Oleh: Dr. Asvi Warman Adam (Peneliti LIPI)
ISTIQLAL (12/11/99)
Saya diminta berbicara tentang "Peristiwa 1 Oktober 1965 dalam konteks perubahan politik dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru". Itu berarti yang dibicarakan adalah peralihan pemerintahan (dalam hal ini dari Soekarno kepada Soeharto). Peralihan kekuasaan itu sebagaimana kita ketahui tidak berlangsung secara wajar. Pertama diawali dengan (percobaan) kudeta tanggal 1 Oktober 1965. Diakhiri dengan keluarnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 yang secara de facto memberikan kekuasaan kepada Mayjen Soeharto.
Periode antara 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 disebut oleh Y. Pohan (Who were the Real Plotters of the Coup against President Soekarno, 1988) sebagai Kudeta Merangkak. Saskia menamakan peristiwa tahun 1965 sebagai kup pertama dan tahun 1966 sebagai kup kedua.
Peter Dale-Scott melihatnya sebagai kudeta tiga tahap yaitu tahap pertama, gerakan tiga puluh September yang merupakan "kudeta gadungan", tahap kedua tindakan balasan yaitu pembunuhan terhadap anggota PKI secara massal, dan tahap ketiga pengikisan terhadap sisa-sisa kekuatan Soekarno. Soeharto sendiri pada tahun 1966 pernah menyebut tentang operasi tiga tahap ini meskipun merujuk kepada PKI. Ada 3 macam gerakan operasi G30S yaitu operasi Ampera I, II, III. Hal ini diungkapkan Mayjen Soeharto selaku Menteri/Pangad di depan Musyarawah Nasional Pertanian Rakyat, 2 Desember 1965. Gerakan Ampera I merupakan kudeta di pusat pemerintahan Ampera II berupa tindakan pembunuhan massal terhadap pemimpin politik lawan. Sedangkan Ampera III adalah pembentukan kabinet baru yang komposisinya sesuai dengan keinginan PKI. (Soegiarso Soerojo, G30S-PKI dan Peran Bung Karno: Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai, 1988, hal 272).
Hal ini dikemukakan oleh Mayjen Soeharto karena kabinet yang dibentuk Presiden Soekarno setelah Peristiwa 1 Oktober 1965 masih terdapat unsur-unsur komunis. Tetapi kalau kita melihat ketiga fase itu dalam konteks peralihan kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru maka tahap-tahapnya tidak jauh berbeda. Hanya saja kata "PKI" yang dalam tahap terakhir itu perlu diganti dengan "Soeharto". Mengenai keterlibatan Soeharto dalam Peristiwa 1 Oktober 1965 yang disebut sebagai Kup pertama itu saya setuju dengan apa yang ditulis oleh Saskia dalam buku yang kita bahas siang ini (hal 497-498). "Besar kemungkinan Jenderal Soeharto, ..., sudah tahu sebelumnya tentang akan terjadinya kup,... Tapi barangkali agak terlalu jauh ditarik kesimpulan bahwa ia telah mendalangi kup pertama, yang mengharuskannya mengatur pembunuhan terhadap rekan-rekannya, melibatkan sejumlah perwira bawahan; melancarkan gerakan acak-acakan; dan reaksi PKI yang kacau balau.Kemungkinan sekali, seperti disimpulkan Tornquist (1984:230), Soeharto menunggu sambil melihat apa yang akan terjadi, dan kemudian pada saatnya dipecundanginya baik Sukarno maupun Nasution"
Pada paragraf berikutnya Saskia menulis, "Ketika akhirnya Soeharto bertindak ia melakukannya dengan cepat dan tegas... sejak saat itu,... ia telah memulai dengan siasatnya untuk menggulingkan Sukarno sambil memarakkan diri sendiri ke atas tampuk kekuasaan. Ia pasti menyadari bahwa yang diperlukannya bukan sekedar pameran kekuatan militer... Adanya para perempuan di Lubang Buaya itulah yang digunakan sebagai amunisi oleh Soeharto, demi transisi mental yang diangankannya itu. Dengan itu bukan hanya perempuan yang berhimpun di sana akan dimusnahkannya dengan segala daya, tetapi juga kaum Komunis dapat dijatuhkannya sama sekali.
Sementara itu Sukarno yang menunjukkan dukungannya pada PKI, dapat dipertontonkan oleh sebagai pemimpin yang tak becus. Kegagalan Sukarno melindungi PKI dapat dilihat sebagai isyarat pudarnya wahyu kekuasaan dan ketiadadayaan, hingga sudah pasti Sukarno akan bisa dilenyapkannya dari percaturan (politik)".
Mengenai Supersemar meskipun banyak kisah yang kontroversial di situ tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa surat tersebut bukanlah dibuat oleh Presiden Soekarno dengan sukarela, meskipun tidak ada todongan senjata, dapat dipahami bahwa penulisannya dilakukan dengan tekanan. Dalam kup pertama mungkin tidak menjadi konseptor peristiwa itu, tetapi ia sudah mengetahuinya sebelumnya. Dan Soeharto adalah orang yang paling diuntungkan dari "percobaan kudeta" yang gagal itu. Pada kup kedua, mungkin saja ia bisa berdalih tidak memaksa Soekarno, tetapi kenyataan ketiga Jenderal pembantunya telah membuat Soekarno dalam keadaan terpaksa untuk membuat Surat Perintah (Karena surat tersebut merupakan "surat sakti" yang menyebabkan ia berkuasa selama lebih tiga tahun maka masuk akal menurut saya bila sangat berkepentingan dengan "tersimpan aman" nya surat tersebut. Padahal fasal 11, Undang-Undang no 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam fasal 1 huruf a Undang-Undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun) tersebut yang pada hakekatnya merupakan penyerahkan kekuasaan secara de facto.
Ada kalimat dalam buku Saskia yang menarik perhatian saya yaitu "Setelah kup 1965, dilaksanakan ketaatan kepada kekuasaan Soeharto melalui penggabungan antara kekuatan jantan militer dengan ketakutan pada "binatang komunis" dan subordinasi perempuan". Yang ironis pula, ada rumor atau anekdot yang sudah tersebar luas bahwa "Soeharto baru betul-betul menjadi Presiden setelah istrinya, Ibu Tien, meninggal". Dengan kata lain, selama beberapa puluh tahun, laki-laki "paling kuat" di Indonesia itu rupanya berada di bawah dominasi perempuan. ***
----------
![](../pics/ahome.gif)