MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO

By :

Menyambut 100 Tahun Lahirnya Bung Karno (II)

SUDAH SEYOGIANYA
TAP MPRS No.XXXIII/1967 DICABUT


Mon, 16 Apr 2001 11:11:00 +0200

Sehubungan dengan peringatan 100 tahun lahirnya Bung Karno, Guruh Soekarnoputra menyatakan, atas nama keluarga besar mantan presiden Soekarno, dia meminta Tap MPRS No XXXIII/1967 yang mengaitkan Bung Karno dan G30S/PKI dicabut (lihat: Suara Merdeka, edisi Minggu, 08/04/2001).

Bagi orang yang jujur, yang memegang teguh dan konsisten pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila (terutama sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia) dengan serta merta akan menyambut baik dan mendukung sepenuhnya permintaan (bahkan saya menekankannya sebagai tuntutan) yang adil berdasarkan HAM dan hukum untuk membebaskan Bung Karno dari tuduhan (yang amat keji, hasil perekayasaan para pendiri Orba) seolah beliau terlibat dalam G30S/PKI.

SEKITAR tigapuluh satu tahun yang lalu, beberapa hari setelah wafatnya Bung Karno dalam bulan Juni 1970, seorang tokoh Angkatan - 45 - B.M.DIAH - secara terbuka menyatakan: "Saya mencoba menjadi penulis yang mengenal Bung Karno. Saya mencoba mempersembahkan kembali kepada rakyat Indonesia yang sangat mencintainya, bahkan mendewa-dewakannya, image atau wajah roman Bung Karno sebagai manusia, pemimpin, pembina dan penggembleng rakyat, sebagai pemimpin pemerintahan, demikian juga sikap rakyat Indonesia pada pemimpinnya itu. Hanya rakyat ruoanya masih takut untuk menyatakan perasaannya. Takut terhadap siapa? Terhadap pemerintah? Saya tidak tahu, tetapi rakyat Indonesia takut untuk menunjukkan betapa sedihnya, betapa besar kelhilangannya, karena Bung Karno, Bapak rakyat Indonesia ini telah meninggalkannya begitu saja. Jika rakyat takut, itu bukanlah suatu gambaran yang baik bagi suatu pemerintahan".

Saya mencoba menerangkan secara obyektif, lanjut B.M.DIAH, karena mengenal Bung Karno, mengenal ajaran-ajarannya, ia tidak mungkin menyetujui PKI melaksanakan gerakan 30 Septembernya, dengan segala akibatnya. Jika sekiranya kuat benar tuduhan iitu, maka tim pemeriksa Bung Karno seyogyanya keluar dengan keterangan yang memastikan, menerangkan atau membebaskan Bung Karno dari tuduhan bahwa ia instrumental, penggerak sendiri atau bertanggung jawab fisik dan material akan Gestapu/PKI itu.

B.M.DIAH berpendapat, bahwa Kopkamtib atau badan apa saja yang berkewajiban memeriksa Bung Karno pada hakekatnya sudah tidak mempunyai hak lagi untuk menyatakan salah satu diantara dua hal dalam persoalan Bung Karno: ia bersalah atau tidak bersalah. Tetapi Bung Karno bukanlah seorang "kriminil", yang dapat ditarik begitu saja di muka hakim, jika sekiranya perkaranya itu dapat diajukan ke pengadilan semasa hidupnya sebagaimana bunyi tuntutan MPRS XXXIII tahun 1967. Ia akan meminta juga saksi-saksi yang dapat membuat tertuduh menjadi si penuduh, the accused accuses yang akan lebih hebat daripada perkara Dreyfuss. "Dalam bagian mengenai Bung Karno sebagai pembina bangsa, saya berpendirian, bahwa banyak hal dan kenyataan kehidupan Bung Karno yang tidak dapat menyokong, apalagi menerima tuduhan bahwa ia terlibat secara fisik dan material - dalam Gestapu/PKI", demikian tegas B.M.DIAH. MENYETUJUI sepenuhnya pernyataan B.M.DIAH tersebut di atas, dalam tulisan berjudul "Bung Karno - Bapak Bangsa dan Kemerdekaan Indonesia. Manusiawi, Jujur dan Konsekuen" penulis karangan ini menyatakan:

"Sungguh suatu pernyataan yang obyektif dan berani. Apalagi jika diingat, bahwa situasi kondisi politik di Indonesia waktu itu masih sangat gencar mendiskreditkan Bung Karno dan bahkan sangat keras usaha-usaha dijalankannya desukarnoisasi. Sesudah waktu berjalan hampir duapuluh lima tahun sejak pendapat B.M.DIAH tentang Bung Karno itu diungkapkan dalam tulisannya "Mengenang Seorang Pembina Bangsa" (yang dikutip tersebut di atas), Bapak Manai Sophiaan mencoba membuktikan (dalam karya ilmiahnya yang berjudul "Kehormatan Bagi Yang Berhak" bahwa Bung Karno tidak terlibat G30S/PKI.

Bukan fakta

Dalam Bab VII dari apa yang dinamakan "Buku Putih" (tepat kiranya dibaca: sebagai Buku Hitam) yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara (Orba) pada bulan Oktober 1994 (dus, waktu sudah berjalan sekitar tiga windu atau duapuluh empat tahun sesudah wafatnya Bung Karno) berjudul "Sikap Presiden Soekarno terhadap Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia" jelas mempersoalkan tindakan-tindakan politik Bung Karno baik dalan prolog maupun epilog G30S/PKI seolah-olah beliau merestui atau bahkan terlibat di dalam gerakan yang mengadakan kup terhadap pemerintahan Bung Karno sendiri itu.

Kecuali itu, mantan Ketua MPRS Jenderal (purn) A.H.Nasution dalam tulisannya berjudul "Bung Karno dan Kup PKI" menyatakan: "Tentang Bung Karno terlibat atau tidak dalam peristiwa G30S/PKI, hingga kini kita hanya bisa menduga-duga berdasarkan fakta yang ada. Sementara itu, kita sulit menarik kesimpulan tegas, sebab sampai sekarang Bung Karno tidak pernah diadili secara hukum. Padahal, ini adalah masalah hukum". (Gatra, edisi nomor perkenalan, Oktober 1994, hal.16).

Di kalangan anggota MPRS, lanjut A.H.Nasution, ada yang menganggap Bung Karno yang tidak pernah melakukan apa-apa untuk meng-counter peristiwa tersebut adalah suatu keterlibatan. Namun, keterlibatan semacam ini masih perlu dinilai lebih jauh. Kita tidak bisa begitu saja menuduh Bung Karno terlibat, tapi juga idak bisa mengatakan Bung Karno bersih. Ini adalah proses hukum yang harus diteliti.

Kemudian A.H.Nasution lebih lanjut menulis: "Dalam pada itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS), dalam sidang istimewa, telah memutuskan mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Bung Karno selaku Presiden RI. Kemudian, MPRS menunjuk Pangkopkamtib Soeharto sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Ketetapan Nomor: XXXIII/MPRS/1967, dan ia ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Selanjutnya A.H.Nasution "memperlihatkan" kepada sidang pembaca majalah "Gatra" (edisi Oktober 1994 itu) berbagai "fakta", yang dinilainya "sebagai bukti keterlibatan Bung Karno", tapi "harus dinilai lebih jauh" karena "ini adalah proses hukum yang harus diteliti". Dalam konteks yang dikatakan oleh A.H.Nasution yang belakangan ini, beliau menulis: "Saya sendiri tidak berani menuduh Bung Karno terlibat. Namun, ada sejumlah fakta yang saya ketahui jauh dikemudian hari dan membuat saya bertanya-tanya. Katakanlah sedikit mencurigai Bung Karno. Saya berpegang kepada laporan Pangkopkamtib di sidang MPRS. Misalnya, tentang rencana pembunuhan terhadap diri saya, ternyata yang menembak saya dari jarak 1,5 meter itu adalah pasukan Cakrabirawa, yang berada di bawah perintah Presiden"?!

Sehubungan dengan itu, penulis karangan ini patut mempertanyakan, bagaimana pendapat A.H.Nasution tentang: Bukankah yang mengepalai Gerakan 30 September 1965 dan membentuk Dewan Revolusi, yang bertindak mendemisionerkan Kabinet Soekarno, dus mengkup Bung Karno itu adalah Kol.Untung yang juga "pasukan Cakrabirawa, yang berada di bawah perintah Presiden"?!

Penulis karangan ini berpendapat dan menilai bahwa kedua hal tersebut di atas adalah samasekali bukan suatu kejadian, yang bisa dianggap atau dikualisifikasikan sebagai fakta, yang bisa dijadikan "fakta" atau "bukti" untuk menuduh Bug Karno terlibat dalam percobaan pembunuhan terhadap diri Jenderal A.H. Nasution (alm.). Apalagi juga tidak bisa dijadikan "fakta", bahwa Bung Karno terlibat dalam gerakan Kol.Untung, yang mencoba menggulingkan diri beliau sendiri sebagai Presiden RI waktu itu. Penulis karangan ini menilai bahwa dua hal atau kejadian yang dilukiskan tersebut di atas adalah lebih obyektif dan lebih masuk akal kiranya bila dikatakan bahwa justru Bung Karno sebelumnya samasekali tidak tahu menahu akan kejadian tersebut.

Selanjutnya A.H. Nasution menulis: "Seterusnya - setelah para jenderal dibunuh - yang membuat saya bertanya-tanya adalah kegiatan Bung Karno di pagi 1 Oktober 1965. Tentu ini saya ketahui jauh setelah peristiwa G30S/PKI. Mengapa tiba-tiba Bung Karno membatalkan niatnya ke Istana, ia lalu mengunjungi isteri ke-4 di Grogol".

Tanggapan penulis karangan ini:

"Berbagai versi dapat dikemukakan untuk menilai pertanyaan A.H.Nasution dari kejadian "mengapa tiba-tiba (di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965) Bung Karno membatalkan niatnya ke Istana, ia lalu mengunjungi isteri ke-4". Versi-versi yang akan dikemukakan untuk menilai kejadian yang dilukiskan oleh A.H.Nasution tersebut banyak tergantung dari maksud si penilai itu sendiri. Kalau si penilai adalah orang yang amat anti Bung Karno tentu ia akan menilai sebaliknya atau berlawanan dengan penilaian dari orang yang menjadi pengagum Bung Karno.

Dus, penulis karangan ini berpendapat bahwa kejadian yang dilukiskan oleh A.H.Nasution tersebut di atas sangat rapuh (sebab sangat mudah direkayasa bagi kepentingan masing-masing pihak) untuk bisa dijadikan alasan menuduh Bung Karno pada peristiwa politik yang amat serius itu. Jadi alasan ini tidak obyektif.

Kemudian A.H.Nasution menulis: "Kemudian terjadi hubungan telepon antara Omar Dhani dan Bung Karno. Omar Dhani menyarankan agar Presiden lebih baik ke Halim, dengan alasan di sana tersedia berbagai alat komunikasi".

Tanggapan penulis karangan ini:

Yang jelas Omar Dhani terkenal sebagai orang yang amat loyal terhadap Bung Karno. Mengenai hubungan telepon antara mereka adalah suatu hal yang lumrah, apalagi dalam kejadian penting dan bahkan genting seperti peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu. Siapakah yang bisa membuktikan bahwa Bung Karno mengetahui terlibat (atau tidak terlibatnya) Omar Dhani dalam G30S/PKI pada waktu ada pembicaraan antara mereka? (Dan tigapuluh dua tahun kemudian, saksi hidup yang tak lain dari Omar Dhani sendiri telah memberikan kesaksian bahwa dirinya tidak terlibat dalam Gerakan 30 September tahun 1965 itu).

Lepas dari semua itu, dari kedudukan Bung Karno sebagai Presiden dan Pangti ABRI, untuk "menyingkirkan" perwira-perwira tinggi yang tidak disenanginya atau dianggap tidak loyal terhadapnya tidak perlu beliau mengadakan tindakan misterius atau membuat gerakan yang tidak jelas juntrungannya. Bukankah Bung Karno akan dapat dengan relatif mudah melakukan retooling perwira atau person sipil yang dianggapnya tidak loyal atau bahkan melawan politik beliau? Jadi anggapan bahwa Bung Karno terlibat suatu gerakan yang akan menggulingkan dirinya sendiri dari jabatan tertinggi negara, yakni Presiden, adalah amat tidak logis, kalau tidak mau dikatakan absurdlah adanya.

Banyak yang mesti diperjelas.

Menjawab pertanyaan wartawan tabloid "Simponi": "Menurut Anda di sisi mana peran Soekarno sering diperdebatkan?", sejarawan LIPI Abdurrachman Surjomihardjo menyatakan:

"Banyak yang mesti diperjelas. Peristiwa 1965-1966 masih samar-samar. Oleh karena itu banyak analisis yang sering bertentangan. Misalnya, tentang terlibat atau tidaknya Soekarno dalam gerakan G30S/PKI, banyak orang memperdebatkan. Saya pikir, mengapa sih posisi Soekarno masih diperdebatkan. Dari pola pikir dan sikap hidupnya Soekarno kan bukan komunis".

Malah dua sejarawan Soviet, lanjut Abdurrahman Surjomihardjo, pernah menulis bahwa kesalahan PKI justru hubungannya yang terlalu dekat dengan Soekarno. Menurut sejarawan Soviet itu, seorang nasionalis seperti Soekarno justru membahayakan komunis. Seharusnya, menurut sejarawan Soviet, PKI tidak usah terlalu dekat dengan Soekarno, karena komunis harus independen. Buktinya ketika Soekarno jatuh, komunis ambruk. "Jadi dua sejarawan Soviet itu justru mengakui bahwa Soekarno adalah seorang Nasionalis yang harus diwaspadai oleh PKI", ujar Abdurrahman Surjomihardjo.

Landasan yang rapuh

Dan tepat apa yang disinyalir oleh Bapak Manai Sophiaan, bahwa tuduhan terhadap Bung Karno sebagai pihak yang terlibat dalam G30S/PKI landasannya sangat rapuh. Karena tidak ada pengadilan yang pernah memastikan Bung Karno terlibat, padahal pengadilanlah satu-satunya instansi yang kompeten untuk pemastian itu. Apalagi persyaratan ini dicantumkan dalam Ketetapan MPRS No.XXXIII/1967, menyebutkan persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut diri Dr.Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan". (lihat: Manai Sophiaan, "Kehormatan Bagi yang Berhak. Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI", Jkt.1994, hal.241).

Memberikan persetujuan tentang kesimpulan pokok isi buku Bapak Manai Sophiaan tersebut, penulis karangan ini dengan spontan telah menulis artikel berjudul "Bung Karno Tidak Merestui dan TidakTerlibat G30S/PKI" (lihat:Merdeka, edisi 30 Nopember1994). Di dalam pidato pertanggunganjawab mengenai langkah-langkah kebijaksanaan politiknya (di hadapan MPRS) yang berjudul "Pelengkap Nawaksara" Bung Karno antara lain telah memberikan penilaian yang (menurut penilaian penulis) obyektif mengenai G30S dimaksud.

Sebab-sebab terjadinya G30S menurut penilaian Bung Karno ialah:

1. Keblingeran pemimpin-pemimpin PKI;
2. Lihainya kaum Nekolim;
3. Adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Namun ironisnya, tulis Bapak Manai Sophiaan, Presiden Republik Indonesia waktu itu juga harus ikut bertanggung jawab, dituduh ikut terlibat gerakan yang hendak menjatuhkan kekuasaannya sendiri (coup d´état). Sebuah logika aneh yang direkayasa.

Dalam pidato melalui radio (yang disiarkan pada tanggal 3 Oktober 1965, sekitar pukul 01.30) Bung Karno mengatakan antara lain, bahwa: "Pada tanggal 2 Oktober 1965 saya telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Wakil Perdana Menteri Kedua Dr.Leimena dan para pejabat penting lainnya, dengan maksud untuk segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut peristiwa 30 September". Untuk menyelesaikan persoalan ini, lanjut Bung Karno, saya telah perintahkan supaya segera ciptakan satu suasana yang tenang dan tertib, dan untuk itu perlu dihindarkan segala kemungkinan bentrokan dengan senjata.

Kemudian Bung Karno menegaskan: "Untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September telah saya tunjuk Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad sesuai dengan kebijaksanaan yang telah saya gariskan". Dalam kaitan ini ada baiknya kita pelajari isi "Surat Perintah 11 Maret 1966", yang terkenal dengan sebutan "Supersemar". Apakah bunyi atau isi "Surat Perintah 11 Maret 1966" itu? Adapun bunyi atau isi "Surat Perintah 11 Maret 1966" itu antara lain sebagai berikut (dengan ejaan baru):

Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN JENDERAL SOEHARTO,
MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:

1) Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertingi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.

3) Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkutpaut dalam tugas dan tanggungjawabnya seperti tersebut di atas.

DAN BAGAIMANAKAH PELAKSANAAN "SUPERSEMAR" TERSEBUT DALAM PRAKTEKNYA?!

Umum sudah mengetahui bahwa praktek pelaksanaannya adalah TIDAK SESUAI dengan isi atau hakekat yang terkandung dalam "Supersemar" itu sendiri dan mencapai klimaknya: dengan dalih "adanya keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI", berdasarkan Keputusan MPRS, yakni Tap No. XXXIII/MPRS/1967, maka Bung Karno dicopot kedudukannya dan tidak lagi menjadi Presiden RI dan bahkan dilarang melakukan kegiatan politik dan dijatuhkan hukuman tahanan rumah tanpa proses pengadilan, sampai beliau wafat pada tahun 1970.

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perekayasaan hal-hal yang semu, yang terus menerus sampai hari ini dilaksanakan dan digunakan untuk "memperkuat" tuduhan keji terhadap Bung Karno bahwa seolah-olah beliau terlibat G30S/PKI tidak akan berhasil.

SEBAB MEMANG BUNG KARNO TIDAK PERNAH MERESTUI DAN TIDAK TERLIBAT DALAM G30/S/PKI.

Oleh karena itu, permintaan Guruh Soekarnoputra, atas nama keluarga besar mantan presiden Soekarno, agar Tap MPRS No XXXIII/1967 yang mengaitkan Bung Karno dan G30S/PKI dicabut, sesungguhnyalah satu permintaan yang sangat adil dan lebih dari itu berdasarkan hukum dan HAM sudah setogyanyalah Tap MPRS No. XXXIII tahun 1967 itu DICABUT !

* * * * * * * * * * * * * * * * * * *

----- End of forwarded message from A.Supardi Adiwidjaya -----

Back

Forward




(c) 2001 compiled by