Megawati
Chairwoman
DPP PDI
(Perjuangan)
Jl. Diponegoro 58
Jakarta

| 'Ekonomi-1' | 'Ekonomi-2' | 'Ekonomi-3' |'Ekonomi-4' | 'Ekonomi-5' |

| 'Ekonomi-6' |


| Berita Ekonomi lainnya |



************************************

Received on Sun Feb 22 12:07:31 MET 1998

Kabar dari PIJAR

From: yanto
Sent: Thursday, February 19, 1998 3:52 PM

Krisis ekonomi + Suharto vs. IMF (Bagian I)
Oleh Priyanto, FE-FU. Berlin

I. Pendahuluan


Memasuki tahun baru 1998 harga AS$ jauh melewati angka Rp. 6000,- 
dan malah pada 22 Jan. 1998 mencapai angka Rp.16.000,- tertinggi 
dalam sejarah ekonomi Indonesia. Tingkat harga2 barang kebutuhan 
pokok (a.l. beras, kedelai, gandum, sayuran, buah2an dan jasa transportasi)
maupun produk2 industri meningkat drastis. Kenaikan harga2 tsb. 
semakin menurunkan nilai riil Rupiah yang sebenarnya sudah sejak 1991 
(sejak Gebrakan Sumarlin II) menurun karena kenaikan jumlah stok 
uang beredar (26% pertahun) jauh lebih cepat dari pertumbuhan barang 
dan jasa (7% pertahun). Kemarau panjang dan tingginya kandungan 
impor sektor2 ekonomi Indonesia memaksa pemerintah dan pengusaha
untuk mengimpor barang2 kebutuhan pokok dan barang2 input bagi 
kelangsungan proses produksi. Alt ernatif lain bagi perusahaan2 swasta 
maupun pemerintah adalah menjalankan politik PHK massal dan turut 
berspekulasi dengan jalan memborong AS$ atau bahkan melarikan 
modal keluar negri. Besarnya hutang LN pihak swasta yang jatuh tempo
dan imbas dari krisis moneter di Asteng ditambah dengan ketidak pastian
mengenai kestabilan politik saat ini dan masa mendatang mengingat usia
Presiden RI yang sudah sangat senja untuk seorang pemimpin 200 juta
rakyat Indonesia. Selain itu terdapat ketidak jelasan mengenai realisasi
rescue package dari IMF dan negara2 donor yang bernilai 
AS$ 43 milyard itu,-. 

Perkembangan diatas mendorong naiknya permintaan thdp AS$ sehingga harga AS$ naik pesat sekalipun pemerintah telah mengadakan berbagai reform ekonomi a.l. intervensi BI di pasar devisa untuk membeli Rp dgn cadangan AS$ nya, menaikan suku bunga SBI untuk menarik Rp dari masyarakat, menutup 16 bank swasta dan mengganti 4 direktur BI yang memegang jabatan yang sangat menentukan dibidang moneter di Indonesia, menutup proyek2 yang banyak menggunakan devisa dan mengadakan tindakan2 lain yang tujuannya menghemat devisa. Pemerintah juga menjamin uang deposan di semua Bank (kecuali uang masyarakat di Bank perkreditan rakyat!) dan merencanakan untuk membuka Currency Board System untuk mematok harga AS$ pada level Rp. 5000,-atau Rp.5500,-. Anehnya, kedua langkah terakhir pernah berhasil menurunkan harga AS$ sampai sekitar Rp 6500,- dari Rp 10.000,-. Padahal langkah2 tsb. sangat riskan karena menuntut cadangan AS$ yang sangat banyak. Tidak jelas dari mana dana tsb dikumpulkan (mengingat hutang pemerintah yang sudah sangat banyak dan defisit pada current account yang makin besar saja!). IMF, WB Menkeu AS, Menkeu Jerman dan banyak ahli al mantan menkeu RI Emil Salim (kecuali Mari Pangestu dan Rizal Ramli yang bersikap positif thdp CBS) Gubernur BI Dr. Sudradjat Djiwandono yang bersikap skeptis thdp CBS belum lama ini diganti oleh Sjahrir Sabirin. Apa motif pemerintah (presiden RI) dalam penerapan CBS tsb? Awal Orde Baru pendapatan perkapita Indonesia hampir mencapai AS $ 80,-, tiga puluh tahun kemudian angka tsb melonjak pesat hingga mencapai AS $ 450,-. Andaikata tidak terjadi krisis nilai tukar, maka pada tahun 1997 pendapatan riil perkapita penduduk Indonesia melampaui angka AS $ 1000,- Karena krisis moneter 1997/1998 maka pendapatan riil perkapita Indonesia merosot sampai mencapai level pendapatan riil perkapita tahun 1976. Dengan kata lain, jika diukur dengan AS$, maka tingkat kesejahteraan riil rata2 penduduk Indonesia di akhir 1997 kira2 sama dengan levelnya di akhir 1976. Krisis moneter 1997 telah mengantar perekonomian Indonesia kedalam resesi ekonomi yang sekaligus mempersulit penemuan jalan keluarnya karena masalah politik juga semakin pelik. Pada hakekatnya tinggi rendahnya nilai tukar Rp.-AS$ ditentukan oleh banyaknya permintaan dan persediaan AS$ di pasar devisa. Jika permintaan akan AS$ di Indonesia melebihi persediaannya, maka dengan sendirinya harga AS$ dalam mata uang Rp. akan naik harganya. Bagi Indonesia yang perekonomi- annya sangat tergantung dari import barang dan jasa (indikatornya adalah membesarnya defisit neraca tahun yang berjalan), maka kenaikan harga AS$ menaikan harga barang2 dalam negri. Meskipun sektor eksport menjadi lebih menguntungkan, beberapa barang pokok yang tadinya dijual didalam negri akhirnya di ekspor sehingga harga barang2 tsb. naik; misalnya minyak goreng yang akhir akhir ini harganya naik hampir 50% per kg. Kenaikan harga komoditi pokok ini mengakibatkan kenaikan harga2 barang & jasa lainnya (spill over/spiral effects). Kenaikan harga yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan tentu saja menurunkan tingkat kesejahteraan hampir semua rakyat Indonesia terutama mereka yang tergolong miskin dan sangat miskin. Menjelang akhir tahun 1967 ketika Presiden Suharto baru beberapa bulan resmi menjadi presiden RI, nilai kurs AS$ adalah Rp. 235,-. Harga AS$ tsb. terus naik sampai mencapai Rp. 378.-pada pertengahan tahun 1971. Pada tanggal 23 Agustus 1971 pemerintah melakukan devaluasi pertama kali dan menaikan harga AS$ dari Rp.378,- menjadi Rp.415,- Harga AS$ ini bertahan paling lama dalam sejarah ekonomi Orba (karena harga AS$ ditetapkan pada harga Rp.415,- oleh Bank Indonesia) sampai pada 15 November 1978 ketika pemerintah mendevaluasi nilai Rupiah sampai 50,6 persen yaitu dari Rp. 415,- menjadi Rp.625,- per AS$. Padahal ketika itu Bank Indonesia dan pemerintah (c.q. Dept. Keuangan dan juga Pertamina) menyimpan stock AS$ yang melimpah karena sejak 1973 harga minyak di pasaran dunia naik lebih dari 100%. Devaluasi 15 November 1978 tsb. dimaksudkan pemerintah untuk mendorong sektor eksport Indonesia1. Mulai saat itu pemerintah tidak lagi mematok harga AS$ pada tingkat tertentu tapi membiarkan harga AS$ mengambang terkendali atau membiarkan nilai rupiah terdepresiasi hingga level tertentu. Pada 30 Maret 1983 ketika harga minyak dipasaran dunia menurun tajam sehingga pendapatan devisa berkurang drastis, pemerintah kembali mendevaluasi AS$ sampai 38% dari Rp. 702,- menjadi Rp. 970,-. Program penggalakan ekspor non migas dan penggunaan produk dalam negri mulai gencar dilaksanakan. Dilain fihak rupiah lambat laun terus terdepresiasi sampai pada 12 September 1986 dimana pemerintah untuk keempat kalinya mendevaluasi Rupiah, kali ini sebanyak 21% yaitu dari Rp. 1354,- menjadi Rp. 1644,- per AS$ (padahal Rp. sudah terdepresiasi atau turun 40% sejak devaluasi sebelumnya). Sejak devaluasi ini sampai akhir Oktober 1997 rupiah terus terdepresiasi hingga 124%. Menjawab masalah turunnya nilai Rupiah pertengahan 1997, pemerintah dalam hal ini Depkeu. & BI mengeluarkan kebijaksanaan penghematan devisa sbb: pelebaran rentang intervensi (11 Juli) untuk mengurangi pembelian AS$ oleh BI, penghapusan rentang intervensi yang berarti harga AS$ diizinkan untuk naik sampai berapa saja dan BI tidak perlu lagi ikut membeli/menjual AS$ untuk menstabilkan harga AS$ (14 Agst.), ditundanya proyek2 besar senilai Rp.39 triliun yang banyak komponen AS$ nya (16 Sept.) dan dinaikkannya suku bunga SBI (Sertifikat BI) menjadi 30% yang dimaksudkan untuk merangsang orang melepas AS$ dan membeli SBI; tapi pada prakteknya justru menaikan harga modal sehingga biaya investasi menjadi mahal dan malah memperdalam resesi ekonomi. Kebijaksanaan2 itu ternyata tidak efektif sehingga pada 8 Oktober 1997 pemerintah menyatakan akan memohon bantuan IMF agar dana segar dalam bentuk AS$ turun kepasaran hingga nilai Rp dapat kembali stabil. Selama 30 tahun pemerintahan Orba Rp. telah terdepresiasi sampai sekitar 70% dan pernah sampai 98% yaitu pada 21 Jan 1998 ketika harga AS$ mencapai Rp. 16.000,- Ketika harga dolar sudah tak terkendalikan maka pada 8 Oktober pemerintah RI meminta bantuan IMF. Direktur IMF Michel Camdesus pada 31 Okt. 1997 di Washington menyetujui "rescue package" IMF, World Bank dan ADB senilai AS$ 23 milyard,- (ditambah bantuan pinjaman dari negara2 tetangga menjadi AS$ 30 milyard) yang dimaksudkan untuk menstabilkan nil ai Rp. (reformasi sektor moneter) dan membiayai proyek2 pembangunan. Beberapa jam sebelumnya Menkeu RI mengumumkan likwidasi 16 bank swasta2 (padahal pangsa pasar dari ke 16 Bank tsb hanya sekitar 3% dan sampai kinipun jumlah bank di Indonesia lebih banyak dari pada jumlah bank di Jepang atau Jerman) dengan alasan banyaknya kredit yang macet akibat banyaknya porsi kredit yang diberikan kepada perusahaan/pribadi dari group yang sama, tidak atau terlambat mengeluarkan laporan keuangan, kurang mampunya bank2 tsb untuk menghimpun dana dari masyarakat sehingga menimbulkan defisit dalam neraca keuangan mereka; alasan lain adalah tidak dihiraukannya teguran2 dari BI. Rescue package tsb. disatu pihak dapat (untuk sementara waktu) memperkuat nilai rupiah tetapi dilain pihak nilai paket ini menambah hutang luar negri RI yang sudah sangat banyak sehingga memperdalam ketergantungan Indonesia thdp. negara2 pemberi hutang. Mengapa penurunan nilai Rupiah sedemikian besar? Secara umum dapat disarikan bahwa faktor2 penyebabnya antara lain adalah sbb: 1. Semakin meningkatnya defisit neraca tahun yang berjalan yang tidak diimbangi dengan peningkatan surplus neraca kapital yang memadai; 2. Meningkatnya jumlah uang beredar yang jauh melebihi pertumbuhan barang dan jasa, sehingga menurunkan nilai rupiah itu sendiri; 3. Meningkatnya hutang luar negri yang jatuh tempo pada tahun 1997 hingga medio 1998 terutama dari sektor swasta (dan pelarian modal dalam bentuk AS$ ke luar negri oleh swasta asing maupun swasta Indonesia), sehingga permintaan akan AS$ meningkat pesat; 4. Meningkatnya permintaan akan AS$ berdasar motif2 spekulasi karena menguatnya AS$ di pasaran dunia sejak awal 1997 serta pengaruh imbas penurunan drastis nilai mata uang Baht (Thailand), Peso (Philipina) dan Ringgit (Malaysia)3 vis a vis AS$. dan 5. Tidak menentunya stabilitas politik mengingat semakin senjanya usia Presiden Suharto yang semakin menurun serta tidak jelasnya realisasi rescue package IMF dan bantuan bilateral yang bernilai AS$ 43 milyard,-.

II. Meningkatnya defisit neraca tahun yang berjalan


Selama masa pemerintahan Orde "Baru"4 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai
rata rata 7% pertahun. Sejak awal program untuk memacu lajunya pertumbuhan
ekonomi melalui kegiatan2 investasi menjadi prioritas pembangunan sehingga
sekalipun sumber dana investasi dari penerimaan negara dari eksport migas
dan hasil bumi berlipat ganda, pemerintah sejak awal terus mengandalkan
investasi modal asing dan hutang luar negri. Selama 15 tahun terakhir penanaman 
modal asing tumbuh rata rata 23% pertahun dan hutang luar negri bertambah rata
rata 14,8% pertahun. Dengan demikian pertumbuhan investasi modal asing dan hutang
luar negri lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi.

Transaksi kegiatan ekonomi Indonesia dengan luar negri juga meningkat pesat;
eksport barang dan jasa tumbuh sangat cepat hingga mencapai angka rata rata
pertumbuhan 28% pertahun. Pesatnya kenaikan arus modal asing dan hutang luar
negri mengakibatkan kenaikan pembayaran bunga dan cicilan dari modal asing
dan hutang luar  negri pada tahun berikutnya. Demikian halnya dengan pesatnya
kebutuhan akan import barang dan (terutama) jasa yang meningkatkan
pembayaran atas import tsb. setiap tahunnya, selain itu juga karena kerawanan situasi
politik akhir2 ini mendorong kecenderungan pelarian modal (a.l. dalam AS$)
keluar negri.

Perkembangan2 ini mengakibatkan membengkaknya defisit "neraca tahun yang
berjalan (current account)" yang menyebabkan permintaan akan AS$ yang
semakin membesar sehingga mendorong naik harga AS$ di dalam negri. Proses
industrialisasi se lama ini yang menggeser sektor pertanian mengakibatkan
berkurangnya produksi bahan2 kebutuhan pokok produksi sektor pertanian,
sehingga tahun 1997 Indonesia harus mengimport beras (9 juta ton), gula (400
ribu ton), kedelai (1 juta ton), sayuran (130 ribu ton) dan buah2an (90 ribu
ton)5. Dengan kata lain tidak saja sektor industri yang bergantung pada luar
negri tapi juga beberapa produk pertanian penting sebagai bahan konsumsi
seluruh rakyat Indonesia. Hal ini akan sangat rawan bagi timbulnya krisis
pangan dan meningkatnya inflasi yang pada gilirannya akan kembali menurunkan
nilai Rp.

Sejak 3 tahun terakhir defisit neraca tahun yang berjalan naik 3 kali lipat
dari AS$ 3,5 milyard tahun 1994 menjadi AS$ 10,1 milyard di tahun 1997.
Kenaikan tsb. adalah konsekuensi logis dari industrialisasi yang tergantung
akan impor barang modal, barang penolong, jasa2 pengangkutan, asuransi,
perbankan, "transfer of income & profit" dari perusahaan asing keluar negri dan
jasa lainnya6. Perkembangan tsb menunjukan bahwa selama ini pemerintah telah
sukses menjalankan strategi impor non migas (bukan sukses dalam melaksanakan
strategi ekspor non migas seperti yang digembar gemborkan sejak awal dekade
80an).

III. Meningkatnya jumlah uang beredar lebih cepat dari pertumbuhan barang
dan jasa

Ketika harga migas di pasaran dunia turun drastis maka pada tahun 1983
pemerintah mulai menggalakan eksport non migas. Untuk itu diperlukan
peningkatan investasi disektor non migas. Agar investasi meningkat maka
diperlukan deregulasi/liberalisasi perbank an. Tahap pertama adalah
deregulasi bank2 negara melalui Pakjun (paket 1 juni 1983) yang memungkin-
kan bank2 negara lebih banyak menghimpun dana masyarakat (melalui 
peningkatan bunga tabungan deposito) dan mengalokasikannya dalam bentuk 
kredit investasi (sebelumnya hanya berdasarkan persetujuan Bank Indonesia). 
Setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan2 non moneter selama 
1984-1987, maka pada 27 Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan 
deregulasi untuk bank2 swasta (dikenal dengan Pakto).

Persyaratan pendirian bank swasta dipermudah (dengan hanya bermodalkan Rp.10
milyard siapapun boleh mendirikan bank!) dan bank asing yang sebelum 1988
hanya boleh beroperasi di Jakarta, boleh mendirikan bank di kota2 besar di luar
Jakarta sedangkan bank swasta nasional boleh beroperasi sampai di tingkat
kabupaten. Sejak itu bank2 swasta dengan kantor2 cabangnya tumbuh menjamur.
Tahun 1988 terdapat hanya 75 bank dengan 1640 kantor2 cabang sedangkan tahun
1996 terdapat 238 bank dengan 5639 kantor cabang diseluruh Indonesia. Dalam
waktu kurang dari 10 tahun jumlah bank meningkat lebih dari 300% sedangkan
jumlah kantor2 bank meningkat hampir 350%. Nilai alokasi kredit sejak 1988
hingga 1996 meningkat sampai 751%!!.

Pada 1988 jumlah alokasi kredit Rp. 40,8 triliyun sedangkan 1996 meningkat
menjadi Rp. 306,6 triliyun8. Peningkatan ini sangat mencolok terutama pada 2
tahun terakhir. Akibatnya jumlah uang beredar bertambah lebih cepat daripada
pertambahan barang dan jasa di pasaran dalam negri, sehingga harga2 dalam
negri terdorong naik. Dengan demikian secara riil nilai Rupiah merosot; selain itu
perbedaan tingkat inflasi di AS dan di Indonesia semakin tajam sehingga mend
orong orang untuk menyimpan kekayaan mereka tidak dalam bentuk rupiah
melainkan a.l dalam AS$. Karena itu maka mata uang Rp. dalam AS$ menurun 
tajam; atau harga AS$ di Indonesia naik dengan pesat.

Mengapa alokasi kredit sangat pesat? Sebagian besar pemilik bank swasta
adalah konglomerat yang beroperasi berdasarkan kelompok bisnis "in group". Dalam
tahun2 terakhir bank swasta banyak beralih fungsi menjadi penyalur kredit
untuk group sendiri. Akibatnya kontrol bank sebagai pemberi kredit atas nasabah
yang menggunakan kredit tidak berfungsi sebagai mestinya. Kalau ada kredit yang
sudah lebih dari 3 bulan tidak dikembalikan maka kredit tsb dikatagorikan
sebagai kredit macet. Dalam situasi seperti ini bank swasta boleh mengajukan
kredit likwiditas (KLBI) pada BI. Untuk menyehatkan bank tsb BI terpaksa
memberikan fasilitas KLBI itu (tentu saja ada faktor kolusi antara bank
penerima KLBI dan fihak BI!!)9.

Kasus ambruknya Bank Suma10 dan kasus Golden Key (kasus Edi Tansil)11 menunj
ukan lemahnya otoritas BI dalam mengontrol praktek bank2 di Indonesia. Pakto
88 memungkinkan peningkatan alokasi investasi yang menyebabkan pertumbuhan
ekonomi, tapi akhirnya karena lemahnya kontrol BI (karena kuatnya pengaruh
politik pemilik bank atau adanya kolusi antara pemilik bank dan aparat BI)
atas kinerja bank2 di Indonesia, maka liberalisasi perbankan menjadi "boomerang"
yang melukai sektor moneter Indonesia, sehingga IMF perlu turun tangan
membantu menyembuhkannya.

Perlu digaris bawahi bahwa para pemilik bank yang dilikwidasi sebenarnya
tidak mengalami kerugian (sebelumnya mereka telah meraup dana tabungan 
masyarakat dan kredit dari BI untuk kepentingan usaha2 mereka), yang bangkrut 
adalah bank mereka (baca: organisasi mereka)12. Tragisnya, kolusi antara para
konglomerat (baik bank2 dan group perusahaan2) menyebabkan meningkatnya 
peredaran uang yang berakibat kenaikan harga yang harus dipikul oleh segenap 
masyarakat Indonesia.

IV. Meningkatnya pembayaran cicilan dan bunga hutang luar negri pihak swasta
yang "unhedged"(tdk "diasuransikan")

Sejak awal tahun 90an sektor real estate di Indonesia mengalami jaman
keemasan, yang ditandai dengan proyek2 kompleks perumahan, perkantoran, 
bungalow, lapangan golf yang tumbuh menjamur. Corak pembangunan yang 
sedemikian tidak saja berdampak negatif thdp kelestarian lingkungan dan 
menimbulkan ketegangan2 sosial (akibat penggusuran) tapi juga menelan 
banyak kredit investasi (diperkirakan tidak kurang dari 40% total kredit 
dilokasikan ke sektor real estate).

Sebagaimana lazimnya, kredit di sektor ini disalurkan dalam waktu singkat
dengan nilai yang tinggi tetapi pengembaliannya sedikit demi sedikit dalam
jangka waktu yang panjang. Sejak tahun yang lalu terdapat kelebihan
pengadaan real estate sehingga banyak yang tidak laku dijual; akibatnya banyak
perusahaan pemborong bangunan yang rugi dan tidak bisa mengembalikan kredit 
pinjaman mereka. Pengusaha swasta yang bergerak disektor ini bersama pengusaha
dari sektor lainnya sejak tahun tahun terakhir mengambil kredit diluar negri yang
dinyatakan dalam AS$.

Selama ini departemen keuangan ataupun BI tidak mewajibkan siapapun untuk
melapor jika ia mengadakan pinjaman luar negri. Alhasil BI tidak mengetahui
berapa tambahan permintaan pihak swasta akan AS$ untuk membayar bunga dan
cicilan hutang luar negri mereka yang sudah jatuh tempo pada paruh kedua
tahun yl.13.

Berdasarkan indikasi2 yang menunjukkan memburuknya situasi moneter di
indonesia pada pertengahan 1997, maka banyak hutang luar negri swasta 
yang jatuh temponya dipercepat oleh pihak luar negri. Hal ini memaksa pihak 
swasta yang berhutang untuk memburu AS$ untuk memenuhi kewajiban 
pembayaran hutang luar negri mereka. Selain itu ada banyak spekulan besar 
yang mendapat kredit dari LN dalam bentuk AS$ memanfaatkan fasilitas swap 
dari BI, yaitu: uang dalam bentuk dolar tsb ditukarkan Rp dengan kurs yang 
disubsidi oleh BI dan Rp yang diperoleh dari fasilitas swap ditukarkan segera 
dengan dolar di pasar spot. Dengan demikian tingkat bunga Rp melambung 
tinggi (yang meningkatkan biaya investasi) dan harga dolar juga naik drastis.

Data aktuel hutang swasta yang bisa memperlihatkan besarnya jumlah bunga dan
cicilan pada periode tertentu adalah data dari BIS (Bank for International
Setlements) di Singapur. Menurut sumber dari Merill Lynch cabang Singapur
yang mempunyai akses ke data BIS, hutang swasta Indonesia yang jatuh tempo
sampai dengan akhir 1997 mencapai rekor tertinggi sebesar AS$ 34,-. 
Sebagian besar dari hutang pihak swasta tsb tidak di hedging (tidak diasuransikan).

Jumlah ini tidak sebanding denga n cadangan devisa BI yang hanya AS$ 22,-
dan jumlah devisa yang dihemat karena ditundanya proyek2 besar (AS$ 4 milyard
untuk tahun 1997). Jumlah tambahan permintaan akan AS$ untuk membayar hutang luar
negri ini (ditambah dengan kebutuhan akan AS$ untuk ke perluan pelarian
modal) yang tidak seimbang dengan banyaknya persediaan cadangan devisa di dalam
negri memperkuat dorongan terhadap naiknya harga AS$ di Indonesia. Menurut
pemerintah RI (Radius Prawiro, ketua tim Penanggulangan Hutang Luar Negri Swasta) dalam
pengumumannya pada tanggal 6 Jan.1998 menyatakan bahwa posisi hutang
Indonesia sampai saat ini mencapai AS$ 137,4 yaitu 73,9 milyard hutang swasta dan AS$
63,5 milyard hutang pemerintah RI.

V. Menguatnya nilai AS$ di pasaran dunia dan imbas penurunan drastis mata
uang Baht, Peso dan Ringgit

Sejak akhir tahun 1996 ketika presiden AS Bill Clinton terpilih untuk kedua
kalinya, ekonomi AS terus membaik (pertumbuhan ekonomi secara konstant yang
relatif tinggi, tingkat inflasi yang rendah, tingkat pengangguran yang
relatif rendah dibanding negara industri lainnya). Selain itu negara2 industri
lainnya (negara2 EU & Jepang) sedang menjalankan politik konjungtur dengan
menetapkan tingkat bunga rendah untuk mendorong investasi dan peningkatan lapangan
kerja. Perkembangan2 tsb. ditambah dengan dugaan bahwa Alan Greenspan, gubernur Fed
Res Bank (bank sentral AS) akan meningkatkan suku bunga utama AS, mendorong
naiknya nilai AS$ di pasaran valuta asing (valas) dunia. Nilai DM Jerman
dalam AS$ yang terkenal stabilpun sejak awal Januari hingga 6 Agustus 1997 turun
sampai 22%.

Kecenderungan yang semacam terlihat pada nilai mata uang negara2 industri
lainnya (tapi cadangan devisa mereka cukup andal). Thailand, Philipina &
Malaysia yang cadangan devisanya rendah (karena tingginya defisit dalam
"neraca tahun yang berjalan" mereka) mengalami serangan2 para spekulan di negara2
yang bersangkutan yang memburu AS$ dan melepas Baht, Peso & Ringgit yang
sebelumnya mereka tahan14; akibatnya harga AS$ di negara2 tsb. naik dengan pesat.
Demikian juga nilai kurs saham di negara2 ini turun drastis karena sebagian besar
fund manager peserta pasar modal menjual saham2/kertas berharga dan menukarkan
uang hasil penjualan tsb.

dengan AS$ dipasar valas. Perkembangan ini memperkuat dorongan terhadap
pemilik tabungan dalam Rupiah di Indonesia untuk membeli AS$ dengan harapan bahwa
nilai AS$ mereka akan terus meningkat pesat. Berbeda dengan di Indonesia,
pemerintah di Thailand menutup lebih dari separuh bank yang ada dan lebih dari itu,
tidak hanya menkeunya yang menundurkan diri tetapi juga perdana mentrinyapun
lengser keprabon.

(bersambung ke bagian II)

--------------------------------------------------------------
PIJAR Indonesia -- Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi
Jl. Pedati 104b (RT 007/10) Bidaracina, Jatinegara
Jakarta Timur 13330 INDONESIA
Ph. +62 21 8502636 Email: [email protected] [email protected]
http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/pijar
---------------------------------------------------------------

**************************************************


Kabar dari PIJAR

From: yanto
Sent: Thursday, February 19, 1998 3:52 PM

Krisis ekonomi + Suharto vs. IMF (Bagian II)
Oleh Priyanto, FE-FU. Berlin

VI. Ketidak pastian akan stabilitas politik saat ini dan masa datang
mengingat
semakin senjanya usia Presiden Suharto dan ketidak jelasan tentang realisasi
penyerahan dana segar dalam AS$ dari IMF dan negara donor kepada pemerintah
RI

Pada akhir Oktober 1997 Presiden RI bertolak ke Kuala Lumpur untuk
menghadiri koferensi G15. Pada 18 s/d 29 November 1997 Presiden RI 
mengadakan kunjungan kerja internasional dengan mengadakan perlawatan 
ke Afrika selatan, Kanada (menghadiri konferensi APEC 24-25 November) 
banyak negara dan juga pada 27-28 November ke Mekah untuk menunaikan 
ibadah umroh. Perlawatan2 itu sangat melelahkan dan menyita banyak energi; 
pada 5 Desember 1997 Mentri Moerdiono mengumumkan bahwa sejak 5 hingga 
15 Desember 1997 Presiden akan cuti sakit sehingga Presiden harus beristirahat 
selama 10 hari. Kunjungan Presiden Suharto ke Solo untuk mengunjungi makam
almarhumah ibu Tin Suharto dan kunjungan ke Teheran untuk menghadiri sidang 
OKI di batalkan.

Kunjungan ke Kuala Lumpur dalam rangka sidang tahunan ASEAN juga dibatalkan
sekalipun pada 12 Desember mentri Moerdiono menegaskan bahwa Presiden akan
menghadiri sidang tahunan ASEAN di Kuala Lumpur tsb. Kabar mengenai
memburuknya kesehatan Presiden RI memperkuat dorongan para spekulan untuk 
memborong AS$ sehingga Rupiah terus merosot tajam; sejak 1 harga dolar AS naik 
terus hingga mencapai Rp. 6000,- atau turun 45% pada 17 November 1997. Tampilnya 
wajah Presiden Suharto di layar TV ketika beliau mewisuda perwira2 AKABRI pada 18
Desember 1997 di Bina Graha dan ketika Presiden mengundang segenap konglomerat
pada 22 Desember sempat memperlambat turunnya nilai Rupiah tetapi tidak bisa
mengembalikan posisi Kurs Rp-AS$ ke posisi 1 November 1997. Pada 30 Desember
1997 PTUN memutuskan penundaan penutupan bank Jakarta (milik Probosutedjo,
dengan anggota komisarisnya Dr. Didiek Rachbini, pengurus ICMI).

Naiknya harga AS$ sebesar hampir 80% selama presiden Suharto dinyatakan
sakit, dan ketidak jelasan tentang suksesi politik menandakan kekhawatiran sektor
business terhadap kestabilan politik dan ekonomi saat ini dan masa datang.
Akibatnya banyak investor (asing maupun dalam negri) yang mengamankan/melarikan
modalnya dalam bentuk AS$. Oleh karena itu banyak perusahaan yang berhenti
beroperasi, terjadi banyak PHK sehingga menurunkan transaksi ekonomi secara
drastis dan melalui effek multiplier memperdalam resesi ekonomi. Resesi yang
dimulai akibat pesatnya kenaikan harga AS$ menunjukkan bahwa sektor produksi
di Indonesia sangat tergantung pada impor barang modal, barang penolong dan
kapital asing. Hal ini telah ditunjukkan oleh membengkaknya defisit current
account sejak 4 tahun terakhir.

Mengapa harga AS$ malah naik lebih dari 100% dua bulan setelah persetujuan
IMF dan Pemerintah RI?? Apakah makna dari bantuan rescue package IMF dan
bantuan2 bilateral itu? Hal ini menimbulkan ketidak jelasan dalam realisasi
penyerahan dana segar dalam bentuk AS$ oleh IMF dan negara donor kepada 
pemerintah RI. Sampai dengan 1 November 1997 sudah banyak Rupiah yang 
tersedot ke BI sehingga stok Rupiah yang ada di tangan publik (juga konglomerat) 
sebenarnya semakin minim dibandingkan stok Rupiah pada 14 Agustus 1997
ketika BI melepaskan batas toleransi lonjakan harga AS$.

Rescue package IMF dan bantuan bilateral senilai AS$ 43 milyard,- jika
dinilai dengan Kurs Rp 5000,- per AS$ kira2 Rp. 210 triliun,-, sedangkan jumlah stok
Rp. yang dapat ditukarkan ke AS$ pada akhir Pebruari 1998 saat ini tidak
tidak mungkin melampaui jumlah tsb. Andai kata pemerintah menjalankan kembali
"Gebrakan Sumarlin" seperti pada bulan Juli 1987 dan Pebr. 1991, pasar
devisa akan lambat laun mendingin.

Mengapa pemerintah merencanakan untuk menerapkan CBS yang sebenarnya justru
melanggar ketentuan IMF no.22 yang tertera dalam letter of intent yang telah
ditanda tangani Presiden Suharto 15 Jan. 1998? Mungkinkah ada manuver
politik menjelang SU MPR yang akan dilangsungkan mulai 1 s/d 11 Maret 1998
mendatang.

VII. Fluktuasi nilai Rp. dan Implikasi2 politik

Dilikwidasinya ke 16 bank swasta oleh Menkeu jelas dalam waktu singkat akan
menurunkan lajunya jumlah uang beredar (reformasi dibidang moneter); akan
tetapi apakah fungsi kontrol BI atas bank lainnya akan bisa berjalan
sebagaimana mestinya??. Selanjutnya , proses industrialisasi yang sangat
bergantung pada import modal asing, import barang & jasa, secara strutural
belum dibenahi15; dengan demikian neraca barang dan jasa akan tetap dalam
keadaan defisit dan kebutuhan akan AS$ tidak akan menurun dan dalam keadaan
politik yang rawan, spekulasi terhadap AS$ akan terus meningkat sehingga
kurs AS$ pun sulit dikendalikan.

Rescue package IMF yang bernilai hampir Rp. 100 triliyun itu tidaklah
sebanding dengan dana IDT untuk mengentaskan kemiskinan, yang hanya 
berjumlah Rp.1,2 triliyun. Siapakah sebenarnya yang menarik keuntungan 
dari rescue package IMF&WB itu? Kemenangan yang gemilang dari krisis 
moneter ini adalah presiden Suharto yang mendapat banyak dukungan dari 
berbagai pihak di dalam dan luar negri16 karena tindakannya dalam menutup
 Bank2 dan proyek2 besar milik keluarga dan kerabatnya sendiri. Bukan 
presiden RI yang datang menemui Michel Camdesus (direktur IMF), tapi 
sebaliknya Michel Camdesus datang ke Jakarta pada 14 Nov 1997 dan 
15 Januari 1998 di kediaman pribadi Presiden RI (yang akan kembali
terpilih sebagai presiden RI untuk ketujuh kalinya)17 untuk menyatakan
dukungannya thdp jawaban tegas dari presiden RI atas krisis moneter di
Indonesia.

Presiden Suharto berhasil menyandera kepentingan negara2 AS dan negara2 indu
stri lainnya di Indonesia18. Dengan meminjam legitimasi serta kompetensi
IMF&WB ingin menunjukkan otoritas kekuasaannya yang otonom tidak saja terhadap
lembaga2 politik di Indonesia tapi juga terhadap keluarga dan kerabat2nya.
Tentu saja hal ini akan memulihkan kepercayaan fihak luar (terutama investor
asing) dan dalam negri terhadap situasi ekonomi dan politik di Indonesia.

Dengan demikian legitimasi politik presiden RI menjelang sidang umum semakin
bertambah. Ketika Presiden RI setuju dengan kondisi dari IMF 1 Nov. 1997 dan
melaksanakannya dengan segera, ternyata bantuan dana segar dari IMF tidak
sampai ketangan pemerintah RI tapi sebanyak AS$ 3 milyard,- digunakan untuk
membeli Rp di pasar devisa di New York, Tokyo dan Singapur. Akhir bulan Nov.
1997 terpetik berita bahwa harga AS$ kembali melonjak karena Bambang Tri
kembali memperoleh Bank baru pengganti Bank Adromeda yang ditutup Menkeu
pada 1 Nov. 1997.

Selain itu Bambang Tri mendapatkan proyek pengilangan minyak yang kandungan
AS$nya sangat tinggi (proyek ini pada sidang kabinet 12 September 1997
ditunda kelanjutannya). Ketika Presiden Suharto mengumumkan APBN tahun anggaran
1998/1999 pada 6 Januari 1998 (struktur APBN ini sangat tidak realistis
karena berdasar pada asumsi AS$ 5000,-padahal ketika itu AS$ sudah mendekati Rp
9000,-; 4% pertumbuhan ekonomi, padahal sudah semakin banyak perusah aan
yang gulung tikar; meningkatnya pemasukan pajak nilai tambah, padahal pertumbuhan
ekonomi lebih rendah dari tahun sebelumnya) para peserta pasar devisa
Jakarta, Singapur dan New York menjadi nervous sehingga 7 Jan. 1998 harga AS$
melonjak drastis melewati Rp. 11.000,- Selang 2 hari kemudian yaitu pada 9 Jan. 1998,
Presiden Suharto di telfon oleh Presiden AS Bill Clinton, Kanselir Jerman
Helmut Kohl, PM Jepang Hashimoto, PM Singapur Goh Cok Tong serta PM
Australia.

Beberapa hari kemudian Presiden Suharto menerima kunjungan Mentri Pertahanan
AS William Cohen, wakil Menkeu AS Lawrence Summer dan direktur utama IMF Michel
Camdesus di kediaman pribadi Presiden Suharto!!. Pada hakekatnya komentar
para pejabat2 tinggi dunia tsb. sangat positif dan berada di pihak Presiden
Suharto (dalam hal ini Presiden Suharto berhasil menunjukkan elite politik di 
Indonesia  bahwa negara barat masih terus berada dipihaknya). Bagi pemerintah 
barat ini berarti bahwa secara politis tokoh yang bisa diajak berunding hanyalah
Presiden Suharto.

Pada tanggal 15 Januari 1998, disaksikan oleh pejabat tinggi IMF, Presiden
Suharto di kediamannya menandatangani letter of intent yang memuat
kebijaksanaan2 ekonomi yang diperlukan untuk mengatasi krisis moneter. Pada
keesokan harinya Presiden AS Bill Clinton kembali menelfon Presiden Suharto.

Selang beberapa hari kemudian pemerintah RI mengadakan reform sesuai dengan
yang tercantum dalam letter of intent, dimana segenap proyek2 keluarga dan
kerabat Presiden Suharto ditunda/ tidak diteruskan. Perkembangan ini
berhasil meredam kenaikan harga AS$ untuk sementara waktu. Tidak lama 
kemudian yaitu pada 21 Jan. 1998 fraksi2 terpenting menyebutkan kriteria Wapres; 
kriteria no.4 adalah penguasaan Iptek yang hampir berarti bahwa J.B. Habibie 
sebagai calon kuat Wapres.

Pasar devisa menjadi semakin nervous karena Habibie dikenal sebagai penguras
devisa dan hal ini tidak baik bagi perkembangan ekonomi Indonesia (pada 10
Pebr. 1997 mantan pemimpin Singapur Lee Kuan Yew menyatakan bahwa Wapres
Indonesia harus kondusif thdp berkembangnya business!). Akibat manuver
politik ini, pada tanggal 22 Jan. 1998 harga AS$ mencapai rekord tertinggi
Rp.16.000,-.

Dengan demikian nilai Rp. sejak bulan Juli 1997 sudah turun sampai 83% atau
hampir 99% sejak Presiden Suharto resmi memimpin Orde Baru. Lonjakan2 harga
AS$ ini tentu saja membuat pemerintah AS dan negara2 barat lainnya cemas. Mereka
lebih kawatir thdp memburuknya ekonomi Indonesia dari pada Presiden Suharto
sendiri. Tanggal 25 Jan. 1998 pemerintah merevisi APBN (sebelum DPR membahas
APBN yang dikritik IMF).

Kali ini struktur APBN lebih ekspansive tapi lebih realistis (0 % pertumbuhan 
ekonomi, 20 % inflasi dengan kurs AS$=Rp.5000,-). Pada 27 Januari 1998
otoritas moneter Indonesia bersama perwakilan IMF di Indonesia memastikan 
bahwa uang deposan di bank2 milik negara dan swasta dijamin oleh BI.

Pada 10 Pebr. 1998 terpetik berita bahwa Currency Board System akan dibentuk
(ini berarti kudeta thdp BI, karena pengendalian kurs Rp yang berarti juga
pengendalian stok uang beredar adalah tugas utama BI sebagai otoritas
moneter!) untuk menurunkan harga AS$ dan menstabilkannya di level 
Rp. 5000,-Sebetulnya kedua metode tsb sangat riskan tetapi anehnya tindakan2
pemerintah itu justru berhasil menurunkan harga AS$ sampai Rp. 6500,-. 
Penerapan CBS menuntut tersedianya cadangan devisa yang besar.

Selain itu cadangan2 tsb. merupakan resources yang tidak produktif karena
mengandung opportunity cost yang tinggi. Prof. Steve Hanke, ekonom yang
mendisain CBS tidak begitu dikenal di Indonesia dan CBS baru diterapkan di
Argentina, Estonia dan Bulgaria, dimana belum teruji keefektifannya. Yang
paling penting dari rencana pemerintah dalam penerapan CBS ini adalah
dilanggarnya ketentuan IMF no 20 s/d 22 (terutama no.22) yang tertera dalam
letter of intent 15 Januari 1998, dimana Bank Indonesia (dengan
berkonsultasi dengan staff IMF) harus diberi hak otonomi untuk mengendalikan 
nilai kurs Rp. Bekas mentri Ekonomi dan Keuangan Indonesia Prof. Emil Salim, 
menkeu. AS R. Rubin dan pejabat2 IMF dan World Bank sangat khawatir thdp
itikad pemerintah RI untuk menerapkan CBS, sekalipun harga AS$ turun terus 
setelah menkeu Indonesia mengumumkan akan diterapkannya CBS. Turunnya
harga AS$ akan di tunjang dengan komitmen Bijan Aghevli (direktur IMF untuk 
Asia/Pasifik)19 yang bermaksud mencairkan kredit dari IMF lebih cepat dari 
15 Maret 1998, yaitui jadwal yang semula ditentukan oleh IMF.

Bisa disimpulkan bahwa ada gaya tarik-menarik atau tekan-menekan antara IMF
(baca: lembaga keuangan internasional dan negara2 industri) dan Presiden
Suharto. Disatu fihak IMF hanya mau mencairkan dana segar dalam bentuk AS$
jika persyaratan2 sepenuhnya dilaksanakan, dilain pihak keberhasilan dari
pelaksanaan persyaratan itu sendiri menuntut dicairkannya dana segar dari
IMF dan lembaga/negara donor lainnya. Presiden Suharto berhasil menunjukan bahwa
ia tidak mau begitu saja didikte oleh IMF. Selain itu Presiden berhasil mentest
sejauh mana penolakan pasar terhadap figur J.B. Habibie; Presiden Suharto
dapat menunjukkan kemampuannya bertindak tegas terhadap keluarga dan kerabatnya
demi supremasinya. Bahkan memburuknya resesi ekonomi bisa ditolerir demi
mempertahankan tampuk kekuasaannya.

Pulihnya sistim moneter di Indonesia dalam jangka pendek ini sangat
tergantung dari kemauan politik Presiden Suharto untuk menegakkan wibawa BI 
dalam mengendalikan stabilitas moneter dan memulihkan kembali kepercayaan 
investor dalam dan luar negri sehingga proses produksi bisa kembali normal20.

Syarat yang penting untuk itu adalah mekanisme suksesi yang tranparans
melalui proses "peaceful transition"(meminjam istilah pemerintah AS 2 tahun lalu
tentang pasca Orde Baru) sehingga stabilitas politik dapat menunjang
pulihnya ekonomi dan meredam keresahan dalam masyarakat Indonesia. 
Perbaikan sistem masa pasca Orde Baru juga sangat tergantung pada kuatnya 
peran kekuatan sospol atau elit politik diluar sistim, atau komponen2 dari civil 
society yang dapat memaksa kan dijalankannya transparansi dalam sektor 
ekonomi dan sektor birokrasi negara yang non integralistik dan berdasar pada prinsip2.

Kesimpulan akhir adalah bahwasanya ada atau tidaknya rescue package IMF&WB
yang bernilai AS$ 43 milyard,- itu, secara signifikan, tidak akan memperbaiki
nasib rakyat kecil yang sejak dahulu merupakan majoritas dari penduduk Indonesia
dan yang situasi kehidupanya sejak beberapa bulan terakhir ini merosot tajam.
Sekian!

----------------------------------------------------------------------

Catatan kaki:

1 Kenaikan harga minyak di pasaran dunia awal 70an mengakibatkan
berlimpahnya cadangan devisa yang menambah jumlah peredaran uang di Indonesia dan
meningkatkan harga2 dalam negri sehingga sektor eksport non migas makin
tidak kompetitf lagi (rangkaian seba b-akibat ini dikenal dengan "dutch
desease"; di tahun 60an negri Belanda mengalami hal yang sama). Devaluasi 15 Nov. 1978
dimaksudkan untuk menyembuhkan dutch desease, yaitu agar sektor non migas
menjadi kompetitif di pasaran internasional.

2 Termasuk bank milik para konglomerat dan keluarga Presiden, yaitu bank
Andromeda yang dimiliki Bambang Tri, Prayogo Pangestu & Johanes Kotjo, bank
Jakarta yang dimiliki Probosutedjo (sebagai catatan, Dr. Didiek Rachbini
anggota pengurus ICMI yang sering menulis tentang ekonomi juga menjadi
komisaris bank Jakarta), bank Industri yang sebagian dimiliki Titiek
Prabowo, bank Pacific yang dimiliki Ponco Sutowo, bank BHS yang dimiliki Hendra
Rahardja distributor tunggal motor Yamaha dan bank Dwipa dimana eks Kabakin
Letjen.Yoga Sugama menjabat sebagai anggota komisaris.

3 Para peserta bursa saham di BEJ (Bursa Saham Jakarta) yang lebih dari
separuh adalah Fund Managers asing yang mempunyai jaringan internasional, yang
karena penurunan nilai rupiah, melepas/menjual saham2 yang sebelumnya mereka beli
(yang nota bene semuanya dinyatakan dalam rupiah). Rupiah yang mereka
dapatkan dari hasil penjualan saham2 tsb. di tukarkan ke AS$. Oleh karena itu jumlah
penawaran saham meningkat pesat sehingga harganya merosot tajam sedangkan
permintaan akan AS$ bertambah sehingga harganya naik. Perkembangan ini
menambah parahnya krisis mata uang rupiah.

4 Pada hakekatnya, predikat "Baru" dalam istilah Orde Baru sudah tidak cocok
lagi karena sudah 30 tahun lamanya!!

5 Tragisnya, pada zaman pemerintahan Belanda, Indonesia bahkan mengekspor
beberapa komoditi pertanian tsb.

6 Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat pendidikan, kemampuan
manejerial, infrastruktur, efisiensi birokrasi (banyak korupsi & kolusi),
kemampuan riset & tingkat teknologi Indonesia masih lebih rendah dari
negara2 partner dagang, sehingga daya kompetisi lemah. Akibatnya Indonesia lebih
banyak membeli barang dan (terutama jasa2) dari luar negri dari pada menjualnya.

7 Swastanisasi instansi bea & cukai kepada perusahaan Swiss SGS (tapi sejak
1 April 1997 diambil alih kembali oleh Ditjen bea & cukai), penyederhanaan
izin investasi, pemberian insentif pada para eksportir dan dilonggarkanya
peraturan2 dibidang import.

8 Para Bankir/konglomerat inilah yang sebenarnya banyak memegang rupiah dan
yang sejak Juli 1997 turut beramai ramai menukarkan rupiah mereka ke AS$
sehingga stock AS$ di BI, bank2 devisa dan money changer merosot tajam
sehingga mendorong harga AS$ naik.

9 Menurut pengumuman pemerintah kredit macet tahun 1995 berjumlah Rp. 10
triliyun (banyak orang yang memperkirakan lebih). Bandingkan dengan Rp. 1,2
triliyun dana Inpres Desa Tertinggal yang dimaksudkan untuk membebaskan 14%
atau 24 juta penduduk termiskin di Indonesia dari kemiskinan.

10 Bank Suma dinyatakan bangkrut antara lain karena kalah kliring, yaitu
ketidak sanggupan bank Suma untuk mencairkan CP (commercial paper), promes
dan surat hutang lainnya yang di jamin oleh Bank Suma dan dijual oleh group Suma
kepada fihak lain. Bank Suma pernah menerima fasilitas KLBI tapi permohonan
terakhir bank Suma untuk menerima KLBI ditolak oleh BI karena kredit
sebelumnya belum dikembalikan. Kredit macet Bank Suma bernilai Rp.1,2 triliyun,
hutangnya Rp.0,5 triliyun dan kalah kliring sebanyak Rp. 70 milyard. Sejak 14 Des.
1992 bank Suma dilikwidasi oleh BI.

11 Atas rekomendasi Menkeu Sumarlin dan Ketua DPA Sudomo, Bapindo memberikan
kredit pada PT. Golden Key (Edi Tansil sebagai dirutnya) sebanyak Rp.1
triliyun tapi kredit tsb. tidak dibayar kembali.

12 Kasus bangkrutnya Peregrine Investment Holdings (Finance House terbesar
di Asia di luar Jepang) membuktikan kolusi antara pejabat kredit Peregrine
dengan konglomerat Steady Safe Indonesia (J.Wijaya). Pada pertengahan Desember 1996
kredit senilai AS$ 270 juta,- (=sepertiga modal Peregrine) diberikan oleh
direktur keuangan Peregrine John Lee tanpa jaminan yang memadai dan tanpa
sepengetahuan direktur Peregrine, Philip Tose. Sebagian dari kredit tsb
digunakan J. Wijaya untuk mendanai proyek besar milik putri pertama Presiden
Suharto beberapa saat sebelum krisis moneter Thailand menjangkit Indonesia.,
Peregrine juga mempunyai tagihan (tanpa jaminan memadai) pada beberapa
perusahaan Indonesia lainnya senilai AS$ 400 juta,-.Sistem perbankan ala
"overseas chinese" yang lebih mengandalkan koneksi ("guanxi") dari pada
jaminan kredit ("borg" atau "colateral") merupakan salah satu penyebab utama krisis
di Asia Tenggara sejak Juni 1997 lalu. Laporan lengkapnya lihat majalah Far
Eastern Economic Review terbitan 22 Jan 1998.

13 Setelah krisis rupiah berjalan lebih dari 3 bulan fihak Deptkeu. & BI
pada 10 Oktober 1997 baru merasa perlu untuk memanggil perusahaan2 "blue chips"
(60 perusahaan2 yang terpenting dalam bursa saham di Jakarta) yang diperkirakan
paling banyak hutang luar negrinya, untuk melaporkan stand terakhir hutang2
luar negri mereka.

14 Tuduhan PM Malaysia Mahathir Muhammad thdp. George Soros (spekulan warga
negara AS, pemilik Soros Fund Management) sebagai biang keladi jatuhnya
nilai Ringgit, tidak beralasan karena spekulan Malaysia yang banyak memegang
Ringgit lah yang potensial mem borong AS$ di Kuala Lumpur, bukan George Soros yang
memang modal dasarnya dalam bentuk AS$!!

15 Proyek2 besar yang kembali dijalankan tidak ada yang mengurangi
ketergantungan import.

16 Kemenangan yang serupa dialami presiden RI pada 1991 setelah kasus Dili
(Santa Cruz). Melalui Letjen Faisal Tanjung (Ketua Dewan Kehormatan
Militer), presiden RI mengkoreksi secara besar2 an keterangan Pangab Jend. Tri
Sutrisno  mengenai jumlah korban Santa Cruz dan memberhentikan (dengan hormat) dua
jenderal penting ABRI (Sintong Panjaitan & Rudolf Warouw). Hasil akhir yang
paling penting adalah pujian/dukungan dari dalam dan luar negri (termasuk
organisasi2 HAM) terhadap tindakan lugas presiden Suharto atas kasus tsb.

17 Presiden Mexico Zedilo karena krisis moneter pada Desember 1994 harus
datang ke Washington untuk menjemput rescue package dan menggadaikan perusahaan
minyak negaranya pada pemerintah AS sebagai jaminan pengembalian pinjaman.

18 Ada beberapa indikasi yang menunjukkan pentingnya kestabilan
ekonomi-politik Indonesia bagi negara2 industri yang menjadi donatur utama 
IMF,WB&ADB, yaitu:
(1) Karena keuntungan2 lokasinya (antara lain karena murahnya tenaga kerja
dan lemahnya pelaksanaan UU Lingkungan), maka Indonesia selama pemerintahan orba
banyak dibanjiri oleh investasi dari negara2 industri. Karena besarnya nilai
investasi2 ini, para investor asing tidak menghendaki ketidak stabilan ekono
mi-politik di Indonesia. (2) Indonesia tidak saja merupakan negara besar
sebagai penyedia sumber alam tapi juga sebagai pasar yang besar bagi produk
negara2 industri. (3) Pemerintah orba sejauh ini bisa memenuhi kepentingan2
investor asing dan belum pernah menunggak hutang2 nya. (4) Negara2 di
Pasifik yang ekonominya kuat seperti Jepang, AS, Kanada, Australia, Korsel,
Singapura dan Taiwan mempunyai komitmen yang kuat terhadap APEC. Ketidak stabilan
ekonomi-politik di Indonesia bisa memusnahkan impian negara2 APEC atas
terwujudnya "free market zone" di kawasan Pasifik. Secara geopolitis
kestabilan
ekonomi-politik Indonesia penting bagi keseimbangan geopolitik di Asia Tenggara 
(misalnya untuk mengimbangi atau mencegah dominasi RRC dibidang pertahanan
di kawasan Asia Tenggara).

19 Prof. Bijan Aghevli sejak awal dekade 80 an meneliti perkembangan moneter
Indonesia dan sementara ini bertugas secara kusus di Indonesia untuk
menangani krisis moneter.

20 Dalam pidato didepan DPR tanggal 6 Jan. 1998 Presiden berjanji bahwa
"badai pasti berlalu!".

(habis)

--------------------------------------------------------------
PIJAR Indonesia -- Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi
Jl. Pedati 104b (RT 007/10) Bidaracina, Jatinegara
Jakarta Timur 13330 INDONESIA
Ph. +62 21 8502636 Email: [email protected] [email protected]
http://www.uni-stuttgart.de/indonesia/pijar
---------------------------------------------------------------

**************************************************


Received on Fri Feb 27 04:21:10 MET 1998


Subject: Kisah Sedih Korban Orde Baru
   Date: 26 Feb 1998 10:43 EST
   From: "Justiani Justiani" 
     To: [email protected]

Kisah Sedih Korban Orde Baru

Setelah 30 tahun lebih pembangunan Orde Baru
yang selalu digembar-gemborkan sebagai berhasil,
kini terlihat jelas bagaimana gembar-gembor
keberhasilan itu hanya omong-kosong.

Kegagalan dari perjalanan 30 tahun Orde Baru
kini dirasakan secara nyata oleh masyarakat 
secara luas. Harga-harga bahan yang terus melonjak.
Beberapa barang hilang dari pasar. 
Pabrik pada tutup. 
Berbagai perusahaan memecat karyawan mereka.
Kriminal tentu saja ikut melonjak dan mengganas. 

Pada tahun 1965, Sukarno mengalami krisis ekonomi
yang membuatnya terjatuh dari kekuasaan. 
Tapi itu dikarenakan Sukarno tidak mau menyerahkan 
kekayaan bumi Nusantara kepada para penghisap darah rakyat.
"Go to hell with your aid", "Ganyang Nekolim" adalah
usaha untuk mempertahankan hak milik rakyat dari
kerakusan para cukong dalam dan luar negeri, 
telah menjatuhkan Sukarno dari tahtanya dengan tragis.

Sejak itu raja baru, Suharto, bertahta.
Dengan sekejap saja bahan-bahan pokok mengalir seperti
air surga, membuat rakyat yang sedang kelaparan
gembira ria. Terlupa dan terlena..... 

Tidak terpikir, bagaimana si tukang sulap Suharto
bagai sinter klas membagi-bagikan makanan dan pakaian
dengan bangganya. 
Dari manakah semua itu didapatnya dalam sekejap? 
Apakah Sukarno tidak bisa melakukan itu?
Tidak sempat bertanya-tanya, semua terlena dan terkesima
dengan era pembagian beras, era pembangunan.

Tiga puluh tahun berlalu, dan kini kembali rakyat menderita.
Lebih menderita, karena semua harta kekayaan Nusantara 
sudah habis dikuras tanpa lagi bersisa. 
Tidak bisa lagi ada si tukang sulap yang datang seketika 
dengan membagikan berton-ton beras untuk rakyat. 
Tidak ada lagi yang bisa ditawarkan kepada para Cukong 
sebagai barteran beras.
Semua sumberdaya alam sudah terkuras habis. 
Teknologi tidak dikuasai. 
Ketergantungan pada import amat besar,
sehingga dengan biaya dollar yang tinggi, 
banyak pabrik yang tidak bisa memproduksi lagi. 
Kemampuan produksi dalam negeri sudah lama 
tergeser oleh pabrik-pabrik raksasa sejak 
era pembangunan Orde Baru digalakkan.   

Yang bisa dilakukan cuman tangan menadah belas kasihan
kepada para juragan, penghisap kekayaan Nusantara,
dipimpin oleh raja yang sama, yang 30 tahun yang lalu,
dengan bangga membagi-bagi beras kepada antrian yang panjang.
Sang raja bertekuk-lutut, menyembah, mengemis, dan mengiba-iba.
Agar supaya nasibnya tidak dibuang dan disia-sia begitu saja, 
setelah 30 tahun melayani dengan setia. 

Maksud sang graja mau ikut jadi kaya-raya bersama para cukong
yang dilayaninya, buat anak-cucu biar tidak sengsara. 
Sebagian setoran buat para juragan dibelokkan ke laci pribadi 
di bank Swiss. 
Anak cucu meraja-lela menguasai apa saja. 
Negara porak-poranda oleh ulah keluarga cendana dan para antek-anteknya.
Buat rakyat sih cukup beras dan baju saja. 
Itu pun sudah membuat rakyat bergembira.  
 
Kini...negara jatuh miskin. Bangkrut.
Kekayaan bumi nusantara sudah terkuras habis.
Rakyat harus menanggung derita.
Harga-harga melonjak tak terkira.
Terserah kepada pabrik-pabrik pembuatnya.
Itupun kalau ada barangnya.
Pabrik-pabrik milik juragan yang memproduksi apa saja.
Dari tepung, minyak, sepatu, baju, hampir semuanya. 
Rakyat tak lagi bisa apa-apa.
Rakyat cuman pembeli yang setia.
Rakyat tidak lagi punya keahlian memproduksi sendiri.
Rakyat hanyalah barisan pasukan buruh yang tidak punya organisasi pembela. 
Rakyat hanya boleh menurut kapada sang juragan. 
Organisasi buruh yang mandiri dilarang habis-habisan. 
Takut berbuat macam-macam yang merugikan juragan.
Atau...
Rakyat sudah berubah menjadi berlapis-lapis pedagang dari kota sampai desa. 
Pedagang grosir, pedagang eceran, pedagang kaki-lima, 
pedagang keliling ala TasikMalaya. 
Semua berlomba menjajakan dagangan buatan pabrik-pabrik para juragan.
Pabrik-pabrik para juragan cuman mencontoh luar-negeri saja.
Banyak materialnya tak bisa dibuat di Indonesia.
Apalagi teknologinya tak pernah dikuasai.
Banyak pabrik yang cuman gaya lisensi. 
Yang penting cukup dapat persenan penjualan.
Maka rakyat dirayu iklan warna-warni,
agar jadi pembeli tanpa berpikir teliti.
Dan...ketergantungan meraja-lela tak terkira.
Kini jelas terasa.

Dulu di desa saya, semua ada dan bikin sendiri.
Tukang sepatu, di ujung sana, menerima pesanan sepatu saya
setiap menjelang lebaran. kaki saya diukur satu-demi-satu,
kanan dan kiri. Kadang memang hasilnya besar sebelah.

Tukang jahit, di sebelah mesjid, sibuk mengukur badan kami.
Kami sibuk memilih model-model baju dari sebuah majalah,
kadang kami berlomba menggambar model sendiri.

Tukang cendol, rujak, bakso, sate, soto, es puter, 
beras kencur, gethuk, dan masih sederetan nama lagi, 
sibuk berkeliling desa menjajakan dagangannya.

Tukang kue di sebarang gereja menerima pesanan jajanan
setiap lebaran dan natalan. Setiap lebaran atau natal, 
masyarakat bertukar-tukaran kue hasil karya sendiri atau 
hasil karya desa masing-masing.

Di ujung pasar berderet penjual nasi pecel, nasi campur,
warung sate, soto dan gulai kambing.  

Pedagang sandal karet ban dan bakiak juga tidak ketinggalan.
Kadang dagangan bervariasi juga. Karet ban juga jadi
ember dan tali buat kerekan sumur dan timba. 

Sebulan sekali, ada yang menjajalan madu tawon plus rumahnya
untuk bothok tawon yang lezat. Dan madunya untuk obat tradisional.
 
Rambutan, nanas dan durian adalah buah-buahan andalan desa
kami. Setiap masa panen, kami memborong berkeranjang-keranjang
buat oleh-oleh kerabat di kota-kota besar.

Kalau kami lari-lari pagi sesudah sembahyang subuh di mesjid,
para pemetik daun jati sudah siap berderet di sepanjang beranda
pasar. Para pedagang pasar berebut memborong buat pembungkus
belanjaan. 

Di sebelah sana, pedagang gerabah menjual aneka 
kuali, panci, sampai cengcelengan model babi dari tanah liat.

Kini semua punahlah sudah............................ 
30 tahun kepemimpinan Suharto membawa rakyat tergantung
dan tak berdaya mandiri sama sekali. 
Kini cuman bisa tangan menadah bagai pengemis di negeri sendiri. 
Dihina, dicerca, dan rakyat kembali menderita.

Sepatu besar sebelah buatan desaku tak ada lagi. 
Nike, Adidas, LA Gear, Fila dijajakan padagang keliling 
pakai cicilan dan bunga harian. 
Begitu juga panci, kuali, gerabah tanah liat hilang sudah. 
Berbagai merek porselen, wajan besi, panci otomatis, dll. 
dijajakan di acara  arisan ibu-ibu PKK, untuk menghiasi 
lemari kaca, jarang dipakai, karena listrik suka ngejepret (down).  
Daun jati pembungkus jadi plastik yang tidak bisa dicerna 
(non-degradable) oleh bumi, jadi sampah dan beban lingkungan.
Ember karet ban kini jadi ember plastik. 
Tukang jahit tidak laku lagi, karena mode beraneka ragam bisa 
dibeli asal ada duit. 
Buah-buahan menjadi langka, karena diijon oleh para tengkulak 
untuk disetor ke supermarket.  
Kue-kue lebaran dan natalan jadi bentuk kaleng-kalengan biskuit.  
Akhir-akhir ini pun, berbagai warung makan tradisional harus 
bersaing dengan MacDonald, Burger King, Kentucky Fried Chicken, 
dan kawan-kawannya.  

Sekian banyak profesi yang lenyap sejak era pembangunan Orde Baru.
Berduyun-duyun orang ke kota untuk jadi pelacur, pengemis, tukang sampah,
kuli bangunan, tukang copet, sopir angkot, buruh-buruh pabrik, dan sebangsanya. 
Jakarta meledak oleh arus manusia. 
Tinggal profesi ala Orde Baru yang tersisa. 
Kini itupun semakin memburuk karena banyak pabrik mulai berhenti produksi. 
Tidak kuat membeli bahan mentah dan material luar negeri. 
Pengangguran semakin menjadi dan 
tentu saja profesi pencopet, penjambret, maling, dan sebangsanya tidak
bisa dihindari.
 
Di satu sisi, investor mana yang mau peduli. 
Untuk menanam uang di negeri yang dipimpin oleh sebuah tirani. 
Dimana korupsi tidak terkalkulasi dan tak terkendali. 
Belum lagi umur si kakek yang tak tahu diri, keras kepala duduk di kursi, 
takut penggantinya melucuti harta benda sanak famili. 
Jadi kursi dikungkungnya sendiri.

Di sekitarnya para penjilat mulai kegerahan.
Takut kenikmatannya tak bisa bertahan lagi.
Akan berantakan bersama runtuhnya kursi.
Para penjilat inilah musuh negeri,
karena mementingkan diri sendiri, 
meghalalkan segala cara untuk menarik simpati,
mengadu domba sesama rakyat asalkan dia tetap kebagian roti.
Apa itu isu agama, etnis, dan golongan tidak peduli.
Semakin seru, semakin dia bisa mengambil hati.
Untuk kepentingan sendiri.
Sementara negara bangkrut tidak peduli.
Sementara rakyat menjadi korban dianggap sekedar konsekuensi.
Yang penting kekayaan dan kedudukan aman digagahi sendiri.
Justru sibuk kasak-kusuk membela tirani.
Menghabisi dan membungkami rakyat yang 
menjerit kelaparan untuk membela diri.

Balada ini akan terus begini.
Celakanya sang kakek baru menikmati berkuasa dua tahun belakangan ini.  
Setelah selama 30 tahun dikuasai sang isteri.
Alhasil, dia masih kepengin untuk manggung lagi. 
Melanjutkan kenikmatan kalau bisa lima tahun lagi atau sampai mati.
Biar tidak usah menyaksikan aniaya diri sendiri kalau dilucuti.
Rakyat.....rakyat....dan lagi-lagi rakyat................ 
yang harus menanggung ulah satu orang ini.

Montreal, Februari 26 1998
Justiani

**************************************************


Received on Thu Feb 26 01:25:22 MET 1998


Replies: [email protected]

PERNYATAAN KEPRIHATINAN SIVITAS AKADEMIKA UI
 
        JAKARTA (SiaR, 25/2/98), Universitas Indonesia (UI) yang selama
ini dilecehkan telah mandul dan terasing dari urusan politik, bahkan
dijuluki sebagai sebuah "pabrik panci" Senin (25/2) ini ternyata membuat
sebuah kejutan.  Beberapa alumni dan beberapa tokoh seniornya turun
"bergerak" dan mengambil sikap. Mereka juga mengeluarkan sebuah 
pernyataan keprihatinan. 

        Mengingat begitu pentingnya pernyataan sikap itu untuk diketahui
masyarakat luas, maka Redaksi Siar memutuskan untuk menurunkannya 
secara utuh. 

Redaksi SiaR.

=======================

PERNYATAAN KEPRIHATINAN

SIVITAS AKADEMIKA UNIVERSITAS INDONESIA

        Kami warga Sivitas Akademika U.l. yang terhimpun dalam wadah
Ikatan Alumni Universitas Indonesia (lluni Ul), di tengah suasana
penderitaan dan kesengsaraan masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan pada akhir-akhir ini, merasa terpanggil untuk bersama
seluruh masyarakat turut memikul beban penderitaan yang semakin parah. 

         Dengan rasa keprihatinan dan kerisauan yang mendaiam, selama 8
(delapan) bulan terakhir ini kami menyaksikan dan turut merasakan semakin
beratnya beban kesengsaraan masyarakat akibat PHK, paceklik, kenaikan
harga-harga yang dibarengi dengan semakin menurunnya daya beli,
kasus-kasus kematian akibat kelaparan di beberapa daerah, hilangnya bahan
kebutuhan pokok.  Akibat lanjutnya adalah timbul/pecahnya kerusuhan
massal, yang seringkali sudah diwarnai dengan unsur-unsur SARA. 

        Namun ironisnya adalah sekali pun gejolak sosial ekonomi ini sudah
berlangsung seskian bulan dan telah berwujud menjadi kemerosotan ekonomi
yang terburuk selama Orde Baru berjalan, nampaknya masih belum ada upaya
penanggulangan secara tegas, sistemastis dan konsisten yang benar-benar
efektif. Bahkan pada akhir-akhir ini masyarakat dan dunia usaha semakin
bertambah bingung dan resah oleh berbagai pernyataan yang simpang siur
atau silang pendapat diantara para pejabat tinggi, para pakar, maupun
pimpinan dunia usaha sendiri. Keadaan yang serba tidak menentu mana telah
bermuara pada timbulnya krisis kepercayaan di kalangan dunia usaha yang
juga telah menjalar ke kalangan masyarakat umum, akibat kenaikan
harga-harga ataupun hilang/ susutnya persediaan bahan pokok di pasaran.
Seperti lazimnya yang sudah terjadi selama ini, kerusuhan sosial yang
terjadi akan semakin diperkeruh oleh beredarnya berbagai isu dari berbagai
pihak/sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

        Selaku Sivitas Akademika, kami merasa prihatin dan sangat
menyesalkan logika pendekatan yang digunakan oleh pihak keamanan dalam
mengatasi gejolak sosial sebagai akibat krisis ekonomi yang sudah sangat
parah. Memang benar dan kamipun sependapat bahwa ekses dan kemungkinan
meluasnya tindakan pengrusakan perlu dicegah atau dihentikan dimana perlu
secara represif yang harus benar-benar mempertimbangkan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan dari rakyat yang sedang menderita dan lapar. Di
mana segala ekses dan kerusuhan massal yang terjadi sebenarnya hanyalah
sebagai akibat saja dari kausa prima yaitu: 

a. pemilihan strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan yang
tinggi, ternyata hanya menguntungkan sekelompok kecil pengusaha besar
tertentu saja dengan pemberian fasilitas dan privileges yang luar biasa,
yang berakibat menekan pertumbuhan/perkembangan ekonomi rakyat; 

b. para pengusaha besar ini lah yang kemudian melakukan ekspansi usaha
atau membangun proyek-proyek raksasa yang banyak menggunakan pinjaman 
mega kredit dari bank-bank pemerintah maupun swasta nasional dari grup 
sendiri yang kemudian ternyata banyak menimbulkan kasus-kasus kredit macet. 
Masih ditambah lagi dengan pinjaman luar negeri swasta dalam bentuk US 
Dollar yang telah berakibat fatal seperti pada akhir-akhir ini; 

c. selanjutnya para pengusaha besar ini juga yang telah memindahkan dan
memarkir modal/uangnya ke luar negeri dengan mendapatkan predikat mulia
sebagai wujud "Nasionalisme Baru". Terhadap mereka yang menjadi biang
keladi terjadinya kemerosotan ekonomi nasional dan telah menimbulkan
kesengsaraan seluruh rakyat tersebut, ternyata tidak/belum ada indakan
secara nyata dari pihak keamanan dan penegak hukum, kecuali bentuk
imbauan-imbauan. Padahal mereka itu lah pelaku tindakan subversi (ekonomi)
nasional yang sesungguhnya.  Bukan rakyat yang karena lapar melakukan
unjuk rasa atau pun terpaksa menjarah pertokoan atau pusat perbelanjaan.
Fakta lain yang sangat ironis baru-baru ini adalah digelar kampanye
pengumpulan sumbangan perhiasan dan uang dollar dari masyarakat yang
justru menjadi korban kesengsaraan akibat utang-utang dari para pengusaha
swasta yang telah mendapatkan predikat kehormatan sebagai wujud
"Nasionalisme Baru" tersebut. Malahan dalam acara Halal bi halal yang
digelar secara massal baru-baru ini, telah dikeluarkan pernyataan yang
sangat menyakitkan rakyat yaitu memaafkan kesalahan dari para pengusaha
(swasta)  pembuat utang yang sudah menyengsarakan seluruh bangsa ini. 

        Sementara itu gejala kemerosotan moral dan martabat bangsa serta
pelecehan hukum dan norma-norma keadilan sosial maupun hak asasi manusia
telah semakin merajalela atas nama atau demi terpeliharanya stabilitas
nasional bagi kelancaran pelaksanaan pembangunan yang ternyata lebih
bersifat kapitalistis dan nepotisme yang lebih banyak menguntungkan
segolongan kecil pengusaha tertentu dengan pemberian fasilitas dan
privileges yang sangat besar secara tidak transparan. Di pihak lain
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi rakyat semakin tertinggal, akibat
kekuatan lobby dari para konglomerat dalam menawarkan proyek-proyek
raksasa (mega) yang sangat padat modal dan berteknologi tinggi, biasanya
juga berbahan baku impor yang mahal. 

        Praktek penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, kolusi, korupsi,
manipulasi dan upeti sebagai faktor penyebab ekonomi biaya tinggi,
cenderung semakin meluas dan sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan
sudah tanpa malu lagi. Di pihak lain wujud kritik dan kontrol sosial dari
masyarakat khususnya media massa justru sering ditekan dengan ancaman
pencabutan SIUPP atau pun pidana sampai subversi. 

        Keprihatinan dan rasa penyesalan kami menjadi lengkap dan final,
manakala kami melihat di hadapan mata praktek dan mekanisme konstitusional
sebagai wujud nyata kedaulatan rakyat telah direkayasa atau dimanipulasi
semakin jauh dari semangat dan jiwa asas kedaulatan rakyat itu sendiri
atau asas demokrasi berdasarkan falsafah Pancasila dan pelaksanaan UUD
1945 secara murni dan konsekwen sebagaimana telah menjadi Konsesus
Nasional pada awal berdirinya Orde Baru dahulu. Praktek-praktek
penyimpangan mana antara iain dalam wujud pelaksanaan Pemilu yang tidak
diawasi oleh Komisi yang independen sehingga tidak menjamin terlaksananya
asas LUBER dan JURDIL; penyusunan dan seleksi daftar calon wakil rakyat
yang dilaksanakan secara diskriminatif, preferensif dan nepotisme.
Akhir-akhir ini semakin nyata kecenderungan berlangsungnya praktek
adiktator mayoritas" bahkan tirani minoritas yang pada Konsensus Nasional
dulu pernah diharamkan secara tegas. Berbagai rekayasa memperoleh dukungan
dan loyalitas dari sementara tokoh masyarakat, pemuka agama
 sampai para pelawak terlihat/terasa vulgar atau tidak serasi dengan etika
politik yang  didasari semangat dan jiwa keluhuran budi pekerti sebagaimana
tersurat dan tersirat dalam UUD 1945 beserta Penjelasannya. 

        Dan last but not least adalah pelaksanaan dari peran ABRI sebagai
Kekuatan Sosial yang semakin kurang mencerminkan jiwa dan semangat
Prajurit Pejoang dan Pejoang Prajurit yang dilandasi atas tekad
Kemanunggalan ABRI dan Rakyat serta doktrin "Apa yang terbaik untuk rakyat
adalah yang terbaik untuk ABRI". 

        Sebagai kesimpulan dari pokok-pokok keprihatinan kami selaku
Sivitas Akademika UI adalah sebagai berikut:

1. Telah terjadi penyimpangan dalam arah, strategi maupun praktek
pelaksanaan Pembangunan Nasional sejak beberapa Pelita terakhir ini yang
ternyata semakin jauh dari cita-cita perjuangan TRITURA'66 dan AMPERA,
yang semula menjadi landasan dan tekad Orde Baru didalam mewujudkan
Masyarakat Adil Makmur Tata Tentrem Kerta Raharja yang dilandasi atas asas
Keadilan Sosial dan Demokrasi Ekonomi berdasarkan Pancasila, dengan akibat
secara kumulatif terjadinya krisis ekonomi yang sangat fatal dan telah
menyebabkan kesengsaraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia pada
akhir-akhir ini. 

2. Telah terjadi gejala kemerosotan moral, harkat dan martabat bangsa
sebagai akibat terabaikannya dan tidak/belum dirumuskan atau disusun
strategi (pembangunan)  budaya bangsa sebagai bagian tak terpisahkan dari
Nation dan Character Building, sekaligus sebagai persiapan dan antisipasi
memasuki Era Abad XXI yang akan serba terbuka dan saling pengaruh dari
segala pihak dari luar (globalisasi). Dengan demikian barigsa Indonesia
akan tetap dapat menjaga integritas kepribadiannya, tidak larut akibat
pengaruh dari luar yang bertubi-tubi. 

3. Telah terjadi berbagai penyimpangan dan rekayasa dalam praktek dan
mekanisme pelaksanaan konstitusi negara berdasarkan UUD 1945 yang secara
jelas tidak esuai dengan jiwa dan semangat Kedaulatan Rakyat atau asas
Demokrasi yang benar dan sehat. 

4. Peran ABRI sebagai Kekuatan Sosial heddaknya kembali benar-benar
sebagai Bhayangkara Negara yaitu Prajurit Pejoang dan Pejoang Prajurit
Saptamarga yang dilandasi jiwa dan semangat kejoangan Jenderal Sudirman,
yang melindungi dan mengayomi seluruh rakyat dan Tanah Air Indonesia. 

5. Demikian juga bagi jajaran KORPRI hendaknya benar-benar kembali dan
mengamalkan misi dan perannya sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat
dengan kepemihakan nyata kepada seluruh Rakyat Indonosia, bukan pada
sesuatu golongan tertentu saja. 

        Dengan ini kami warga Sivitas Akademika UI yang tergabung dalam
wadah Ikatan Alumni UI (Iluni UI), menegaskan kembali tekad dan komitmen
kami untuk menjadi warga intelektual bangsa yang berjiwa dan menjunjung
tinggi HATI NURANI RAKYAT dan bersama-sama seluruh Rakyat Indonesia sipil
maupun ABRI membulatkan tekad untuk selalu mengemban dan memperjuangkan
AMANAT PENDERITAAN RAKYAT (AMPERA). 

Kampus Perjuangan Ampera
25 Pebruari 1998 

Ikatan Alumni Universitas Indonesia
Hariadi Darmawan
Ketua Umum

******************************************


Received on Thu Feb 26 03:28:29 MET 1998


Subject: Seruan dari UI
   Date: Tue, 24 Feb 1998 18:27:59 -0800
   From: [email protected]
     To: [email protected]

Universitas Indonesia menyerukan kepada segenap mahasiswa di seluruh 
Indonesia dan masyarakat Indonesia umumnya untuk berjuang bersama 
menuntut pemerintah agar:
1. Menurunkan harga kebutuhan pokok
2. Menghapus segala jenis korupsi, kolusi dan nepotisme
3. bersama-sama menegakkan amanat penderitaan rakyat yang dikebiri selama 
32 tahun

Untuk itu dihimbau agar di kampus-kampus dan rumah-rumah kita 
bersama-sama mengibarkan bendera MERAH PUTIH SETENGAH TIANG, sebagai 
tanda berkabung atas penderitaan yang dirasakan mayoritas rakyat 
Indonesia akibat ketidakberesan pemerintah dalam memanajemn pembangunan 
bangsa. 
Selain itu, agar masyarakat berani secara bersama-sama menuju 
gedung DPR/MPR untuk menuntut wakil-wakil mereka di MPR/DPR agar 
memperjuangankan nasib rakyat banyak. PErsoalan pemelihan 
presiden/wapres, janganlah menjadi tujuan utama sidang umum, melainkan 
bagaimana pemerintah sekarang mempertanggungjawabkan hasil kerjanya yang 
menyusahkan begitu banyak rakyat Indonesia

Salam Reformasi untuk Demokrasi

Forum Mahasiswa UI untuk Reformasi (FMUI)

**************************************************


From:             "KdP Net" 
To:               
Subject:          KOMPAS: Dari Boulder ke Jakarta
Date sent:        Sun, 22 Feb 1998 07:33:32 +0700
Send reply to:    [email protected]

Kabar dari PIJAR


Kompas
Sabtu,  21  Februari 1998


            Dari Boulder ke Jakarta
                    Oleh
         *) Dian M Noer dan Deliar Noer

SEORANG profesor yang memperoleh gelar doktornya dalam bidang
ekonomi dari Universitas Colorado, Boulder, lewat Universitas
Johns Hopkins yang mengangkatnya menjadi guru besar tahun 1975,
membuat berita di Jakarta dengan rencana yang sangat drastis dalam
soal keuangan Indonesia: pembentukan Sistem Dewan Mata Uang (CBS -
Currency Board System) di negeri yang dilanda krisis ekonomi
terbesar di Asia, negeri kita tercinta ini. Boulder biasanya
merupakan kota transit mahasiswa kita dalam menyesuaikan diri
sebagai mahasiswa di negeri Paman Sam itu.

Rupanya lulusan Boulder itu pula, namanya Steve H Hanke, yang
memperoleh S-1 dalam bisnis tahun 1964, dan PhD dalam ilmu ekonomi
tahun 1969, yang sangat berpengaruh di kalangan penentu
kebijaksanaan keuangan di negeri ini. Pengaruhnya itu nyata sekali
dalam pemberitaan tentang dirinya ketika ia menjelaskan dengan
langsung kepada Presiden Soeharto gagasannya mengenai Sistem Dewan
Mata Uang untuk negeri ini. Pemberian penjelasannya itu dihadiri
oleh Prof Dr Widjojo Nitisastro.

Saya heran juga membaca berita ini, karena aksesnya yang langsung
kepada Presiden. Rasanya akan lebih kena bila ia membentangkan
pikirannya lebih dahulu kepada mereka yang terlibat dalam soal
keuangan dan ekonomi, dan lebih baik lagi bila dihadiri oleh
pakar-pakar kita yang selama ini kritis terhadap perkembangan.
Bukankah krisis kini menyangkut banyak masalah yang diharapkan
dapat ditangani bersama? Ataukah Prof Widjojo yang kurang suka
melihat mereka yang kritis itu?

Agaknya Prof Hanke ini pun lupa untuk menjelaskan secara panjang
lebar mengenai dampak negatif yang dibawa oleh sistem baru
tersebut. Seperti halnya IMF yang bukan merupakan dokter yang
baik, CBS bukan merupakan obat yang mujarab untuk menjawab krisis
moneter yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Terlebih pula sistem
itu bukan merupakan suatu kebijakan untuk menjawab seluruh
permasalahan ekonomi kita.

Pengalaman beberapa negara yang sudah menerapkan sistem ini
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dalam investasi
. Arus modal yang masuk ini, pada gilirannya,
berpeluang untuk menggoyahkan perekonomian melalui ekspansi
moneter, inflasi, apresiasi mata uang domestik, menurunnya
persaingan internasional, serta defisit transaksi berjalan yang
cukup besar. Dapat dipastikan bahwa faktor-faktor tersebut akan
menciptakan tekanan untuk melakukan devaluasi dan membuat para
manajer uang (fund managers) lebih gugup lagi. Inikah yang kiranya
diharapkan dari CBS tersebut?

                     ***

SUDAH lama perekonomian kita menderita defisit transaksi berjalan
yang besar, hal ini sudah pula banyak diulas oleh para pengamat
ekonomi kita maupun oleh Menko Salef Afiff yang sangat disayangkan
kini lebih banyak tidak bersuara lagi. Kalau jumlah arus modal
swasta yang masuk ke Indonesia cukup besar dan apabila
komposisinya secara mayoritas terdiri dari pinjaman jangka pendek
atau investasi portfolio yang bersifat spekulatif, maka
kecenderungan untuk arus modal untuk kemudian keluar lagi dari
Indonesia dan menciptakan ketidakstabilan, adalah cukup besar -
terlepas dari bentuk/ sistem moneter negara yang bersangkutan.

Sistem bank sentral yang kini diberlakukan di negeri ini, maupun
CBS yang menurut rencana akan menggantikannya, seharusnya mampu
menciptakan kondisi keuangan atau rezim moneter yang serba
beraturan dan penuh disiplin. Tetapi keharusan inilah yang sangat
tidak mungkin untuk dilakukan oleh salah satu sistem tersebut
apabila tidak didukung oleh perangkat-perangkat kebijaksanaan
lainnya. Sistem bank sentral maupun CBS saja tidak mampu
menciptakan kondisi yang, dalam bahasa ekonominya, (necessary or
sufficient) bagi terciptanya keteraturan dan kedisiplinan tadi.

Dari segi ekonomi banyak hal yang perlu diperhatikan, di
antaranya: disiplin fiskal, komposisi yang pantas dari arus modal
masuk, sistem perbankan nasional yang tangguh, persaingan yang
lebih merata (even level of playing field), dan sebagainya. Dari
segi politik, banyak pula yang perlu diperhatikan dan dilakukan.

Salah satu masalah politik yang menentukan dalam kedua cara
penanganan kesulitan kita tentang keuangan ini, terletak pada
aparat pemerintah sendiri. Kalau sistem kini hendak dipakai,
siapkah aparat melaksanakannya? Tentu yang dimaksudkan adalah
aparat yang ada. Kalau orang bisnis akan turut serta, tentu orang
bisnis yang selama ini telah turut juga dalam rangka kebijaksanaan
yang ada. Bisakah kedua jenis manusia ini diandalkan? Kita telah
mengetahui dari perkembangan yang lalu bahwa antara lain: beberapa
orang direktur Bank Indonesia - bank sentral kita - diperiksa
kepolisian dan kini ditahan oleh pihak kepolisian.

Ini berarti bahwa sebenarnya aparat bank tersebut tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Pengucuran KLBI (Kredit Likuiditas Bank
Indonesia) yang berlebihan pada suatu bank, dan penggunaan kredit
tersebut pada bank lain itu oleh perusahaan kepunyaan
gembong-gembong bank itu sendiri, merupakan antara lain
penyebabnya. Hal seperti ini tidak terdeteksi oleh bank sentral
(atau bisa juga dikatakan dibolehkan atau dibiarkan oleh bank
sentral), padahal ini seharusnya tidak bisa ditolerir.

Kalau Sistem Dewan Mata Uang yang hendak dijalankan (di samping
soal kemampuan rupiah untuk senantiasa mengaitkan nilainya dengan
dollar), disertai pula oleh permainan anggota Dewan serta pihak
pemerintah dengan tidak konsisten, tentulah maksud tidak tercapai.
Permainan ini selama ini berhubungan dengan kinerja tidak bersih
dari lembaga pemerintahan dan lembaga semipemerintahan serta
lembaga swasta; tentu yang dimaksudkan di sini orang yang duduk
dalam berbagai lembaga itu.

Transparansi, pengawasan yang sungguh dan bersih, merupakan
prasyarat yang seharusnya dibenahi oleh pemerintah lebih dahulu.
Ini pula yang belum dilakukan oleh pemerintah, baik terhadap orang
maupun cara kerjanya, boleh dikatakan di semua bidang. Dalam
rangka ini masalah nepotisme, korupsi dan kolusi pun terangkut.
Meluasnya kepentingan pribadi di tingkat pemerintahan (vested
interest), merupakan kekhawatiran dari para (fund managers) asing
akan keberhasilan sistem tersebut, rupiah yang di-"peg" terhadap
mata uang asing dilihat sebagai upaya untuk melindungi kekayaan
mereka.

                      ***

KALAU demikian, sebenarnya masalah sistem tidak merupakan masalah
nomor satu. Sistem tentu bisa saja mengandung kekurangan, tetapi
ia bisa diperbaiki dengan orang dan cara kerja yang bersih. Tetapi
memang, dengan demikian kita melihat permasalahan dari segi bukan
ekonomi dan keuangan semata, tetapi yang bisa dan di negeri kita
banyak berkaitan dengan bidang ini. Sayangnya, kita lebih tertarik
pada sistem yang sebenarnya terletak pada prioritas kedua. Masalah
pokok kita: bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih. Tetapi
kalau berpikir dalam rangka ini, pencalonan pemimpin negara kita
juga haruslah dikaitkan dengan masalah bersih tidaknya orang yang
kita harapkan menduduki jabatan tersebut. Ah, kita sudah jauh
beralih dari masalah ekonomi dan keuangan. Tetapi masalah ini
memang tidak bisa diselesaikan lepas dari soal yang lebih bersifat
menyeluruh.

Tentang orang dari Boulder tadi? Kita sudah banyak juga mempunyai
pakar-pakar yang selama ini berusaha mengemukakan pendapatnya.
Kenapa pendapat mereka tidak ingin kita dengar, sekurang-kurangnya
kita bandingkan dengan pendapat orang Boulder tadi? Bukankah
perbandingan akan memperkaya kita sendiri? Dan pilihan pun dapat
dilakukan dari berbagai pendapat dan alternatif. Ataukah penguasa
merasa lebih tahu?

(* Dian M Noer, karyawan sebuah bank, dan Deliar Noer, dosen panca
sarjana UI.)

**************************************************


Received on Tue Feb 24 01:58:32 MET 1998


X-URL: http://www.suarapembaruan.com/News/1998/02/230298/OpEd/op06/op06.html

   SUARA PEMBARUAN DAILY
     _________________________________________________________________
   
Konspirasi Birokrasi Dan Korupsi

Oleh: Arifin P. Soeria Atmadja

   Seusai Presiden Soeharto menerima Direktur Pelaksana IMF, Michael
   Camdessuss, 15 Januari 1998 yang lalu, Presiden telah mengambil
   kebijaksanaan yang sangat penting dalam menanggulangi krisis ekonomi
   dan moneter dengan membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan
   Keuangan yang diketuai oleh Presiden sendiri dalam rangka reformasi
   dan restrukturisasi bidang ekonomi dan moneter. Mengingat begitu
   kompleksnya masalah yang dihadapi pemerintah perlu ditindaklanjuti
   usaha secara simultan untuk mengamankan kebijakan yang telah diambil
   oleh pemerintah dalam bentuk pengawasan/pemeriksaan, baik secara makro
   strategis maupun mikro teknis.
   
   Dalam hubungan ini menarik apa yang dikemukakan Frans Seda, mantan
   Menteri Keuangan, bahwa pengawasan adalah yang paling lemah dalam
   menyelenggarakan pemerintahan kita, dan inilah yang perlu diangkat dan
   benahi. Karena itu diperlukan pengawasan yang efektif.
   
   Demikian pula sebelumnya Ketua Bepeka ketika menyampaikan buku
   Pemeriksaan Bepeka semester II tahun Anggaran 1996-1997 kepada DPR,
   mengatakan bahwa Bepeka ungkapkan pemborosan miliaran rupiah uang
   negara yang secara kuantitas dan kualitas tidak seberapa bila
   dibandingkan dengan kerugian uang rakyat dan uang negara sebagai
   akibat kegagalan Pakto 88 dan lemahnya pengawasan pinjaman luar negeri
   (Arifin P. Soeria Atmadja, Majalah Badan Pemeriksa Keuangan, Maret
   1992) yang sekaligus menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap
   dunia perbankan maupun terhadap mata uang rupiah, berkurangnya
   kepercayaan investor asing telah memperberat beban krisis ekonomi dan
   moneter.
   
   Demikian pula statement Jaksa Agung seusai diterima Presiden,
   mengatakan bahwa Presiden telah memerintahkan agar dilakukan
   peningkatan pemberantasan korupsi, merupakan cerminan dan kemauan
   politik pemerintah untuk mengatasi masalah korupsi ini perlu
   diantisipasi.
   
   Munculnya kasus Jamsostek telah pula mewarnai betapa lemahnya
   mekanisme pengawasan terhadap suatu BUMN di satu pihak, dan banyaknya
   pengawas menurut Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 terhadap BUMN
   di lain pihak, yang secara struktural dan fungsional melebihi jumlah
   normal.
   
   Mengendalikan Korupsi
   
   Diakui bahwa memberantas korupsi tidak semudah membalik tapak tangan,
   tidak seperti penyakit polio yang dapat ditanggulangi melalui
   vaksinasi. Banyak faktor penyebab terjadinya korupsi oleh karena itu
   lebih tepat kalau dikatakan ''mengendalikan korupsi'' atau istilah
   Robert Keitgaard Controlling Corruption dan bukan memberantas korupsi,
   karena hakim Efran Prana yang ditunjuk oleh Presiden Filipina setelah
   ia berhasil meredam korupsi di Filipina, ternyata korupsi merebak
   kembali setelah ia berhenti sebagai pejabat yang ditugasi melakukan
   penertiban. Oleh karena itu dalam mengendalikan masalah korupsi selain
   diperlukan figur yang mempunyai integritas yang tinggi, jujur,
   diperlukan pula mereka-mereka yang mempunyai konsepsi dan aplikasi
   sistem yang kondusif, baik terhadap usaha mengendalikan korupsi maupun
   konspi-rasi birokrasi yang pada umumnya cenderung bersifat diametral,
   agar tidak mengusik stabilitas nasional.
   
   Dari pengalaman hakim Efran Prana yang dikenal bersih tersebut di
   atas, ter-nyata meskipun peran figur merupakan kriteria yang tidak
   dapat diabaikan, namun hendaknya sistem pengendalian korupsi
   seharusnya tidak bersifat personal, tapi ruang gerak korupsi dibatasi
   oleh sistem dan mekanisme kerja yang ketat dengan sanksi konkret dan
   konsisten, sehingga setiap pergantian pejabat pengendali korupsi tidak
   berpengaruh terhadap usaha mempertahankan tingkat keberhasilan maupun
   peningkatannya.
   
   Korupsi di dunia, baik yang terjadi di negara maju maupun di negara
   berkembang pada umumnya mempunyai artian yang mirip, yakni
   mengkomersialkan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki, demi
   keuntungan pribadi dan atau kelompok, namun perilaku korupsi di
   Indonesia diselimuti pula dengan kultur ''ewuh pakewuh'' yang secara
   potensial dapat menghambat usaha mengurangi korupsi yang secara
   rasional diterima umum.
   
   Penertiban
   
   Pemerintahan yang bersih dan berwibawa secara naluriah merupakan
   dambaan setiap anggota masyarakat, karena dengan kondisi tersebut,
   tercermin kinerja pemerintahan yang bersih, efektif dan efisien dan
   setiap anggota masyarakat akan bangga dan menepuk dada seraya berkata
   ''inilah pemerintahku''.
   
   Hal ini dapat kita lihat dan rasakan, bahkan seruan atau unjuk rasa
   memberantas korupsi masih kita temui, dan ini merupakan fenomena bahwa
   masyarakat kita belum menerima korupsi sebagai budaya bangsa
   Indonesia, di mana jumlah korupsi masih terbatas tingkat birokrasi
   baik tingkat pusat maupun daerah, dan belum merupakan suatu jaringan
   yang terorganisasi sempurna, dan sebagian terbesar, korupsi masih
   didasarkan pemenuhan kebutuhan hidup, mengingat tidak berimbangnya
   antara kebutuhan hidup dengan penghasilan atau gaji yang hanya cukup
   hidup untuk beberapa hari.
   
   Namun demikian apabila keadaan ini dibiarkan dalam jangka waktu lama,
   bukan tidak mungkin aparatur negara dalam hidupnya lebih mengutamakan
   penghasilan dari hasil korupsi ketimbang dari gajinya. Dan hal ini
   menurut pengamatan saya bukan tidak mungkin nantinya gaji resmi hanya
   diambil setelah beberapa bulan berselang. Ini gejala yang sangat
   berbahaya bagi moral bangsa, kehidupan perekonomian negara di mana
   efisien dan efektif, di mana kinerja aparatur hanya dinilai
   berdasarkan besaran korupsi yang diterima.
   
   Diakui memang konspirasi negatif birokrasi masih terbatas pada hal-hal
   pelayanan sektor publik, terutama di bidang-bidang yang berkaitan
   dengan perizinan, perpajakan dan hak-hak keuangan, anggaran,
   perencanaan dan proyek-proyek pekerjaan umum dan belum menyentuh
   korupsi penentuan kebijaksanaan peme-rintah yang akan berdampak luas
   secara nasional maupun internasional.
   
   Dengan tingkat kondisi korupsi sebagaimana tersebut di atas, yang
   perlu diutamakan pembenahannya, adalah aparatur pengawas dan
   pemeriksaan, baik dilihat dari struktur organisasi maupun fungsinya,
   mengingat struktur organisasi maupun fungsi lembaga
   pengawas/pemeriksaan baik menurut UU No. 5 tahun 1974 tentang Badan
   Pemeriksa Keuangan (Bepeka), maupun menurut Keputusan Presiden No. 31
   Tahun 1983 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
   serta Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1974 jo Keputusan Presiden No.
   45 Tahun 1974, tentang Susunan Organisasi Departemen, saat ini masih
   mengandung kelemahan terutama duplikasi subjek dan objek pengawasan,
   maupun pemeriksaan, meskipun pada waktu ini telah diupayakan
   pendekatan koordinasi pengawasan/pemeriksaan dalam lingkungan instansi
   pemerintah melalui Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT).
   
   Langkah-langkah
   
   Mengingat hasil pengawasan/pemeriksaan selama ini belum membuahkan
   hasil yang maksimal dalam mewujudkan kondisi ke arah pemerintahan yang
   bersih dan berwibawa, di mana hal ini justru merupakan salah satu
   prasyarat perolehan bantuan IMF, World Bank dan ADB, maka untuk
   menunjang keberhasilan kebijaksanaan yang digariskan oleh Dewan
   Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan kiranya di bidang
   pengawasan, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah sebagai
   berikut:
   
   a) Penertiban dan pendayagunaan aparat pengawasan/pemeriksaan baik
   terhadap mutu SDM, maupun penyempurnaan mekanisme pengawasan yang
   selama ini berjalan tidak menunjang keberhasilan
   pengawasan/pemeriksaan.
   
   b) Pengawasan dan pemeriksaan hendaknya dilakukan secara berjenjang,
   di mana Bepeka melakukan pemeriksaan secara makro strategis, memeriksa
   hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKP berupa pemeriksaan
   Perhitungan Anggaran Negara (PAN), selanjutnya BPKP melakukan
   pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan yang dilakukan Inspektorat
   Jenderal. Demikian pula selanjutnya Inspektorat Jenderal memeriksa
   hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Inspektorat Wilayah Propinsi
   (Itwilprop) dst. Sistem check and recheck selain dapat menelusuri
   kebenaran laporan hasil pemeriksaan yang apabila dilakukan oleh
   instansi yang berbeda, dapat mengurangi intensitas budaya ''ewuh
   pakewuh'', sekaligus mempunyai daya membangkitkan Proudness profesinya
   sebagai pemeriksa karena adanya kekhawatiran koreksi secara
   profesional antara sesama aparat pengawasan/pemeriksaan.
   Pengawasan/pemeriksaan secara berjenjang dimaksudkan agar spend of
   control tidak luas sehingga pengawasan/pemeriksaan dapat dilakukan
   lebih efektif dan efisien agar terjadi peningkatan mutu hasil
   pengawasan/pemeriksaan.
   
   c) Pengawasan hendaknya sudah dilibatkan dalam proses perencanaan
   sebagai usaha preventif terhadap penyimpangan, mengingat justru selama
   ini bidang perencanaan sangat rentan terhadap kolusi dan korupsi,
   khususnya dalam penetapan prioritas proyek-proyek pembangunan maupun
   revisi anggaran (APBN).
   
   d) Untuk mengurangi simpul-simpul birokrasi dan pengawasan terhadap
   penyaluran dana APBN baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, serta
   dalam mengoptimalkan kinerja bank-bank pemerintah yang telah dimerger,
   kiranya pengeluaran dana APBN dilakukan melalui jasa perbankan di mana
   mekanisme pengawasan maupun pemeriksaan dilakukan oleh akuntan publik.
   Oleh karena status hukum bank milik pemerintah (BUMN) tersebut
   Persero, secara yuridis BPKP apalagi Bepeka tidak lagi berhak
   melakukan pengawasan maupun pemeriksaan terhadap Persero. Untuk itu
   perlu diadakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun
   1983, tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan
   Persero.
   
   e) Laporan hasil pengawasan/pemeriksaan hendaknya bersifat transparan
   dan tindak lanjutnya dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
   
   f) Agar landasan pengawasan dan pemeriksaan didasarkan pada dan
   presepsi maupun tolak ukur yang sama, Indische Comptabiliteit Wet (ICW
   Stb 1925 No. 448) yang selama ini merupakan landasan utama pengurusan
   dan pertanggungjawaban Keuangan Negara segera diganti dengan
   undang-undang tentang Perbendaharaan Negara yang disesuaikan dengan
   tuntutan era globalisasi.
   
   g) Perlu diatur akuntabilitas aparat pengawasan/pemeriksaan dan
   laporan akuntabilitas dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan atau
   kegagalan fungsi pengawasan/pemeriksaan.***
   
   Penulis adalah Gurubesar Bidang Kajian Hukum Anggaran Dan Keuangan
   Publik, FH UI
     _________________________________________________________________

**************************************************


Received on Thu Feb 26 06:23:02 MET 1998


Date: Wed, 25 Feb 1998 09:25:26 -0500 (EST)
To: [email protected]
From: [email protected] (Ben Abel)
Subject: re: Rampok di Rm Konglomerat

RAMPOK DI RUMAH KONGLOMERAT
atawa Sebuah cerminan zaman edan

rampoK datanG, kumaT janTung.
Sampe dua hari yang lalu, di rumah sakit si Sudwikatmono masih terkapar.
Konon berita derita jantungnya kambuh, mendapat porsi serupa tapi tak sama
dengan politik tertutup kepemimpinan nasional si emasnya. Jadi, jika
terjadi intrique maupun clique itu perkara lumrah. Demikianlah peristiwa
rampok nyatroni rumahnya dimendua minggu tadi. Itu diumpetin bak kehormatan
sedang lengser keprabon saja. Seperti masa jabatan presiden sekarang ini.

Apa pasal?
Duwa minggu yang lewat, di pemukiman mewah "bukit Golf" PONDOK INDAH
Jakarta Selatan. Keluarga Besar konglomerat Sudwikatmono menghostesi acara
halal bihalal. [sebenarnya sst .. st ... bisnis juga!]  Puluhan tamu-wah!
datang dengan penampilan yang serba gemerlap seperti kilatan perhiasan
atawa assesori lux gambaran neces royal familylah. Emas, berlian, jambrut
permata dan jam tangan rolex bertaburan ibarat bintang dilangit. Toh, jelas
merusak kampanye "gerakan cinta produk dalam negeri." Mungkiiiin! .... eh
tau-tau datang dua truk penuh [sekitar 100 orang] sebagai tamu tak diundang. 
Rupanya inilah kawanan rampok yang seolah jelas telah mengetahui
acara ini sebelumnya. Dan tanpa banyak cingcong langsung mengambil
kesempatan serta peluang dimusim paceklik sekarang ini.

Mula-mula gerombolan satpam Sudwikatmono ditekuk. Atawa memang ikut 
meluang kesempatan. Kemudian pasukan ibarat ninja itu merangsek masuk 
dengan seruan; "Harta atau nyawa!" Kontan disambut jerit panik dan pekik 
kaget para tetamu terhormat itu. Tapi gerombolan bertopeng yang berjumlah 
sekompi itu, sangat sigap mengantisipasi segalanya. Begitu pro dalam me-
laksanakan gawi. Sehingga keadaan yang hampir kacau oleh jerit dan pekik 
panik itu, dengan cekatan dikuasai. Konon salah satu yang sangat mereka cari 
adalah koleksi jam tangan putri-putri sang konglomerat. Maklum satu jam 
tangan itu bernilai RP 1 milyar. Sedangkan menurut berita-berita dimajalah-
majalah pop ibukota, tiap putri paling nda menyimpan 30an jam tangan spesial 
designer. Padahal putrinya ada tiga. Lalu semua perhiasan ibu-ibu dan nyonya
konglomerat yang jelas mewah-mahal itu dipreteli. Begitu juga jam tangan
rolex dan dompet bapak-bapaknya. Semua dikumpulkan. Lalu dengan begitu
berdisiplin, sambil meninggalkan apologi: "Maaf bapak-bapak dan ibu-ibu,
kami hanya mengambil yang diperlukan, anak-istri kami sudah empat hari
tidak makan," pasukan bertopeng itu mengundurkan diri. Sementara para
tetamu dan tuan rumah menggigil terteror semua. Malah ada yang
terkencing-kencing. Sang tuan rumah sendiri langsung kena serangan 
jantung.

Ketika perampokan ini terjadi, pada saat yang bersamaan dikalangan
terbatas, beredar kabar bahwa sekitar 150 anggota Batalion 202 Kodam Jaya
sedang "keluar" dari tangsi, untuk mencari sembako bagi anak-bini mereka.
Ternyata inisiatif para prajurit ini diluar pengetahuan komandannya. ---
Nah, apakah ada hubungan antara perampokan di rumah konglomerat
Sudwikatmono dan prajurit yang pergi mencari sembako ini? --- Itu semua
sedang dalam penyelidikan langsung oleh Mayjen Syafrie Syamsuddin sebagai
Pangdam Jaya. Kabarnya Pangkostrad sendiri, Letjen Prabowo, juga turut
aktif dalam penyelidikan ini. Karena kredibilitas beliow sedang dipertanyakan 
dalam perampokan yang menyangkut sepupunya presiden, yang toh
nota bene "Oomnya" sendiri.

Bankir dari Wonogiri.
Sudwikatmo beserta keluarganya ini adalah tokoh yang sangat menarik-narik.
Beliow adalah sepupu si Gali Pelarian Kemusuk alias GPK Suharto itu.
Aslinya dari desa Wuryantoro, kecamatan Wonogiri. Sekitar 50 km selatan
kota Solo. Seorang paranormal yang diminta bantuan dalam mengusut
perampokan ini, mengatakan : "Ini ceritanya kere munggah bale." Pembaca
yang lebih faham budaya dan basa Jawa bisa memahami lebih baik penilaian
sang paranormal ini. Namun demikian urutan informasi yang terhimpun
mengatakan begini.

Tahun 1939 Suharto [belon lagi GPK] lulus SMP waktu berumur 18 tahun. Karir
bliow yang pertama adalah bekerja sebagai jongos di Bank Desa Wuryantoro.
Tugasnya mengumpulkan duit dari para  petani dan pemilik toko [Semacam debt
collector atawa gali 'kan?]. Tapi gawian sebagai bankir ini nda berlangsung
lama. Karena suatu waktu ketika sedang nunggang sepeda, kainnya tersangkut
dan sobek. Padahal itu kain pinjaman. Dan sialannya dia tidak bisa
mengembalikannya. Akibatnya dia dianggap nda becus. Yah dipecat dong. Nah,
selama di Wuryantoro inilah dia menginap di rumah Oomnya. Yakni bapake
konglomerat Sudwikatmono. Setelah dipecat, bulan Juni taon 1940 Suharto
diterima sebagai KNIL [Semacam GDN zaman Hindia-Blanda] di desa Gombong.
Dari sinilah bliow mengawali karir militer profesionalnya. --- Yang pengen
tau lebih jauh, bacalah "The smelling general" halaman 90-96.

Ingatlah karir GPK Suharto sebagai bankir itu ternyata menurun serta
ditindaklanjuti oleh anak-cucunya. Konon pekerjaan "mengumpulkan duit dari
para petani" itulah yang mengilhami berdirinya badan-badan monopolit macam
: BULOG, BPPC, juga apa itu yang mengatur tata-niaga jeruk, dsb. Profesi
"mengumpulkan uang dari para pemilik toko" itu selama 50 tahun ini dengan
tekun terus dilaksanaken dengan seksama, hingga menjadilah karir Suharto
yang sukses sampai hari ini. Bak pembangunan saja. Tentang "pinjaman yang
tidak bisa dikembalikan itu," ternyata terulang lagi toh? Seperti apa yang
kita saksikan di masa krisis sekarang.

Menurut informasinya. Sebagai bocah ndeso atawalah pinjam istilah Mat LAT
"the kampung boy," baik Suharto maupun Sudwikatmono punya rasa rendah diri
yang luar biasa. Rasa minder itu muncul sebagai kompensasi yang auw'jubilah
enggak masuk diakal lagi. Keluarga Suharto menjadi keluarga maha-paling
terkaya di dunia. Menurut taksiran The New York Times, kekayaan keluarga
Suharto nda kurang dari US$30 milyar. Kalau sepupunya, Suharto, membangun
kuburan yang megamewah di Mangadeg dengan sangat po'etik dinamai astina
Giri Bangun, maka Sudwikatmono sendiri membangun keraton buesar di
Yogyakarta. Keraton pribadi yang memakai batu marmer semua dengan
ukiran-ukiran maha dahsyat itu melebihi kemewahan Keraton Sultan
Yogyakarta. Ini jelas ada udang dibalik kepala yang makin membatu. Komentar
anak-anak Yogya.

GPK yang Gendut Pendek Karbon atawa Gembrot Pesek Karbon.
Tiga anak-dara Sudwikato. Sama seperti bapaknya. Gendut, Pendek, pesek dan
berkulit Karbon [zadi ya GPK jua!] Tahun 80-an mereka berskolah di Los
Angeles. Mendiami sebuah rumah dikawasan elit LA, tentu dong. Tapi tetep
susah dapet cowok. Sampai sekali waktu rumahnya bocor. Didatangkanlah
seorang tukang plumber. Sang plumber yang konon berwajah ganteng, sexy,
kalau tabu dibilang merangsang, bernama don Juan Jaminez itu bisa ditebak
berasal dari Latin Amerika. Walaupun diketahui yang si don Juan punya
bacaan cumalah Penthouse, Playboy dan Soldier of Fortune ... bisa dibayang
isi kepalanya 'kan? .... Tapi satu putri tingting Sudwikatmono tetep
kesengsem jua. Dan gayung bersambut. Karena sang don perjaka tontong
nyatanya simpatik ama kepribadian (baca: kekayaan pribadi) si GPK tingting
yang Genit Pesek Karbon. Singkat kata ... cintapun bersemi, ibaratnya calo
tunggal calon presiden tunggal yang tetap juga diSU ama MPR. Sekalipun
calonnya tunggal! SU itu muahalnya mex!

Untuk menyelaraskan tampilan dengan suasana California, gendug-gendug
Wonogiri ini menyuntik kulitnya dengan pigmen. Supaya jadi putih membule.
Teknik ini mereka tiru dari siapa lagi? ... Michael jackson yang sukses
membule dan mancung itu. Tapi hidung mereka nda dioperasi plastik, harus
tetep pesek. Konon ada alasan wahyu cakraningrat, bahwa hidung yang pesek
mendatangkan rejeki berlipat. Tapi rambutnya dicat pirang merah-merang.
Bayangkan betapa menakjub-ajaibnya eh ajuibuilah penampilan genduk-genduk
Wonogiri ini : udah GPK = Gembrot Pendek-pesek Karbon eh ... berkulit mbule
serta berambut pirang. Persis leak. Dus di sekolahnya, Pepperdine,
universitasnya kaum elite LA, genduk-genduk Wonogiri ini sangat populer
dalam artian selalu jadi banyolan.

Ada pula cerita seorang photographer handsome donkasut [artinya Don yg suka
cabut tali kolor]. Dulu salah satu genduk Wonogiri ini sempat mukim di
Jerman. Prokemnya, belajar! Di sono sang photographer kebetulan berteman
baek ama doi. Dus, laiknya seorang Don, saban hari dihamburnyalah rayuan
puja puji bak propaganda suksesnya pembangunan; betapa indahnya tubuh,
betapa moleknya betis, betapa halusnya kulit, betapa nyeninya warna kulit,
betapa bahenolnya, dan betapa-betapa dstnya ... Sampe sang genduk eh
sediakan badaniahnya dipotret macam-macam. Malangnya hubungan murni
kepalsuan itu tidak langgeng. Putus cinta atawa affair di doitlan,
gambar-gambarpun bertaburan. Seorang setengah baya turut menerima satu ...
dan astaga, beliau tutup muka. Tapi lewat sela jarinya masih nampak photo
genduk Wonogiri persis kayak yang di Penthouse. Konon nurut sang Donkasut,
memang salah satu impian genduk itu adalah kepengen potret tubuhnya nampang
disono. Entah siapa-siapa saja yang memiliki potret-potret tubuh genduk
satu itu. Sering kita temukan pembicaraan anak-lelaki kalangan melayu,
bersungut-sungut perihal pernah melihat. Bahkan ada yang menyimpannya
sebagai arsip.

Sekarang sang konglomerat sedang di rumah sakit. Walaupun keadaannya sudah
stabil, kita semua mengharap kembalilah keasal segera. Artinya pulih lho!
Serta cita-citanya untuk menjadi Sultan Yogya itu bisa terlaksanaken.
Demikian pula satu lubang kosong di Mangadeg bisa cepet terisilah. Pula
agar seluruh putri-putrinya bisa terus mengejar cita-cita luhur mereka,
yaitu "jadi bule."

Sebagaimana mang Machiaveli [baca aja: Makiomeli], kita sebagai kawula
rakyat jelata akan turut bahagia manakala kanjeng-gusti kanjeng-gusti ini
bisa mencapai nafsu kepuasan yang bahagia. Insyalah!