Silahkan Logo Pakorba di-klik

Duka Para Korban Orde Baru





Dikutip dari : Oposisi

Antara Belatung & Telur Lalat

Orang Jawa menyebutnya 'Z.' Pelafalannya "set." Itulah ulat-ulat kecil alias belatung. Sedangkan lalat yang ukurannya lebih besar, sering disebut "cathak." Lalat yang mengalami mutasi kromosom. Dua binatang menjijikkan inilah yang menjadi saksi penderitaan Abdul Latief. Mantan tahanan politik PKI itu.

Kini, dia sudah menghirup udara bebas. Sudah bisa makan sate dan rujak cingur. Sudah minum es kopyor atau kopi tubruk. Sudah bisa menyedot sigaret dengan napas panjang.

Namun, sejarah telah mencatatnya sebagai manusia yang sangat menderita. Tertekan lahir dan batin. Keyakinan bahwa dirinya tidak bersalah dan telah mengalami penahanan selama 13 tahun tanpa kepastian hukum. Selama itu, berbagai macam penyiksaan telah dijalaninya. Maka untuk meluruskan sejarah dan memperbaiki namanya, Kolonel Abdul Latief, mantan Tapol PKI itu, menerbitkan buku dalam bentuk Pledoi (pidato pembelaan).

Tapol

Satu fakta yang sulit dipungkiri kebenarannya, bahwa Kolonel Latief ini cepat sekali masuk tahanan di antara ratusan ribu tahanan yang kemudian dikenal dengan sebutan Tapol (tahanan politik). Tanggal 11 Oktober 1965 atau sebelas hari setelah meletusnya G30S/PKI dirinya ditangkap. Proses peradilan terhadapnya baru dia peroleh setelah 13 tahun kemudian (1978). Dan kepastian hukum baru diperoleh empat tahun kemudian (1982).

Orang-orang militer yang dianggap terlibat G30S/PKI seperti Letkol Untung dan Brigjen Suparjo langsung diadili dan hukumannya jelas, dieksekusi. Langsung koid, sehingga tidak merasakan penderitaan berkepanjangan. Berbeda dengan Kolonel Latief. Dia mendapat perlakuan yang sangat beda. Lebih kejam dan sadis. Dirinya ditangkap ketika berada di rumah kakak iparnya di Bendungan Hilir, Jakarta. Kala itu Latief berniat berkirim surat kapada caretaker Menpangad Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk meminta perlindungan. Akan tetapi belum sempat surat itu dikirimkan, rumah tempat tinggal kakak iparnya tersebut digerebek satu peleton pasukan Kujang II Siliwangi.

Pasukan ini tanpa merasa perlu menanyai ---sesuai dengan prosedur-- atau memerintahkan untuk menyerah, langsung menusukkan bayonet ke paha kanan dan kemudian menembak lutut kaki kiri Latief. Dengan berlumuran darah, Kolonel Latief diseret sepanjang 20 meter. Laki-laki itu dinaikkan ke dalam mobil Gaz yang sudah menunggu. Dalam kesakitan Kolonel Latief masih berhumor. Dia menghadiahkan jam tangannya kepada komandan yang memimpin penangkapan. Adegan satire yang tidak pernah dia lupakan seumur hidup. Dia merasa bangga atas tugas yang dilaksanakan dengan baik sekali oleh para prajurit untuk menangkap dirinya.

Tusukan

Derita yang dialami Kolonel Latief semakin parah ketika dirinya dimasukkan ke dalam penjara. Waktu itu luka tusuk dan tembak yang menimpa kakinya sudah sangat parah. Karena dari luka yang dialami tersebut mengakibatkan dirinya tidak bisa berjalan dan sekujur tubuhnya terbalut gips.

Hanya kepalanya saja yang dapat digerakkan ke kiri dan ke kanan. Masih ditambah ketika di dalam penjara, Kolonel Latief diisolasi ketat dalam sel yang terus-menerus dikunci. Dilarang berhubungan dengan orang lain selama lebih dari sepuluh tahun. Juga luka tusukan bayonet di kakinya yang dibiarkan membusuk dan bernanah, tanpa pernah mendapat pengobatan.

Sehingga akhirnya luka itu membusuk dan menjadi sarang lalat bertelur yang menjadikan luka tersebut sebagai tempat perkembangbiakannya. Hasilnya adalah dari luka tersebut keluar ribuan belatung, yang berloncatan ke sana kemari. Kelihatan sekali kalau Kolonel Latief ini sengaja dibiarkan. Penguasa orde baru rupanya berharap agar dengan penderitaan yang dialami, Latief tidak tahan oleh penyakit berkepanjangan dan derita batin yang dialami. Dengan begitu, tanpa melakukan upaya hukum apa pun Latief dapat dilenyapkan tanpa harus turun tangan.

Pelan-Pelan

Pertanyaannya adalah : "Mengapa Kolonel Latief ini harus dibunuh secara perlahan dengan tanpa melalui pengadilan?"

Jawabannya adalah : Kolonel Latief merupakan tokoh kunci. Sementara tokoh-tokoh lain seperti Untung, Supardjo, Subandrio, dan Oemar Dhani sudah diseret ke pengadilan dan diputus secara hukum. penyebab cepatnya mereka diadili adalah dikarenakan mereka bukanlah saksi Kunci. Mereka tidak akan menggoyahkan pemerintahan Orde Baru walaupun di pengadilan mereka buka mulut. Lain halnya apabila Latief yang disidangkan.

Tetapi karena semangat baja Kolonel Latief (karena dirinya adalah pejuang gerilya dan selama kariernya di militer selalu di taruh di pasukan tempur), maka segala bentuk siksaan, derita, dan berbagai bentuk intimidasi berhasil dia lawan. Semangat tempurnya membuat dirinya tetap tegar dalam mengatasi segala cobaan yang paling berat sekalipun. Sehingga dia berhasil bertahan dan berdiri di depan sidang pengadilan untuk bersaksi.

Soeharto

Tetapi rupanya kesaksian Latief tidak berlangsung dua atau tiga tahun setelah kejadian, melainkan sudah jauh dari saat kejadian. Yakni tiga belas tahun kemudian, tahun 1978. Faktor waktu ini penting dan menentukan, sebab dia mengungkap dan bercerita tentang segala yang dia alami seputar peristiwa G30S/PKI.

Kolonel Latief dalam sidang tersebut dapat menggambarkan secara gamblang tentang watak kekuasaan rezim militer jenderal-jenderal Orde Baru pimpinan Soeharto. Latief memaparkan bahwa sekitar beberapa bulan setelah peristiwa September 1965 meletus, ratusan ribu orang dikejar-kejar dengan tudingan komunis. Orang-orang ini tidak akan lupa bagaimana para interogator berusaha mengorek informasi dari orang yang ditangkap, apakah orang-orang itu tahu sebelumnya bakal ada gerakan 30 September? Tetapi jargon yang berkembang saat itu adalah tidak bisa tidak, patut diduga, langsung atau tidak langsung, pasti terlibat dalam pengkhianatan kudeta G30S/PKI. Orang lantas bertanya, bagaimana dengan Soeharto?

Kolonel Latief disebut sebagai kasus kunci, karena dialah sebagai bawahan Soeharto yang secara langsung melaporkan akan adanya suatu gerakan kup yang akan dilawan oleh gerakan lain pada tanggal 28 September 1965. Tetapi tanggapan Soeharto terhadap laporan tersebut tidak melakukan reaksi apa pun sehingga akibatnya adalah kematian enam jenderal. Padahal waktu itu Soeharto adalah Pangkostrad.

Inilah yang menyebabkan pembungkaman terhadap Latief harus dilakukan. Karena dia tahu benar bahwa ketika Soeharto dia lapori akan adanya peristiwa besar yang akan menimpa bangsa ini, dia membiarkan peristiwa tersebut berlangsung, bahkan menungganginya dengan mendapatkan Supersemar untuk meraih kekuasaan. Dan, di sini Kolonel Latief mengalami pemenjaraan dalam penjara. Dirinya dijebloskan dalam blok isolasi total --selama sepuluh tahun terus-menerus --yakni tidak diperbolehkan keluar sel sekejap pun kecuali selepas subuh untuk menerima jatah air minum.

Tetapi, rupanya siksaan yang mendera Kolonel Latief tidak berhasil membungkamnya. Walaupun begitu, ternyata situasi pengadilan yang dihadapi Kolonel Latief tahun 1978 jauh berbeda dengan awal pecahnya pemberontakan G30S/PKI. Karena situasi politik dan pemerintahan pada tahun itu, benar-benar dalam genggaman tangan Soeharto. Seluruh pranata dan perangkat kekuasaan sudah bekerja efektif, sehingga soeharto tinggal mengendalikan dengan remot kontrol. Sehingga sangat lucu ketika waktu itu Latief mencari keadilan ke pengadilan. Yang dia dapatkan adalah keadilan ala Soeharto.

Relevansi

Sehingga sangat biasa rasanya ketika waktu itu hakim ketua yang memimpin persidangan berkali-kali mengetokkan palunya ketika Latief membacakan pledoinya. "Tidak relevan! Tidak relevan!" itu adalah teriak hakim ketua, bahkan sebagaian pidato pembelaan Latief waktu itu dilarang untuk dibaca. Jadi kesimpulannya adalah kesaksian Kolonel Latief pada pengadilan di tahun 1978 tersebut tidak relevan. Dalam arti sudah tidak penting lagi -- walaupun indikasi bahwa Soeharto -- tahu sebelumnya bahwa akan terjadi peristiwa gerakan G30S/PKI pada bulan September 1965. Setidaknya itulah inti dari buku Latief berjudul "Soeharto Terlibat G-30-S, Pledoi Kol Latief, yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi.

(joesoef isak/marsoedioetomo)

Back to Top ********************** Related Message

************ Back to the Welcome Site ************


© 1996 - 2000
Last Update on 10.05.2000