilih presiden dan wakilnya yang bisa dikendalikan efektif oleh
Soeharto. Habibie akhir-akhir ini dirasa terlalu menyimpang dari
Cendana, sehingga pada ulangtahun Soeharto, 8 Juni lalu, ia tak
diundang.
Menghadapi pertentangan elit yang kian mengkristal itu, kubu reformasi
memang harus segera merapatkan barisan."Tokoh-tokoh reformasi mesti
segera bersatu, mencegah kembalinya Soeharto ke panggung politik," kata
seorang mahasiswa. (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
***********************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 24/I/13 - 19 Juni 98
------------------------------
Yeni Rosa Damayanti, Aktivis Pro-demokrasi:
"BENTUK KOALISI NASIONAL, LIBATKAN KAMPUS"
(DIALOG): Setahun penuh ia mendekam di penjara antara tahun 1993-1994.
Bersama 20 aktifis mahasiswa se-Jawa dan Bali yang tergabung dalam Front
Aksi Mahasiswa Indonesia, ia didakwa menghina Soeharto. Mereka kala itu
menuntut diadakannya sidang istimewa MPR untuk meminta pertanggungja-
waban Soeharto akibat berbagai persoalan pembangunan. Dari situ,
mahasiswi Fakultas Biologi Universitas Nasional ini makin dikenal
sebagai demonstran. Baru beberapa bulan bebas dari penjara ia mesti
meninggalkan tanah air, menuju negeri Belanda. Namun, sama sekali ia
tidak meninggalkan minatnya terhadap persoalan politik di tanah air.
Bahkan, ia aktif mengkampanyekan persoalan HAM dan demokrasi Indonesia
selama 3 tahun berada di sana. Sekembalinya dari perantauan, Xpos
berkesempatan berbincang-bincang dengannya. Gayanya, masih tetap lugas
dan bersemangat. Petikannya:
T: Banyak isu yang mengemuka saat ini, namun banyak juga yang kurang
menyentuh akar reformasi. Apa yang mendesak untuk segera dilaksanakan?
J: Menurut saya mesti ada pemerintahan sementara yang merupakan bentu-
kan dari koalisi sipil nasional. Kita tidak bisa mengharapkan MPR/DPR
untuk berperan menentukan pemerintahan. Sebab, saya tidak mengakui
keabsahan wakil-wakil rakyat yang sekarang. Mereka toh, dipilih berda-
sarkan pemilu yang curang dan menggunakan produk undang-undang dari
Paket 5 UU Politik yang jauh dari demokratis.
T: Apa tugas koalisi nasional ini?
J: Memimpin periode transisi ini menuju ke pemilihan umum. Tentunya
dengan undang-undang baru yang demokratis.
T: Jadi, tidak perlu sidang istimewa?
J: Kalaupun ada sidang istimewa, tujuannya semestinya, adalah agar MPR
mendemisionerkan dirinya dan menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan
sementara. Bukan memberikan mandat dan tugas reformasi pada Habibie
atau pemerintahan baru lainnya.
T: Apakah realistis membentuk koalisi itu, sementara kita dikejar
waktu untuk segera membentuk pemerintahan yang dipercaya dalam dan
luar negeri?
J: Realistis. Orang-orangnya sudah ada kok. Dan itu lebih baik, dari
pada menyerahkannya pada Habibie untuk memutuskan penyelenggaraan
pemilu yang masih lebih dari setahun lagi. Padahal, perekonomian kita
tidak membaik, malah memburuk.
T: Bagaimana agar pembentukannya dipercepat?
J: Kampus-kampus harus kembali melakukan apel akbar dan menyatakan
dukungan terhadap pembentukannya. Sekaligus menyodorkan nama-nama.
Pihak kampus juga harus mempunyai perwakilan dalam koalisi itu. Seba-
gai ujung tombak reformasi, mereka adalah yang paling berhak menentu-
kan.
T: Apa hal penting lain mesti segera diagendakan?
J: Soal dwi-fungsi ABRI. Maunya sih, kita bilang sama tentara, "eh elo
masuk barak aja." Tapi, mana mau mereka begitu.
T: Mengapa tidak banyak yang membicarakan soal ini?
J: Ini isu yang sama pentingnya dengan isu penurunan Soeharto, bebera-
pa waktu lalu. Mungkin, karena isu Soeharto itu lebih "nyata", sedang-
kan soal dwi-fungsi ini tidak begitu kelihatan. Membicarakan ini
adalah membicarakan konsep. Jadi, bukan person yang mudah dikenali.
Dan membicarakan konsep, bagi kebanyakan orang yang telah terkena
depolitisasi selama 32 tahun, memang tidak semudah membicarakan per-
son.
T: Apa yang mengkhawatirkan dari dwi-fungsi?
J: Yang saya khawatirkan, tentara akan mempertahankan interest-nya, di
bidang politik dan ekonomi. Bentuk maksimalnya adalah kemungkinan
pengambil-alihan kekuasaan. Namun, yang lebih memungkinkan adalah
seperti yang selama ini terjadi dalam pemerintahan Orde Baru. Yaitu,
dengan konsep kekaryaan, memasuki partai-partai politik, lalu mengkon-
trol pemerintahan sipil. Juga dengan adanya badan-badan ekstra yudi-
sial seperti Bakorstranas, dan sebagainya.
T: Apakah pengambil-alihan kekuasaan itu masih mungkin, mengingat
kehadiran tentara secara terang-terangan justru bisa memperparah
krisis ekonomi?
J: Saya kira tidak mungkin mereka nekad melakukan kudeta. Namun, bisa
saja terus berada di belakang. Dan interest-nya akan tetap menjadi
faktor yang penting dalam perpolitikan masa depan. Dia tidak akan
mengambil-alih kekuasaan, tapi akan mendukung mati-matian rezim yang
dianggap memberikan garansi bagi kepentingan-kepentingannya.
T: Nah, bagaimana supaya pihak militer mau kepentingannya dibatasi?
Mereka kan punya senjata...
J: Kalau kita bikin rate, kepentingan tentara itu kan terdiri dari,
misalnya, satu sampai sepuluh. Kita harus melakukan tawar-menawar
dengan mereka. Supaya, jumlah interest-nya kita kurangi. Dari sepuluh
menjadi 3, atau kalau mungkin dihilangkan sama sekali. Misalnya,
bagaimana kalau campur tangannya dalam BUMN serta tender proyek peme-
rintah dihilangkan sama sekali.
T: Tapi, dalam bidang politik, militer masih punya argumentasi histo-
ris mengenai keterlibatannya...
J: Memang, mereka punya argumen bahwa dalam perjuangan kemerdekaan,
tentara tidak saja terlibat dalam peperangan, tapi juga di sektor
politik. Itu tidak bisa menjadi pembenaran bahwa sesudah negara mer-
deka, tentara harus mempertahankan posisi politiknya. Karena, yang
sekarang menjadi sipil pun, pada periode perjuangan kemerdekaan ikut
berjuang di dua sektor. Di politik dan di medan perang. Yang bergeri-
lya itu kan bukan semua tentara. Pada saat Indonesia merdeka, mereka
menanggalkan baju perangnya dan kembali menjadi rakyat sipil. Jadi,
kalau tentara ingin berpolitik pun, harus menanggalkan baju tentara-
nya.
T: Dengan mencabut Paket 5 UU Politik, bukankah peran tentara dalam
politik akan terbatasi?
J: Nah, ini yang selalu saya katakan. Bagaimana caranya melakukan
tawar-menawar dengan tentara? Pertama, perkuat politik sipil. Kedua,
menggalang dukungan dari luar negeri. Bagaimana memperkuat politik
sipil? Ya, mencabut Paket 5 UU Politik dan produk undang-undang lain
yang mengekang. Dengan ikut serta dalam pembuatan undang-undang yang
lebih demokratis, kita sudah mulai memperkuat posisi sipil. Sebab,
tentara tidak bisa lagi melarang rakyat untuk demonstrasi, bikin
partai dan sebagainya. Jadi, penguatan civil society dengan sendirinya
akan mengurangkan dominasi militer. (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
**********************************
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail:
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 25/I/20 - 26 Juni 98
------------------------------
5 PROGRAM REFORMASI VERSI AMIEN-EMIL
(PERISTIWA): Gerakan reformasi memasuki tahap kritis. Sementara kekuatan
reformasi belum menemukan platform bersama, kaki tangan Soeharto kembali
masuk ke struktur kekuasaan. Bukan hanya Golkar yang diincar, tapi
posisi-posisi kunci, seperti Jaksa Agung, kini dipegang orang-orang dari
Orde Soeharto. Mencermati perkembangan itu, Amien Rais dan Emil Salim,
mengajak seluruh komponen pro-reformasi untuk bersatu. Mereka ajukan
lima masalah pokok sebagai dasar dan arah koalisi untuk reformasi itu.
Berikut ringkasanya:
* Penyelesaian Politik:
Akar dari krisis saat ini adalah macetnya fungsi politik Orde Soeharto
selama tiga dekade, sehingga kehilangan kredibilitas di mata masyarakat.
Suatu penyelesaian politik yang cepat, sangat dibutuhkan untuk
memulihkan kepercayaan publik. Jalan untuk itu adalah pemilihan umum
yang demokratis dan segera.
* Bongkar NKK (Nepotisme, Kolusi, Korupsi) dan deSoehartoisasi:
NKK mewarnai praktek Orde Soeharto dalam tiap segi kehidupan, membawa
kerugian tak hanya dari segi ekonomi tapi juga demoralisasi. Praktek NKK
mesti dihentikan, akar-akar Soeharto dalam pemerintahan mesti
disingkirkan.
* Memenuhi Kebutuhan Pangan, Obat-obatan dan Mengatasi Pengangguran:
Sementara krisis politik belum teratasi, keadaan ekonomi makin buruk.
Pangan untuk rakyat menghilang, kalaupun ada harganya melambung.
Penyelesaian darurat mesti dilakukan lewat program "jaringan
penyelamatan sosial", yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bantuan
internasional untuk kemanusiaan harusnya dikelola masyarakat, untuk
menghindari korupsi.
* Menyembuhkan Luka Akibat Kerusuhan Rasial:
Kerusuhan, ketegangan politik akhir akhir ini, membawa kerugian tak
hanya dari segi materiil dan jiwa, tetapi juga meninggalkan trauma
psikologis berkepanjangan akibat kekerasan terhadap etnis Cina. Hubungan
yang rusak antar etnis, agama, mesti dipulihkan lewat usaha-usaha yang
menghormati pluralitas dan perasaan sebangsa.
* Mengusut Tuntas dan Menghentikan Politik Kekerasan:
Selama Orde Soeharto, kekerasan sering dipakai untuk membungkam
perbedaan politik. Kasus-kasus berserakan, meninggalkan korban kekerasan
tanpa penyelesaian. Tanjung priok, Lampung, Aceh, Penculikan aktivis,
Peristiwa 27 Juli, Insiden Trisakti, Kerusuhan Mei dan Timor Timur
adalah contoh politik kekerasan yang belum diusut tuntas. Kita menuntut
penyelesaian kasus-kasus itu dan mencegah kasus serupa terjadi di masa
depan. (*)
------------------------------
Berlanganan XPOS secara teratur
Kirimkan nama dan alamat Anda
ke:
______________________________________________________
Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com
----- End of forwarded message from Eks Pos -----
![](/images/go_top_b.gif)