Dikutip dari : Oposisi
‘‘Berani Nyentuh, Saya Patahkan Tangan Polisi’’
Kisah Pilu Sri, Aktivis CGMI yang Kehilangan Kedua Orang Tuanya (1)
‘‘Berani Nyentuh, Saya Patahkan Tangan Polisi’’
Namanya Sri M. Tapi kepanjangan M itu minta tak dituliskan. Dia adalah aktivis CGMI yang dianggap sebagai organisasi under bow PKI. ‘’Padahal organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa di lingkungan fakultas kedokteran UGM,’’ katanya. Maka, dia pun bercerita bagaimana disiksa di penjara bersama wanita lainnya. Gara-gara dipenjara itu, ia kehilangan kedua orang tuanya.
SALAH satu peristiwa besar yang mengubah perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah adanya gerakan pemberontakan G-30S/PKI. Pemberontakan tersebut membawa bangsa Indonesia pada masa 'Orde Baru'. Orde yang memberikan berbagai kemudahan bagi sebagian orang, tetapi di pihak lain menyisahkan banyak permasalahan yang sampai sekarang belum teratasi. Korban dari pergantian orde, banyak yang menderita baik lahir batin, seperti pengalaman Ny Sri M., yang menuturkannya kepada Marsoedi Oetomo dari OPOSiSI di rumahnya, yang sekaligus sebagai kantor YPKP (Yayasan Pencarian Korban Pembunuhan) di Bekasi, Jawa Barat.
Waktu itu, Yogyakarta 1965, sedang bergolak, berita tentang pemberontakan PKI dan pembersihan terhadap antek-anteknya sangat gencar di lakukan. Salah satu dari orang yang diincar untuk diciduk adalah seorang pengusaha sabun dan barang-barang kelontong, Yatno P. Ayah tujuh orang anak ini dikepung puluhan orang di rumahnya dan di gelandang ke kantor polisi. “Waktu itu kawan bisa jadi lawan atau sebaliknya,” katanya.
Sebenarnya Yatno adalah seorang eksponen ‘45 yang pernah berjuang membela negara ini. Tetapi aktivitas kemasyarakatannya dinilai orang, waktu itu, sebagai under bow PKI, membuatnya ditangkap. Walaupun sebenarnya pergaulannya dengan orang kampung sangat baik, tetapi justru karena itu dirinya ditangkap. Penangkapan atas diri Yatno kemudian diikuti keesokan harinya oleh sang istri.
Keduanya tidak kembali, bahkan satu hari kemudian Sri muda yang waktu itu duduk di tingkat akhir Fakulatas Kedokteran Universitas Gajah Mada dipanggil polisi untuk diperiksa. Tetapi sebelumnya dirinya berniat untuk menjenguk kedua orang tuanya di kantor polisi, tetapi kedua orang tuanya sudah tidak ada di tempat. Sudah dipindahkan ke tempat lain, yang waktu itu tidak diberitahukan di mana. Di kemudian hari baru ketahuan, kalau ternyata Yatno dinyatakan hilang sampai sekarang, sedangkan sang istri tiga tahun kemudian baru pulang dan tidak berapa lama di rumah terus meninggal.
Semangati Teman
Kedatangan Sri ke kantor polisi merupakan suatu keberanian yang sangat mengagumkan. Karena di zaman serba tidak menentu itu apabila ada orang yang dipanggil atau dibawa ke kantor polisi, jangan harap dapat kembali dengan utuh. Bahkan, para tetangga tempat tinggal Sri sudah memperkirakan kalau dirinya tidak akan kembali. “Tetangga sudah meramal kalau nanti aku kembali nama,” ujarnya.
Apalagi saat itu Sri adalah aktivis CGMI yang dianggap sebagai organisasi under bow PKI. Padahal organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa di lingkungan fakultas kedokteran UGM yang bertujuan untuk belajar bersama dan menangani masalah perploncoan pada mahasiswa angkatan baru. Kegiatan mereka sebatas pada penyelenggaraan aktivitas sosial kemasyarakatan yang diadakan untuk mengisi masa perpeloncoan. Biasanya CGMI mengadakan cross country dan mengadakan bakti sosial di daerah-daerah yang dilewati.
Ternyata ramalan para tetangga terbukti. Sri memang tidak kembali ke rumahnya. Dirinya di tahan bersama puluhan wanita lain dengan tuduhan serupa, melakukan kegiatan yang berbau PKI. Mereka di kumpulkan dalam beberapa ruangan berukuran dua kali tiga meter yang diisi tujuh orang per ruangan. Sehingga kalau ingin mengubah posisi tidur tinggal memberi aba-aba pada yang lain. “Miring ngiwo cah,…. miring ngiwo,” kenang Ny Sri.
Cerita Pilu
Setiap hari satu per satu dari mereka diperiksa di ruangan atas. Sekembalinya dari pemeriksaan, cerita-cerita pilu akan segera meluncur dari mulut wanita-wanita tersebut. Mereka mengisahkan atas apa yang terjadi pada diri masing-masing. Ada yang menceritakan kalau baru saja dirinya mendapatkan pelecehan luar biasa dari para polisi di lantai dua. Tetapi yang jelas sekembali dari pemeriksaan luka-luka cukup serius pasti didapat. Ada yang dipapah karena tidak bisa berjalan, sampai pundaknya ‘melesak’ akibat siksaan.
Tetapi untungnya peristiwa seperti yang dialami teman-teman tahanan tersebut tidak menimpa diri Sri. Karena sikap perlawanan yang ditunjukkan Sri membuat polisi ciut nyalinya. Bagaimana tidak, wanita ini ternyata mempunyai prinsip yang sangat keras. Baginya setiap perlakuan yang mengarah ketidakadilan harus di lawan. Apalagi ditambah keseganan para polisi terhadap ayah Sri yang eksponen angkatan ‘45, maka selamatlah dirinya dari segala bentuk siksaan dan pelecehan.
Padahal seringkali tangan-tangan jahil para polisi itu mampir meraba-raba ke dalam ruang tahanan yang pengap itu. Tetapi dasar Sri memang nekat, dia tantang polisi-polisi penjaganya, kalau sampai berani nekat memasukkan tangan ke dalam kerangkeng, dia akan patahkan tangan polisi tersebut. Tetapi perlakuan polisi semakin merajalela, yang membuat suatu hari dirinya tidak kuat lagi menahan gejolak hati.
Maka Sri menyanyikan lagu ‘Darah Rakyat’ keras-keras yang segera diikuti seluruh tahanan. Sebenarnya lagu ini biasa dinyanyikan oleh anak-anak sekolah sewaktu mereka baris-berbaris, yaitu untuk membakar semangat mereka.
Gaung yang ditimbulkan oleh nyanyian tersebut membuat para tahanan bersemangat hidup kembali. Tetapi sebaliknya bagi polisi lagu ini ternyata ampuh untuk meredam kekejaman mereka. Sehingga keputusan akhirnya para tahanan ini kemudian dipindahkan ke dalam penjara, tempat yang melepaskan mereka dari himpitan siksaan para polisi.
Back to Top ********************************* Related Message
|