x-URL : ![](http://www.wirantaprawira.de/pics/kompas.gif)
Nawaksara Soekarno Akan Terulang
>Rabu, 6 Juni 2001
"S EJARAH akan berulang" dan "pengalaman guru terbaik", kata orang cerdik pandai memang perlu jadi pegangan. Berbagai cacatan sejarah bangsa yang mengantarkan Indonesia merdeka hingga kini sesungguhnya telah banyak berulang. Tetapi, sayang tidak ada yang mengingat apalagi menjiwai pengalaman itu. Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 terulang G30S/PKI tahun 1965, Peristiwa Republik Maluku Selatan (RMS) dengan berbagai permasalahannya kembali lagi dengan motif baru di Maluku tahun 1999 hingga kini, peristiwa Sambas (Kalimantan Barat) terulang dengan peristiwa Sampit (Kalimantan Tengah), dan masih ada lagi yang lain.Peristiwa sejarah 35 tahun lalu yang melahirkan pemerintahan otoriter Orde Baru, kini di era yang dinamakan reformasi, perjalanan sejarah itu tampak akan berulang kembali. Presiden Soekarno (Bung Karno) sesungguhnya sejak lama akan dijatuhkan, bahkan telah terjadi percobaan pembunuhan atas dirinya oleh kelompok non-nasionalis, tetapi itu semua gagal karena tidak ada alat bukti yang kuat untuk menjatuhkannya, di samping elite politiknya masih bermain "bersih" dengan mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Kelengahan sejarah tahun 1948 yang terulang tahun 1965, merupakan sandungan bagi Bung Karno. Sehingga terpaksa atau dengan paksa, Bung Karno mengeluarkan "Surat Perintah 11 Maret 1966" yang berisikan tiga keputusan.
Surat Perintah yang dikenal dengan SP 11 Maret atau Supersemar, akhirnya dengan suatu kekuatan dijadikan landasan hukum, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor IX/MPRS/1966. Dengan proses "konstitusi" lahirlah pemerintahan Orde Baru yang didukung masyarakat. Dukungan masyarakat itu bukannya tidak beralasan. Karena, tindakan pertama yang diambil adalah pembubaran PKI, yang ketika itu memang sedang diharapkan mayoritas bangsa Indonesia dan negara-negara adikuasa antikomunis yang berjanji mendukung Indonesia. Tetapi, setelah mampu "menancapkan kuku" atas kekuasaan, terlihat belangnya bahwa kekuatan dan otoriter yang diberlakukan.
Kudeta konstitusi
Beralihnya Surat Perintah menjadi Ketetapan MPRS yang didasarkan kekuatan dan kekuasaan, bukannya hukum, jelas dapat dikatakan sesungguhnya telah terjadi "Kudeta Konstitusi". Apalagi, untuk mempertahankan kekuasaan itu dengan dalih konstitusi dilakukannya Sidang Istimewa (SI) bulan Maret 1967. Dasar konstitusi itu berhasil membungkam bangsa dan dunia internasional.
Bung Karno, yang dipaksa dengan kekuasaan harus menyerahkan jabatan, kemudian dengan alasan konstitusi, harus mempertanggungjawabkan mandat MPR yang telah diberikan kepadanya, maka sebagai nasionalis sejati yang patuh atas hukum dan mencintai bangsa dan negaranya benar-benar dari lubuk hati, Bung Karno tampil mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dilakukan dan dituduhkan kepadanya. Jawaban yang dikenal dengan "Nawaksara" itu menjadi catatan sejarah dengan berbagai lika-liku "permainan" politik.
Nawaksara yang diajukan Bung Karno pada tanggal 22 Juni 1966, menurut beberapa pengamat sesungguhnya disampaikan secara jujur, memenuhi harapan dari apa yang dipertanyakan, dan memenuhi persyaratan yuridis. Tetapi, kenyataannya oleh MPRS yang dipimpin oleh AH Nasution (Ketua), Osa Maliki, HM Subchan ZE, M Siregar, dan Mashudi, masing-masing Wakil Ketua, ditolak. Demikian pula pelengkap Nawaksara yang diajukan Bung Karno tanggal 10 Januari 1967, juga ditolak sehingga lahir Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967, tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Bahan pertimbangan dilahirkannya Tap MPRS No XXXIII/1967 itu sebagai berikut. Pertama, pembukaan Pidato Presiden/Mandataris MPRS yang disampaikan kepada MPRS pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul "Nawaksara" dan Surat Presiden Mandataris MPRS tanggal 10 Januari 1967 No 01/Pres/1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan bangsa pada umumnya, anggota-anggota MPRS pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/ PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak.
Kedua, Presiden/Mandataris MPRS telah menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Negara kepada pengemban Tap MPRS No IX/MPRS/1966 seperti yang dinyatakan dalam Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967. Ketiga, berdasarkan laporan tertulis Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/ Pengemban Tap MPRS No IX/ MPRS/1966 dalam suratnya No R-032/67 tanggal 1 Februari 1967, yang dilengkapi dengan pidato laporannya di hadapan SI MPRS berpendapat bahwa ada petunjuk-petunjuk yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/ PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.
Serupa tak sama
Ketiga materi pertimbangan Tap MPRS No XXXIII/MPRS/ 1967 dalam menjatuhkan Bung Karno, kiranya hampir serupa walau tidak sama, dengan apa-apa yang akan dipergunakan untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur melalui Panitia Khusus (Pansus) DPR dinyatakan melanggar Tap MPR tentang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta Sumpah Jabatan, yang dikaitkan dengan dugaan keterlibatan Gus Dur dalam kasus Bulog dan bantuan Sultan Brunei. Apa yang disebut dugaan, sama diberikan baik kepada Bung Karno maupun Gus Dur, yang beda hanya permasalahannya.
Kalau Bung Karno dulu, tanpa ada proses hukumnya. Gus Dur sekarang ada prosesnya melalui Kejaksaan Agung. Pansus DPR menyampaikan hasil kerjanya kepada Kejaksaan Agung untuk diproses. Pengajuan formal itu tidak demikian saja diterima hasilnya. Karena, jika hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung yang menyatakan tidak ada indikasi keterlibatan Gus Dur dalam Kasus Bulog dan Brunei, berarti DPR seharusnya tidak lagi meminta MPR untuk menggelar sidang istimewa.
Selain itu, argumen untuk menjatuhkan Gus Dur melalui "kudeta konstitusi" sebagaimana Bung Karno melalui SI adalah, dipandang Gus Dur tidak memberikan respons positif atas memorandum DPR yang pertama dan kedua.
Mengamati kenyataan-kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini, maka dapat dipastikan apa pun yang akan disampaikan Gus Dur dalam sidang istimewa mendatang, pasti akan ditolak. Karena memang telah ada satu konsepsi untuk menjatuhkan Gus Dur secara konstitusi. Konsep ini sesuai dengan apa yang dilakukan terhadap Bung Karno, oleh kelompok-kelompok non-nasionalis, di samping kelompok yang mempunyai kepentingan untuk masa depan pribadi atau partainya.
Kepentingan nasional
Usaha kelompok non-nasionalis menjatuhkan Bung Karno, nyatanya sia-sia karena tampil kekuatan otoriter yang akhirnya menyengsarakan rakyat dengan KKN-nya. Apakah konsep kelompok non-nasionalis yang kini tengah bermain, mampu menjamin tidak akan terulang peristiwa serupa. Ini tanda tanya yang harus dijawab secara jujur dari sanubari yang paling dalam. Karena, bila ini gagal, sesungguhnya mereka tidak hanya bertanggung jawab terhadap bangsa yang semakin terpuruk, tetapi juga terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Menghadapi konflik kepentingan dan faham yang terjadi sekarang ini, tidak dapat diselesaikan tanpa membangkitkan rasa nasionalisme, sebagaimana yang dimiliki bangsa Indonesia ketika merebut kemerdekaan dari kaum penjajah dulu. Rasa kebangsaan dan kepentingan nasional, sesungguhnya harus berada di atas segala-galanya jika memang beberapa yang dilakukan itu untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan dengan pemikiran sempit.
* A Khamil Shahab, pemerhati masalah sosial politik.
Berita opini lainnya :
- Tajuk Rencana
- Redaksi Yth
- "Soekarnoism is to Kill Soekarno"
- Presiden Soekarno dan Uni Soviet
- Nawaksara SoekarnoAkan Terulang
- Pojok Kompas