Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : Oposisi

Bangun P. Buru, Hasilnya Dipetik Militer

Penderitaan Cak So, panggilan teman-temannya, di penjara militer terus berlanjut. Siksaan demi siksaan terus menghantui para tahanan yang dituding jadi anggota PKI. Meski mereka tak tahu menahu soal komunis, toh para tahanan ini akhirnya mau mengakui. "Agar kami terhindar dari siksaan yang lebih parah," tutur Cak So.

Celakanya, pengakuan 'yang terpaksa' itu dijadikan senjata untuk mengembangkan penyelidikan lebih lanjut. Yaitu mengungkap setuntas-tuntasnya akar gerakan PKI yang tersebar di kota Surabaya. Di balik terali besi itulah para tahanan dicecar berbagai pernyataan yang intinya siapa dedengkot PKI di Surabaya yang belum tertangkap.

Akibat asal sebut nama itulah, agar terhindar dari siksaan, banyak tahanan politik itu menyebut asal-asalan sejumlah nama orang, entah itu tetangga, ketua RT, dan sanak familinya. Padahal, orang yang disebut asal-asalan itu tak tahu apa-apa tentang gerakan makar ini. Sekali lagi, penyebutan yang ngawur itu untuk menghindari siksaan.

Bagi Cak So sendiri, hal tersebut tidak pernah menjadi pemikirannya. Karena selama ini dia tidak pernah 'mengorbankan' orang lain untuk keselamatan dirinya. Semua siksaan dia terima dengan semangat arek Suroboyo yang tetap menyala-nyala. Yang ada dalam benak pikirnya, bagaimana anak dan istrinya di Ponorogo setelah dirinya digelendeng aparat petugas dalam situasi yang tak menentu ini. "Apalagi anakku yang masih berusia 3 bulan itu, terus menghantui pikiran saya. Dan, bagaimana jika istrinya tahu suaminya ditahan Kodim gara-gara terlibat PKI, kan celaka," kisahnya.

Rupanya kekhawatiran Cak So segera mendapat jawaban. Saat atasan istrinya mengetahui ihwal penahanan dirinya, atasan itu langsung memecatnya dari tugas kebidanan di RS Ponorogo. Bukan cuma itu, istrinya juga dikeluarkan dari RS Muhammadiyah. Lantas, ibu dan anak malang itu terpaksa pulang kembali ke daerah asal di Kebumen, Jawa Tengah.

"Di Ponorogo sendiri nyaris setiap hari ada pembantaian. Ponorogo kan basisnya NU, waktu dilakukan pembersihan terhadap anggota atau yang diduga anggota PKI, aparat militer dibantu Banser. Jadi wajar saja kemudian istri saya menyelamatkan diri ke desanya karena takut pada Banser yang mencari sanak keluarga PKI. Mereka banyak dibantai, walaupun tak mengerti masalahnya apa. Mestinya, ngeman nyawa itu kan lebih penting," ungkap Cak So yang menggemari lagu-lagu dangdut ini.

Bukan Bromocorah

Peristiwa tragis yang menimpa istrinya itu terdengar setelah Cak So dipindahkan ke tahanan LP Kalisosok Surabaya tanggal 27 September 1967. Yakni ketika seluruh tahanan yang tersebar di Kodim, Gudang Kulit Wonocolo, dan LP Koblen dikumpulkan jadi satu di Kalisosok. Di situ Cak So bertemu kenalannya yang memberi kabar kalau istrinya sudah berada di tempat yang aman, di desanya Kebumen. "Tapi yok opo....aku kan masih ada di dalam sehingga tak bisa berbuat banyak," katanya.

"Di Kalisosok inilah berbagai macam peristiwa tragis dialami seluruh tahanan. Dengan dikumpulkannya semua tahanan politik di situ, membuat kapasitas LP jadi tidak muat. Untuk itu kebijaksanaan dari pihak LP adalah dengan memaksakan sel-sel yang ada untuk dijejali dengan tahanan. Tak pelak, kapasitas satu sel yang mestinya diisi maksimal 7 orang, bisa dihuni 20 orang sekaligus. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana sumpeknya," cerita lelaki yang dibesarkan di kawasan Tanjung Perak, Surabaya ini.

Untungnya (sebenarnya celaka) para tahanan yang satu sel dengan Cak So kurus-kurus. Sehingga untuk menempati ruang tahanan sesempit itu bukan menjadi persoalan yang berarti. Apalagi dengan pengalaman penderitaan selama di tahanan sebelumnya, membuat mereka semua terlatih menghadapi berbagai penderitaan. Dari situ mulai tumbuh rasa kebersamaan yang tinggi satu sama lain. Kalau ada tahanan yang berkelahi memperebutkan sesuatu, maka cukup dengan satu kata dapat meredam pertikaian tersebut. "Pokoknya cukup diingatkan, kita ini tapol, bukan maling ayam. Begitu saja mereka sudah reda sendiri," ujarnya.

Kerukunan yang terjalin di antara sesama napol membuat para tahanan ini memiliki kesetiakawanan yang luar biasa. Apalagi kalau sudah menyangkut masalah makanan. Kalau ada nasi dengan ikan asin saja sudah merupakan anugerah bagi para napol ini. Apalagi kalau pakai sayur bening dengan kol dan kangkung, walaupun agak busuk, namun rasanya lezat sekali, kendati kangkung dan kol itu bisa saja didapat dari sampah pasar Keputran.

Sebenarnya para Tapol ini setiap Jumat mendapat kiriman dari keluarganya. Para anggota keluarga yang mengirimkan bahan makanan terkadang ditahan. Asal tahu, meski mereka meringkuk di tahanan, tapi ada tempat untuk memasak sendiri. Tentu saja, semua kiriman keluarga itu diseleksi dulu, dan melewati para tahanan kriminal. Akibat seleksi yang ketat itulah kiriman yang mereka terima selalu habis dahulu sebelum sampai ke tangan.

"Jadi begitu sampai ke tangan kami, kiriman berupa nasi ya tinggal rantangnya. Kalau kiriman gula tinggal pelastik pembungkusnya. Siapa yang tak dongkol. Tapi, mereka kan bromocorah, mau diapakan. Kita akhirnya main akal-akalan saja. Sampai-sampai ada kuah sayur terasa kopi, dan minuman rasa ikan asin. Itu pun sudah kami syukuri lho," papar Cak So sembari mengelus dada.

LP Kalisosok memang agak luas. Kalau keluarga tak kirim makanan, para tahanan menanam pohon pepaya yang tumbuh liar. Nah, tumbuhan inilah yang kita ambil seluruhnya, mulai dari daun sampai akar sekalipun. "Ya seperti celeng itu, jika kita kehabisan bahan makanan," ucapnya.

Blitar Selatan

Penderitaan mereka ini kian bertambah seusai Operasi Trisula yang digelar di kawasan Blitar Selatan tahun 1968. Para tahanan PKI dari Blitar Selatan itu langsung dikirim ke Kalisosok. Kondisi mereka jauh lebih mengenaskan. Sebagian besar mereka menderita luka-luka di sekujur tubuh, bahkan darahnya terus mengalir. Lalat pun begitu banyaknya merubung luka-luka itu.

Meski begitu, kedatangan napol dari Blitar Selatan ini justru menguntungkan para tahanan lain. Dengan parahnya luka yang mereka alami, di tahanan Kalisosok inilah tampaknya merupakan pelabuhan terakhir. Banyak di antara para tahanan yang baru datang justru cepat mendekati ajalnya. "Luka-luka yang mereka alami sangat parah. Masuk ke tahanan sepertinya susah untuk bertahan hidup. Ya, akhirnya tinggal menghitung hari," kata Cak So berkisah.

Kematian napol Blitar Selatan ini justru menguntungkan bagi kita yang ditinggalkan. Karena dengan kematiannya menambah banyak jatah makan bagi yang ditinggalkan. Setiap orang yang mati, baru kami laporkan tiga sampai lima hari kemudian. Sehingga jatah ransum yang tetap itu bisa kita bagi bersama. Karena mayat itu sudah tak punya daging, mayat yang sudah beberapa hari itu tak berbau busuk. Aneh kan.

Pindah ke Nusa Kambangan

Penderitaan Lukas Tumiso ternyata terus berlanjut, karena tanggal 1 Agustus 1970, seluruh tahanan dipindahkan dari Kalisosok menuju Nusa Kambangan. Dengan kereta api, ke-2000 tahanan tersebut diangkut menuju Pelabuhan Cilacap. Dengan pengawalan cukup ketat, perjalanan darat yang melelahkan bagi para tahanan tersebut akhirnya sampai. "Memasuki wilayah Jawa Tengah, ngeri sekali. Di setiap sisi-sisi rel kereta berbaris tentara dengan moncong senjata sudah terkokang. Takut kita kabur kali ya...padahal membawa badan saja berat sekali," kisah Cak So yang kemudian tergelak-gelak geli.

Setelah seharian terpanggang dalam kereta yang sangat panas karena tidak ada jendelanya, para tahanan diseberangkan ke pulau Nusa Kambangan. Di sana mereka ditempatkan di penjara Limus Buntu untuk menunggu 'pemeriksaan' selanjutnya. "Pemeriksaan inilah yang dialami oleh seluruh tahanan politik PKI masa itu. Karena tidak ada pengadilan yang jelas bagi kami semua, apalagi untuk mengetahui kesalahan yang sebenarnya sesuai hukum. Jadi dengan pemeriksaan tersebut seolah-olah kami terus ditahan dan sedang mengalami tahapan-tahapan pemeriksaan selanjutnya. Dan itu diulang-ulang setiap kami berpindah tempat," cerita Cak So tanpa menyembunyikan rasa jengkelnya.

Begitulah, semua tahanan dari Jawa dikumpulkan di Nuasa Kambangan. Lewat penggolongan yang kriterianya ditentukan oleh pemerintah sendiri, mereka yang masuk golongan tapol 'berat' langsung dikirim lagi ke Pulau Buru. Perjalanan laut dengan 10 kapal milik TNI-AL melewati rute mendebarkan, yakni Samudera Hindia. Tak cuma ombak yang ganas, tapi juga karang-karang lancip yang siap menghancurkan kapal-kapal yang melewatinya. Dalam kondisi demikian, siapa yang berani lari? Masih hidup saja sudah untung.
Kengerian itu akhirnya terjadi juga ketika memasuki perairan Lombok. Tanpa sebab, tiba-tiba mesin kapal mati. Selama empat hari lamanya kami terapung-apung di tengah lautan. "Waktu itu banyak yang menangis ketakutan. Jatah makan pun dikurangi, sehari cuma makan sekali. Itu pun nasi bercampur karat lambung kapal. Tampak sekali jika kapal sudah kehabisan bekal.

Untunglah perjalanan napol tahap pertama yang dikirim ke Pulau Buru selamat sampai tujuan, setelah kapal dapat diperbaiki. Namun, kenangan Tumiso terhadap perjalanan maut ini tak pernah terhapus dari ingatannya. Di sinilah, kami baru sadar bahwa di antara teman-teman tahanan, banyak orang muda yang tidak tahu kesalahannya apa. "Biasalah, zaman kisruh, dan mereka ini tidak tahu sampai kapan akan melakoni tahanan ini. Padahal waktu itu mereka masih dalam usia produktif," ujar Cak So geleng kepala.

Bangun Pulau Buru

Beberapa hari kemudian, sesampai di pulau 'harapan' Buru, seluruh tawanan ditempatkan di barak-barak penampungan. Di tempat baru, para napol dipaksa kerja keras. Karena lahan yang mereka tempati masih perawan. Hutan-hutan di sekeliling sangat lebat dengan kayu sebesar rumah. "Wah, kayu di Hutan Buru waktu itu besar-besar sekali, tidak dapat tiga orang secara bersamaan memeluknya," kata Cak So semangat.

Para napol itu - di bawah koordinasi petugas militer -- kemudian menggarap lahan yang sudah dibuka oleh transmigrasi lokal. Lahan yang ditinggalkan ini berupa hamparan savana, dengan penuh ilalang. "Karena kami belum memiliki alat-alat pertanian, maka komandan unit memerintahkan kami untuk 'mbedholi' alang-alang tersebut dengan tangan telanjang. Lha, akibatnya tangan dan punggung kami pada melepuh semua," kisahnya.

Beberapa saat kemudain peralatan-peralatan sederhana untuk pertanian datang bersamaan dengan tahanan lain yang menyusul kemudian (sampai beberapa tahapan lagi sehinggga jumlah seluruhnya adalah 12.000 tahanan). Kewajiban para tahanan ini tidak saja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka, tetapi juga menopang kehidupan anggota-anggota militer yang menjaga.

Tidak lama kemudian lahan yang digarap napol sudah dapat dinikmati hasilnya. Satu hal yang mambuat para tahanan mengelus dada adalah ketika saat-saat mendekati musim panen. Pihak militer yang menjaga akan dengan serta merta memetik duluan hasil panenan mereka. Sementara bagi para tahanan yang ketahuan memetik panenannya akan terkena hukuman.
Setelah kurang lebih 10 tahun 2 bulan, akhirnya hari pembebasan Lukas Tumiso pun tiba. Dengan didahului oleh beberapa tahanan yang terlebih dahulu dipulangkan ke Jawa, maka dirinya yang selama di Pulau Buru bersahabat dengan Pramudya Ananta toer dipulangkan ke Jawa. "Saya adalah orang pertama dan terakhir tahanan politik PKI yang menginjakkan kaki di Pulau Buru," ujar Cak So yang akhirnya merelakan sang istri kawin lagi.

***marsoedioetomo

Back to Top ******************************** Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000