MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO

Di Balik Tuduhan "Kolaborator"

Menyambut HUT Seratus Tahun Bung Karno (I)


Oleh :

SEKITAR tujuh windu yang lalu, dua hari sesudah pernyataan kapitulasi pemerintah Jepang terhadap negara-negara Serikat (berakhirnya Perang Dunia Kedua), Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diumumkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta diterima oleh pemerintah Belanda sebagai halilintar menyambar di siang hari bolong.

"Pemerintah Belanda dari Australia menyambut pengumuman itu dengan siaran hasutan kepada rakyat Indonesia. Kepada rakyat Indonesia dianjurkan, supaya jangan berdiri di belakang Sukarno-Hatta, sebab proklamasi itu tidak lain dari tipu muslihat Nippon", demikian disinyalir oleh Bung Hatta dalam pidato radio yang diucapkannya pada tanggal 29 Agustus 1945. 1)

Demikian juga pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sebab Dai Nippon yang sudah bertekuk lutut kepada Serikat dalam Perang Dunia II itu, menurut keterangan Bung Hatta tidak mempunyai hak suara lagi untuk menyatakan atau mengakui kemerdekaan Indonesia. "Tetapi rakyat Indonesia, dengan itu, menentukan nasibnya sendiri! Kita mau hidup seterusnya sebagai bangsa yang mempunyai kehormatan. Lambang daripada kehormatan kita itu ialah Sang Merah Putih, yang telah berkibar di pucuk tiang dan akan kita teruskan berkibarnya sampai pada akhir zaman", tegas Bung Hatta.2)

"Een gelijkwaardige plaats in het koninkrijk"

Setelah kemerdekaan Indonesia diplokamirkan oleh Bung Karnodan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa rakyat Indonesia menentang segala bentuk penindasan kolonial. Pemerintah Indonesia menentang keras tentara Belanda yang masuk ke Indonesia dengan membonceng tentara Serikat dan menyerukan kepada tentara Serikat agar menghormati kedaulatan rakyat Indonesia.

Seruan pemerintah Indonesia tersebut tidaklah kebetulan, karena memang terbukti bahwa pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaga dengan kekerasan senjata untuk mengembalikan kekuasaan mereka atas "Hindia Belanda" dan menumpas kaum republik, yang oleh mereka disebut sebagai "nasionalis-ekstremis" dan pemimpin-pemimpinnya (terutama Bung Karno dan Bung Hatta) mereka cap sebagai "kolaborator-kolaborator" Jepang. Hal itulah yang terus mereka propagandakan untuk "mengesyahkan" tindakan kekerasan mereka menentang kemerdekaan Indonesia itu.

Pemerintah Belanda tidak mau kehilangan tanah jajahannya. Pada tanggal 7 Desember 1942 dalam pidato radionya di London, Ratu Wilhelmina menyatakan, antara lain, bahwa setelah Perang Dunia, Hindia Belanda "een gelijkwaardige plaats in het koninkrijk" ("negeri yang sederajat dengan kerajaan") harus diperoleh kembali. Hal itu memang terus diperjuangkan oleh pemerintah Belanda pada zaman pendudukan Jepang di Hindia Belanda (1942 - 1945). Ini terlihat, misalnya dari isi pamflet-pamflet, yang mereka sebarkan di kamp-kamp konsentrasi seperti di kamp tawanan untuk anak-anak dan orang-orang wanita Eropa di Kampili (Sulawesi) pada tanggal 21 Juni 1945, sesudah Ratu Wilhelmina kembali ke Negeri Belanda dari tempat pengungsiannya akibat negerinya diduduki kaum fasis Jerman pada waktu Perang Dunia II berlangsung. Salah sebuah Pamflet tersebut berbunyi (ejaan lama):

SERI RATOE KEMBALI KE TANAH AIR.
NEDERLAND BANGKIT KEMBALI.

Seri Baginda Maharadja Ratoe Wilhelmina bertachta lagi di Nederland. Kejadian ini dirajakan dengan segala kegembiraan oleh orang2 Belanda dan Indonesia diseloeroeh doenia.

Dengan setjepat moengkin segenap kekoeatan dinegeri Belanda dan Indonesia bebas, dibantoe oleh Negeri2 Serikat akan ditoempahkan ke Indonesia boeat mengoesir si Kate jang menindas ra'jat Indonesia.

Gembiralah pendoedoek Indonesia. Djangan koeatir.

INDONESIA MESTI BANGKIT POELA.

Di balik tuduhan "kolaborator".

Isi pamflet tersbut diatas pada dasarnya hanyalah politik kamuflase pemerintah Belanda. Dalam prakteknya, pemerintah kolonial Belanda samasekali tidak menghendaki Hindia Belanda sebagai (yang dikatakan oleh Ratu Wilhelmina) "een gelijkwaardige plaats in het koninrijk". Hindia Belanda adalah tetap merupakan "bagian tanah jajahan sebagai ladang penghisapan", dus tetap jadi "een ongelijkwaardige plaats" ("menjadi negeri yang tidak sederajat") yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Belanda. Hal ini jelas dinyatakan di dalam pamflet: "Dengan secepat mungkin segenap kekuatan di Negeri Belanda dan "Indonesia bebas" , dibantu oleh Negeri-negeri Serikat akan ditumpahkan ke Indonesia buat mengusir si Kate yang menindas rakyat Indonesia". Pernyataan "Indonesia bebas" digunakan oleh kaum kolonialis Belanda sebagai siasat licik untuk menutupi hakekat tujuan mereka yang sebenarnya. Yakni, di satu pihak, memang mereka melawan Jepang untuk membebaskan warganegara Belanda yang menderita di kamp-kamp tawanan Jepang, sedang di lain pihak, mereka berusaha mengembalikan kekuasaan kolonial di "Hindia Belanda".

Dalam konteks tersebut, jelaslah apa maksud dan tujuan propaganda kaum kolonial yang menuduh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai "kolaborator-kolaborator Jepang". Foto Bung karno berpakaian romusha, foto Nyonya Fatmawati Sukarno memakai kimono disebarluaskan oleh mereka untuk mendiskreditkan Bung Karno sebagai "bukti berkolaborator" dengan kaum fasis Jepang. Hal itu merupakan salah satu senjata mereka untuk mengisolir kedua pemimpin rakyat Indonesia tersebut dan terutama untuk memperoleh legitimasi (pengesyahan) tindakan mereka dan bantuan dari Sekutu. Di Indonesia sendiri kita bersyukur, bahwa propaganda- propaganda palsu kaum kolonialis Belanda tersebut tidak digubris samasekali olrh rakyat Indonesia. Bahkan sebaliknya, rakyat percaya sepenuhnya akan kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta, yang sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia terkenal dengan julukan dwitunggal itu.

Bangsa Indonesia bukan saja tidak mau dijajah lagi oleh siapapun, tetapi juga dengan tegas menolak keinginan pihak Belanda, yang menurut Bung Hatta "memaksa kita masuk ke dalam lingkungan kerajaannya" meskipun diembel- embeli dengan "een gelijkwaardige plaats" itu!

Itulah sebabnya kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, yang tidak disangka samasekali oleh Belanda maupun Serikat, membuat mereka yang disebut belakangan ini bukan kepalang berangnya. Negara-negara Serikat melakukan pendaratan pasukan mereka di Jawa pada akhir bulan September 1945 dan pada bulan Oktober tahun itu juga - di Sumatra. Resminya tentara Serikat (Amerika Serikat dan Inggris) itu bertindak untuk melucuti dan merepatriasi serdadu-serdadu Jepang sebagai tawanan-tawanan perang dari wilayah/teritorial "Hindia Belanda".

Namun pada hakekatnya, mereka berusaha melikwidasi Republik Indonesia, yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta, yang mereka cap sebagai para "kolaborator Jepang", guna mengembalikan pemerinntahan kolonial di wilayah "Hindia Belanda" dulu itu! Jarak waktu sekitar satu setengah bulan sejak proklamasi kemerdekaan RI diumumkan dengan pendaratan tentara Serikat di Jawa itu, yang dalam literatur-literatur sejarah Belanda dinamakan "masa vakum", telah berhasil dipergunakan oleh para pendiri republik ini untuk pembangunan negara. Dalam sidangnya tanggal 29 Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Dasar (Grondwet) Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila. Sidang tersebut mengesahkan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Sebelumnya, pada tanggal 23 Agustus 1945 telah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada tanggal 5 Oktober 1945, sesudah dimulainya intervensi oleh tentara Inggris-Belanda, maka atas perintah Presiden Sukarno diumumkan pembentukan tentara reguler dengan sebutan TKR - Tentara Keamanan Rakyat. Pada bulan Nopember 1945 Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V/Banyumas terpilih sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Dan pada tanggal 18 Desember 1945 Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal. Proses pembentukan tentara reguler itu sendiri dalam prakteknya, sebagaimana kemudian disebut TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan di era Orba dikenal sebagai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Saat ini nama ABRI kembali diganti dengan sebutan TNI.

Warisan Belanda

Indonesia telah memperoleh warisan dari pemerintah kolonial Belanda ekonomi yang para dan terbelakang. Keadaan eknomi Indonesia lebih parah lagi setelah Jepang melakukan perampokan kekayaan Indonesia semasa pendudukannya selama lebih kurang tiga setengah tahun.

Indonesia (oleh kaum imperialis) telah dijadikan tempat pengiriman hasil pertanian dan bahan-bahan mineral serta sebagai pasar pelemparan bagi hasil-hasil industri mereka.

Sebagian terbesar pendapatan nasional mengalir ke luar negeri berupa laba/keuntungan dan dividen dari saham-saham atas modal-modal mereka yang ditanam di negeri jajahan seperti Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan pada tahun 1941 oleh pemerintah kolonial Belanda sendiri: sekitar 85% dari pendapatan nasional Indonesia jatuh ke tangan asing dan hanya 15% diterima oleh orang- orang Indonesia sendiri. Perampokan yang tiada taranya terhadap kekayaan Indonesia oleh kaum kolonialis Belanda menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemelaratan. Sebagai bukti kekejaman kaum kolonialis Belanda itu, lihat saja kehidupan dan tingkat kebudayaan penduduk asli (etnis Papua) di Irian Barat (sekarang Irian Jaya) sampai dengan bulan Mei1963.

Intervensi Inggeris dan Belanda

Setelah proklamsi kemerdekaan, rakyat Indonesia berjuang dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan kemerdekaannya. Betapa tidak.

Pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaga dengan segala jalan dan cara betatapun bengis dan kejamnya untuk menghancurkan republik muda itu dan menguasai kembali "Hindia Belanda" ke tangan mereka.

(Menyinggung soal kebengisan dan kekejaman kaum kolonialis Belanda ituterahadap rakyat Indonesia yang berani memplokamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, masih belum lama ini sampai-sampai seorang pengarang Belanda bernama Graa Boomsma dalam suatu wawancara dengan wartawan menyamakan tindakan militer Belanda di Hindia Belanda itu dengan kekejaman pasukan SS (fasis) Jerman. Para veteran militer Belanda yang pernah bertugas di Hindia Belanda melakukan protes keras atas ucapan atau pernyataan Graa Boomsma tersebut).

Dengan dibantu oleh Ingeris, yang memang berkepentingan untuk menjaga modal/kapital besar mereka yang berada di Indonesia. Sedang Amerika Serikat bersikap menahan diri, tidak melakukan campur tangan dengan kekerasan senjata di Indonesia, tetapi aktif memberikan bantuan ekonomi dan juga bantuan militer berupa senjata-senjata kepada Belanda.

Tanggal 29 September 1945 tentara Inggeris dibawah komando Letjen Sir Philip Christison mendarat di Tanjung Priuk. Pada saat itu pulau Jawa telah berada dibawah kontrol pemerintah Republik Indonesia. Tetapi di beberapa pulau lain di luar Jawa berkat bantuan Serikat, kaum kolonialis Belanda telah berhasil setapak demi setapak memperkuat dan mengembalikan kedudukan kekuasaannya seperti sebelum perang. Di daerah-daerah tersebut mereka bentuk pemerintahan kolonial Belanda.

Sehubungan dengan mendaratnya pasukan Inggeris di Tanjung Priuk itu, Kepala Staf Komando Angkatan Perang Inggeris di Asia Tenggara Admiral Mountbatten menyatakan, bahwa tugas utama tentara Inggeris di Indonesia ialah hanya melucuti dan merepatriasi balatentara Jepang yang kalah perang dan menjadi tawanan Serikat dan membebaskan orang-orang Eropa yang berada di kamp-kamp konsentrasi Jepang.

Tetapi di balik itu, dalam prakteknya pemerintah Inggeris berusaha mempertahankan posisi ekonominya di Indonesia dengan jalan membantu Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di "Hindia Belanda".

Dengan membonceng pendaratan tentara Inggeris tersebut di atas, sambil menyamar sebagai tentara Sekutu, seolah sebagai "petugas Palang Merah In ternasional" tentara Belanda berhasil masuk ke Tanjung Priuk. Bersamaan dengan itu masuklah ke Indonesia para pejabat tinggi "pemerintah kolonial Hindia Belanda", mula-mula Charles Olke van der Plas, setelah itu menyusul Hubertus Johannes van Mook (lahir di Semarang tahun 1894 dari keluarga guru) sebagai Wakil Gubernur Jenderal dengan sejumlah personilnya. Pihak Belanda melakukan provokasi-provokasi bersenjata dan juga sabotase ekonomi untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia dibawah Sukarno-Hatta. Sehubungan dengan itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan khusus tertanggal 25 Oktober 1945 yang menegaskan prinsip politik luar negerinya, yang antara lain menekankan, bahwa Indonesia bersedia mengadakan perundingan dengan negara manapun atas dasar pengakuan hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan memilih bentuk pemerintahan negerinya yang sepadan dengan cita-citanya.

Pemerintah Indonesia menyatakan, bahwa tercapainya perdamaian dan suksesnya pembahasan mengenai masalah Indonesia harus dilaksanakan secara internasional. Perundingan dua pihak mungkin saja dilaksanakan dengan mengikutsertakan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai penengah.

Pemerintah Indonesia berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan pengakuan kedaulatannya sebagai negara bebas, merdeka, berdaulat dan damai di arena internasional. Sehubungan dengan itu Bung Hatta menegaskan, bahwa "kita perlu akan pengakuan asing tentang kemerdekaan kita. Pemerintah Republik Indonesia berusaha sehebat-hebatnya dalam lapangan diplomasi".3)

Bagaimanakah sebenarnya posisi pemerintah negara-negara Serikat terhadap Republik Indonesia? Pada tanggal 10 Desember 1944 Jenderal MacArthur dan Van Mook sebagai wakil-wakli negara masing-masing telah menandatangani perjanjian khusus tentang penyerahan kembali teritorial "Hindai Belanda" kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Dus, Amerika Serikat mendukung dan akan membantu sepenuhnya kembalinya "Hindia Belanda" ke tangan Kerajaan Belanda.

Untuk mencapai tujuannya itu, pada mulanya kaum kolonialis Belanda menolak segala bentuk perundingan dengan pihak republik. Mereka berusaha keras mengerahkan kekuatan fisik dan persenjataannya untuk melikwidasi Republik Indonesia. Dalam usahanya itu mereka sangat mengharapkan bantuan pemerintah Amerika serikat dan Inggeris, yang memang mengakui hak kedaulatan Kerajaan belanda atas "Hindia Belanda" sesuai dengan perjanjian khusus yang telah ditandatangani oleh MacArthur dan Van Mook pada tanggal 10 Desember 1944 tersebut di atas.

Mendaratnya pasukan Belanda dengan membonceng pada Inggeris di Tanjung Priuk berarti, bahwa Admiral Mountbatten samasekali tidak peduli dengan kedaulatan RI dan tuntutan pemerintah Indonesia yang melarang pendaratan pasukan Belanda. Bahkan dalam perundingan antara Van Mook dengan Mountbatten dan Christison, yang berlangsung tanggal 7 Oktober 1945, telah diputuskan untuk memperbesar jumlah tentara Inggeris di Indonesia guna membantu dan memperkuat tentara Belanda, yang akan dikirim kemudian. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pasukan tambahan Inggeris mendarat di pulau Sumatra di sekitar Medan dan Padang. Dan pada tanggal 14 Oktober 1945 Christison mengumumkan keadaan perang di Jakarta dan merebut kota-kota Bogor dan Bandung. Menjelang akhir Oktober 1945 tentara Inggris telah mendarat di berbagai pelabuhan penting dan daerah- daerah strategis Indonesia lainnya.

Kaum patriot Indonesia berjuang mati-matian melawan kaum agresor. Pada bulan November 1945 terjadilah perang yang amat sengit antara tentara Inggeris dengan pasukan Indonesia yang mempertahankan pelabuhan dan kota Surabaya. Sekitar dua minggu pasukan Indonesia yang sebagian besar hanya bersenjatakan senapan dan bambu runcing melawan tentara Inggeris yang bersenjata lengkap dan modern dengan dibantu kapal-kapal altileri, angkatan udara dan tank-tank. Perlawana yang gagah berani, pantang menyerah dan dengan semangat berkobar-kobar dari kaum patriot Indonesia untuk membela tanah airnya melawan agresor di Surabaya itu membangkitkan semangat perlawanan patriot Indonesia lainnya di seluruh Indonesia.

Kemenangan pertama dicapai oleh kesatuan laskar Indonesia dibawah Jenderal Soedirman di Jawa tengah. Berkat hal itu pemerintah Indonesia untuk sementara dipindahkan ke Jogyakarta.

Perlawanan yang gigih kaum patriot Indonesia melawan agresi asing dan juga protes keras yang dilancarkan oleh negara-negara lain di arena internasional memaksa Inggeris untuk mengundurkan pasukannya pada akhir 1946. Kaum kolonialis Belanda sendiri terpaksa duduk di meja perundingan berhadapan dengan pemimpin- pemimpin Republik Indonesia. Setelah beberapa kali pertemuan pendahuluan dilakukan untuk mengadakan berbagai kompromi yang dapat disetujui kedua belah pihak, maka akhirnya pada tanggal 10 November 1946 diadakanlah perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggajati (sebelah selatan kota Cirebon). Hasil perundingan diumumkan tanggal 15 November 1946 untuk akhirnya ditandatangani oleh wakil-wakil kedua belah pihak pada tanggal 25 Maret 1947 di Jakarta, tetapi tetap dinamakan Perjanjian Linggajati.

Isi Perjanjian Linggajai tersebut adalah merupakan kompromi antara kedua pemerintahan. Belanda mengakui de facto pemerintah Republik Indonesia, yang menguasai Jawa, Madura dan Sumatra, yang berpenduduk sekitar 80% dari seluruh jumlah penduduk daerah "Hindia Belanda". RI terpaksa menyatakan persetujuannya bersama-sama Belanda membentuk Negara Indonesia Serikat. Kecuali itu, Indonesia juga mengakui hak milik perusahaan- perusahaan Belanda dan perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang berada di seluruh wilayah tersebut. Setelah penandatanganan Persetujuan Linggajati tersebut, Inggris, Amerika Serikat dan India dengan beberapa negara Asia lainnya mengakui de facto pemerintah RI.

Makin kuatnya posisi RI di dunia internasional berkat pengakuan tersebut di atas adalah di luar kehendak subyektif pihak Belanda. Dan tentu saja Belanda tidak menghendakinya, sebab semakin kuatnya kedudukan RI di dunia internasional dianggap akan merugikan kepentingan Belanda. Untuk memperlemah kedudukan Indonesia tersebut, Belanda mulai berusaha membentuk negara- negara boneka di daerah-daerah, yang berada dibawah kontrolnya. Kecuali itu, Belanda menuntut pemerintah RI untuk mengakui kedaulatan Belanda tasa Indonesia sebelum dibentuknya Negara Indonesia Serikat. Di samping itu, Belanda menuntut pula dibentuknya pasukan polisi militer bersama Belanda-Indonesia juga di teritorial RI.

Aksi Polisionil Belanda ke-I

Diterimanya tuntutan Belanda tersebut (kecuali pembentukan pasukan polisi bersama atau gendarmeri) menyebabkan jatuhnya Kabinet Syahrir III pada tanggal 3 Juli 1947. Pada hari itu (3/7/1947) juga terbentuklah Kabinet Amir Syarifuddin I. Meskipun pemerintah Amir Syarifuddin pada akhirnya juga menerima tuntutan Belanda sebagaimana yang diterima oleh kabinet yang mendahuluinya (Kabinet Syahrir III) Belanda tetap tidak puas dan pada tanggal 21 Juli 1947 melakukan agresi besar-besaran, yang mereka namakan "aksi polisionil" I (pertama) terhadap terhadap RI.

Untuk mencapai tujuannya itu Belanda mengerahkan sekitar 120 ribu tentaranya dan memukul mundur tentara RI di beberapa daerah yang strategis. Belanda segera menguasai kota-kota besar, pelabuhan-pelabuhan dan daerah-daerah perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Sumatra Selatan. RI memusatkan kekuatannya di Jawa Tengah. Sedang di daerah yang sudah diduduki Belanda, tentara dan rakyat Indonesia melakukan taktik perang gerilya melawan musuh.

Karena mendapat perlawanan hebat dari tentara RI dan rakyat dan juga dukungan dunia internasional melalui PBB terhadap perjuangan adil rakyat Indonesia, Belanda terpaksa menahan diri dan berunding lagi dengan pihak RI. Sebagai hasil perundingan tersebut, maka ditandatanganilah naskah Persetujuan Renville pada atanggal 17 Januari 1948, yang berisi antara lain: persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda (dimana garis demarkasi yang sangat merugikan Indonesia) terpaksa disetujui. Menurut persetujuan tersebut, sebagian besar daerah Jawa, daerah-daerah perkebunan dan tambang minyak di Sumatra dikuasai Belanda.

Dalam perjuangan melawan Belanda di kalangan pimpinan Indonesia sendiri terdapat perbedaan-perbedaan pandangan dalam berbagai masalah. Hal demikian itu memang obyektif bisa terjadi, karena memang masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai golongan, yang mempunyai kepentingan dan tujuan masig-masing. Sayangnya dalam menghadapi Belanda pertentangan itu sedemikian menonjol atau ditonjol-tonjolkan hungga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan merugikan bagi perjuangan rakyat itu sendiri. Salah satu bukti dari pada itu, lihat saja dalam waktu relatif singkat, hanya sekitar 4 tahun (1945-1949) di Indonesia telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet! Bahkan umur satu kabinet ada yang mencapai hanya kurang dari empat bulan.

Satu hal yang paling menonjol adalah satu kejadian berdarah akibat pertentangan di kalangan pemimpin-pemimpin Indonesia, yang mewakili berbagai golongan masyarakat yang berubah menjadi konflik fisik, yang terjadi dalam bulan September 1948 yang sering disebut sebagai "Peristiwa Madiun". Dalam menganalisa "peristiwa Madiun" terdapat dua pendapat yang menonjol dan bertolak-belakang: yang satu mengatakan "itu adalah provokasi pemerintah Hatta, yang reaksioner"; dan yang lain menuduh itu adalah "pemberontakan PKI di Madiun" (tahun 1948).

Dalam konteks ini, penulis mendukung pendapat atau penilaian Bung Karno, yang menyatakan: "Pengalaman kita dengan peristiwa Madiun, yang nyata dicela keras oleh sebagian terbesar dari bangsa kita, membuktikan dengan jelas salahnya (bahkan jahatnya) politik meruncing-runcing perjuangan kelas dalam revolusi nasional itu.4)

Aksi Polisionil Belanda ke-II

Akibat meletusnya perang saudara, perpecahan di kalangan kekuatan nasional itu mentebabkan lemahnya republik. Kesempatan ini digunakan oleh Belanda untuk keuntungan politiknya.

Keputusan Persetujuan Renville mengalami nasib yang sama dengan Persetujuan Linggajati. Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militernya yang ke-II terhadap RI. Untuk menghancurkan Repubik Indonesia, kali ini Belanda mengerahkan 150 ribu tentaranya. Dengan pasukan payung kota Jogyakarta direbutnya dan berhasil menawan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Untuk keperluan propagandanya di Negeri Belanda sendiri di koran-koran atau majalah diumumkan seolah- olah mereka dapat menangkap juga Jenderal Soedirman. Padahal Jenderal Soedirman belum pernah tertangkap.5)

Kota-kota besar lain di Jawa dan Sumatra dikuasai oleh pihak Belanda. Tetapi kali inipun Belanda salah kira. Kaum republik melakukan taktik perang gerilya dalam skala yang tak terkirakan jumlahnya. Tidak berlebihan kiranya kalau seorang demonstran di kota Leewarden (Belanda), yang mendukung pendapat penulis Graa Boomsma pada bulan Januari 1995, membawa spanduk bertuliskan: "Hindia Belanda - Vietnam Kita".

Dengan dibantu oleh dukungan dunia internasional di berbagai belahan dunia, di Rusia (baca: Uni Soviet, waktu itu), Amerika Serikat, Eropa Barat, di Belanda sendiri, di Australia, di mana- mana. Dewan Keamanan PBB dalam sidangnya bulan Desember 1948 dan Januari 1949 mengeluarkan resolusi-resolusi yang menuntut gencatan senjata dan dibebaskannya pemimpin- pemimpin republik.

Penyerahan Kedaulatan

Berkat perjuangan fisik yang gigih dari rakyat Indonesia dan juga perjuangan di bidang diplomasi oleh pemimpin-pemimpin Indonesia maka Belanda terpaksa lagi duduk berhadapan dengan wakil-wakil republik pada Konferensi Meja Bundar, yang berlangsung di Den Haag (23 Agustus - 2 November 1949). Tanggal 27 Desember 1949 pemerintah Belanda dengan resmi menandatangani penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat! Satu bukti lagi bahwa pemerintah Belanda tidak menginginkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintah Belanda berusaha sekuat untuk memcah-belah kekuatan rakyat Indonesia dengan jalan membuat situasi atau keadaan sedemikian rupa agar terjadi gontok-gontokan di dalam kekuatan rakyat Indonesia. Itulah sebabnya Belanda hanya mengakui atau menyerahkan kedaulatan Indonesia ke tanagn Republik Indonesia Serikat (RIS)!

Gema politik pecah-belah tersebut terus berlangsung bertahun- tahun kemudian di Indonesia dan sampai dewasa ini!

-------------------

1) Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato, penerbit "Yayasan Idayu". Jakarta 1981, hal. 68

2) idem, hal. 66-67.

3) Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato (Dari tahun 1942 s/d 1949), Yayasan Idayu, Jakarta 1981, halaman 72.

4) Bung Karno, Sepatah Kata Pengantar pada Penerbitan O.P.Guntur tahun 1948; lihat "Kepada bangsaku", Bahan Pelengkap Indoktrinasi, hal.367.

5) Lihat buku: Louis Zweers, "FRONT INDIE: Hugo Wilmar , ooggetuige van een koloniale oorlog", Walburg Pers, Zutphen, 1944; hal. 108-109.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Back

Forward




(c) 2001 compiled by