MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO


Halaman 3

Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidaklah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puiuh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidaklah diadakan syarat yang neka-neka, yang menjlimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, - sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau Merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak'?

(Jawab Hadirin: Mau)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar

Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu "Weltanschauung", di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu "Wettanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas "national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu "Weltanschauung", yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische "Weltanschauung". "Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu yang dinamakan, "Ten noo Koodoo Seishin". Di atas "Tennoo Koodoo Seishin" inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia diatas satu "Weltanschauung", bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis diseluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam "Weltanschauung" bekerja mati-matian untuk me-"realiteitkan" "Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed : "Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.", John Reed, di dalatn kitabnya: "Ten days that shock the world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia", walaupun Lenin mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi "Weltanschauung"nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia "Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas "Weltanschauung" yang sudah ach. Dari 1895 "Weitanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di "generale-repetitie"-kan.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri "generale-repetisi" daripada revolusi tahun 1917.

Sudah lama sebelum 1917, "Weltanschauung" itu disedia-sediakan, bahkan diihtiar-ihtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed. Hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas "Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler~demikian ?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu?. Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengihtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, "Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya "Munchener Putch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar "Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah "Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi "Weltanschauung"nya telah siap dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three peoples's principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, -nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh Doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka diatas "Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme kah, Marxisme kah, San Min Chu I kah, atau "Weltanschauung" apakah?

Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesomo, bahwa kita harus mencari persetujuan menencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu "weltanschuung" yang kita semua setujui. Saya katakan lagi setujui. Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanusi setujui, Yang Saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanva saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberikan kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberikan kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat semua".

Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah .

Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indanesia, ialah dasar kebangsaan.

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia

Saya minta, Sudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain : maafkanlah saya memakai perkatäan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu Nationale Staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu, Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek Tuan pun bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa : "Le desir, d'etre ensemble", yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die Nationalitätenfrage", disitü dinyatakan "Was ist eine Nation?" jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus Schicksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).

Tetapi kemarinpun tatkala, kalau tidak salah Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota terhormat Mr. Yamin berkata : "verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer-pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang. "Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan "Gemeinschaft"-nya dan perasaan orangnya, "L´ame et le desir".

Halaman 4



Back Forward

(c) 2001 compiled by