Presiden RI
Megawati Sukarnoputri


Perjuangan Megawati Sukarnoputri telah sampai pada puncaknya dengan dilantiknya dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia periode s/d akhir 2004. Memang ini bukan jabatan kepresidenan yang selama ini diinginkan, namun untuk sementara waktu cukup baginya. Dari sekarang Mega - sebagaimana ia akrab dipanggil -- telah menjadi dirinya sendiri. Megawati tidak bisa lagi bergantung kepada kharisma yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya, presiden pertama Indonesia, Sukarno, seperti yang biasa dilakukannya pada awal karir politiknya. Saat ini ia harus bersandar kepada simpati dari para pendukungnya untuk lebih mengangkat popularitasnya lagi.

Dengan keberadaan Mega pada salah satu pucuk kepemimpinan nasional dan bukan di oposisi seperti selama ini, 'perjuangan' mempunyai arti yang baru baginya. Tidak diragukan lagi status Mega telah berkembang dalam beberapa tahun belakangan ini karena ia berdiri sebagai simbol penderitaan dan perjuangan rakyat melawan tirani dan tekanan. Dengan menggunakan nama ayahandanya, Sukarno, 'perjuangan' seolah telah menjadi nama tengahnya. Nama ini pula yang akhirnya dijadikan sebagai nama partai politiknya: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sekarang, sebagai wakil presiden, ia mempunyai kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya dapat berdiri sesuai dengan nama yang diemban, dan juga membuktikan bahwa ia tidak cuma hidup dibawah bayang-bayang nama ayahnya.

Dilahirkan di Jakarta 23 Januari 1947, Dyah Permata Megawati Sukarnoputri tidak terjun ke dunia politik sejak awal. Ia baru sekitar 12 tahun bergabung dengan PDI yang saat itu dikontrol oleh pemerintah. Langkahnya menjadi politikus waktu itu bertolak belakang dengan keinginan keluarga agar anak-anak Sukarno tidak terjun ke dunia politik praktis. Keingingan ini beralasan karenaadanya anggapan bahwa Sukarno adalah milik seluruh bangsa Indonesia dan tidak seharusnya 'dimonopoli' oleh satu partai politik saja.

Sebagai seorang pemula di dunia politik, oleh beberapa orang Mega hanya dianggap sebagai ibu rumah tangga biasa, dan kebanyakan orang bahkan menganggap ia hanya bernaung di bawah nama besar ayahnya. Sedikit sekali orang yang waktu itu percaya Mega mempunyai kekuatan untuk bertahan atau kemampuan untuk menghadapi tantangan-tantangan serius kepemimpinan nasional. Bergabungnya Megai dengan PDI pada 1987 mendapat dukungan positif, tidak hanya dari kalangan pendukung setia Sukarno, tetapi juga dari kalangan masyarakat yang baru pertama kali mengikuti pemilihan umum. Megawati dan suaminya diberi kehormatan menjadi ketua fraksi di DPR pada tahun 1987 karena keaktifan mereka dalam pemilu. Sedikit sekali orang tahu mengenai kehidupan Mega sebelum ia terjun ke dunia politik. Hanya beberapa detil saja yang diketahui bahwa ibu dari tiga anak ini harus pula berjuangan dalam kehidupan pribadinya.

Dalam otobiografinya Sukarno menyatakan bahwa istrinya, Fatmawati, melahirkan Mega pada periode sulit awal-awal kemerdekaan di mana keluarga mereka selalu bersembunyi. "Sangat mengerikan. Istri saya terbaring di kamar tidur yang khusus dijadikan sebagai sarana rumah sakit. Tiba-tiba lampu mati, atap rubuh, dan hujan masuk dengan lebatnya bagaikan sungai," tulis Sukarno. "Para dokter dan kakak-kakaknya membawa Fatmawati ke kamar tidur pribadinya. Ia basah seperti benda-benda lain disekitarnya. Dalam kegelapan, dengan diterangi oleh cahaya sebuah lilin, lahirlah anak kami, Megawati. Mega artinya awan." Megawati melalui masa kecilnya di Istana Merdeka. Ia kemudian kuliah di Universitas Padjajaran, Bandung belajar mengenai pertanian, tetapi keluar pada 1967 karena ayahnya dikucilkan.

Pada 1970 beliau kuliah di Universitas Indonesia fakultas psikologi, namun keluar setelah dua tahun. Megawati juga mempunyai nasib buruk seperti ayahnya dalam kehidupan pribadi. Suami pertamanya, Letnan Satu Surindo Supjarso tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat udara di Irian Jaya tahun 1970. Tahun 1972 beliau menikah dengan Hassan Gamal Ahmad Hasan, seorang diplomat dari Mesir yang ditugaskan di Jakarta. Namun pernikahan itu dibatalkan dua minggu kemudian karena tidak adanya pengumuman resmi bahwa suami pertamanya meninggal dunia. Pengumuman resmi itu akhirnya datang setahun kemudian, namun sayang diplomat tersebut telah kembali ke negaranya. Akhirnya ia menikah dengan suaminya saat ini, Taufik Kiemas pada 1973. Masuknya Mega dan kembalinya 'hantu Soekarno' -- slogan kampanye PDI yang digembar-gemborkan media massa -- mengejutkan banyak orang, terutama pemerintah. Jika dilihat, hal itu merupakan kesalahan kalkulasi politik dari pihak Soeharto untuk membiarkan ajaran Sukarno bertahan.

Bahkan sebuah kesalahan yang lebih fatal terjadi ketika pemerintah mencoba dengan segala cara untuk menahan laju popularitas Sukarno pada saat nama Mega semakin harum. Kampanye anti Sukarno dimulai pada tahun 1992 ketika pemerintah melarang PDI menggunakan gambar Sukarno di kampanye-kampanye pemilihan umum. Namun Mega tetap menarik penggemar terbanyak dalam arak-arakan yang diadakan PDI. Dalam pemilu saat itu PDI menduduki tempat ketiga, namun secara perlahan mendapat perolehan suara yang relatif meningkat. Sudah jelas bagi Soeharto dan Golkar bahwa mereka harus melakukan sesuatu jika tidak ingin Mega dan PDI menjadi penantang serius di pemilu 1997 dan pemilihan presiden 1998. Pada 1993 pemerintah dan militer mencampuri pemilihan ketua PDI ketika telah jelas terlihat bahwa Mega akan memenangkan tampuk kepemimpinan. Akibatnya, dua kongres PDI berakhir dengan kekerasan.

Namun dalam usaha yang ketiga kalinya, pemerintah harus menyetujui keikutsertaan Mega dalam pemilu. Usaha menentang Mega kembali dilakukan pada 1996 ketika pemerintah dan militer berkonspirasi untuk menumbangkannya dari kepemimpinan PDI. Namun ironisnya, hal tersebut malah menjadi puncak perjuangan Mega karena banyaknya dukungan yang diterimanya, tidak hanya dari kalangan PDI namun juga dari masyarakat luas. Mega menjadi simbol bagi masyarakat luas, khususnya kelas bawah. Seperti mereka, Megai adalah korban dari tekanan pemerintah; seperti mereka Megai hampir putus asa menghadapi kemarahan pemerintah; dan seperti mereka pula Mega mengalami penderitaan yang berat. Rintangan yang dihadapi terus membuat status Mega semakin terangkat tinggi. Ia menjadi figur bagi masyarakat yang menghendaki perubahan dalam sistim demokrasi di Indonesia.

Pada Juli 1996, pemerintah mendukung sebagian anggota PDI yang telah terpecah untuk secara paksa mengambil alih kantor pusat PDI. Insiden ini berakhir dengan aksi kekerasan di mana Megawati dan para pendukungnya disalahkan pihak militer. Pada 1997, pemerintah melarang PDI Mega ikut serta dalam pemilihan umum. Tanggapannya yang tenang menjadi sumber keputusasaan para pendukung dan pembantu-pembantu dekatnya. Mega terus bertahan untuk tidak mengadakan konfrontasi langsung dengan pihak pemerintahan. Beliau selalu bersikeras untuk melalui jalur yang sah, walaupun beliau tahu bahwa jalur hukum telah dikuasai oleh pemerintah. Semangat berjuang Megawati telah membantunya dalam menghadapi berbagai rintangan dalam karir politiknya. Tanggapannya yang selalu tenang memberinya banyak pendukung, tidak hanya dari 'korban-korban opresi', namun juga dari pihak kelas menengah keatas dan beberapa pucuk pimpinan militer.

Jatuhnya pemerintahan Soeharto Mei 1998 memberikan jalan bagi Mega untuk mengembalikan kekuatan politiknya. Ia mendirikan partai politiknya sendiri yang terdiri dari para pendukung setianya. Dalam kongres di Bali awal 1999 ia mengumumkan nama partai politiknya yang baru, PDI-P sehingga bisa dibedakan dari PDI 'pemerintah'. PDI-P mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu di tahun yang sama, namun dengan persentase yang hanya 35% yang tentunya tidak cukup untuk mengait kursi kepresidenan. Kemenangan Mega dalam pemilu tidak berarti berhentinya cobaan yang datang. Banyak orang yang menanyakan komitmennya kepada Islam, dan yang lain meragukannya karena ia seorang wanita.

Sikap diamnya dalam beberapa masalah-masalah politik di bulan-bulan belakangan ini telah menjadikan Mega sebagai target serangan. Kegagalannya untuk berinisiatif dalam melobi pemimpin-pemimpin reformis yang lain dianggap sebagai sebab utama kekalahannya dari Abdurrahman Wahid di pemilihan presiden. Sekarang, sebagai wakil presiden, telah datang waktunya untuk beradaptasi dengan gaya kepemimpinan beliau. Mega telah mengakhiri satu perjuangan, namun masih banyak lagi yang harus dihadapinya.

.

Diah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri
Lahir Jakarta, 23 Januari 1947
Orang tua Soekarno dan Fatmawati
Suami Taufik Kiemas
Anak M. Rizki Pratama, M. Prandanda Prabowo, Puan Maharani
Pendidikan
  • Fakultas Pertanian, Universita Padjajaran, Bandung ( drop-out )
  • Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (1970-1972 drop-out )
Karir
  • Ketua, Cabang Pusat Jakarta Partai Demokrasi Indonesia Anggota DPR (1987-1993)
  • Ketua PDI (1993-1998)
  • Ketua PDI-Perjuangan (1998-sekarang)
  • Wakil Presiden Republik Indonesia (21 Oktober 1999-sekarang)
   
© satunet.com


Related Message




© 1996 - 2002 Megaforpresident.org . All Rights Reserved