Dikutip dari : Oposisi
"Para Tahanan Sering "Nyokot" Orang Tak Bersalah"
Peristiwa pemberontakan PKI yang berlangsung pada 30 September 1965 seakan penuh misteri. Peristiwa yang disebut pengkhianatan rezim Orde Baru itu selalu menjadi tanda tanya para korban yangernah mendekam di Pulau Buru. Padahal, meletusnya G30S/PKI begitu lamban direspon di daerah-daerah.
DI luar Jakarta peristiwa tersebut baru terdengar gaungnya setelah tanggal 3 Oktober. Itu pun berita tentang pemberontakan PKI sangat simpang siur, tidak ada satu pun informasi yang dapat dipercaya keb"ara. Sehingga masyarakat Surabaya menganggap kotanya aman-aman saja.
Apalagi Murahman SH (saat itu wali kota Surabaya) dan wakil gubernur Jatim adalah orang-orang PKI. Tentu saja, lantaran yang ada di pucuk pimpinan tersangkut G30S/PKI, maka banyak jajaran di bawahnya kena imbas juga. Tak pelak, meski tidak sedikit anggota PKI ada di instansi pemerintah, toh mereka aman-aman saja. Tak terusik keberadaan mereka.
Namun, kondisi aman Kota Pahlawan ini tidak berlangsung lama. Sebab, bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965, wali kota Surabaya ditangkap karena terlibat pemberontakan yang dilakukan PKI. "Baru setelah itu terjadi penangkapan-penangkapan yang dilakukan pihak militer, dan dibantu Banser NU," tutur Lukas Tumiso membuka kisahnya kepada Marsoedioetomo dari OPOSiSI.
Kontan saja situasi Surabaya berubah menjadi amburadul. Dari semula yang dianggap aman-aman saja berubah menjadi kota yang hiruk pikuk dengan adanya operasi penumpasan anggota PKI. Lukas yang waktu itu berprofesi sebagai guru SD di Gresik, dan mencoba memperbaiki nasibnya dengan mengikuti pendidikan persamaan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) di Surabaya, pada tanggal 13 Desember 1965 diciduk dari tempat belajarnya. Dengan diiringi tatapan mata bengong dari rekan-rekan guru yang bersama mengikuti pendidikan bersamanya, Cak So--demikian panggilan akrabnya--digelandang ke Kodim. "Teman-teman pada heran, mosok aku iki anggota PKI seh (masak dirinya dicap anggota PKI, Red)" ujarnya dengan dialek Suroboyoan yang amat kental.
Anggota PKI atau bukan, yang jelas Cak So kemudian dibawa ke Kodim untuk menjalani pemeriksaan. Padahal yang selama ini dilakukan oleh Cak So hanyalah ikut kegiatan guru-guru lain yang tergabung dalam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Tapi karena waktu itu PGRI terpecah menjadi dua bagian, yakni Non-Vaksentral dengan ketua Subandri, dan PGRI Kongres dibawaah pimpinan Subiyadinata yang under bow-nya SOKSI. "Nah, di Kodim inilah pemeriksaan begitu mengerikan," paparnya.
Di Kodim, Cak So dikumpulkan bersama dengan tahanan politik dari berbagai wilayah di Surabaya. Di sana semua lapisan masyarakat yang dinyatakan terlibat dalam gerakan PKI bertemu. Ada yang berlatar belakang pendidik seperti dirinya, pejabat pemerintahan, pedagang, nelayan, tukang becak, dan yang lain. "Tapi onok situk (ada satu, Red) yang sama di antara sekian ribu orang di situ, yakni roman mukanya. Wajah-wajah di situ adalah wajah dengan mimik keheranan. Mereka pada tidak tahu mengapa mereka dikumpulkan di situ dan dinyatakan terlibat PKI. Apalagi orang-orang seperti tukang becak, pedagang, nelayan, mereka sungguh-sungguh keheranan, tak mengerti terhadap gerakan, tapi diciduk serta digelandang ke Kodim," tandasnya sambil mengingat masa-masa kelabunya.
Ngaku PKI Biar Tak Disiksa
Keheranan Cak So segera terjawab ketika giliran dirinya untuk diperiksa. Dengan pengawalan ketat dia memasuki ruangan pemeriksaan. Di sana telah menunggu beberapa anggota militer yang sudah bersiap-siap untuk melakukan pemeriksaan lengkap dengan beberapa peralatannya. Di antaranya, yang diingat Cak So; cambuk, tang, dan beberapa peralatan yang tidak diketahui namanya. "Wah, ini benar-benar celaka," teriak batin Cak So.
Tidak lama kemudian apa yang dikhawatirkan Cak So terbukti. Dirinya ditanyai tentang keterlibatannya dengan PKI, dan karena menjawab tidak, maka berbagai hajaran bertubi-tubi mampir ke tubuhnya yang kerempeng. Dirinya terlempar ke sana-ke mari bagaikan bola. Setiap dia jatuh oleh tendangan, maka dengan enteng kaki yang paling dekat dengan tubuhnya ganti menendangnya. "Pokoknya, badan ini seperti dibikin main sepak bola" cerita Cak So dengan semangat menyala-nyala, khas arek Suroboyo.
Karena hajaran yang diterima Cak So itu ternyata tak mampu memaksa dirinya untuk mengakui sebagai aktivis PKI, maka para prajurit yang memeriksa mulai menimang-nimang tang. Alat yang biasa untuk mencabuti paku dari papan ini sekarang dialihfungsikan. Yakni untuk mencabuti kuku para tahanan yang tidak mau mengaku sebagai anggota PKI.
Dan, terjadilah apa yang dia takutkan, satu-per satu jarinya disuruh mengacungkan ke depan para petugas itu. Dengan tertawa-tawa mereka mencabut kuku Cak So. "Setiap satu kuku yang berhasil dicabut, mereka bertanya, PKI yoo, ayo endhi bolomu (PKI ya, mana teman-temanmu, Red), tanya prajurit sembari berteriak," papar Cak So sambil menunjukkan jari-jari tangannya.
Tapi sebesar apa pun siksaan terhadap diri Cak So, tetap saja lelaki kerempeng ini tak pernah mengakui sebagai anggota PKI. Dirinya masih saja merasa seorang guru yang mencoba untuk mengembangkan idealismenya sebagai pengajar. "Aku sudah cukup bangga kalau mantan murid saya sudah jadi orang. Walaupun secara materi dari prestasi yang dicapai para muridnya, Cak So tidak mendapat apa-apa. Namun, secara psikologis perasaan puas itu lebih besar dari imbalan materi yang kudapat. Lha opo aku sampek mikir reno-reno dadak melu PKI barang (buat apa lantas aku berpikir yang tidak-tidak, lantas ikut PKI segala, Red)," katanya dengan nada marah.
Pertahanan tubuh manusia terhadap siksaan memang ada batasnya, demikian pula yang dialami Cak So. Ketika beberapa hantaman mampir ke tubuhnya, dan beberapa ruas jarinya sudah tidak ada kukunya, akhirnya Cak So menyerah juga. Dirinya kemudian mengaku kalau dia adalah anggota PKI yang tergabung dalam organisasi guru PGRI Non-Vaksentral. Pengakuan ini semata-mata disebabkan oleh tubuhnya yang memang sudah tidak mampu lagi bertahan terhadap siksaan yang dia terima. "Awakku wis kadhung ajur (badanku sudah telanjut hancur, Red), kalau tidak mau mengaku bisa tewas seketika itu juga," kenangnya memelas.
Pengakuan itu merupakan berkah, beberapa waktu kemudian dirinya dikembalikan ke sel. Di dalam sel Cak So berpesan kepada rekan-rekan lain, bila ditanya supaya cepat-cepat mengaku sebagai orang PKI saja. Karena dengan begitu siksaan tidak terlalu banyak diterima. "Paling dikaplok pisan (dipukul sekali, Red), kalau sudah ngaku PKI terus dikembalikan lagi ke selnya. Itu yang membuat semakin banyak anggota PKI yang ditangkap di Surabaya," urainya.
Rupanya, anjuran Cak So sangat ampuh. Banyak teman-temannya terhindari dari siksaan yang tergolong kejam. Beberapa hari kemudian banyak berdatangan lagi tahanan baru dari berbagai penjuru Kota Surabaya. Karena yang memeriksa anggota militer, lantas mereka mengembangkan penyelidikan atas temuan yang mereka dapatkan. Ternyata, banyak sekali warga Kota Surabaya yang menjadi anggota PKI.
"Jadi setiap kali anggota militer itu bertanya kepada seorang tahanan, dan si tahanan itu mengaku dirinya PKI, maka pertanyaan akan diteruskan; siapa ketuanya, sekretarisnya, anggotanya berapa. Pokoknya, semuanya lengkap. Cara-cara yang digunakan oleh militer itulah yang membikin lebih banyak orang dianggap PKI. Padahal, sebagian besar yang dijebloskan ke tahanan tidak tahu apa-apa. Jadi mereka asal "nyokot" (gigit nama orang yang dia kenal, Red), maka si orang yang disebut itu otomatis dijadikan tumbal. Biasanya yang mereka sebut adalah tetangga, saudara, atau kerabat-kerabat yang lain. Sedangkan kalau ditanya tentang struktur organisasi biasanya mereka menyebutkan, ketua RT, RW, carik, atau lurah tempat mereka tingggal," ungkap Cak So panjang lebar.
Akibat banyaknya orang asal "cokot" inilah, yang mengakibatkan dendam berkepanjangan di antara mereka. Banyak orang yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa itu menjadi tumbal. Ini menjadikan keluarga mereka dikampung akan bermusuhan dan saling benci. Sehingga banyak di antara tetangga yang tidak saling tegur selama bertahun-tahun, kendati sebelumnya saling kenal baik.
Atau banyak juga menyebut-nyebut nama tetangga lantaran dendam, kemudian ikut-ikutan menghancurkan rumah orang yang dinilai sebagai anggota PKI di kampungnya. Cara-cara inilah yang selalu menjadi renungan Cak So selama ditahan, apalagi pada saat itu dirinya meninggalkan keluarga dengan anak yang masih kecil. "Anakku waktu itu masih kecil, tiga bulan, dan tinggal di Ponorogo. Secara kebetulan istriku menjadi bidan di RSUD dan RS Muhammadiyah Ponorogo. Ini yang membuatku ndak tahan, bagaimana nasib mereka setelah ayahnya di penjara. Walaupun aku sadar kalau aku ndak pernah nyokot orang, tetapi kekhawatiran itu selalu menghantuiku selama di tahanan," tukas Cak So dengan mimik serius.
(bersambung)
(marsoedioetomo)
Back to Top **************************** Related Message
|