************************************
Received on Thu Feb 5 07:14:56 MET 1998
Kabar dari PIJAR
From: [email protected] (Tapol)
Subject: Megawati calls for calm and peaceful protest
Associated Press, 4 February 1998
Extracts only
Opposition figure Megawati Sukarnoputri Wednesday called on her supporters
not to take part in violent protests against the government despite an
ongoing economic crisis. 'Please avoid violent acts in any form,' she said
in a statement.
Her plea follows an outbreak of social unrest in several parts of the
islands of Java and Sulawasi in recent days.
Police have said the trouble was the result of rising prices for food and
fuel. Mobs in several towns and villages have attacked stores primarily
owned by Indonesia's ethnic Chinese minority, who dominate commerce.
She also called on her supporters to live modestly during the economic
crisis and not flaunt their wealth in ways that would trigger 'jealousy and
social unrest'.
In her statement Megawati called on her followers not to be provoked by
those 'who would deliberately disgrace your sacred mission and struggle for
truth, justice and democracy in the archipelago'.
Several small and peaceful pro-Megawati demonstrations have been staged
outside the national Parliament in Jakarta since she put herself forward as
a (presidential) candidate.
**************************************************
[email protected]
Sun, 8 Feb 1998 18:35:25 -0700 (MST)
_______________________________________________
Kompas Online
Sabtu, 7 Februari 1998
_______________________________________________
Prof Dr Erman Radjagukguk:
Ketidakpastian Hukum akan Pengaruhi Perekonomian
Jakarta, Kompas
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI), Prof Dr Erman
Radjagukguk, mengatakan, derajat ketidakpastian hukum masih terasa
memprihatinkan di Tanah Air. Padahal, kalau tak segera diatasi, faktor
ketidakpastian hukum itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Krisis
moneter kali ini pun akibat langsung dari adanya ketidakpastian hukum
tersebut.Adanya ketidakpastian hukum, menurut Radjagukguk dalam
percakapan dengan Kompas, Jumat (6/2) di Jakarta, akan mendorong
khalayak tidak percaya lagi pada hukum dan institusinya, misalnya
pengadilan. Pada akhirnya, kondisi ini akan memunculkan
ketidakpercayaan pada institusi ekonomi. Dengan demikian, perekonomian
pun pasti akan terpengaruh.
"Tiga tahun lalu, saya sudah mengingatkan perlunya keterbukaan
peraturan perbankan. Undang-Undang (UU) Perbankan yang sekarang ini
tidak memberi jaminan hukum bagi nasabah. Sekarang terbukti, krisis
moneter terjadi salah satu sebabnya adalah ketidakpercayaan nasabah
kepada perbankan," tambahnya.
Semestinya, menurut dia, hasil penelitian Bank Indonesia (BI) mengenai
kesehatan bank diumumkan, sehingga masyarakat mengetahui bank yang
buruk serta bank yang baik. Kalau hasil penelitian atas kesehatan bank
itu tidak diumumkan, masyarakat dapat "terjebak" dalam menyimpan
uangnya.
"Kalau ketentuan tentang kerahasiaan bank tetap, karena hal itu
menyangkut rahasia nasabah. Tetapi penelitian tentang kesehatan bank
harus diumumkan. Ini memberikan kepastian hukum, karena rakyat dapat
memilih bank mana yang sehat untuk menyimpan uangnya," tuturnya.
Menurut Radjagukguk, ketidakpastian hukum pun bisa mempengaruhi arus
investasi. Sepanjang tak ada jaminan hukum yang pasti, investor tidak
akan menanamkan modalnya di sebuah negara. Kondisi ini terjadi pula di
Indonesia, terlihat dari rendahnya realisasi penanaman modal asing.
"Selama ini, investor asing di Indonesia cenderung memilih
menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase di luar negeri. Tapi
putusan arbiter asing itu, kalau mau dilaksanakan di Indonesia, harus
disahkan pengadilan. Ini 'kan membutuhkan waktu dan biaya lagi, dan
belum tentu putusan arbiter asing itu diterima oleh pengadilan kita,"
ujarnya.
Artinya, jelas Radjagukguk, ada ketidakpastian hukum. Ini yang akan
mendorong investor berpikiran panjang untuk menanamkan modalnya.
"Investasi itu tak hanya dipengaruhi faktor hukum, namun juga politik,
ekonomi dan lainnya. Selama lima tahun ke depan, saya khawatir sedikit
investor yang mau menanam modalnya di sini," tandasnya.
Tiga faktor
Radjagukguk menyebutkan, ada tiga faktor yang menyebabkan tak adanya
kepastian hukum di Indonesia. Pertama, dari sudut peraturan
perundang-undangan ternyata masih ditemui adanya aturan yang tidak
sejalan dengan aturan yang lebih tinggi. Bahkan, tak jarang ada UU
yang materinya tumpang tindih dengan UU yang lain.
"Misalnya, dalam UU Pokok Perindustrian disebutkan perlunya ada
pengaturan tentang monopoli. Tetapi sampai saat ini kita belum punya
UU Antimonopoli. Itu berarti tidak ada kepastian hukum," ucapnya.
Kedua, tambahnya, dari sisi pelaksanaan aparat masih lemah dalam
menjalankan aturan. Misalnya dalam pengurusan perizinan, sering tidak
dapat diprediksikan kapan selesainya. Padahal dalam aturan itu sudah
disebutkan secara tegas waktu pengurusan perizinan. Ini sangat
merepotkan kalangan bisnis yang selalu memperhitungkan secara tepat
setiap langkahnya.
Sedangkan faktor ketiga, ujar Radjagukguk, adalah penyelesaian
sengketa dalam bidang ekonomi di pengadilan belum dapat diharapkan.
Selain banyaknya jenjang peradilan, putusan pengadilan di Indonesia
pun unpredictable (tidak bisa diperkirakan), karena berbagai sebab.
Ditegaskan, untuk menciptakan kepastian hukum yang dapat menjamin
pertumbuhan ekonomi sangat banyak yang harus dibenahi pemerintah.
"Kita membutuhkan pembaharuan hukum. Saya percaya, kalau hanya
pembenahan materi perundang-undangan, asalkan mau kerja keras, cukup
satu tahun. Tetapi yang paling berat adalah membenahi mental aparat,"
tandasnya. (tra)
*************************************
Received on Thu Feb 5 02:05:59 MET 1998
Replies: [email protected]
GERAKAN CINTA RUPIAH AKAN MENJELMA
JADI GERAKAN ANTI-CINA DAN ANTIKRISTEN
Oleh: Agung Soeprapto
Babak baru roda sejarah Indonesia sudah mewarnai persada tanah air
bulan-bulan permulaan 1998 ini akibat strategi baru Soeharto berkenaan
dengan sejumlah tekanan bertubi-tubi, khususnya dari IMF khususnya Amerika
(baca Bill Clinton ). Sudah bukan rahasia lagi bahwa gerakan cinta rupiah
dan sumbangan emas kepada negara ini memang dimaksudkan untuk mencari
kambing hitam dalam rangka menyelamatkan diri.
Skenario sandiwara Gerakan Cinta Rupiah dan Cinta Indonesia memang teramat
kasar. Kalau memang bersungguh-sungguh, masak Tutut hanya menukar US$
50.000 dan emas 1 kg, padahal kekayaannya di luar negeri milyar dollar
begitu, juga bapaknya? (News Week 26 Januari 1998).
Yang menakutkan adalah apabila gerakan tanpa makna ini sukses, akan
berlanjut jadi gerakan anti-Cina dan anti-Kristen. Lihat saja CSIS yang
sudah digerebeg demonstran pemuda yang mengaku sebagai anggota HMUI
(padahal itu kita semua tahu adalah pemuda mesjid di kawasan Tanah Abang)
karena CSIS mewakili wajah Cina dan Kristen (baca:Katolik) yang sudah lama
ditinggalkan oleh Ali Murtopo. Lembaga ini kemudian dikelola oleh
orang-orang keturunan Cina, antara lain Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi
jubir para konglomerat yang sebagian besar adalah "Cina-Cina" yang oleh
ABRI sendiri pernah dikatakan sebagai suatu kelumpok yang harus tahu diri.
"Waktu celana poendek ditulung, waktu sudah bisa pakai dasi" minggat ke
luar negeri terutama modal-modalnya (baca dolar). Gerakan Sofyan
akhir-akhir ini terlalu kentara memaksakan kehendaknya mendikte situasi
seolah-olah hancurnya rupiah karena pemerintah belum berani menyatakan
tegasnya siapa calon wakil presiden (baca: bakal presiden) nanti.
Selain itu para konglomerat jelas masuk perangkap, sebab lewat jubirnya
keluar pernyataan tidak ingin menyokong cinta rupiah atau menyokong emas,
karena yang penting adalah meningkatkan ekspornya, yang otomatis akan
mendatangkan dolar. Ini teori setelah mendapatkan dolar bukan untuk bayar
hutang tapi banyak yang disimpan untuk menghadapi kemungkinan suksesi
gagal mempertahankan status quo. Dengan demikian mereka bisa hengkang ke
luar negeri.
Melihat gelagat ini Soeharto meningkatkan manipulasinya dengan cara
memperalat kelompok Islam, melalui mekanismenya menghantam konglomerat
(baca: Cina) melalui slogan-slogan Cinta Indonesia, Cinta Rupiah dan
Cinta Bangsa Indonesia. Sebuah gerakan nasionalisme baru yang aneh dan
mengundang ketawaan. Sebab semua orang tahu, perpindahan uang dan emas
dari satu tangan ke tangan lain hanya menyebabkan perpindahan akumulasi
kekayaan di dalam negeri, namun tak mempunyai pengaruh apa pun yang bisa
menguatkan posisi rupiah terhadap dolar.
Namun demikian, maksud gerakan Cinta Rupiah ini tercapai ketika
konglomerat dengan jelas menyatakan bahwa pihaknya tidak mau campur tangan
terhadap gerakan-gerakan cinta rupiah dan lain-lain. Dengan demikian
mereka menjadikan dirinya sebagai sasaran empuk kemarahan rakyat
menghadapi situasi ekonomi yang mencekik. Sementara itu yang menjadi
sumber masalah ekonomi yang sesungguhnya, yaitu Soeharto dan keluarganya
beserta pejabat yang korup bebas dari amuk rakyat.
Selain itu, tampaknya Soeharto juga menerapkan sebuah skenario adu
jangkrik dengan memunculkan kriteria pencalonan Wapres yang dibuat Golkar
sedemikian rupa. Kriteria itu mencuatkan nama Habibie sebagai kandidat
unggulan, yang jelas akan didukung oleh kekuatan-kekuatan di belakangnya
seperti ICMI mau pun ABRI Hijau royo-royo. Dan sebaliknya, pasti ditentang
oleh para pendukung Try Sutrisno. Dengan demikian konflik dari dua kubu
itu memang diharapkan menjadikan tabir asap yang akan menyelamatkan
Soeharto.
**************************************************
Received on Thu Feb 5 07:49:33 MET 1998
Kabar dari PIJAR
Indonesia Turns Its Chinese Into Scapegoats
NEW YORK TIMES
Monday Feb. 2 1998
[Also in International Herald Tribune, 3 February 1998]
By SETH MYDANS
RENGASDENGKLOK, Indonesia -- Anti-Chinese sentiment is bubbling to the
surface as Indonesians react to the pain of the Asian financial crisis, but
Embing Sutiono, an ethnic Chinese shop owner, says he is confident that if
riots break out, he will not be a target.
"Everybody knows me around here," said Embing, who owns four dry-goods shops
in this small town 30 miles east of Jakarta, the capital. "Even if I walk
around at night, I'm safe. People call out, 'Hey, Mr. Bing, how are you
doing?"'
Nevertheless, like other Chinese merchants here, he has put new iron grates
on his shop fronts, burnished his relations with local security forces, set up
a telephone tree with his Chinese friends and stopped driving his expensive
car so as not to provoke envy.
And as a public relations gesture, he and his son have printed 600 coupons
for distribution to his poor, non-Chinese neighbors entitling them to a choice
of a 6.5-pound sack of rice or a bundle of clothing.
Though they make up less than 4 percent of Indonesia's 200 million people --
most of whom are Muslim -- ethnic Chinese are estimated to hold as much as 70
percent of the country's private wealth. In small towns, they are typically
shopkeepers and merchants like Embing; in the cities they control
multibillion-dollar business conglomerates.
Part of this picture comes from the historical role of Chinese as traders
under the Dutch colonialists. Part comes from the structure of modern
Indonesian society, in which ethnic Chinese are mostly excluded from careers
in the military or the government.
Thus much of the nation's cash is in the hands of Chinese businessmen and
they are widely resented for it. When times get tough, they know, they are
often the scapegoats. Anti-Chinese riots are a thread running through recent
Indonesian history -- most notably in 1965 when ethnic Chinese were one of the
targets in an anti-communist massacre that took half a million lives.
In Rengasdengklok -- and all around the country -- ethnic Chinese are taking
precautions. In the town of Salatiga in central Java, Chinese merchants are
pooling their money to feed a local military unit in the hope of ensuring
security in the months to come.
"Everything is calm here," said Embing, 55, looking out from his Great
Blessings clothing store at the town's hot and clamorous central marketplace.
"Calm but tense."
Signs of tension are beginning to emerge around the country, from mutterings
in crowded markets to anti-Chinese harangues in mosques to sly articles in
newspapers about "conglomerates," a code word for the companies of rich
Chinese.
Small riots have already broken out over the past two weeks in eastern and
central Java. In one case, people burned a small Chinese-owned department
store when it raised its prices. In another, they were angered by a rumor that
merchants had raised the price of kerosene, the primary fuel for kitchen
stoves. In a third, they raided a Chinese-owned rice warehouse.
At the same time, some ethnic Chinese businessmen say they believe that the
government is laying the ground for a smear campaign against them to divert
public anger over unemployment and rising prices.
This week a prominent Chinese millionaire, Sofyan Wanandi, was questioned by
the police for what they said was his possible connection to a bomb plot. A
small group of students, most of them affiliated with a Muslim youth group,
was then mobilized to demonstrate outside an institute with which he is
associated. They distributed fliers that pointedly used his Chinese name, Liem
Bian Koen.
In another signal, a military official two weeks ago urged ethnic Chinese to
"bring home" some of their wealth from overseas to donate to an "I love the
rupiah" campaign, implying that they were less than patriotic.
Ethnic Chinese say they can feel the mood changing, and some of the
wealthier ones have made sure they and their children hold open tickets to
Singapore. Some are said to have stocked their yachts in Jakarta's harbor for
a quick getaway.
"I have never been insulted over the last 15 years since I was a student,"
said a young journalist. "But just last week, I was in a museum and a man
shouted right in front of me, 'You Chinese are the ones who are making me
suffer!' I mean, I hadn't done anything. I was just walking."
What people fear now is the kind of violence that swept through
Rengasdengklok a year ago, set off when a Chinese resident objected to the
noise of a neighbor's Muslim ceremony before dawn.
The riot shocked this town of 200,000 people, of whom only 4,000 are ethnic
Chinese. Thousands of people rampaged through the streets attacking the
businesses and homes of Chinese residents and burning down a Buddhist temple
and two Christian churches, many of whose parishioners were ethnic Chinese.
As the violence spread, Muslim merchants painted "Muslim" on their shop
fronts to protect them. "If we hadn't done that, we would have been attacked
too," said Tati Herliati, the proprietor of a tiny auto-supply shop. The
protective graffiti remain around town one year later -- along with the
smashed windows of the now vacant Peska Discount, a three-story department
store -- as reminders of the explosive anger that lies just beneath the
surface.
The ethnic Chinese residents of Rengasdengklok could take little comfort
from the official response to the violence. When 55 rioters were convicted in
court, the longest sentence any of them received was five months in jail. The
resident whose early-morning complaint touched off the riot was sentenced to
three and a half years for "expressing hatred against Islam."
An ethnic Chinese man smiled warily when asked about the sentences. "I don't
have anything to say about that," he said. "I find it a little confusing."
So ethnic Chinese here have begun to band together for their own protection.
Shopkeepers hold regular meetings at the town's biggest Buddhist temple, where
they pray for peace and share advice, said the temple's caretaker, Sukartono.
"They understand that this is a time to be very, very careful," said
Sukartono, 49, an ethnic Chinese man who was born in Rengasdengklok. He listed
some of the measures they have discussed:
-- Try not to raise prices sharply and "mind your language; don't use harsh
words."
-- Even if business is down, don't withhold the annual bonuses of employees,
which are paid this month. Be generous with small gifts of rice and food.
-- Avoid displays of wealth, remove flashy jewelry and keep expensive cars
"caged" in garages.
-- Tone down Chinese New Year celebrations and cancel the traditional lion
dances in the streets.
"All of us feel the tension," Sukartono said. "Yeah, of course. All of us
talk about it."
But not all ethnic Chinese fit the wealthy stereotype, he said, and not all
have the same means to protect themselves. Sukartono has no expensive car to
park in a garage and he cannot afford to buy airplane tickets to Singapore for
his family.
"Not me," he said. "I'm one of the have-nots. That's the role of the
conglomerates: They can go abroad. The have-nots just stay here and take what
comes."
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:20:07 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
DIA, CUKONG DI ANTARA PARA CUKONG
(PERISTIWA): Kekayaan keluarga Cendana diperkirakan US$40 milyar.
Bisnis Pak Harto dikelola Liem dan Bob Hasan
Ada usaha melindungi keluarga itu, dengan menuding konglomerat
Cina sebagai penyebab krisis ekonomi.
Suatu hari di Pulau Bintan. Ada ekspose rencana pembangunan
kawasan wisata milik Salim Group. Tampak hadir Tunky Ariwibowo,
yang waktu itu masih Menteri Muda Perindustrian. Ketika wartawan
bertanya macam-macam rincian tentang proyek pariwisata itu, Tunky
mulai kewalahan. Ia melempar kepada Anthony Salim yang duduk di
sebelahnya, "Silakan tanya langsung, ini cukongnya."
Sudah lama jadi gambaran umum, bahwa cukong adalah orang Cina.
Biasanya dengan tambahan imej, pria berperut gendut dan mata
sipit, pelit dan hanya memikirkan keuntungan pribadi. Liem Sioe
Liong dan keluarganya, yang memang kaya raya - di tahun 1990
total omset 300-an perusahaannya mencapai 5% dari Produk Domes-
tik Bruto Indonesia - menjadi gambaran ideal ketika orang menye-
but istilah cukong. Dan, tampaknya juga sasaran tembak paling
empuk, ketika krisis ekonomi kali ini sulit diatasi.
Yang tak biasa dipertanyakan: Betulkah tak ada cukong di atas
para cukong itu? Betulkah Liem dan keluarganya itu konglomerat
terkaya di Indonesia? Data-data terakhir menunjukkan, sebetulnya,
Presiden Soehartolah cukong terkaya di negeri ini. Menurut maja-
lah Forbes tahun lalu, misalnya, kekayaan Soeharto pribadi ditak-
sir mencapai US$16 milyar. Dan, Newsweek edisi Januari lalu
memperkirakan, total kekayaan keluarga Cendana itu mencapai US$40
milyar, atau sekitar Rp 400 trilyun, bila dihitung dengan kurs 1
dolar AS setara Rp 10.000,-. Bila benar perkiraan itu, maka
kekayaan keluarga presiden bisa untuk menanggung APBN selama dua
tahun.
Masih menurut majalah Forbes, dengan kekayaannya itu, Presiden
Soeharto menempati urutan ketiga dalam ranking kepala negara
terkaya di dunia. Ia hanya kalah dibanding Raja Bolkiah (Brunei)
dan Raja Fadh (Arab Saudi). Bila digabung dengan para konglomer-
at swasta, posisi Soeharto masih nomor enam. Dalam jajaran enam
besar itu, misalnya, masuk nama Bolkiah, Fadh, Bill Gates dan
Soeharto. Liem Sioe Liong berada jauh di bawahnya, bahkan tak
masuk 20 besar. "Dibanding Pak Harto, Liem memang tak seberapa
kaya,"tutur ekonom ternama.
Kekayaan presiden itu tersebar dalam berbagai investasi atau
disimpan dalam rekening pribadi di bank-bank asing. Yang
diinvestasikan, umumnya lewat yayasan presiden seperti: Yayasan
Dharmais, Yayasan Harapan Kita, Yayasan Supersemar, Yayasan
Dakab, dan beberapa yayasan lagi. Berbeda dengan yayasan yang
umumnya bergerak di bidang sosial dan bukan untuk cari untung,
yayasan-yayasan presiden itu, sebaliknya lebih berorientasi cari
untung dengan berkedok kegiatan sosial. Misalnya, Yayasan Dhar-
mais, Dakab dan Supersemar, bersama-sama memiliki Bank Duta. Tiga
yayasan itu juga membentuk PT Nusamba - yang dijalankan oleh Bob
Hasan - dan masuk ke berbagai bisnis, seperti: perkebunan, kayu,
asuransi, otomotif, pertambangan.
Yang tak kurang pentingnya, yayasan presiden juga ikut usaha
patungan dengan konglomerat Cina lainnya. Ibarat hanya memasang
nama - yang maksudnya perlindungan politik - yayasan-yayasan itu
mendapat bagian dari keuntungan PT Bogasari, milik Liem - yang
selama puluhan tahun menikmati monopoli perdagangan terigu; juga
Indocement Tunggal Prakarsa yang menguasai 70% pasar semen di
Indonesia. "Di mana ada investasi konglomerat, bisa dipastikan
presiden punya andil," tutur seorang ekonom.
Gurita bisnis keluarga Cendana itu, makin luas, ketika anak-anak
presiden memasuki gelanggang usaha di tahun 80-an. Sejak itu, tak
hanya presiden dan yayasannya yang menikmati kue pembangunan,
lewat dunia usaha, tetapi juga anak-anaknya. Satu contoh sederha-
na. Bank Central Asia, yang sering disebut sebagai bank swasta
terbesar di Asia Tenggara, itu dikenal hanya milik Liem Sioe
Liong. Tetapi, bila dilihat lebih dalam, kepemilikannya ternyata
terbagi antara keluarga Liem dan keluarga Soeharto. Tepatnya:
Sigit Hardjojudanto dan Tutut memiliki 32% saham, keluarga Liem
32% dan sisanya dibagi beberapa investor lain.
Selama era 80-an hingga penghujung 97 (sebelum krisis ekonomi
Juli lalu), faktor keluarga presiden menjadi jaminan untuk mulus-
nya proyek-proyek swasta. Hampir tak ada satupun proyek besar
yang jatuh ke tangan swasta, kecuali menyertakan anak-anak itu
sebagai pemilik saham. Kini, mendekati akhir era Soeharto, banyak
investor asing mulai berpikir untuk melepaskan diri dari koneksi
politik yang riskan itu. General Motor, misalnya, membeli saham
Probosutedjo - adik Pak Harto - yang selama ini jadi pelindungnya
dalam industri mobil.
Krisis ekonomi kali ini, tampaknya juga membawa perubahan dalam
aliansi bisnis keluarga Cendana dengan konglomerat Cina. Atau,
sekurangnya, timbul perbedaan pandangan diantara mereka. Keluarga
Cendana, diwakili Mayen Prabowo dan mungkin juga sikap Presiden
Soeharto sendiri, merasa konglomerat Cina itu, kurang bisa berte-
rimakasih. Mereka yang sudah diberi fasilitas khusus, hingga
bisnisnya bisa menggelembung, dalam situasi sulit ini dianggap
tak mau menolong. Diajak menjual dolar pun tak ada yang bereak-
si. Sebagian malah sudah memindah modalnya ke luar negeri.
Menurut Prabowo dan Probosutedjo, krisis ekonomi ini terjadi
karena ulah konglomerat Cina. Dalam sebuah pertemuan dengan para
pemimpin redaksi, Prabowo mengatakan, "Tidak apa-apa ekonomi
Indonesia mundur lima belas tahun. Tidak apa-apa kita kembali
pakai sarung. Tapi setelah itu tidak ada Cina-cina lagi di sini."
Kemudian CSIS didemonstrasi - dengan dimotori Eggy Sudjana dan
Bursah Syarnubi -, dan Sofyan Wanandi dijadikan simbol cukong
yang mesti dihukum.
Itulah awal dari politik anti-Cina, yang digelindingkan Prabowo
dan teman-temannya. Mereka mengkambing hitamkan konglomerat Cina
saja sebagai biang krisis ekonomi, tanpa pernah menyebut konglom-
erat terbesar di negeri ini adalah keluarga Cendana sendiri.
Padahal, keluarga Cendana jugalah yang menikmati kue pembangunan
selama tiga puluh tahun Orde Baru. Mereka ikut berlomba cari
utang swasta, sehingga mendorong ambruknya nilai rupiah. (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 08:57:48 MET 1998
Kabar dari PIJAR
X-URL:
http://www.scmp.com/news/template/templates.idc?artid=19980204030458048&top=
asia&template=Default.htx&maxfieldsize=3081
South China Morning Post Internet Edition
Wednesday February 4 1998
Indonesia
Enough food to last 1998, rioters informed
AGENCE FRANCE-PRESSE in Jakarta
Authorities yesterday sought to placate mobs rioting over food price
rises, as ethnic Chinese whose shops have been targeted by Muslim
rioters voiced confidence in the military's ability to protect them.
With Singaporean Prime Minister Goh Chok Tong and World Bank chief
James Wolfensohn holding talks with President Suharto and top
officials this week, the Government said it had sufficient stocks of
staple foods to last until the end of the year.
Scores of rioters have been arrested for looting and attacking shops
in 10 towns and cities.
The crisis gripping the country has prompted increasing calls for
political reform - and for Mr Suharto to step aside.
But the military says economic reforms are more important than
political change.
The latest unrest flared in Java and Sulawesi.
In the South Sulawesi capital, Ujung Pandang, and in the East Java
town of Pasaruan, both hit by rioting at the weekend, authorities said
order had been restored.
Kristianto, an ethnic-Chinese shopkeeper in the northern Java coastal
town of Kragan, scene of looting last week, said: "We are not scared,
because anyone trying anything will be shot."
Troops and units from the paramilitary Mobile Brigade, formed last
year to counter social unrest, maintained patrols in Kragan yesterday.
"We are not sure what will happen when the soldiers leave, because
several of our neighbours have still received threats," said Mr
Kristianto, whose shop reopened yesterday.
Others remained closed, their smashed facades boarded up.
Mobs attacked the shops after rumours spread they had tripled the
price of paraffin.
Troops and police could be seen on the streets of several nearby
towns.
Shops in the town of Sarang still carried large slogans including
"Bring down prices", and the single word "cruel".
In the city of Tuban, rocked by three days of violence last week,
Chinese trader Yetty said: "Most of the bigger stores are closed as
they stand to lose more."
Ms Yetty said she was not too nervous about her own shop, saying
soldiers and police were still patrolling the city of one million
people.
In Jakarta, officials expelled people who arrived without jobs or
relatives in the city.
Officials have also been rounding up residents deemed undesirable and
sending them to rehabilitation centres.
Prominent Chinese businessman Sofyan Wanandi has been told informally
not to leave the country after he was alleged by the military to have
been implicated in a bomb blast. The move is a first step towards a
formal travel ban. Mr Wanandi said last week he had been cleared of
suspicion.
* Four kidney patients have died on the resort island of Bali
because state health authorities could not afford to supply enough
imported dialysis equipment following the collapse in value of the
rupiah, a report said yesterday.
A shortage of equipment had led the only hospital on the island
giving dialysis treatment to turn away patients, including foreign
tourists, the chief of the hospital said.
_________________________________________________________________
[43]Copyright (c)1998 South China Morning Post Publishers Ltd.
All Rights Reserved.
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:20:28 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
TIPUAN
(LUGAS): Di masa sulit seperti sekarang ini, banyak orang terom-
bang-ambing. Tanpa pegangan. Akibatnya, orang mudah terkena
tipuan.Salah satu tipuan, yang ditawarkan sementara petinggi,
untuk mengatasi krisis moneter ini adalah sentimen anti-Cina.
Para demogog itu, mengatakan bahwa krisis moneter terjadi karena
konglomerat Cina ingin menggoyang stabilitas kita. Karena itu,
pemecahannya adalah dengan menggebuk konglomerat non pribumi.
Sofyan Wanandi menjadi contoh. Ia dituduh membiayai PRD yang
dicurigai aparat telah membikin bom. Skenario mengaitkan
konglomerat dan PRD itu adalah sesuatu yang muskil. Jauh lebih
masuk akal, misalnya, mengaitkan dukungan konglomerat untuk
Golkar.
Bukan saja konglomerat yang digebuk, tetapi CSIS yang dianggap
dapur pemikir Katolik dijadikan sasaran demonstrasi. Massa yang
telah terpesona oleh teori: Cina dan kafir perusak ekonomi negeri,
tampak antusias menuntut lembaga yang sudah tak bergigi itu,
dibubarkan.
Konglomerat Cina dan CSIS, tentu punya kontribusi sendiri dalam
mendukung rezim Orde Baru, hingga menuju kebangkrutannya ini.
Mereka pernah punya peran penting di masa Ali Moertopo masih
berjaya dengan Opsusnya. Betul juga, bahwa dalam masa sulit ini,
ada pengusaha Cina yang lebih suka melarikan kekayaannya.
Tetapi, menimpakan krisis ekonomi kali ini menjadi semata-mata
kesalahan CSIS dan Cina, adalah sikap yang berlebihan. Terdorong
emosi, hingga mata tak bisa melihat lagi dengan jernih: bahwa
konglomerat pribumi - terutama di sekitar presiden - juga tak
kurang besarnya. Tak kurang serakahnya. Tak kurang perannya dalam
menciptakan krisis ekonomi kali ini. Mereka yang masih terbuka
pikirannya, tentu tak akan mengabaikan bahwa Presiden Soeharto
adalah orang terkaya di negeri ini.
Politik rasial, sesungguhnya politik paling primitif yang ter-
bukti merupakan jalan buntu. Di masa lalu, Hitler telah membukti-
kannya, ketika ia membunuhi orang Yahudi dan mengobarkan keunggu-
lan ras Arya, untuk akhirnya tunduk di bawah Sekutu. Kini, Bos-
nia, Rwanda membuktikan kehancuran negeri yang terkoyak politik
rasial.
Jadi, apa yang masih perlu dipercaya dari tipuan para demagog
itu? (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:20:43 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
RETAKNYA KONGSI LAMA, LIEM-PAK HARTO
(PERISTIWA): Mereka berkongsi sejak tahun 50-an. Kini keduanya
jarang bicara.
Telepon bagi dua kawan lama, kadang hanya berarti saling bertukar
khabar; tetapi, bisa juga jalur komunikasi penting. Dan, bila
cukup lama telepon itu, tak berdering, bisa jadi hubungan mereka
sedang memburuk. Ini kisah seorang presiden direktur industri
mobil, tentang kebiasaan bertelepon antara Pak Harto dan Liem
Sioe Liong, dua kawan lama. Biasanya hampir seminggu sekali Pak
Harto menelepon Liem atau Anthony, anaknya. Tetapi, sudah dua
bulan terakhir ini, Pak Harto tidak menelepon.. "Biasanya ada
masalah sedikit saja, Pak Harto telepon mereka," kata presdir itu.
Memburukkah hubungan Pak Harto dengan konglomerat yang dibesar-
kannya itu? Bisa jadi. Krisis moneter agaknya membuat mereka di
posisi berbeda. Hal itu, tampak, misalnya, ketika pemerintah
lewat Tutut berkampanye tentang "Gerakan Cinta Rupiah" dan
mengimbau masyarakat menjual dolar mereka. Meski hampir semua
pejabat telah pura-pura ikut gerakan itu, konglomerat tampaknya
adem-ayem saja. Mereka tak ikut melepas dolar, yang memang
mereka butuhkan untuk membayar utang. Puncak memburuknya hubungan
Pak Harto dan Liem, khabarnya terjadi karena pencalonan wakil
presiden. Kelompok Jimbaran kurang senang dengan Habibie yang
dijagokan Pak Harto.
Hubungan Pak Harto dengan Liem, sebetulnya memang sudah berakar
dalam. Sejak tahun 1950-an, ketika Soeharto masih kepala logistik
Divisi Diponegoro, Liem sudah menjalin kontak bisnis dengan
letnan kolonel yang kemudian menjadi Presiden RI itu. Liem yang
masih pedagang kelontong, memasok kelapa, cengkeh, onderdil
sepeda untuk Divisi Diponegoro. Hubungan mereka sempat putus,
ketika Soeharto dan teman-temannya diketahui mengatur penyelun-
dupan gula. Soeharto dihukum oleh Jenderal Nasution, yang waktu
itu menjabat Menhankam; dengan dipindah ke Seskoad. Karena jasa
Soekarno, karir militernya direhabilitasi.
Setelah Peristiwa 1965, Soeharto menjabat presiden dan mempriori-
taskan pembangunan ekonomi; kawan lamanya itu, jadi mesin ekonomi
yang terpercaya. Ia diberi berbagai fasilitas, seperti monopoli
impor cengkeh (1968), terigu (1969), kemudahan kredit, yang
semuanya jadi awal perkembangan bisnis Salim Group. Tahun 1990,
penggilingan terigu milik Liem - Bogasari - merupakan penggiling
gandum terbesar di dunia dengan keuntungan 30%, atau lima kali
lebih tinggi dibanding pabrik terigu sejenis di Amerika. Monopoli
yang sempat menyumbang keuntungan lebih dari US$5 milyar kepada
kelompok Liem itu, dipangkas oleh IMF, 15 Januari lalu.
Pak Harto pun memetik untung dari kebijakannya "memelihara" Liem
itu. Yayasannya mendapat kontribusi dari setiap sen keuntungan
Bogasari. Anak-anaknya pun berkongsi dengan Liem, antara lain di
BCA. Liem juga menjadi penyumbang terbesar bagi Golkar. Dan,
pengusaha-pengusaha Cina seperti Liem, adalah sumber dana poli-
tik, misalnya, ketika pemerintah meminta sumbangan 2,5% keuntun-
gan mereka untuk mengatasi kemiskinan.Ketika Bank Duta yang
dimiliki Pak Harto, ambruk karena kalah main valas sebesar US$420
juta, Liem menyumbang US$210 juta.
Jadi, hubungan Pak Harto dan Liem, memang bukan sekedar perkawa-
nan lagi, tapi lebih banyak hubungan bisnis yang saling mengun-
tungkan. Kini, ketika krisis ekonomi terberat menerpa Pak Harto
dan Orde Barunya, tampaknya Liem memang sudah tak sanggup menutup
dan punya rencana lain menyelamatkan bisnisnya.
Anthony Salim, putera mahkota Liem, tampaknya mempersiapkan
disain dasar untuk memodernkan Salim Group, dan menjaga jarak
dengan penguasa yang bagaimanapun kuatnya suatu hari toh akan
jatuh. "Monopoli yang pernah kami terima adalah segelas air yang
memungkinkan mesin berjalan. Gelas pertama itu penting, tapi
relatif kecil dibanding pendapatan Salim Group sekarang," kata-
nya. Hal itulah, yang dirasakan Pak Harto sebagai meninggalkan
kawan ketika krisis. Maka retaklah perkawanan lama. (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:21:30 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
ANTI-CINA: OBAT MUJARAB ATAU JALAN SESAT
(PERISTIWA): Politik rasial dikibarkan. Beda dengan Malaysia,
kampanye ini terbentur korupsi dan nepotisme keluarga Cendana
sendiri.
Lebih baik naik sepeda di Jalan Thamrin, ketimbang selamanya
dikuasai Cina," kata seorang aktifis muda ICMI. Tokoh yang sering
disebut sebagai intelektual muda itu, dengan berapi-api mengata-
kan kalau pengusaha Cina, dalam krisis ekonomi kali ini, mau
pergi meninggalkan Indonesia dan membawa uangnya, biarkan saja.
Ia rela bersusah-payah, misalnya naik sepeda ke kantornya di
Thamrin, asalkan orang Cina diusir. Terdengar gagah, tapi agaknya
kurang meyakinkan.
Mungkin itu memang sekedar slogan. Tetapi, ketika resep anti-Cina
dikobarkan untuk mengatasi krisis ekonomi, bukan tak ada yang
tertarik. Lihat saja demonstrasi di gedung CSIS dua hari berturut-
turut, pekan lalu. Anak-anak muda itu mengusung poster bernada
memusuhi golongan Cina. "Bubarkan CSIS". "Hukum Sofyan
Wanandi." Lebih jelas, dalam selebaran yang mereka bagikan ke
kantong-kantong organisasi Islam. Bunyinya antara lain:
"Akhirnya menjadi jelas. Siapa biang keladi krisis ekonomi.
Sofyan Wanandi dan golongannya."
Sebuah sumber menyebutkan, Eggy Sudjana, aktifis CIDES - organ
ICMI yang dipimpin Habibie - aktif menggerakkan demonstrasi anti
CSIS itu. CSIS dan Sofyan Wanandi, tentunya bukan sekedar lembaga
dan pribadi, tetapi mereka dipilih untuk simbolisasi Cina sebagai
lawan kelompok ini. Eggy mengerahkan massa HMI-MPO untuk
demonstrasi itu, disamping massa KISDI dari Tangerang.
Politik anti Cina itu, dipercaya berawal dari gagasan Mayjen
Prabowo, yang kurang suka dengan respon para konglomerat Cina
dalam menghadapi krisis moneter. Khabarnya, Prabowo pernah
bertemu Sofyan Wanandi - juru bicara konglomerat Cina - untuk
mengajak partisipasi dalam gerakan cinta rupiah. Sofyan, seperti
dikutip banyak media massa, menolak menjual dolarnya. Ia bahkan
mengatakan kepada Prabowo, "Bila Pak Harto terus maju dalam
pencalonan presiden, dan Habibie Wapres dolar akan menembus
angka Rp 20.000."
Prabowo, konon, terinspirasi pengalaman Malaysia, yang berhasil
mengangkat pengusaha pribumi. "Prabowo mengaku belajar dari
Mahatir," kata seorang pemimpin redaksi.
Yang tak dipelajari Danjen Kopassus itu dari Malaysia, pertama,
adalah jenis pemerintahan yang amat berbeda dengan rezim Orde
Baru. Birokrasi Malaysia dikenal sangat bersih dari korupsi,
sehingga politik diskriminasi yang mereka terapkan bisa berjalan
konsisten. Sedangkan birokrasi Orde Baru, oleh salah seorang
arsiteknya, Profesor Soemitro Djojohadikusumo, yang kebetulan
ayah Prabowo, dikatakan punya tingkat kebocoran minimal 30%.
Birokrasi semacam ini akan lunak menerapkan setiap kebijakan,
dan membuat politik diskriminasi itu, tidak akan berhasil. Paling-
paling akan menumbuhkan pengusaha Ali-Baba, seperti di masa Orla.
Kedua, politik diskriminasi itu, hanya akan mengaburkan masalah.
Malaysia menerapkan diskriminasi untuk membantu pribumi, setelah
kerusuhan anti Cina pada 1969 itu, didasari kenyataan: bahwa
waktu itu memang tidak ada pengusaha pribumi Malaysia yang berha-
sil. Saat ini di Indonesia, selain konglomerat Cina, juga telah
tumbuh konglomerat istana, terutama keluarga presiden, yang
asetnya diperkirakan justru melebihi kekayaan konglomerat Cina.
Politik anti Cina, kalau pun berhasil, ia hanya akan memangkas
konglomerat Cina sambil makin menggemukkan konglomerat pribumi
yang dekat dengan keluarga Cendana. "Nasib mayoritas pribumi
tidak akan lebih baik," tutur seorang ekonom.
Manuver Habibie-Prabowo, mungkin akan mendapat sambutan dari
sebagian kalangan muda. Tetapi, bila skenario mereka dijalankan,
yang makin makmur adalah keluarga Cendana. Bukan rakyat keselu-
ruhan. (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:27:26 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
ORDE BARU DITINGGAL INVESTOR
(EKONOMI): Investor asing mulai jauhi keluarga presiden. Pejabat
dan pengusaha alihkan dana ke luar negeri.
Antrian nasabah di bank asing, di bilangan Pondok Indah, Jakarta
Selatan itu, terlihat panjang. Waktu menunjukkan pukul 10.30,
atau sekitar setengah jam sebelum pemerintah mengumumkan kebija-
kan baru di bidang perbankan, Senin pekan lalu. Tiba-tiba, seorang
bekas menteri, nyelonong, memotong antrian, langsung menuju
meja manajer bank. Wajahnya tegang. Ia menenteng kopor kulit, dan
segera diletakkannya di atas meja. Tampaknya, ia sedang menyimpan
uang dalam jumlah besar atau mengirim lewat bank asing itu. "Tiga
minggu ini kami memang kebanjiran nasabah," tutur seorang cus-
tomer service bank itu.
Krisis kepercayaan terhadap Orde Baru, agaknya memang langsung
terasa di dunia perbankan. Nasabah memindahkan dana mereka ke
bank asing, meskipun sudah ada jaminan bahwa pemerintah menjamin
setiap tabungan masyarakat di bank lokal. Masyarakat tetap kurang
percaya, dan memilih menyimpan di bank asing. Bahkan pejabat
sendiri, memilih bank asing - seperti yang ditunjukkan seorang
bekas menteri itu.
Bukan itu saja. Krisis kepercayaan juga ditandai dengan munculnya
rasa tak aman di kalangan pengusaha. Hingga akhir Januari lalu,
misalnya, terdengar beberapa pengusaha mulai hijrah ke luar
negeri. Antara lain Ciputra, lewat seorang anaknya, telah menga-
lihkan usaha ke Singapura. Sedangkan keluarga Murdaya, yang juga
penyandang dana Golkar itu, telah pindah ke Hong Kong. Kalangan
profesional pun telah banyak yang mengalihkan simpanan pribadi
mereka ke luar negeri, sekedar berjaga-jaga. Bila keadaan membu-
ruk, mereka tinggal angkat kaki. "Saya kirim tabungan ke luar
negeri, khawatir akan ada kerusuhan," tutur seorang dokter.
Kekhawatiran akan krisis yang berlanjut itu, tampaknya juga
meruyak di kalangan diplomatik. Kedutaan Australia di Jakarta,
misalnya, dikhabarkan telah menginstruksikan kepada warganya
untuk berkemas pulang ke negeri mereka. Meskipun kekhawatiran
itu, telah coba ditenangkan pejabat Deplu, rasa was-was toh tak
bisa hilang begitu saja. "Ibu saya menelepon dan meminta saya
pulang dulu," kata seorang warga Amerika.
Pukulan lebih telak, agaknya muncul dari kalangan investor asing.
Mereka yang biasanya mengandalkan koneksi dengan keluarga Cendana
untuk melicinkan bisnisnya, kini mulai merasa bahwa hubungan
dengan keluarga itu, justru bisa jadi kelemahan di masa depan.
General Motor, misalnya, awal Januari lalu, membeli saham Probo-
sutedjo sebesar 40%, partnernya di PT Garmak, dalam usaha memo-
tong kaitan dengan keluarga Cendana. Padahal, tahun 1993, General
Motor-lah yang mengajak Probo masuk dalam usaha patungan itu,
sebagai payung politik. Penjualan mobil pabrik itu terus meningkat
dari 750 unit pada 1995, menjadi 3.600 unit pada 1996, dan
4.100 unit tahun lalu.
Kekhawatiran investor asing terhadap keluarga Cendana, makin
memuncak, ketika skandal Steady Safe - perusahaan taksi yang
dibeking Tutut - meledak, dan membuat perusahaan Hongkong,
Peregrine bangkrut. Awalnya, Steady Safe utang pada Peregrine
US$265 juta. Perusahaan taksi itu mengalihkan dana pinjamannya
untuk jalan tol Tutut, dan tak sanggup membayar utangnya.
Kredit macet di perusahaan itulah, yang membuat Peregrine
bangkrut. Akibatnya, makin banyak investor asing yang takut
bekerjasama dengan keluarga presiden. "Kami tak tahu apa yang
akan terjadi, kalau presiden diganti," tutur seorang sekretaris
korporet perusahaan, Deborah Rukmawati, seperti dikutip
International Herald Tribune, 14 Januari lalu.
Memang menyedihkan, diakhir kepemimpinannya, Presiden Soeharto,
yang masih mencalonkan diri untuk periode ke tujuh itu, mulai
ditinggalkan teman-teman investor, yang selama ini menjadi tulang
punggung Orde Baru. Modal memang tak mengenal kawan abadi. Ia
akan pergi, kemana untung bisa dicari lebih besar. Apalagi, bila
sebuah kekuasaan dibangun dengan nepotisme, dan korup, para
pemilik modal khawatir akan kelangsungan bisnis mereka, setelah
kekuasaan itu berlalu. Ia ditinggal sendiri. (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:27:41 MET 1998
Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
E-mail: [email protected]
Xpos, No 5/I/31 Januari - 6 Februari 98
------------------------------
Wimar Witoelar, Presdir PT Inter Matrix:
"DENGAN PEMERINTAH SEKARANG,
SAYA TAK PERCAYA RUPIAH"
(DIALOG): Di tengah krisis ekonomi, dan bangkrutnya media massa,
Wimar malah bikin majalah baru. Uniknya, majalah itu terbit di
Hongkong dan dipasarkan dari Singapura, meskipun redaksinya
bermarkas di Jakarta. Teknik menghindari SIUPP itu, sudah lama
dilakukan oleh media alternatif. Berikut petikan wawancara Wimar
Witoelar, yang dikutip dari Jakarta-Jakarta, edisi No 603, 24-30
Januari 1998.
T: Komentar Anda tentang krisis moneter ini...
J: Bukan krisis moneter! Ini krisis politik!
T: Lho?
J: Orang yang bilang ini krisis moneter itu Pemerintah yang tidak
mau tanggungjawab, yang menyalahkan ibu-ibu pemborong dolar,
menyalahkan rakyat, dan sekarang meminta rakyat membantu Pemerin-
tah. Bagi yang bilang ini krisis politik, ini adalah kulminasi
dari politik monopoli tiga puluh tahun, di mana Pemerintah pinjam
uang dan dipakai oleh oknumnya, lalu dibagi-bagi, dan pada saat
bangkrut orang-orang itu diminta dolarnya. Jadi sekarang ini
garis pemisahnya sangat jelas.
T: Kuliah yang bagus. Terima kasih. Tapi dari sisi Anda pribadi,
krisis sekarang ini, apa pun namanya, membawa akibat apa?
J: Saya merasa sangat iba melihat kiri-kanan, melihat orang-orang
yang akan sangat berubah hidupnya, dan juga mereka yang belum
pernah mengalami hidup susah. Kalau buat saya sih ada semacam
nostalgia, seperti Anda pergi berkemah, dua hari nggak ketemu
televisi. Ini bukan retorika. Waktu sekolah menengah atas, saya
itu nggak pernah makan kue dari toko. Saya kelas menengah, tinggal
di Prapanca, bukan orang miskin, tapi ibu saya itu menanam
singkong, dan itu yang kita makan. Ayah saya pegawai negeri, yang
kalau membawa pulang kertas dari kantor itu dianggap korupsi.
Saya begitu lagi, bisalah... Tapi orang-orang yang nggak tahu
apa-apa, yang nggak salah apa-apa, yang kerja keras, dari kaki
lima menjadi pedagang, dari pedagang jadi pemilik toko, itu akan
sangat terpukul. Bagaimana kesedihan orang di rumah sakit, yang
minggu depannya itu harus menjalani suatu prosedur medis, yang
tadinya seratus lima puluh ribu, sekarang jadi delapan ratus
ribu, lalu pulang? Saya sedih sekali, Pemerintah sangat tidak
bertanggungjawab.
T: Akibat lain bagi Anda?
J: Kantor saya tidak akan ada PHK (pemutusan hubungan kerja).
Saya jamin nih, selama satu tahun nggak akan ada PHK. Itu yang
saya ngomong ke mereka. Dalam hitungan saya sih barangkali dua
tahun. Seperti pernah saya tulis di Kontan, kalau pengusaha
melakukan PHK, rasanya nggak bener. Sebab sebagai perusahaan
yang masih jalan, itu pasti profitable. Pasti excess profit-nya sudah
di tangan owner. Profit saya sudah di tangan. Saya sudah punya
mobil tiga, punya rumah gede, gitu. Kalaupun sampai ambruk
sekali, saya juallah BMW saya, jual apa lagi gitu, cairkan
deposito... Kita bisa bantu dalam subsistem masing-masing.
T: Misalnya sore ini Anda berhenti di lampu merah, lantas si
bocah penjual koran bertanya, "Bung Wimar, tolong jelaskan secara
sederhana, apa sih persoalan kita sekarang ini?" Apa jawaban
Anda?
J: Saya akan jawab bahwa tanpa setahu kita, orang sudah mengha-
biskan uang tadinya untuk Anda-Anda. Jadi menghabiskan sepuluh
persen untuk jalan-jalan yang bagus, untuk hotel-hotel yang
bagus, yang juga bisa Anda nikmati kalau Anda tidak malu untuk
masuk. Tapi yang sembilan puluh persen untuk... (kata WW, kalau
ini diucapkan lengkap, "Saya akan ditangkap"- yakni tentang
seseorang yang membeli berlian satu juta dolar, lantas menjual
gepokan hanya sekian puluh ribu dolar). Pokoknya ada orang-orang
yang spending-nya itu tidak masuk akal. Itu orang-orang yang
tidak jelas menggunakan pinjaman, karena itu kamu masih jadi
tukang koran...
T: Kenapa Thailand dan Korea Selatan bisa memobilisasi rakyat
untuk mengatasi krisis, tapi kita tidak? Ada jawaban sederhana?
J: Sangat gampang: ganti dulu ..... ha haha. Betul. It's a fact.
Di Thailand Chaovalit diganti Chuan Leekpai. Waktu krisis mereka
ganti menteri keuangan kan? Padahal si perdana menteri nggak
salah, baru satu tahun. Korea? Kim Young Sam, okelah membangun.
Tapi amblas, diganti Kim Dae Jung yang sama sekali nggak ngerti
ekonomi - dia kan orang lembaga swadaya masyarakat, orang perbu-
ruhan. Begitu dia jadi presiden, rakyat kasih ... Sebab dukungan
rakyat itu it's a vote of confidence ya. Rate dolar yang sepuluh
sampai dua belas ribu, memang itu nggak ada hitungannya di
ekonomi. Itu karena suara ketidak-percayaan. Karena orang nggak
boleh melempar suara ke pemilu dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Jadi ya duitnya saja, karena dia nggak percaya rupiah. Saya
juga nggak percaya rupiah dengan pemerintah yang ada sekarang.
Rupiah apa hubungannya dengan patriotisme. Rupiah adalah survival
Anda.
T: Bagaimana Anda melihat kepanikan orang-orang berbelanja minggu
lalu?
J: Menurut saya sih biasa biasa saja. Pemerintah sengaja atau
tidak sengaja, melebih-lebihkan rush terhadap bahan-bahan pokok
itu, seakan-akan itu masalah sentralnya.
T: Kapan menurut Anda, kita bisa normal lagi?
J: Kemarin, kawan baik saya Sarwono (Kusumaatmadja) ngomong di
koran, bahwa ada perbedaan persepsi di kabinet, mengenai keluar
dari krisis, ada yang menganggap serius, ada yang menganggap
nggak. Dan dia memohon orang untuk menganggap ini seriuslah.
Jadi, kalau Anda tanya kapan kita normalnya, ya ganti dululah
pemimpinnya, habis ganti pemimpin ganti aturan pemilunya, kita
dapat legislator yang baik, terus udah... undang-undang lain
nggak perlu diganti... Kalau komputer, tinggal ganti pentiumnya
ke Pentium II. Hahaha... (*)
**************************************************
Received on Thu Feb 5 06:14:38 MET 1998
Kabar dari PIJAR
Associated Press
Jakarta 4 February 1998
WORLD BANK PRESIDENT DRAWS CRITICISM FROM COMMUNITY LEADERS
Community leaders vented their frustration with international lenders on
Wednesday, urging the World Bank chief to tie economic aid to demands for
political reform.
At a forum, they also chided James Wolfensohn for failing to detect
corruption and other weaknesses in the Indonesian economy that helped sink
the value of the rupiah.
Wolfensohn who has pledged $4.5 billion in loans to the economically
battered nation, acknowledged mistakes but appealed for focus on the
nation's poor.
'Later you can tell me I was a fool, that I got it wrong,' he told dozens of
delegates in a hotel convention room. 'But right now, its life or death...
The question is, what do we do now?'
The Bank, worried that East Asia's economic crisis will fuel unrest, plans
to funnel more cash into employment programme to help the millions of people
likely to lose their jobs. Sporadic riots tied to hikes in food prices have
already eruped in Indonesia.
At the forum, members of NGOs said the root of Indonesia's economic woes was
the cronyism that has thrived under President Suharto whose family and
friends have grown immensely rich during his 32 years in power.
Some delegates said they warned the World Bank years ago that economic
growth hinged on an overhaul of Indonesia's rigid political system.
'It's inseparable,' said Agus Purnomo, of the World Wide Fund for Nature.
About 100 people held an anti-IMF protest outside Parliament, saying the
financial crisis is worsening despite the pledges that reforms will help the
economy. 'IMF, prove your promises,' said one banner.
A few forum delegates said the Washington-based World Bank represented the
economic interests of the US and other western nations which want access to
cheap markets. Others praised it for tying aid to touch economic reforms.
**************************************************
Received on Thu Feb 5 02:06:11 MET 1998
Replies: [email protected]
PEDAGANG RESAH, TOMMY SOEHARTO RAMBAH PASAR TRADISIONAL
JAKARTA (SiaR, 4/2/98), Di tengah-tengah melambungnya harga-harga
sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako), ada saja cara Keluarga Cendana
memanfaatkan situasi krisis yang memberatkan rakyat tersebut untuk
mengembangkan imperium bisnisnya. Pengusaha Hutomo Mandala Putra alias
Tommy Soeharto melalui perusahaanya PT Goro Yudhistira Utama -- pemilik
perkulakan Goro --, Selasa (3/2) kemarin menugaskan stafnya untuk
menegosiasi Gubernur DKI Sutiyoso, dalam kaitan mengambil alih pengelolaan
manajemen PD Pasar Jaya. Tindakan Tommy Soeharto, yang melalui PT Goro
Batara menguasai saham sebesar 65 % -- sisanya Inkud 25% dan Yayasan
Bulog10 % -- meresahkan para pedagang pasar tradisional yang selama ini
manajemennya dikelola PD Pasar Jaya.
Sejumlah pedagang yang ditemui SiaR pada Rabu (4/2) pagi,
menyatakan keresahannya karena mereka mengestimasi kemungkinan terjadinya
penurunan penghasilan. Hal ini diakibatkan dalam proposal pengambil-alihan
(take-over) antara PT Goro dengan PD Pasar Jaya ada pointers tentang
kewajiban pedagang menyetorkan komisi keuntungan yang diperolehnya kepada
pihak pengelola yang baru, yakni PT Goro.
Menurut salah seorang pedagang di Pasar Cikini, Jakarta Pusat,
meskipun pihak PT Goro berjanji kepada pihak PD Pasar Jaya untuk tidak
akan memungut biaya sewa kios, tapi dalam prakteknya bisa terjadi
sebaliknya.
" Itu teori. Sebagai pedagang, kami sudah terbiasa untuk
mengeluarkan ongkos-ongkos siluman, untuk oknum-oknum petugas. Pasti akan
ada ongkos siluman untuk memperoleh atau memperpanjang masa penempatan
kios. Dan itu merupakan bisnis 'jago' atau 'uang keamanan' untuk oknum
preman atau petugas tertentu yang berkolusi dengan pihak manajemen pasar,"
ucap pedagang yang mengaku telah lebih 20 tahun berdagang di Pasar Cikini
tersebut.
Pedagang lainnya menambahkan, akan ada penambahan beban yang harus
ditanggung para pedagang, karena penyetoran prosentase keuntungan akan
mudah dinaik-turunkan menurut selera pengelola pasar, dalam hal ini pihak
PT Goro. Menurut pedagang tersebut, beban menjadi berlipat ganda. Hal ini
akibat krisis ekonomi yang menyebabkan lonjakan harga-harga sembako. Para
pedagang selama ini terpaksa menjual komoditi dagangnya sesuai fluktuasi
harga.
"Kalau misalnya PT Goro menetapkan setoran sekian persen dari
keuntungan, tapi ternyata patokan harga naik-turun tak menentu, kan bisa
saja mereka, pihak manajemen yang tidak mau rugi atau ingin mengambil
keuntungan besar, mengambil jalan pintas menetapkan setoran yang
sebenarnya tidak realistis dengan perkembangan harga yang terjadi,"
katanya. Ia menambahkan, jika hal tersebut terjadi, berarti merupakan
suatu "pemerasan terselubung" terhadap para pedagang pasar tradisional.
Sementara itu, Dirut PT Goro Yudhistira Utama Ricardo Gelael yang
dihubungi, menolak berkomentar terhadap keluhan-keluhan para pedagang
pasar tradisional tersebut. Ia malah menjelaskan, bahwa pengambil-alihan
tersebut justru untuk memodernisasi pengelolaan pasar-pasar tradisional.
Menurut data ada sekitar 600 unit pasar tradisonal dengan investasi
sedikitnya Rp 30 miliar yang akan diambil-alih PT Goro dari PD Pasar
Jaya.***