Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : Oposisi

"Dicap Anak PKI, Anakku Pilih Berantem"

Peristiwa seputar penangkapan membabi-buta setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI memang bisa menimpa siapa saja, termasuk bagi anggota-anggota TNI yang memiliki jabatan. Termasuk di dalam kategori ini adalah yang sekarang sedang membuat pledoi untuk meluruskan sejarah kelam puluhan tahun lalu. Seperti penangkapan Kolonel Abdul Latief oleh penguasa Orde Baru dan dijatuhi hukuman mati tanpa pengadilan.

PERLAKUAN serupa juga menimpa salah satu personal Angkatan Darat yang cukup punya jabatan strategis. Pangkatnya memang selevel dengan A. Latief, kolonel. Karena saat itu jumlah jenderal bisa dihitung dengan jari, maka dengan pangkat yang belum mencapai bintang, dapat menduduki jabatan penting. Adalah Kolonel Bambang Supeno, wakil kepala Staff Angkatan Darat (Wakasad). Ia "diambil" dari rumahnya yang megah pada malam tanggal 1 Oktober 1965. "Saya sangat shock melihat banyak pasukan bersenjata memaksa Bapak naik truk," kenang Ny. Sri Kusdiantinah yang waktu itu masih menjadi istri Kolonel Bambang Supeno sedih.

Seusai penangkapan sang suami itulah derita panjang menyertai keluarga Ny. Sri Kusdiantinah. Sebab, setelah hari itu dirinya tidak lagi berjumpa dengan sang suami dalam jangka waktu cukup lama. Bahkan untuk mencari tahu keberadaan suaminya saja dia tidak mendapat keterangan sedikitpun. Kondisi keamanan dan politik yang tidak menentu, membuat terputusnya semua alat komunikasi. "Malahan lampu-lampu penerangan di sekitar rumah saya pun dimatikan," cerita perempuan yang masih tampak cantik asal Madiun ini. Keadaan ini membuat tiga anaknya yang menginjak usia remaja seringkali menanyakan keberadaan sang ayah. Mereka tentunya membutuhkan figur seorang ayah dalam keluarga, karena bagaimanapun ayah merupakan panutan dalam keluarga. Tetapi karena keadaan memaksa, maka hanya Ny. Sri Kusdiantinah hanya mengandalkan kemampuan untuk menghibur anak-anaknya. "Mereka kan sudah agak besar, jadi tidak sampai menangis merengek-rengek, mencari bapaknya," paparnya.

Meski begitu karena mereka sebagai keluarga tentara yang sering ditinggal tugas, maka sudah terbiasa ditinggal dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, keberangkatan suaminya yang sangat mendadak dan dijemput oleh banyak pasukan yang bukan dari kesatuannya membuat semua anggota keluarganya sangat khawatir terhadap kondisi Bapak. Karena hal itu di luar kebiasaan, di mana dalam melaksanakan tugas jauh hari sebelumnya Bapak pasti memberi tahu ditugaskan ke mana. "Ini tidak".bahkan ganti baju pun Bapak tidak sempat. "Wis diglandang ngono wae..," kisah Ny. Kusdiantinah dengan logat bahasa Jawa yang kental.

Apalagi anak saya yang terkecil waktu itu kan sangat manja dan deket sekali dengan bapaknya, kalau ditinggal sehari saja tidak pamitan" wah bisa nangis seharian dia. Belum kalau tugas ke daerah. Sebelum berangkat, pasti dia pesan apa saja yang dia inginkan. Malamnya minta dikeloni dulu, pokoknya manja banget dia sama bapaknya. Aleman (manja). Ini malah berhari-hari ditinggal tanpa pamitan," kenang ketua Pusat Penerjemah Nasional Universitas Nasional ini, pahit.

Bagi Ny. Kusdiantinah tidak begitu penting berapa lama ditinggal suaminya. Tetapi kejelasan keberadaan suaminya jauh lebih penting, sebab bagaimanapun dengan status keberadaan yang jelas dirinya tidak terlalu memusingkan keselamatan suaminya. Bagaimanapun kondisinya suami adalah pelindung bagi keluarga. "Anak-anak saya itu kan masih memerlukan perhatian yang besar dari ayahnya," ucapnya.

Penantian Ny. Sri Kusdiantinah tidak memerlukan waktu lama, karena setelah beberapa bulan kemudian dirinya menerima pemberitaan resmi. Pemerintah yang sedang sibuk menyikat habis paham komunis di Indonesia. Melalui jajaran Angkatan Darat yang diutus secara khusus menemui dirinya dan memberitahukan bahwa sang suami Kolonel Bambang Supeno pejabat Wakasad dinyatakan terlibat dalam pemberontakan G30S/PKI, dan dijatuhi hukuman mati tanpa diadili terlebih dahulu. "Pertama yang saya ingat adalah bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari," katanya dengan suara agak tersendat.

Penderitaan Anak-Anak

Bayangan Kusdiantinah tentang masa depan anak-anaknya ternyata terbukti di kemudian hari. Perlakuan orang-orang di sekelilingnya mulai berubah. Orang-orang yang semula berhubungan baik, satu persatu mulai menjauh. Kebanyakan mereka takut akan imbas yang dapat saja menimpa atau ikut-ikutan dicap sebagai komunis. "Cap yang menempel itu sungguh merupakan beban berat yang harus kami pikul selama bertahun-tahun," tutur Ny Kusdiantinah sedih.

Hatinya teriris itu ketika suatu saat anaknya sepulang sekolah dengan wajah belepotan lumpur dan baju sobek-sobek. Walaupun tidak terdengar tangis yang menyertai kepulangannya, tetapi dari sorot matanya dia tahu kalau anak keduanya ini menyimpan tangis di hatinya. Karena, dia harus mempertahankan harga dirinya walaupun dengan jalan berkelahi melawan teman yang mengolok-oloknya. "Dia tidak terima kalau dirinya dikata-katai sebagai anak PKI. Apalagi tahu sendiri kan "anak kolong" (anak-anak tentara yang tinggal di barak, Red) terkenal tidak pernah takut kepada siapapun, sepanjang itu benar," ceritanya dengan geram.

Berbeda dengan keduanya, ucap Kusdiantina, yang putri sulung mantan walikota Madiun menyikapinya. Dia lebih banyak diam menghadapi berbagai persoalan yang mendera keluarganya. Segala tekanan, olok-olok dari teman dan cap anak PKI yang melekat pada dirinya tidak dipedulikan. "Dia lebih dewasa dalam bertindak, sehingga kecaman dalam bentuk apa pun dia anggap angin lalu," pujinya pada anak pertamanya ini.

Tetapi penderitaan sebenarnya yang paling parah dialami oleh Ny Sri Kusdiantinah sendiri. Karena gaya hidup keluarga Bambang Supeno -yang waktu itu menduduki jabatan cukup penting-- dapat dikatakan lebih dari cukup. Di rumahnya tersedia beberapa pembantu yang siap melayani keluarga ini sepanjang waktu. Belum lagi ajudan yang disediakan dari kesatuan sang suami siap melayani setiap waktu. "Jadi waktu itu kehidupan keluarga saya cukup terjamin, walaupun tidak dapat dikatakan mewah," kenangnya.

Belum lagi kalau dirunut ke belakang kehidupan yang dijalani oleh Ny Sri Kusdiantinah sangat jauh dari kesusahan. Karena jabatan ayahnya R.M. Sedyono Padmohadiprojo tidak jauh dari kedudukannya sebagai Kepala Daerah Tingkat II. Pertama menjabat sebagai wali kota Madiun, dan kemudian dipindahkan menjadi bupati Sintang di Kalimantan. Jelas bahwa latar belakang kehidupan yang dijalani Ny Kusdiantinah, secara materi sudah sangat tercukupi. Sejak kecil dirinya tidak pernah mengalami apa yang dikatakan penderitaan. Semua kebutuhan yang diperlukan dapat dipenuhi oleh orangtuanya. "Yaa....untuk ukuran waktu itu sih dapat dikatakan cukup kaya yaa," tandasnya mengisahkan.

Sehingga jika kemudian mengalami "penurunan" cukup drastis taraf kehidupan yang dialaminya, maka wajar kalau Ny. Sri Kusdiantinah merasa sangat shock. Dari kehidupan berkecukupan dengan penghasilan suami yang mampu mencukupi kebutuhan seluruh keluarga. Mampu membuat keluarga mereka sejajar dengan keluarga lain, yang mempunyai banyak pembantu, peralatan rumah tangga yang komplit, perabotan rumah cukup mewah. Menjadi sebuah keluarga yang "pincang", dengan berkurangnya seorang kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka.

Jadi walaupun "tinggalan" Mas Bambang cukup banyak, tetapi kalau terus-terusan diambil untuk dimakan, suwe-suwe kan yoo entek (lama kelamaan habis juga). Jadi saya mulai berpikir untuk berusaha memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga. Maka mulailah saya berpikir usaha apa yang harus saya lakukan," ujarnya. (bersambung)

(marsoedioetomo/kristoforus talu)

Catatan :
(Sebelum menikah dengan Dr Soebandrio, Sri Kusdiantinah adalah istri Kolonel Bambang Supeno (Wakasad))


Back to Top ********************************* Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000