"Dan Mereka Kini Bersaksi…"


X-URL:


NO. 48/XXIX/29 Jan - 4 Feb 2001

Laporan Khusus

Para sosok sejarah akhirnya berbicara. Selasa besok, mantan Kepala Staf Angkatan Udara, Omar Dani, akan meluncurkan bukunya untuk memberikan kesaksian pada peristiwa G30S, sementara mantan Wakil Perdana Menteri Subandrio berbicara melalui sebuah buku yang kemudian dimusnahkan penerbitnya.


DI DALAM buku sejarah, nama-nama itu bukanlah pahlawan. Omar Dani, Untung, Latief, Aidit, Subandrio, dan seterusnya dalam sejarah versi Orde Baru adalah sosok gelap. Melalui Buku Putih, film Pengkhianatan G30S-PKI karya Arifin C. Noer, dan kampanye total selama 32 tahun, Orde Baru menciptakan sebuah sejarah yang kita kenal: Gerakan 30 September 1965 adalah perbuatan terkutuk Partai Komunis Indonesia, dan mereka yang terlibat (beserta keluarganya) layak diganjar hukuman seberat-beratnya.

Kini, nama-nama gelap itu mulai menggeliat, bergerak, berbondong-bondong membuka mulut dengan suara parau mencoba memberikan kesaksian. Adalah Omar Dani, mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), yang dituduh melakukan makar terhadap pemerintah Indonesia, yang akan meluncurkan buku kesaksian, Selasa besok di Balai Sudirman. Bukunya yang berjudul Tuhan, Pergunakan Hati, Pikiran dan Tanganku, setebal 300 halaman, adalah kesaksian Omar Dani pertama kalinya di depan publik luas setelah berdiam diri selama 30 tahun.

Suasana bahagia itu sungguh tentunya kontras dengan isi hatinya di malam Natal 1966, ketika lelaki ini divonis hukuman mati di mahkamah militer. Kita masih ingat bagaimana berbagai harian menampilkan foto sang komodor yang berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat mirip bintang film Omar Sharif itu digiring. Karirnya hancur lebur. Dan kini, dari sepasang bibir yang ringkih itu, meluncurlah kesaksiannya yang akan memperkaya sekitar 110 judul buku, yang sebelumnya ditulis pengamat asing, tentang tragedi yang menewaskan enam orang jenderal dan seorang kapten di bulan September 1965 itu.

Para korban Orde Baru, seperti Sekjen Gerwani Sulami dan Komandan Brigade Infantri I Jayasakti Kodam V Jaya Kolonel Latief, setahun silam sudah menerbitkan versinya. Pleidoi Omar terbitan PT Media Lintas Inti Nusantara itu ibarat jigsaw—kepingan yang bisa melengkapi potongan kepingan-kepingan versi non-Orde Baru yang sudah-sudah—untuk lebih membantu pembongkaran misteri tragedi itu.

Sebuah buku yang sesungguhnya juga berupaya memberi kesaksian tentang peristiwa G30S adalah buku mantan Wakil Perdana Menteri Subandrio, yang semula akan diluncurkan setahun silam. Sayangnya, naskah yang berjudul Kesaksianku tentang G30S itu tak jadi beredar akibat rasa takut penerbitnya (baca: Babad Sebuah Kitab).

Omar Dani dan Subandrio bukan sembarang saksi. Keduanya adalah sosok yang dianggap dekat dengan Presiden Sukarno di tahun 1960-an. Hubungan kedua tokoh itu tidak terjalin akrab. Pada saat menjabat Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Omar Dani dikenal paling loyal membela gagasan Nasakom (nasionalis-agama-komunis). Omar Dani ingin menjadikan tiap prajurit sebagai ”kleine Sukarnotjes” (Sukarno-Sukarno kecil). Ia bukan seorang komunis, tapi ia tak membenci komunis. ”Saya seorang demokrat,” kata Omar Dani kepada TEMPO. Sesuai dengan jiwa Nasakom, pelajaran Marxis dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Sekolah Komando AU. Singkatnya, loyalitas Omar Dani pada Sukarno luar biasa sehingga Sukarno menyebut Omar sebagai ”anak lanangku” (putra lelaki). Sementara itu, Subandrio dalam kabinet Sukarno adalah tokoh yang merangkap tiga jabatan strategis sekaligus: Wakil Perdana Menteri I, Menteri Luar Negri, dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI), sehingga dia pun dianggap sosok yang dekat dengan Bung Karno.

Fakta baru apakah yang dikemukakan buku Omar Dani yang menguak peran Soeharto dalam tragedi berdarah itu? Garis besar buku Omar sebetulnya sama dengan pleidoi yang dibacakannya pada malam 20 Desember 1966. Ia mengajukan bantahan seputar tuduhan keterlibatannya menyiapkan ”Lubangbuaya”. Toh, akhirnya Omar Dani diganjar hukuman mati, antara lain karena kesaksian yang memberatkan oleh dua orang anak buahnya, Letkol Udara Heru Atmojo, Asisten Direktur Intel AURI, dan Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Halim Perdana Kusuma.

Dalam versi Orde Baru, kedua nama itu, bersama Kolonel Latief, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung, dianggap sebagai otak pembunuhan para jenderal. Untung menyebut bahwa nama Heru Atmojo ada dalam susunan Dewan Revolusi. Sementara itu, Mayor Sujono adalah kepala pasukan cadangan sandi Pringgodani, yang membantu Pasukan Pasopati dan Bimasakti pimpinan Lettu Dul Arief. Anggota pasukan Pringgodani inilah, menurut sejarah Orde Baru, yang diambil dari latihan-latihan yang ditempa di Lubangbuaya. Dalam sidang, Sujono dan Heru Atmojo menyatakan bahwa persiapan pasukan Pringgodani tersebut mendapat izin dari sang panglima, Omar Dani.

Kisah versi Orde Baru itulah yang hendak diluruskan Omar Dani. Pertama, Omar Dani menekankan bahwa seluruh kesaksian anak buahnya dilakukan secara tertulis, dan tak sekalipun mereka nongol di mahkamah. Ia meminta berkali-kali agar anak buahnya dihadirkan, tetapi sidang menolak. Nah, saat Omar Dani mendekam di dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta, ia bertemu dengan Heru Atmojo, yang mengaku bahwa semua kesaksiannya itu palsu. ”Saya disuruh tanda tangan pada kertas yang telah bertuliskan demikian,” begitu penuturan Heru Atmojo seperti ditirukan Omar Dani. Kepada reporter TEMPO, Heru Atmojo bahkan mengaku bahwa ia berkali-kali diancam untuk ”di-Pulau-Buru-kan”.

Lalu, bagaimana sesungguhnya kegiatan di Lubangbuaya? Omar Dani tak mengingkari bahwa ia memiliki gagasan pelatihan-pelatihan sukarelawan. Tapi, menurut dia, pelatihan itu hanya sejauh pertahanan lapangan udara. Kala itu, AURI adalah suatu angkatan yang personelnya hanya berjumlah 18 ribu orang, sementara jumlah personel AD mencapai 300 ribu orang, AL memiliki 35 ribu orang, dan Kepolisian terdiri dari 124 ribu personel. Untuk mengatasi kekurangan itu, ia memiliki gagasan untuk melatih penduduk sekitar pangkalan AU agar warga desa bisa turut mengawasi orang yang keluar-masuk pangkalan, mencegah infiltrasi musuh dan kemungkinan demonstrasi. Ide ini disetujui oleh semua petinggi AU. ”Mereka dilatih menjadi semacam radar yang bisa mendeteksi, dan dilatih menggunakan senjata kalau terjadi bentrokan,” kata Laksamana Muda Udara (Purn.) Sri Mulyono Herlambang.

Tetapi, sebelum ide ini terlaksana, Mayor Sujono, yang menjadi Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan, mendahului melakukan pelatihan. Tanpa sepengetahuan pimpinan, ia mengumpulkan orang-orang di Lubangbuaya, Pondokgede. Kegiatan ”tak resmi” ini terdengar oleh staf MBAU. Deputi operasi, Komodor Udara Ignatius Dewanto, yang menjadi atasannya. Pada Juli 1965, Mayor Sujono melapor kepada Omar Dani untuk memintanya melantik angkatan pertama. Omar Dani mengaku terkejut mendengar pengakuan Sujono bahwa yang dilatih adalah mayoritas anggota komunis. Sukarelawan komunis itu berjumlah 2.000 orang, unsur nasional hanya lima orang, dan tak ada satu pun wakil golongan agama. Omar Dani segera memberi instruksi agar anggota pelatihan dibuat lebih seimbang.

Kepada reporter TEMPO, Kolonel Udara (Purn.) Wisnoe Djajengminardo, Komandan Wing Operasi 001 PAU Halim Perdana Kusuma, berkisah bahwa sekitar Juni-Juli 1965, ia sempat meninjau latihan-latihan pimpinan Sujono itu. Ia mengaku terkejut melihat para relawan yang berbaris dengan gaya pasukan Cina berdefile khas komunis, tangan di dada ditekuk tegap. ”Lo, kok koyok barise Cina kuwi (lo, kok cara berbarisnya seperti Cina),” demikian tanya Wisnoe dengan spontan. Sujono menjawab, ”Oh, enggak, Pak. Itu biar gagah saja.”

Menjelang Agustus 1965, sebuah laporan masuk, yang menyatakan bahwa Mayor Sujono tetap banyak melatih komunis. Karena itu, Komodor Ignatius Dewanto memanggil Sujono. Dewanto memutuskan latihan harus ditutup. Tetapi, Sujono baru menutupnya pada 26 September. Omar Dani mengakui dalam pleidoinya bahwa ia teledor karena tidak mengontrol Sujono. Tapi, tampaknya soal keruwetan Sujono itulah yang dipelintir oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Mahmilub menganggap bahwa sejak awal Omar Dani telah bekerja sama dengan kelompok Latief dan Untung cs melalui Sujono. Padahal menurut Omar Dani, ”Saya tidak kenal Latief sama sekali. Wakil Pangdam saja saya tidak tahu.” Ia juga menolak tuduhan Mahmilub bahwa ia dan Sujono telah lama menggodok rencana pembunuhan itu. Menurut Omar Dani, ia baru mengetahui rencana penculikan para jenderal menjelang peristiwa G30S.

Syahdan, pada 31 September sore, Letkol Heru Atmojo datang tergopoh-gopoh ke kediaman dinas Omar Dani di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru. Heru Atmojo membawa informasi dari Mayor Sujono bahwa malam itu—tak diketahui pasti jamnya—akan terjadi penculikan para jenderal. Heru menyerahkan daftar nama kepada Omar Dani, tapi Omar Dani menganggap berita itu tak masuk akal.

Jam delapan malam, Heru kembali lagi ke rumah Omar Dani, tempat empat petinggi AU sudah berkumpul, antara lain Komodor Udara Ignatius Dewanto, Komodor Udara Agustinus Andoko, dan Komodor Udara Leo Wattimena. Mereka bersepakat bahwa jika info itu benar, tampaknya itu merupakan konflik intern Angkatan Darat, dan AU tak akan mencampurinya.

Ternyata info yang ”tak masuk akal” itu benar. Keesokan harinya, Omar Dani mendengar tentang peristiwa itu dari radio. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kajian yang khusus tentang peran Mayor Sujono. Sejauh mana keterlibatannya dalam mempersiapkan tragedi tersebut? Sebuah artikel berjudul G30S, an Army Intelligence Operation, yang ditulis Heru Atmojo di buletin Tapol pimpinan Carmel Budiardjo edisi tahun 2000, mengatakan bahwa Sujono memang terlibat.

Yang masih hilang dari kepingan sejarah ini adalah: bukankah Lubangbuaya ditutup pada tanggal 26 September. Secara logika, bisa saja orang luar selain sukarelawan Sujono yang memanfaatkannya.

Jika kita merujuk pada kesaksian Bongkoes—serdadu Cakrabirawa yang menembak mati M.T. Haryono—kepada pers beberapa waktu lalu, saat Boengkoes datang ke ”Lubangbuaya” membawa jenazah M.T. Haryono, ia sama sekali tidak melihat adanya kawanan sipil di sana. Boengkoes menyaksikan bagaimana tentara-tentara ini menembak jenderal-jenderal yang masih hidup. Pada titik inilah analisis kata ”PKI” setelah kata ”G30S” menjadi relevan.

Faktor Sujono adalah yang membuat PKI dibawa-bawa dalam tragedi ini, karena banyak yang mengetahui bahwa sebelum tempat itu ditutup, Sujono melatih sebagian besar anggota komunis di sana. Padahal, ada lagi teori yang menganggap tragedi ini juga persoalan konflik intern Angkatan Darat.

Bagaimana dengan Heru Atmojo? Ia menolak dituduh sebagai bagian dari PKI. Ia menolak bahwa ia ikut rapat-rapat PKI. ”Atmojo adalah intel. Jadi, mungkin saja ia menyusup ke mana-mana untuk mencari informasi, termasuk PKI, ” kata Omar Dani. Bagaimanapun, peran kedua orang ini masih misterius.

Yang jelas, Omar Dani menyadari bagaimana akhirnya nama Sujono dan Heru Atmojo dalam waktu singkat dan secara sistematis sekaligus digunakan oleh Panglima Kostrad Soeharto untuk menghantam dan mendiskreditkan Angkatan Udara secara institusional. Indikasi pencitraan buruk terhadap AU bisa diketahui semenjak Sukarno berada di Halim Perdana Kusuma.

Seperti telah tertulis dalam sejarah, pada 1 Oktober 1965, pasukan pengawal Istana meluncurkan Sukarno ke Halim Perdana Kusuma karena keadaan Jakarta yang mencurigakan. Dalam memoar Komandan Cakrabirawa Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967, disebutkan bahwa prosedur standar Cakrabirawa untuk menyelamatkan presiden adalah dengan membawanya ke Halim atau ke tempat kapal laut kepresidenan, Varuna I-II, berlabuh. Pada 2 Oktober, Sukarno memanggil KSAL Martadinata, Waperdam II Leimena, Jaksa Agung Brigjen Sutardio. Satu-satunya yang tak muncul adalah Pangdam V Mayjen Umar Wirahadikusumah, yang seharusnya bertanggung jawab atas keamanan Jakarta.

Ternyata Soeharto tak memperbolehkan Wirahadikusumah datang ke Halim Perdana Kusuma karena ia menganggap Halim adalah sarang komunis. ”Itu sudah pembangkangan,” kata Omar Dani atas sikap Soeharto. Pembangkangan Soeharto berikutnya adalah sabotase pernyataan. Seharusnya, pada hari itu Sukarno juga mengirim pernyataan ke RRI yang intinya mengumumkan kepada rakyat bahwa ia selamat di Halim, dan tindakan selanjutnya akan ia tentukan kemudian. Tapi, pasukan Kostrad mencegah penyiaran pernyataan ini.

Kemudian, RRI diambil alih oleh Kostrad. Peristiwa ini mengukuhkan teori bahwa Kostrad mendiskreditkan AU. Ketika itu Kostrad menyiarkan pengumuman-pengumuman yang menunjukkan kesatuan ABRI, tapi AU tidak disebut-sebut. Satu pembentukan opini masyarakat yang paling berhasil dari Kostrad adalah soal Lubangbuaya. Banyak orang tidak tahu bahwa ada dua tempat yang bernama Lubangbuaya. Lubangbuaya lokasi pembantaian adalah Lubangbuaya di daerah kebun karet Pondokgede, yang tidak termasuk wilayah Halim dan jaraknya jauh sekali dari Halim Perdana Kusuma. Di situlah lokasi pelatihan sukarelawan pimpinan Sujono.

Sementara itu, Lubangbuaya yang sehari-hari dikenal warga AU di Halim adalah wilayah untuk ”dropping zone—pendaratan terjun payung”.

”Yang kami namakan Lubangbuaya itu adalah lapangan golf di Halim sekarang,” tutur Omar Dani. Tetapi, Kostrad menyebarkan opini itu sedemikian rupa sehingga lokasi pembantaian para jenderal tepat di wilayah AU.

Yang mengagetkan, ”Lubangbuaya” Pondokgede ini sesungguhnya tanah milik Angkatan Darat. ”Tanah tempat pembunuhan itu milik Kodam. Kebun karet yang sekarang untuk monumen itu adalah wilayah AD sendiri,” tutur Sri Mulyono Herlambang.

Alhasil, masyarakat dibelokkan sedemikian rupa sehingga seluruh rangkaian keanehan itu terasa sebagai kekuatan yang rapi untuk meruntuhkan AU.

BUKU Subandrio, berjudul Kesaksianku tentang G30S, merupakan analisis pascaperistiwa. Yang menarik dari seluruh buku sebenarnya adalah pengakuan Letkol Untung kepada Subandrio—saat mereka sama-sama ditahan menjelang Letkol Untung dieksekusi mati. Menurut Subandrio, dalam buku tersebut, sesaat sebelum pelaksanakan penculikan, ia datang kepada Soeharto melaporkan rencananya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. ”Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata Soeharto menurut Letkol Untung, yang kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio. Malah, menurut Letkol Untung, Soeharto menawarkan bantuan pasukan. ”Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.”

Informasi lain yang baru dari naskah Subandrio ini adalah perihal keberadaan Soeharto pada malam sebelum pembunuhan itu. Besar kemungkinan, Soeharto pada malam 30 September itu tengah aktif mem-briefing pasukan-pasukan misterius yang akan berangkat ke Lubangbuaya. Teori ini didapat dari kejanggalan keterangan Soeharto sendiri dalam buku biografi Soeharto. Dalam buku itu, Soeharto berkisah bahwa setelah menjenguk Tommy di rumah sakit, ia menyetir sendirian pulang ke rumah. Di perjalanan dia melihat pasukan tak dikenal. Sesampai di rumah, ia terus tidur. Baru pukul lima pagi, ia dibangunkan oleh tetangga yang mendapat berita soal pembunuhan.

Ini kisah yang janggal. Bagi Subandrio, sebagai panglima tak mungkin dia tidak dikawal. Dan adalah janggal bila seorang panglima tak mengusut bila melihat ada pasukan yang tak dikenal. Subandrio mencurigai bahwa malam itu sesungguhnya Soeharto menginap di Makostrad. Di situ ia mempersiapkan pasukan yang berangkat ke Lubangbuaya.

Benarkah demikian? Satu-satunya saksi yang bisa menjawab mungkin adalah Umar Wirahadikusumah, karena sebagai panglima, seharusnya dia mengetahui siapa saja yang hadir di Makostrad. Sayang, Umar tidak bersedia menjawab kejanggalan ini. Dia mempersilakan TEMPO membaca biografi Umar Wirahadikusumah, Pengabdian Seorang Prajurit, karya Solichin Salam. Dalam buku itu, ada alibi bahwa malam itu ia tak tahu apa-apa. Ditulis di situ, malam itu ia kehilangan semua informasi atas perkembangan terakhir Jakarta. Penyebabnya adalah karena Wakil Kepala Bagian Intel Kodam V Jaya, Mayor Suganda, adalah anggota PKI. Segala laporan intel diputus olehnya dan tidak diteruskan ke atasan sehingga Umar mengaku tak mengetahui perkembangan situasi terakhir.

Bisa dipercayakah keterangan Umar? Itu yang jadi pertanyaan.

BAGAIMANAPUN, para sejarawan yang sudah membaca naskah yang belum diterbitkan ini menganggap analisis Subandrio harus dibaca dengan sikap kritis. ”Latar belakang Subandrio harus diperhatikan. Tadinya dia Dubes Inggris dan orang PSI yang dekat dengan Sjahrir dan Soejatmoko. Tapi, untuk naik jenjang, dia tega ”membunuh” temannya. Dia berambisi menjadi presiden. Karena itu, sangat sulit melihat pendapat Subandrio dengan kacamata jernih,” demikian tutur Anhar Gonggong, sejarawan LIPI.

Bagaimanapun, baik kesaksian Omar Dani maupun Subandrio—yang masih dalam perbaikan data—mungkin akan membuka sejumlah pertanyaan baru tentang sejarah yang selama ini hanya dibentuk oleh penguasa.

Sejarah selalu berhasrat untuk diluruskan.

Seno Joko Sujono, Dwi Arjanto, Purwani Dyah Prabandari



____________________________________________________

[ KEMBALI KE ATAS ]
[ BERITA SEBELUMNYA ] - [ H O M E ] - [ BERITA SELANJUTNYA ]

____________________________________________________
HAK CIPTA © 1996 - 2001 -
Compiled by :