Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : Oposisi

"Laki-Laki yang Menikahiku, Terpidana Mati"

Sejak sang suami dijebloskan ke penjara, kehidupan keluarga Kusdiantinah benar-benar "pincang". Bisa dibayangkan, dari kehidupan yang berkecukupan tiba-tiba harus kehilangan semuanya, termasuk kepala keluarga yang semestinya bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya.

Jadi, meski Mas Bambang (Bambang Soepeno, terpidana mati) meninggalkan banyak materi, toh kalau setiap hari diambil terus-terusan, ya akhirnya habis. Maka, mulailah saya berpikir untuk merintis usaha, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lalu aku mulai berimajinasi, usaha apa yang harus saya lalukan," papar Ny Kus, panggilan akrab Sri Kusdiantinah.

Dalam hati kecil saya, aku harus bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak. Aku harus menjadi pengganti kepala keluarga. Aku harus membuka mata, dan memandang sekeliling, usaha apa yang mesti kulakukan. Meski diriku anak wali kota, namun jiwa mandiri sudah tumbuh sejak kanak-kanak. "Pengalaman adalah guru yang baik. Ini saya peroleh ketika romo (ayah, Red) dipindahkan ke Kalimantan sebagai bupati Sintang. Aku pilih tinggal di Madiun, ikut paman yang menjadi bupati di kota ini.

Sejak hidup mandiri itulah berbagai pengalaman unik kudapatkan. Hubungan jarak yang jauh antara Kalimantan dan Madiun, dan kiriman wesel yang sering terlambat dari orang tua, membuat diri saya semakin matang. Kendati, aku ditampung di rumah sanak famili, tapi kehidupanku tak terlalu bergantung pada orang yang saya tumpangi. Karenanya, aku memberanikan diri minta izin kepada sang paman untuk bekerja. "Wah! celaka sekali, ternyata pamanku malah merestui. Padahal, waktu itu yang ada dalam benak, aku berharap paman melarangku, paman menahanku supaya tidak bekerja. Umurku sendiri waktu itu baru 16 tahun, masih senang-senangnya bermain," kisah Ny Kus.

Sebenarnya, dalam lubuk hatiku, saya berharap agar dengan permohonan untuk bekerja tersebut membuat sang paman mengkasihani dan melarangku. Karena sebagai bupati Madiun "dalam benak Sri Kusdiantinah- tentulah malu apabila ada keluarga menumpang masih juga bekerja mencari uang sendiri. Apalagi waktu itu sebagai bupati yang merupakan orang nomor satu, tentu dia akan merasa sungkan bila tahu ada anggota keluarga yang menumpang padanya bekerja mencari uang sendiri. Tapi ternyata sang paman justru senang dan merestui. "Saya dianggapnya memiliki pemikiran yang dewasa, walaupun dari segi usia masih terhitung kecil," ceritanya.

Konsekuen dengan permintaan sendiri, mau tidak mau Sri Kusdiantinah muda memberanikan diri untuk bekerja. Berbekal kemampuan bahasa Belanda, langkah pertama yang dia lakukan adalah melamar bekerja di RRI Madiun. Langkahnya sebagai penyiar wanita, serta kemampuan bahasa Belanda yang sangat memadai, membuat dirinya langsung diterima bekerja sebagai penyiar. "Walaupun ketika pertama datang untuk wawancara saya menangis dan lari, tetapi saya bisa diterima bekerja di RRI. Mungkin pengaruh paman ada juga....rada-rada KKN juga sih," ungkap Sri yang masih menampakkan guratan-guratan kecantikan di usia tua ini.

Penterjemah Buku

Dari situ kemudian jiwa kemandirian Sri Kusdiantinah terasah. Masa muda mampu menghasilkan uang sendiri, membuatnya tidak terlalu kaget ketika mendapati dirinya menanggung beban tiga anak, dan tidak berpenghasilan sama sekali. Dengan berbekal pengalaman, Ny Kus mulai berpikir usaha apa yang dapat dia lakukan. "Walaupun kalau mengingat saya yang perempuan dengan suami di penjara, tentu tidak begitu saja cepat bisa kerja tho," ujar wanita berdarah biru ini.

Tetapi kepercayaan Ny Kus yang begitu besar terhadap kekuasaan Tuhan membuat dirinya pasrah tentang apa yang akan menimpa diri dan keluarganya. Akhirnya terbukti, Tuhan memang menunjukkan jalan kehidupan itu. Tidak tanggung-tanggung jalan yang diberikan Tuhan kepadanya, malah berlipat-lipat, jauh dari perkiraannya. "Pokoknya saya yakin kalau Tuhan itu tak pernah tidur, buktinya keluargaku yang hampir jatuh diberikannya pemecahan yang tidak terduga.

Bermula dari perjumpaan yang tidak terduga dengan suhu sastra Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana, membuka jalan baginya untuk menggeluti dunia yang lain sama sekali. Dari beliau Sri Kusdiantinah memperoleh pekerjaan baru sebagai penterjemah buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya Kahlil Gibran dan Alvin Toffler adalah buku pertama yang dialihbahasakan olehnya, kemudian menyusul ratusan buku-buku lain. "Dari situlah kemudian saya berpikir, mengalihbahasakan buku ternyata memberikan penghasilan yang cukup untuk dapat menghidupi keluarga," kata perempuan yang sampai sekarang masih meneruskan profesi penterjemah buku ini.

Lewat pak Takdir inilah kemudian membukakan cakrawala baru bagi Sri Kusdiantinah, selain jadi penterjemah, Ny Kus juga diterima menjadi mahasiswi di Universitas Nasional. "Ini suatu berkah yang tak terhingga nilainya, di mana waktu itu untuk memasuki universitas negeri tidak ada tempat untuk saya. Jangankan saya, Mas Guruh saja tidak dapat diterima masuk ke UI, dan Mbak Mega bahkan di-DO dari IPB. Itu kan semua karena anggapan keterlibatan dengan PKI dari rezim Orde Baru," cerita Ny Kus sedikit geram.

Rehabilitasi

Sedikit kebahagiaan terpercik dari Sri Kusdiantinah dengan dapat meneruskan pendidikan dan mampu menghidupi kebetuhan keluarga. Bertambah lengkap lagi ketika suaminya Kolonel Bambang Soepeno dibebaskan dari penjara. Sang suami yang sebelumnya dinyatakan sebagai terpidana mati, ternyata dibebaskan dan mendapat rehabilitasi. "Itu pun setelah mendekam lima tahun di penjara," katanya.

Kebahagiaan yang dialami keluarga ini tidak berumur panjang. Setelah tiga tahun berkumpul kembali dengan sang suami, serta anak-anak, pada tahun 1974 sang suami meninggal dunia karena sakit yang dideritanya semenjak dari dalam penjara. Walaupun kemudian suaminya memperoleh kenaikan pangkat anumerta sebagai Brigadir Jenderal, tetapi itu tidak cukup mengobati luka batin yang dialami Kusdiantinah. "Yaa....namanya suami, bebas dari penjara dan dinyatakan tidak bersalah, tetapi begitu keluar sebentar kemudian dipanggil yang kuasa. Sopo sing kuat atine...loro.... ati iki lo sing loro (siapa yang kuat hatinya sakit.....hati ini yang sakit, Red)," ujarnya sambil menekan-nekan dadanya.

Sakit hati yang dialami Sri Kusdiantinah berbuntut panjang. Derita batin kembali menderanya, hingga membuat semangat hidupnya oleng. Kalau semula hidupnya menyala seperti kobaran api dengan kembalinya sang suami, lalu psikologinya melorot drastis. Hari-hari yang dilewati Ny Kus terasa hambar, dan melelahkan. Kuliahnya yang hampir selesai, dibiarkan tebengkalai. Pekerjaan menterjemahkan buku rasanya mau ditinggalkan begitu saja. Bahkan perhatian terhadap anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa, sedikit berkurang. "Pokoknya saat itu merupakan hari-hari paling berat yang pernah saya alami," kenangnya dengan tatapan mata berbinar.

Bagaimana tidak, Ny Kus yang semula begitu tegar menghadapi berbagai persoalan hidup, semenjak kematian sang suami sontak kehilangan gairah kehidupan. Semua yang pernah dikerjakan begitu saja ditinggalkan. Hari-harinya dihabiskan untuk merenungi perjalanan hidup yang rasanya tidak pernah berpihak kepadanya. Segala nasihat dari orang-orang terdekatnya diabaikan. "Saya yang memang keras kepala, dan menjadi lebih kepala batu lagi. Semua nasihat dari anak, sahabat, dan orang tua masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Semua nasihat aku cuekin," paparnya.

Begitulah saking kerasnya dia berpikir sampai badannya kurus tak terurus. Segala urusan yang dia hadapi semuanya dia limpahkan kepada orang lain. Sedangkan dirinya sendiri tenggelam dalam lamunan, seolah-olah dirinya menyesali telah terlahir ke dunia ini. Sampai suatu saat, ketika di rumahnya diadakan peringatan atas wafatnya Brigjen Bambang Soepeno, di antara handai taulan yang hadir terdapat seorang famili jauh yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. "Waktu itu kebetulan dia sedang mendapat cuti tahunan dari LP-nya," kisahnya.

Orang tersebut adalah Mr. Soebandrio, mantan wakil perdana menteri pada zaman pemerintahan Bung Karno yang dituduh terlibat dengan G30S/PKI, dan mendapat vonis hukuman mati. Dalam menunggu pelaksanaan hukuman itulah kemudian hukumannya berubah menjadi penjara seumur hidup. "Dirinya banyak menasihati saya, membangkitkan semangat saya yang memudar, dan mengingatkan saya akan nasib masa depan anak-anak, yang semuanya tergantung pada kehadiran saya sebagai satu-satunya orang tua tempat mereka berlindung," katanya berapi-api.

Dari nasihat yang diberikan oleh Mr. Soebandrio itulah kemudian timbul semangat baru dalam diriku. Ternyata, masih banyak orang yang membutuhkan belaian kasih sayangku, yakni anak-anak. Masih ada anak-anak yang mengharapkan perlindunganku. "Menariknya, semangat itu terpompa dari nasihat orang yang tinggal menunggu dieksekusi. Terus terang saya sangat kagum atas semangat hidup yang dimiliki Pak Ban," tandas Ny Kus mengenang masa lalunya.

Rupanya dari kekaguman itu menularkan semangat hidup baru bagi Sri Kusdiantinah -- berkembang menjadi hubungan yang sangat dekat satu sama lain. Di satu sisi Sri membutuhkan orang yang dapat diajak berbicara, sedangkan di sisi lain Mr. Soebandrio merasa bertanggung jawab atas kelangsungan masa depan anak-anak Bambang Soepeno. "Dia itu sangat sayang terhadap anak-anak saya. Mungkin karena dia merasa sebagai paman yang harus melindungi keponakan-ponakannya itu ya," imbuhnya.

Entah siapa yang memulai kemudian hubungan mereka berdua berkembang menjadi sangat serius. Sehingga keduanya memutuskan untuk menikah. Pernikahan terjadi pada saat Idul Fitri di tahun 1980. "Pernikahan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, takut ketahuan pemerintah. Walaupun semua anak-anak dan keluarga saya menyetujui, tetapi berita perkawinan saya dengan Pak Ban tidak sampai bocor keluar. Karena sehari setelah menikah dengan saya, Pak Ban juga terus masuk ke bui lagi," ceritanya panjang lebar.

Tetapi waktu itu saya yakin, saya dapat hidup bahagia dengan Pak Ban walaupun dirinya terpidana mati. Terbukti kan setelah itu dia mendapat amnesti dan bebas dari penjara sewaktu peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Semenjak itu kehidupan kami mulai ditata kembali. Saya masih terus menjadi penterjemah dan sekaligus dosen di Unas dan Pak Ban meneruskan kegiatannya menulis buku autobiografinya," kata Sri Kusdiantinah bersemangat, serta mengakhiri pembicaraan.

***marsoedioetomo

Back to Top ********************************* Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000