Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : Oposisi

Duka Para Korban Tahanan Politik PKI

Mereka Telah Mati dalam Hidup

Judul di atas hanyalah untuk menggambarkan batapa sanak keluarga, handai tolan, dan famili bekas tahanan politik (Tapol) PKI kala itu. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, mereka terbelenggu dalam kerangkeng sosial, seolah terpenjara secara politik dan ekonomi. Kini, mereka merasa lega bisa menghirup udara bebas. Tapi betulkah sudah bebas, lepas?

SECARA formal mungkin baru 50% saja. Kaki kanan keluar penjara, tidak lagi di atas Pulau Buru atau Nusa Kambangan. Namun, kaki kiri masih terjerembab di pulau tersebut. Walaupun begitu mereka masih oke-oke saja. Alam kebebasan telah mengilhami mereka untuk bergerak, menggeliat.

Presiden Gus Dur dan Megawati memberikan ruang gerak yang cukup longgar. Itulah yang membuat nyawa mereka hidup lagi. Selama dalam masa pengasingan, tapol/napol itu telah mengalami penderitaan yang teramat sangat. Lahir batin. Keluarganya juga ikut depresi dan tertekan batinnya.

Pengalaman itu telah membuat militansi dan daya resistensinya mengental serta tidak cengeng oleh situasi yang serba sulit. Anak-anak mereka juga menderita, dicibir sebagai anak PKI, tidak boleh menjadi tentara dan PNS, tidak boleh menjadi aparat hukum. Sehingga secara ekonomis, mereka ikut menikmati getir getahnya. Sungguh, kini mereka bisa mengangkat kedua tangan ke atas. Lalu menjulurkan muka dan hidung ke atas sambil menarik nafas panjang-panjang.

Gus Dur

Mereka sangat respek dengan pemerintahan Gus Dur. Mereka menganggap Gus Dur adalah presiden yang paling demokratis. Dia tidak arogan terhadap aliran apa pun, bahkan aliran kepercayaan, Kong Hu-chu dan budaya Cina pun dibebaskan mengekspresikan kebudayaan agungnya. "Ini kemajuan yang luar biasa. Dia memiliki daya toleransi yang besar," kata Oemar Said, warga Indonesia di Paris.

Selama Orba berkuasa, pentas barongsai, pesta ala Cina, dll sangat dikekang. Mereka memang tidak boleh mengembang- kan kebudayaannya di Indonesia. Ketika dibuka kran kebudayaan itu, ternyata penggemarnya begitu melimpah. Dia sangat yakin bahwa budaya itu tidak bisa ditumpas meskipun 32 tahun berkuasa.

Neo Marxis

Ada juga sedikit ketakutan. Jangan-jangan istilah komunis itu bahaya laten, betul adanya. Jangan-jangan sadisme seperti yang digambarkan dalam film G30S/PKI itu the real story. Jangan-jangan gerakan bawah tanah yang selalu menunggangi berbagai macam aksi sosial politik itu nyata. Tapi, mungkin semua itu hanya retorika Soeharto selama memimpin negeri ini, agar tetap memiliki stampel hero atau pahlawan dalam menumpas PKI.

Di tingkat dunia, ideologi Marxisme-Leninisme juga sudah meleleh. Bahkan babon negara yang menjadi simbol komunisme --Uni Soviet-- sudah gulung tikar. Mereka tercabik-cabik menjadi negara-negara kecil yang rata-rata memilih menggunakan prinsip demokrasi. Di tengah rontoknya ideologi komunisme itu, masih adakah orang yang berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip perbedaan kelas, ada kelas borjuis dan proletar, gerakan revolusioner itu lebih baik? Di alam maya, internet PKI memang seolah masih kuat, kokoh dan berpengaruh meluas. Klik saja ke http://www.geocities.com/CapitolHill/Lobby/9480. Lalu masuk lagi, klik di logo PKI (palu dan clurit). Ada memasuki beberapa pilihan. Ada artikel panjang tentang "Jalan Baru D.N. Aidit Menggugat Peristiwa Madiun". Ada "Self Criticism by the Indonesian Communist Party, 1966." Ada "Hymne PKI, Internasionale, Sajak: Rela dan galeri foto." Tema-temanya lebih banyak mengungkap sejarah di era perjuangan pergerakan sejak sebelum tahun 1945 hingga 1966. Tawaran-tawaran terhadap masa depan, masih sangat tipis.

Supersemar

Supersemar benar-benar penuh misteri. Cerita ini sangat erat hubungannya dengan PKI itu sendiri. Bukan bukti autentik saja yang masih raib, penandatangannya pun disinyalir juga penuh misteri. Bekas pengawal Presiden Soekarno, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito, mengaku melihat Bung Karno menandatangani surat di bawah todongan senjata. Peristiwa yang terjadi pukul 01.15, 11 Maret 1966 di ruang tamu Istana Bogor ini, berlangsung cukup dramatik.

Raut muka pemimpin Besar Revolusi itu pun merah padam. Pasang-pasang mata saling dan terus bertatapan. Presiden Soekarno sempat memecah keheningan. "Jangan... jangan," katanya kepada Soekardjo Wilardjito. Kepala keamanan yang saat itu posisinya hanya beberapa meter dari Bung Karno itu tengah menarik pistol. Wilardjito mengaku dirinya melihat Bung Karno ditodong pistol FN-46 oleh Maraden Pangabean, yang didampingi oleh tiga jenderal lainnya, yakni M. Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Machmud.

Sejurus kemudian dua lembar surat dalam map merah jambu disodorkan M. Jusuf, kepada Presiden Soekarno. Beberapa penggal pertanyaan sempat terlontar dari proklamator ini. Tetapi tak satu pun jawaban dari Amir Macmud, meredakan ketegangan di raut muka Bung Karno. Malah sebaliknya semakin mengucurkan keringat dingin. Keganjilan isi dan format surat pun tidak digubris. "Ini waktunya sempit, tak ada waktu untuk mengubah," jawab Amir Machmud singkat. Sesaat kemudian Bung Karno meraih bolpoin di kantong baju M. Jusuf, yang duduk di sebelah kanannya. "Ya, ini saya tanda tangani untuk diserahkan pada Harto. Tapi kalau keadaan sudah aman, mandat kembalikan pada saya," katanya. Setelah map diserahkan kepada M. Jusuf. M. Panggabean, dan Basoeki Rachmat menyarungkan kembali pistolnya. Tanpa ba bi bu lagi keempat jenderal itu ngeloyor pergi tanpa menghormat lagi.

Dibantah

Baik M. Yusuf maupun Panggabean membantah pengakuan Wilardjito itu. Menurut M. Yusuf, saat ke Istana Bogor menemui Bung Karno, dia hanya bersama Basuki Rachmat dan Amir Machmud. Dia menegaskan, Supersemar tak ditandatangani di bawah todongan. Jenderal TNI (Purn) M. Yusuf membantah dirinya bersama dua orang jenderal lainnya "Amir Machmud dan Basoeki Rachmat - membawa pistol saat menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966. "Tidak benar apabila dikatakan bahwa Saudara Mayjen TNI Basoeki Rachmat atau siapa pun di antara kami bertiga membawa pistol ketika bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Bawa pistol saja tidak, apalagi menodong," aku mantan Menhankam/ Pangab itu. Menurut mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (Bepeka) itu, para perwira tinggi yang pada tanggal 11 Maret 1966 datang ke Istana Bogor menemui Presiden Soekarno, selain dirinya adalah (pangkat saat itu, Red) Mayjen TNI Basoeki Rachmat (alm) dan Brigjen TNI Amir Machmud (alm). "Saudara Maraden Panggabean tidak pernah ikut atau pergi bersama kami ke Istana Bogor. Bahkan, melihat di sana pun tidak. Termasuk membawa map berwarna merah atau warna apa pun yang berisi surat yang harus ditandatangani oleh presiden," ujar mantan menteri Perindustrian itu.

Selain itu, "Adalah tidak benar bahwa kami bertiga meninggalkan Istana Bogor pada pukul 01.00 dini hari, yang berarti sudah tanggal 12 Maret 1966. Kami meninggalkan Istana Bogor pada pukul 20.30 (11 Maret) untuk kemudian menyerahkan surat tersebut kepada Saudara Letjen TNI Soeharto di Jakarta," katanya. Demikian halnya dengan M. Panggabean juga membantahnya. Menurut Pangabean yang waktu itu menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat, pada 11 Maret itu ia berada di Jakarta dan sama sekali tak bertemu dengan Bung Karno. "Jadi, tuduhan itu sama sekali tak benar, dan menyesatkan sejarah," katanya.

Versi Militer

Menurut versi militer sendiri, pengakuan Ito --panggilan akrab Bung Karno kepada Wilardjito-- Jumat dini hari, 11 Maret 1966 bertentangan dengan fakta yang ada. Jumat pagi itu, Bung Karno memimpin Sidang Kabinet 100 menteri, yang belum berumur tiga minggu. Rapat terputus, dan Bung Karno terbang dengan helikopter ke Bogor. Siangnya, Basoeki Rachmat (Menteri Veteran), Amir machmud (Pangdam Jaya), dan M. Jusuf (Menteri Perindustrian Ringan) menyusul ke Istana Bogor. Sore itulah, di ruang makan Istana, dengan disaksikan Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I dan Menteri Luar Negeri), J. Leimena (Wakil Perdana Menteri II), Chaerul Saleh (Wakil Perdana Menteri III), Sabur, dan ketiga jenderal tadi, Supersemar ditandatangani Bung Karno. Bahkan upaya untuk meluruskan kisah surat sakti itu pernah dilakukan pada 1976. Soeharto mengurai kesaksiannya kepada Kepala Pusat Sejarah ABRI, yang waktu itu dijabat oleh Nugroho Notosusanto.

Dalam kesaksian itu dilanjutkan dengan rekonstruksi di bekas rumah Soeharto, di Jalan Agus Salim 98, Jakarta. Saat itu, hadir dua saksi utama, Amir Machmud dan M. Jusuf. Kesimpulannya, Supersemar itu didiktekan Bung Karno dan diketik Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Cakrabirawa. Kemudian diubah satu kalimat oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio.

Rehabilitasi

Soal Supersemar yang begitu vital dalam perjalanan bangsa saja bisa dimanipulir, apalagi soal PKI? Sebuah partai yang zaman pendudukan Jepang juga ikut mengangkat senjata melawan neo-imperialisme. Siapa tahu, jangan-jangan selama ini PKI hanya menjadi kambing hitam? Bahwa Soeharto untuk menjadi seorang pemimpin negara, harus ada yang ditumpas. Harus ada unsur heroiknya. Korbannya, mungkin PKI.

Namun, ini juga baru letupan pemikiran. Belum ada kepastian. Jika kasus Supersemar bisa diungkap biang keroknya, maka kemungkinan status organisasi PKI bisa ikut terehabilitasi secara alamiah. Selain proses rehabilitas yang bermakna politis. Hanya sebagai excuse atas dosa-dosa lama saja.

n hany lastyawan/bejan

Back to Top ********************************* Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000