ISTIQLAL (16/06/2000)#
RENDAHNYA PEMIKIRAN ABDUL QADIR DJAELANI
Oleh: Abdi Tauhid
Seorang yang sungguh-sungguh hendak menegakkan amar ma'ruf nahi munkar menegakkan kebenaran atau yang hak dan melawan kemunkaran, tentu ia akan mendukung setiap upaya yang menjurus, kejurusan tegaknya kebenaran dan keadilan. la akan menentang setiap upaya yang hendak menegakkan kemunkaran.
Hanya seorang munafik, yang dalam kata-kata mau menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, tetapi dalam praktek justru yang dilakukannya melawan kebenaran dan menegakkan kemunkaran. Munafik atau tidaknya seseorang, dapat juga diketahui dari sikapnya terhadap akan berdirinya pengadilan HAM bagi pelaku kejahatan kemanusiaan.
Dan siapa sesungguhnya Abdul Qadir Djaelani, dapat dicermati sikapnya terhadap masalah pengadilan HAM yang akan mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan di masa thn 1965/1966, melalui tulisannya yang berjudul "Mencermati Sasaran Komunis" (Republika, 5/6). Marilah kita ikuti bagian terakhir dari sikap Abdul Qadir Djaelani tsb.
Dibawah sub judul "Sasaran yang Akan Dicapai", Abdul Qadir Djaelani mengemukakan bahwa dengan strategi HAM dan demokrasi, sasaran-sasaran yang akan dicapai komunis dilakukan secara sistematis, yaitu:
Pertama, pembebasan napol dan tapol G.30-S/PKI. Dan sekarang ini tidak ada lagi napol dan tapol G.30-S/PKI, yang masih di penjara.
Kedua, pemanggilan pulang/penjemputan pelarian G.30-S/PKI dari luar negeri oleh pemerintah, dengan segala keramahannya.
Ketiga, pemerintah dengan penuh semangat mengusulkan kepada MPR untuk mencabut Tap MPRS No XXV/1966, tentang marxisme-leninisme, komunisme dan pelarangan PKI dengan segala organisasi pendukungnya.
Keempat, rehabilitasi semua anggpta PKI dan organisasi pendukungnya seperti SOBSI, Gerwani, BTI, Pemuda Rakyat, CGMI, IPPI, SBKA, HIS dan Lekra.
Kelima, menuntut ganti rugi kepada pemerintah atas kerugian yang telah diderita oleh semua anggota PKI dan ormas pendukungnya.
Keenam, menuntut pembentukan KPP HAM G.30-S/PKI untuk melakukan penelitian terhadap orang-orang yang dianggap terlibat mengenai pelarangan PKI dan pembunuhan terhadap anggota PKI.
Ketujuh, menuntut dibentuknya pengadilan HAM untuk mengadili orang-orang yang terlibat terhadap pelarangan PKI dan organisasi pendukungnya, dan pembunuhan terhadap anggota-anggota organisasi tsb.
TUJUAN TERAKHIR
Seterusnya Abdul Qadir Djaelani, di bawah sub judul "Tujuan Terakhir" mengatakan: apabila sasaran nomor tujuh tercapai dan pengadilan HAM berdiri, maka tokoh-tokoh TNI khususnya AD, tokoh ulama Islam, tokoh-tokoh kesatuan aksi (khususnya KAMI dan KAPPI) dari pusat sampai daerah yang dianggap/dituduh terlibat terhadap penghancuran PKI dan ormas-ormas pendukungnya dan pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI dan ormas-ormas pendukungnya akan diadili di pengadilan HAM tsb. Jumlahnya mungkin puluhan ribu atau ratusan ribu.
Dari pengadilan massal yang menyangkut ratusan ribu orang (yang semuanya punya akar ke masyarakat) dapat diramalkan akan terjadi bentrokan massa secara massal, antara pendukung marxis-leninis- komunis dan penguasa sebagai penggugat versus tokoh-tokoh TNI-AD (purnawirawan), tokoh-tokoh kesatuan aksi, ulama dan umat Islam sebagai tergugat/tertuduh.
Dalam kondisi ekonomi yang hancur, politik yang tak menentu, hukum yang tak berfungsi, para militer yang dimiliki orpol dan ormas-ormas, maka bentrokan massa secara massal akan sangat sulit diatasi dan akan menjurus ke arah "revolusi sosial" yang sangat parah. Di tangan massa yang lapar dan marah, serta merasa punya kekuatan yang hebat, didasari dendam ideologi revolusi sosial akan terjadi di seluruh nusantara secara serentak dan merata.
Revolusi soslal, kata Abdul Qadir Djaelani, adalah sarana pertama dan utama untuk melahirkan penguasa marxis-leninis-komunis. Hampir sebagian besar berdirinya negara-negara komunis di dunia, senantiasa dilakukan melalui sarana revolusi sosial. Demikian Abdul Qadir Djaelani.
Benarkah ada strategi PKI yang demikian? Sesungguhnya apa yang hendak dituju Abdul Qadir Diaelani dengan tulisannya itu?
YANG DITUJU ABDUL QADIR DJAELANI
PKI sudah dikatakan mati, sudah tidak ada lagi. Karena itu menjadi pertanyaan: darimana Abdul Qadur Djaelani memungut cerita bahwa strategi HAM dan demokrasi, sasaran-sasaran yang akan dicapai komunis secara sistematis? Tentu saja Abdul Qadir Djaelani akan menjawab: dari hasil pengamatannya yang terjadi di masyarakat. Bukan dari PKI, yang memang kini tidak ada. Tegasnya, itu adalah kesimpulannya sendiri sebagai seorang yang antiLkomunis.
Bila dewasa ini tidak ada lagi napol dan tapol G.30-S dalam penjara, itu bleid, pemerintah sendiri, untuk menghindarkan kutukan dari dunia luar bahwa pemerintah Indonesia melanggar hak-hak asasi manusia. Bagaimana pun juga keras tuntutan dari rakyat untuk dibebaskannya semua tapol dan napol, sekiranya kehidupan pemerintah Indonesia tidak tergantung dari bantuan asing, napol/tapol itu tidak akan mereka bebaskan. Akan mereka rendam selama-lamanya.
Begitu pula usaha pemulangan orang-orang yang tak bisa pulang dari luar negeri, di masa Suharto - Habibie masih berkuasa, yang dilakukan oleh pemerintah Gus Dur adalah untuk menegakkan hak-hak asasi manusia Indonesia. Hak-hak asasi mereka yang tertahan pulang di luar negeri tsb selama puluhan tahun telah dinjak-injak oleh pemerintahan Suharto - Habibie.
Yang dituju sesungguhnya oleh Abdul Qadir Djaelani dengan tulisannya itu, ialah agar pelaku kejahatan kemanusiaan, pembunuhan massal terhadap massa anggota PKI dan simpatisannya di tahun 1965/1966 jangan sampai diajukan ke pengadilan. Sebab, kila diajukan ke pengadilan, tentu kelompoknya akan banyak yang diseret ke pengadilan HAM itu.
Agar Pengadilan HAM tsb jangan sampai berdiri dan mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan, maka Abdul Qadir Djaelani melalui tulisannya itu mempertakut-takuti pembacanya dengan jumlah yang akan diadili sampai ratusan ribu dan mungkin akan terjadinya revolusi sosial. Padahal apa yang disebarkan Djaelani itu, hanya sebuah rekayasanya belaka.
Lihatlah tentang KPP HAM katanya juga akan mengadili orang-orang yang terlibat dalam pelarangan PKI. Itu adalah omong kosong semata-mata. Orang-orang yang terlibat dalam melahirkan Tap MPRS No XXV/1966, meskipun itu melanggar hak azasi dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, namun itu bukan kejahatan kemanusiaan. ltu adalah sikap politik mereka. Mereka bukan sasaran pangadilan HAM. Dikemukakan Djaelani bahwa mereka juga sasaran pengadilan HAM, supaya mereka yang terlibat dalam pelarangan PKI itu, juga mendukungnya, menentang adanya pengadilan HAM terhadap pelaku kejahatan kemanusia. Dengan tidak diseretnya ke pengadilan HAM orang-orang yang terlibat dalam pelarangan PKI, maka jumlah yang akan diadili pengadilan HAM bukannya puluhan ribu, apalagi ratusan ribu orang, paling-paling hanya puluhan orang yang paling bertanggungjawab saja.
Begitu pula akan terjadi bentrokan massal ketika dilangsungkan pengadilan HAM terhadap pelaku kejahatan kemanusiaa, itu adalah rekayasa Abdul Qadir Djaelani sendiri, agar jangan sampai ada sidang Pengadilan HAM tsb. Kalau tokh sampai terjadi juga bentrokan, maka bentrokan itu memang dipersiapkan Djaelani sendiri, dengan jalan menghasut massa pendukungnya untuk menciptakan bentrokan tsb.
Dan jika bentrokan massal terjadi ketika itu, itu bukan revolusi sosial, apalagi yang akan melahirkan kekuasaan marxis-leninis-komunis, seperti yang dibayangkan Djaelani. Itu adalah kekacauan sosial, buah rekayasaan Djaelani sendiri.
Sesungguhnnya, jika Abdul Qadir Djaelani benar-benar seorang Islam yang Islami, tentu dia akan mendukung berdirinya pengadilan HAM bagi pelaku kejahatan kemanusiaan. Pengadilan HAM adalah untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan melawan kemunkaran. Tentu Abdul Qadir Djaelani akan berpegangan kepada surat Al Maida' ayat 8, yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu tertarik karena kebencian pada satu kaum, hingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa dan takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan".
Kenyataan menunjukkan, Abdul Qadir Djaelani tidak mendukung berdirinya pengadilan HAM, malah berupaya untuk meniadakannya, artinya dia bukannya hendak menegakkan keadilan dan kebenaran, malah hendak menegakkan kemungkaran.
Sekiranya kejahatan kemanusiaan tidak dibiarkan berlalu begitu saja pada tahun 1966/1967, tentu Suharto tak akan gegabah di kemudian hari, melakukan pembantaian massal di Aceh, di Tanjung Priok, di Lampung dsb. Dia berani melanjutkan kejahatan kemanusiaan itu, yaitu membantai manusia, karena kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya di tahun 1965/1966, dibiarkan berlalu begitu saja, seakan-akan sah dan benar.
Upaya Abdul Qadir Djaelani untuk mencegah jangan pelaku kejahatan kemanusiaan, sampai diadili oleh pengadilan HAM, karena dirinya memang mendukung Suharto. Hal itu juga ditunjukkannya ia menyebut G.30-S dengan menambah (belakangnya, PKI. Seperti tuduhan Suharto: G.30-S itu adalah pemberontakan PKI. Padahal sesungguhnya G.30-S itu adalah kuda tunggangan Suharto untuk menggulingkan kekuasaan presiden SJukarno. Tepat sekali apa yang dikatakan Sawito, tanggal 17 Mei 2000, ketika peluncuran buku Kolonel Latief yang berjudul "Suharto terlibat G.30-S". Suharto adalah Panglima G.30-S, disamping panglima Kostrad.
Tujuan yang hendak dicapai Abdul Qadir Djaelani dengan tulisannya itu, ialah agar jangan sampai berdiri pengadilan HAM yang mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan di tahun 1965/l966. Untuk itu ia menakut-nakuti pembaca dengan jumlah puluhan atau ratusan ribu orang yang akan diadili, serta akan meletusnya revolusi sosial yang akan mengantarkan PKI ke kekuasaan. Suatu hal yang tidak mungkin sama sekali. Apalagi revolusi sosial itu yang menyiapkannya Abdul Qadir Djaelani bersama komplotannya. Sekiranya terjadi apa yang dikatakan Abdul Qadir Djaelani "revolusi sosial", maka provokatornya adalah Abdul Qadir Djaelani sendiri. ***
Back to Top ********************* Related Message
|