Pakorba
Silahkan Logo Pakorba di-klik

Serba - Serbi sekitar TAP MPR No. XXV/1966

Related Articles : Tempo Interaktiv





Dikutip dari : TEMPO Interaktiv

Yang Menolak adalah Pendukung Konservatifisme


Gagasan Persiden Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS no.XXV/MPRS/1966 tak dapat dimaknai sebagai langkah awal ke arah rekonsiliasi nasional. Langkah itu harus diartikan sebagai konsistensi Gus Dur terhadap proses demokratisasi di Indonesia. "Kalau kita konsisten dengan demokrasi maka tak ada lagi kewenangan negara mengontrol ideologi," demikian Munir SH dalam percakapannya dengan TEMPO Interaktif di YLBHI, Jakarta, Rabu (5/4).

Menurut Direktur Operasional YLBHI itu, aksi penolakan terhadap ide Gus Dur, sesungguhnya bukan didorong oleh ketakutan atas bangkitnya kembali ideologi komunisme. Namun, gelombang protes penolakan itu mewakili sebuah aliran pemikiran yang masih meyakini otoriterisme menjadi sebuah model bagi solusi Indonesia di masa depan. "Ini cara-cara berpikir konservatif dalam proses perubahan politik di Indonesia," kata Munir.

'Histeria' anti komunis yang tampil belakangan ini lebih tampak sebagai sebuah isu ketimbang sebuah kesadaran. "Kesadaran sejati di pikiran mereka adalah negara harus berperan absolut," jelas Munir. Atau, menurut mantan Koordinator Kontras, isu itu muncul sebagai warisan kesadaran Orde Baru dan mereka yang masih terpengaruh oleh pemikiran rezim itu.

Menurut Munir, mestinya MPR responsif terhadap gagasan Gus Dur itu, serta konsisten dengan proses demokratisasi. "Jika MPR mendukung negara sebagai alat saringan ideologi, maka lembaga itu tak beda dengan MPR yang lalu," jelasnya. Munir menambahkan, saat ini alasan trauma terhadap PKI sudah tak rasional. Sebelum dilarang pun PKI pernah menjadi partai besar di Indonesia, tapi dalam pemilu partai itu mengalami kekalahan. Jadi, baginya, ketakutan itu tak berdasar sama sekali.

Kondisi saat ini adalah refleksi dari politik nasional yang salah arah. "Jadi seolah-olah demokrasi itu bisa lahir karena ada orang kuat, bukan rakyat yang kuat," tegas Munir. Kelompok konservatif itu selalu melihat bahwa penyelesaian masalah ada di pundak pemerintah, dan bukannya rakyat.

Perspektif rekonsiliasi sesungguhnya tak tersentuh perdebatan pencabutan Tap itu. Dalam konteks ini, Munir membenarkan pendapat Pramudya Ananta Toer --salah seorang tokoh Lekra yang dipenjara di Pulau Buru oleh Orde Baru. Menurut Munir, Pram benar, bahwa proses rekonsiliasi tak cukup hanya dengan mencabut Tap tersebut.

"Rekonsiliasi haruslah didasarkan dengan konsep melihat kembali kebenaran dari masa lalu," kata Munir. Bagaimana melihat kebenaran itu kembali, lalu meletakannya dalam perspektif masa depan, bagi Munir, adalah hal yang jauh lebih penting. "Pencabutan itu adalah satu titik diantara sekian banyak langkah yang harus dilakukan, serta kebenaran yang harus diakui dari peristiwa masa lalu," kata Munir lagi.

Permintaan maaf Gus Dur bagi para korban G30S, menurut Munir, adalah permintaan maaf biasa. Dalam konteks rekonsiliasi, permintaan maaf biasanya disampaikan secara resmi setelah kebenaran atas peristiwa itu diketahui. "Sekarang yang terjadi adalah menafsirkan kesalahan sendiri-sendiri," ujar Munir. Akibatnya, permintaan maaf Gus Dur, bagi Munir, adalah sebuah gugatan bagi cara berpikir masayarakat Indonesia. (Nezar)


********************

Dikutip dari : SATUNET.COM

Senin, 03/7/2000, 13:44 WIB

Carmel:

Seret Soeharto karena kejahatan kemanusiaan

Laporan

satunet.com - Carmel Budiharjo, penerima Livelihood Award (Nobel alternatif) menyerukan kepada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyeret Soeharto karena kasus kejahatan kemanusiaan.

Menurut wanita kelahiran London yang pernah tinggal di Indonesia ini, desakan yang menuntut agar Soeharto diadili karena kasus KKN tidak terlalu signifikan dibandingkan kejahatan kemanusiaan selama 32 tahun Soeharto berkuasa.

Carmel yang pernah ditahan tiga tahun di penjara Bukitduri tanpa proses pengadilan karena tuduhan komunis ini mengatakan, KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya karena sistem represi yang dibangun oleh Orba yang berlangsung 32 tahun. "Sistem inilah yang melahirkan praktek KKN. Dan yang lebih parah lagi adalah terjadinya tindak kekerasan. Di antaranya pembantaian PKI, petrus, DOM di Aceh, kekerasan di Aceh, Papua dan Tanjung Priok."

Dikatakan Carmel, almarhum suaminya Suwondo Budiharjo yang meninggal di Inggris sempat juga ditahan.

Ia menilai masyarakat Indonesia terlalu terfokus pada persoalan KKN Soeharto. Padahal soal KKN hanya bagian kecil dari praktek yang dilakukan Soeharto. Seandainya persoalannya digeser pada persoalan kejahatan kemanusiaan, kata Carmel, secara otomatis akan menyelesaikan masalah.

Ia mengimbau agar masyarakat mengampanyekan penuntutan Soeharto atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di pengadilan Indonesia. Karena menurutnya, kalau dibawa ke Internasional Tribunal hal itu tidak mungkin, sebab pemerintahan Presiden Gus Dur mengalami beban terutama desakan dari Poros Tengah. "Oleh karena itu harus ada kekuatan rakyat yang sanggup menciptakan opini. Kasus ini pernah dialami oleh Pinochet."

Carmel mengungkapkan selama di Indonesia ia akan mengampanyekan penegakkan HAM lewat lembaganya yang bernama TAPOL. Ia juga merencanakan untuk bertemu dengan LSM-LSM, pejabat-pejabat pemerintah dan kalau memungkinkan akan bertemu dengan Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Pada kesempatan itu ia juga mendukung pencabatan Tap MPRS no 25/1966 tentang larangan ajaran komunisme.

Dikatakannya, tap ini mengandung pelanggaran HAM yang sangat berat. Karena orang-orang yang selama ini dituduh komunis tidak bisa berbuat banyak untuk menjalani hidupnya. "Ide Gus Dur itu visioner bagi penegakkan HAM di Indonesia."

Ia juga akan menyoroti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, Aceh dan di Maluku yang hingga kini diselesaikan.

Ia juga akan memperhatikan nasib 100 pengungsi yang diintimidasi milisi di NTT. Padaha mayoritas dari para pengungsi ini ingin kembali ke Timtim. [tna]

Back to Top ********************* Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2002
Last Update on October 29th. 2002