Selamat Datang di HomepagePDI Megawati Soekarnoputri on the InternetDikutip dari : Alamat/Address Admin: [email protected] (Sub/Unsub) Catatan/Remark: Berlangganan/Subscribe INDONESIA-P (Berita/News) Ongkos/Cost INDONESIA-P: US$120 Satu Tahun/One Year Sender: [email protected] Precedence: bulk Dari Pak Besut
------------------------------------------------------------------------ Berikut ini adalah resume informasi-informasi yang didapat dari berbagai percakapan tentang "Bencana Politik 27 Juli". Informasi ini didapat, baik melalui wawancara maupun mengamati gerakan-gerakan politik yang terjadi. Penjelasan ini mungkin bisa memberikan konteks tentang beberapa hal yang terjadi belakangan ini. Namun, karena banyak wawancara yang lebih berupa perbincangan pribadi maka beberapa hal (terutama menyangkut tanggal dan nama orang) bisa jadi terlupakan. ------------------------------------------------------------------------ Peta Kekuatan Politik Kontemporer Sesungguhnya, penggulingan Megawati Sukarnoputri adalah skenario dari Soeharto sendiri. Dalam pandangan Soeharto, keberadaan Mega membahayakan sistem politik Indonesia. Ini berlawanan dengan pandangan beberapa klik politik di bawah Soeharto yang pecah: antara yang memandang Mega sebagai bahaya (sebut saja Hawk) dan yang tidak (sebut saja Dove). Kelompok Dove memandang Mega tidak berbahaya karena anggapan bahwa Mega tidaklah punya kekuatan politik riil. Sementara, kelompok Hawk yang ganas dan ambisius memandang bahwa kehadiran Mega dalam pentas politik nasional akan membuatnya sebagai simbol dari semua kekuatan politik yang anti-establishment. Kedua kelompok ini sesungguhnya juga memiliki kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kelompok Dove adalah mereka yang mengusahakan pembaruan dalam negara dan pemerintahan. Menurut berbagai sumber mereka adalah Try Sutrisno, Edi Sudrajat, Siswono, Sarwono, Wahono, Moerdiono, Ginanjar, serta didukung oleh orang-orang di luar pemerintahan seperti Bambang Triantoro, Rudini, Sembiring Meliala, dan lain sebagainya. Belakangan, masuk juga Wismoyo Arismunandar dengan tentara-tentara yang dia libatkan di KONI. Faksi ini juga didukung perwira muda yang masih aktif tapi tersingkir seperti Hendro Priyono dan Agum Gumelar. Di dalam tubuh tentara, faksi ini mungkin bisa dideteksi sebagai "ABRI Merah-Putih". Faksi ini memang tidak seragam. Tapi untuk sementara waktu, perbedaan-perbedaan itu bisa dilupakan. Orientasi politik mereka bergerak dari melakukan perubahan hingga ke status quo. Program dari Faksi Dove yang terpenting adalah menjaga konsensus agar format politik ditegakkan. Untuk Pemilu tahun 1997, mereka berusaha agar Golkar tidak menang lebih dari 63%. Namun, Golkar minimal harus memperoleh 58% suara. Sementara, PDI dibawah Mega menurut estimasi mereka ditargetkan meraih 30-34% suara. Dan, PPP kalau bisa di urutan ketiga dengan belasan persen suara. Kelompok ini, secara terang-terangan atau tidak, sering disebut atau menyebut diri sebagai kelompok "Pelangi". Namun, dalam kelompok ini ada juga kelompok-kelompok yang mudah beradaptasi dengan kalangan pro-demokrasi (seperti Siswono, dan terutama Sarwono). Salah satu program politik mereka yang terpenting adalah persiapan memapankan suatu mekanisme politik untuk menyongsong suksesi. Mereka sendiri tidak mempunyai calon yang kuat untuk menggantikan Soeharto. Tetapi, menurut mereka, hal ini bisa dipikirkan belakangan. Diduga, mereka jugalah yang berdiri di balik hembusan isu-isu seperti pembatasan masa jabatan presiden, nepotisme, kolusi dan korupsi serta masalah politik Indonesia. Progam mereka dengan Mega adalah mendorong Mega untuk menjadi pesaing Golkar. Mereka memfasilitasi Mega dengan informasi dan akses ke berbagai tempat. Atas dukungan diam-diam merekalah Mega memiliki cukup waktu untuk mengkonsolidasikan diri ke dalam seluruh jaringan gerakan pro-demokrasi yang bergerak di luar pemerintah. Sementara Kelompok Hawk terdiri atas orang-orang di sekeliling Habibie, baik sipil maupun militer. Habibie adalah orang yang terkuat saat ini di Indonesia. Menteri yang satu ini adalah "anak emas" Soeharto. Habibie memiliki semua syarat yang dibutuhkan sebagai orang paling berpengaruh di Indonesia. Dia menguasai Golkar, militer, kelompok cendekiawan (terutama lewat ICMI dan dapur pemikirannya CIDES) serta sejumlah besar BUMN yang menjadi tulang punggung ekonomi negara. Sampai saat ini, dialah yang paling memenuhi syarat untuk menggantikan Soeharto. Habibie memiliki kesempatan untuk mendudukkan orang-orangnya di Golkar karena dia adalah Ketua Formatur yang memilih kepengurusan Golkar saat ini. Harmoko, sekalipun tidak simpatik di kalangan kelas menengah, tetapi terbukti sebagai administrator dan orator yang cukup tangguh di lapangan. Selain itu, orang Habibie di Golkar yang cukup kuat adalah Abdul Gafur, Moestahid Astari (Ketua FKP, meniti karir politik dari daerah Jawa Timur dan terbukti menjadi politisi yang sangat tangguh), Akbar Tanjung, serta beberapa politisi lainnya. Selain Golkar, Habibie juga mendudukkan orang-orangnya di kalangan militer. Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid adalah diantara mereka yang fanatik dengan Habibie. Sebagian karena alasan ideologis, dan sebagian lagi karena laju karir politik mereka sangat tergantung pada lobby Habibie pada Soeharto.. Dalam beberapa hal, Prabowo (menantu Soeharto) dan Hartono juga berada dalam kubu yang sama. Namun, keberadaan Prabowo dan Hartono lebih karena melihat potensi massa Islam yang besar yang dikuasai oleh Habibie. Khusus untuk Prabowo, faktor utamanya adalah dendamnya kepada Benny Moerdani karena Benny pernah menghukum Prabowo dalam kasus desersinya dari tugas di Timor-Timur. Sementara itu, Habibie juga didukung oleh ICMI yang mempunyai organ-organ yang sangat lengkap. Organisasi ini didukung oleh organisasi teritorial dalam dan luar negeri. Memiliki lembaga pers yakni Harian Republika dan Majalah Ummat. Juga mempunyai lembaga kajian CIDES yang fungsinya menyerupai fungsi CSIS yang sering dituduh milik kelompok Katolik yang menjadi klik Opsus Ali Moertopo-Soedjono Hoemardani. Hampir seluruh pemikir Islam yang berorientasi Modernis menjadi anggota ICMI. Secara umum, faksi ini sangat membenci Benny Moerdani. Benny pernah dengan sangat kejam menghancurkan mereka secara politik. Sikap Benny yang kejam terhadap golongan Islam jugalah yang merangsang sikap-sikap "balas dendam" dari faksi ini kepada apa saja yang berbau Benny. Agaknya, Benny adalah orang yang mampu menyatukan mereka. Juga, karena Benny adalah orang yang paling mudah untuk dijadikan kambing hitam. Latar belakang Benny yang Katolik membuat persoalan ini bertambah mudah. Apalagi, beberapa pembantaian yang pernah dilakukan Benny terhadap umat Islam yang tidak berdosa merupakan kenangan pahit bagi kalangan Muslim Indonesia. Secara keseluruhan, kelompok ini juga berkepentingan untuk menurunkan Megawati dari kursi kepemimpinan PDI. Mega dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap Golkar. Bagi mereka, semakin besar suara terhadap Golkar maka semakin legitim kekuasaan kelompok mereka. Bahkan kalangan Islam yang paling radikal seringkali menceramahkan dalil ini, "Kesuksesan Kabinet ini adalah kesuksesan kepemimpinan ICMI". Dari Pak Besut
Kepentingan Soeharto untuk menggulingkan Megawati ditanggapi dengan aneka ragam kepentingan oleh kelompok-kelompok. Menurut informasi, ada banyak proposal yang disampaikan kepada Soeharto untuk menggulingkan Mega. Bahkan seharusnya, menurut skenario, Mega harus sudah digulingkan sejak tahun 1995 yang lalu. Namun, Soeharto menilai bahwa ia belum memiliki orang yang cukup tangguh untuk bermain di lapangan sebagaimana yang pernah ia miliki ketika Ali Moertopo masih menjadi pembantunya. Pola yang dimainkan tetap, yaitu dengan taktik "devide et impera". Artinya, penggulingan Mega harus dilakukan dengan menciptakan pesaing bagi Mega. Untuk itu, berbagai alternatif dicoba. Pertama, adalah dengan membuat "PDI Tandingan". Namun, hal ini tidak berhasil karena kuatnya dukungan untuk Mega di daerah-daerah. Massa Mega adalah massa ideologis, bukan massa "partai" tipe Orde Baru yang kesetiaannya diikat oleh jabatan dan uang. Kemudian dicoba dengan "PDI Persatuan dan Kesatuan" yang diketuai oleh Ny. Clara Sitompul. Upaya ini juga tidak berhasil karena Clara Sitompul adalah petualang politik yang tidak populer. Namun, usaha ini masih tetap dicoba. Maka dijalinlah hubungan dengan Fatimah Ahmad. Dalam beberapa rapat di Cilangkap, Fatimah disodori proposal untuk menggulingkan Mega. Namun, Fatimah takut untuk berhadapan dengan Mega. Kepada Letjen Syarwan Hamid (Kassospol ABRI dan pelaksana operasi penggulingan Mega), Fatimah mengemukakan beberapa alasan yang cukup masuk akal mengapa ia tidak mampu menjadi pesaing Mega. Pertama adalah karena ia berasal dari suku Batak. Sungguh tidak strategis untuk bersaing dengan Mega yang orang Jawa. Kedua, karena dia perempuan. Fatimah rupanya cukup sadar bahwa penampilan fisiknya sangat tidak menunjang untuk menjadi rival Megawati. Akhirnya Fatimah memberikan saran bahwa hanya ada satu orang yang bisa menjadi pesaing Megawati, yakni Drs. Soerjadi. Namun, ada kendala yang sangat besar. Pemerintah pernah tidak setuju dengan kepemimpinan Soerjadi. Secara paksa, Soerjadi pernah didongkel di Konggres Medan tahun 1994. Menghadapi dilema yang sangat pelik ini, Soeharto sampai memanggil Soejarwo (mantan Menteri Kehutanan) yang dianggapnya sebagai "kakak spiritual". Soejarwo, dari sisi kebatinan, juga melihat posisi yang tidak menguntungkan tersebut. Pertama, kubu Permadi yang cukup berpengaruh di kebatinan telah menyeberang ke kubu Mega. Kedua, yang terpenting, Sri Sultan Hamengku Buwono X ternyata diam-diam juga menaruh simpati kepada Mega. Sultan adalah pusat kekuatan Jawa yang tidak berani diusik oleh Soeharto. Oleh karena alasan inilah, Soeharto berkesimpulan bahwa Mega memang harus disingkirkan, berapa pun harga yang harus dibayar. Akhirnya, Soeharto memanggil Feisal Tanjung. Ia mengatakan siapapun yang akan naik, tidak menjadi masalah. Bahkan Soerjadi sekalipun. Sekali pun itu berarti bahwa dia tidak segan-segan untuk menjilat ludahnya sendiri. Perkembangan itu disampaikan oleh Feisal pada Fatimah Ahmad. Dan, Fatimah mencoba membujuk Soerjadi. Namun, Soerjadi toh tidak begitu saja mempercayainya. Untuk meyakinkan, Feisal mencoba merancang suatu pertemuan antara Soerjadi dengan Soeharto. Pertemuan itu sendiri berlangsung dengan sebuah acara makan siang. Soeharto menerima Soerjadi dengan ramah. Mereka makan siang bersama. Pada acara tersebut tidak ada sedikit pun diperbincangkan soal PDI. Mereka hanya mempersoalkan kesehatan keluarga masing-masing. Soerjadi bahkan menceritakan soal rencana perhelatan kawin anaknya. Dengan makan siang tersebut, Soerjadi bisa diyakinkan bahwa Soeharto telah setuju dengan kembalinya dia memimpin PDI. Namun, Soerjadi adalah politisi yang licin dan cermat. Ia masih tidak percaya begitu saja. Akhirnya, ia menghubungi Benny Moerdani, sekutu lamanya yang masih memiliki jaringan informasi yang baik. Benny Moerdani mengatakan, kalau Pak Harto setuju, ambil saja. Rupa-rupanya Benny sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini. Itulah sebabnya, sejak tahun 1995 yang lalu, dia telah mengutus Nico Daryanto (mantan Sekjen PDI) untuk berkeliling ke seluruh DPD PDI di Indonesia. Sekarang barulah jelas, apa tujuan kunjungan Nico tersebut. Ternyata, secara diam-diam dia menghimpun dukungan PDI dan mempersiapkan "sesuatu". Pihak Benny, yang didukung oleh kalangan CSIS, juga tahu persis bahwa cepat atau lambat Mega pasti akan dijegal oleh Soeharto. Oleh karena itulah mereka mempersiapkan orang-orang yang akan memanfaatkan kesempatan saat penggulingan Megawati itu terjadi. Strategi lain dari kelompok CSIS-Benny Moerdani adalah dengan menghidupkan kembali elemen-elemen eks-Partai Katolik. Orang-orang Katolik di PDI bersatu dalam wadah yang dikenal dengan nama Salus Populi. Kelompok ini menghimpun banyak politisi Katolik serta aktif menggalang orang-orang Katolik fanatik di berbagai kota. Konon kabarnya, mereka mengandalkan jaringan Khasebul (Khalwat Sebulan), jaringan semi-intelijen yang pernah dipakai untuk menghadapi PKI namun saat ini dipakai untuk tenaga-tenaga politik. Jika melihat gejolak politik akhir-akhir ini, strategi yang ditempuh CSIS dan semua kliennya tersebut tidak terlalu mengherankan. Di tengah maraknya penghidupan kembali organisasi-organisasi lama seperti Masyumi Baru, PNI Baru, Parkindo, dan lain sebagainya, golongan politisi Katolik kelihatannya tenang-tenang saja. Namun, dibalik itu, mereka tengah menyusun kekuatan untuk membuat beberapa strategi politik yang matang. Dengan mengandalkan dukungan tersebutlah, Soerjadi berani menyatakan dirinya bersedia dicalonkan untuk menjadi Ketua Umum PDI menggantikan Megawati. Di samping itu, jaminan dana untuk melaksanakan Konggres di Medan juga telah tersedia. Beberapa konglomerat telah menyediakan dana. Menurut beberapa sumber, "sumbangan" dari Sofyan Wanandi, konglomerat yang dekat dengan kelompok CSIS ternyata terbukti. Kabarnya, untuk membeayai Konggres (termasuk pengamanannya oleh militer), Sofyan mengeluarkan tidak kurang dari Rp 600 juta. Selain itu, beberapa dana operasi politik taktis juga dipotong untuk membeayai proyek kudeta terhadap Mega ini. Untuk wilayah Timor-Timur, misalnya, dana untuk menuntut Portugal di Mahkamah Internasional diambil sebesar Rp 108 juta untuk membeayai keberangkatan peserta ke Konggres Medan. Sumber yang sangat terpercaya mengatakan bahwa hal ini terpaksa ditempuh mengingat tidak adanya beaya untuk melaksanakan proyek politik ini. Sumber ini mengatakan, "Jangan dikira ABRI mau mengeluarkan dana untuk proyek ini. Tidak. Mereka hanya memerintahkan bahwa kami harus berangkat. Pemda menyumbang sebagian beaya. Tapi, seberapalah kemampuan Pemda Timtim. Akhirnya, dicarilah jalan agar uang yang semula akan dipakai untuk menuntut Portugal di Mahkamah Internasional dipakai untuk kepentingan PDI". Pengeluaran dana taktis itu juga dimaksudkan agar konflik PDI tidak merembet ke wilayah Timor-Timur yang sangat rawan itu. Dari penjelasan ini masuk akal bahwa setelah kerusuhan 27 Juli 1996, Dubes Keliling dengan tugas khusus, Lopez da Cruz mendapat tugas tambahan dari Soeharto, yakni menjelaskan masalah PDI ke luar negeri. Lobby da Cruz dalam masalah Timor-Timor juga dipakai untuk menangani masalah PDI. Ini merupakan credit point tersendiri untuk da Cruz yang sering dipandang sebagai pengkhianat di kalangan orang Timor-Timur itu. Dalam hal ini, bargaining power Soerjadi sangat tinggi terhadap pemerintah. Keinginan Soeharto untuk mendongkel Megawati, apa pun bayarannya membuat Soerjadi diatas angin. Tuntutan Soerjadi untuk melakukan Konggres di Medan pun dituruti. Soerjadi kabarnya menyatakan, ia ingin dibangkitkan di tempat dimana ia dibunuh. Ada sesuatu yang ironis disini. Pada Konggres tahun 1994 di Medan, Soerjadi tidak terpilih hanya karena Feisal Tanjung mencap Soerjadi "cacat hukum". Namun, orang yang cacat hukum ini sekarang terpaksa harus diterima untuk mengerem langkah Mega. Skenario penggulingan Mega berjalan dengan mulus. Strategi untuk membuat "serangan kilat" terhadap kubu Mega juga berhasil dengan baik. Menurut sumber-sumber yang terpercaya, skenario yang dijalankan oleh Feisal Tanjung Cs ini sebelumnya digodok di CIDES, sebuah lembaga "kajian" yang sesungguhnya memiliki fungsi yang sama seperti CSIS, hanya saja berbeda pemilik dan orientasi politik. CIDES dikuasai oleh ICMI dan kelompok Habibie. Menurut sebuah sumber, ketika rencana penggulingan Mega ini dimatangkan orang-orang CIDES sibuk berkoordinasi dengan orang-orang CSIS. CIDES tahu bahwa kalangan CSIS telah menggarap beberapa segmen Katolik di dalam PDI. Oleh karena itulah, pihak CIDES pun menemukan bahwa lewat CSIS upaya penggulingan Mega menjadi lebih mudah. Beberapa orang CIDES dikabarkan pernah berkata, "Sekarang saatnya kita melihat keadaan politik riil. Dalam situasi ini, lebih banyak manfaatnya untuk bekerja sama dengan CSIS ketimbang memusuhinya". Fakta bahwa CSIS masih menguasai banyak lobby luar negeri juga tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itulah, pertemuan kepentingan ini menghasilkan sukses pengggulingan Mega. Dari Pak Besut
Ada beberapa alasan yang dirasakan sangat penting oleh kalangan penguasa untuk menjatuhkan Mega. Pertama, PDI akan meraih banyak suara di bawah kepemimpinan Mega. Bukan tidak mungkin dalam Pemilu yang sekotor apapun PDI akan menggeser kedudukan PPP dalam Pemilu. Beberapa kalangan Islam yang ada dalam tubuh elit khawatir bahwa ini merupakan bahaya bagi masa depan. Jika PPP menjadi nomor tiga, maka umat Islam merasa bahwa mereka secara politis menjadi minoritas. Sekalipun politisi Islam sangat kuat di Golkar, namun untuk simbolisasi Partai Islam masih tetap diperlukan. Kedua, adalah alasan klasik yakni pencalonan diri Mega untuk kursi kepresidenan. Sekalipun mustahil bahwa Mega menjadi Presiden namun pencalonan ini akan merangsang perpecahan lebih para para elit Orde Baru. Bukan rahasia lagi bahwa faksi-faksi politik dikalangan elit sudah semakin membesar. Proyek menggusur Mega dengan jalan Konggres pun telah merangsang faksi-faksi untuk saling bersaing. Faksi Dove yang dijelaskan diatas jelas menentang adanya Konggres. Menurut kabar, beberapa saat sebelum diadakannya Konggres, Edi Sudrajat, Soesilo Soedarman dan Kabakin Letjen Moethojib menghadap Presiden dan menyatakan keberatannya. Mereka memandang, menggusur Mega dalam situasi seperti sekarang ini akan menimbulkan persaingan tidak sehat. Bahkan ada kabar bahwa Edy ingin mengundurkan diri dari jabtan Menhankam jika Konggres tetap dilaksanakan. Sikap yang sama juga dimiliki oleh Moerdiono, Ginanjar, Sarwono dan Siswono. Namun, ketika ketiga pejabat ini menghadap Soeharto, ia hanya diam. Soeharto tidak menyatakan setuju atau menentang adanya Konggres. Setelah mendengar desakan tiga jendral tersebut, keesokan harinya Jendral Feisal Tanjung menghadap Presiden. Saat itu, ia mengatakan bahwa ada 31 orang jendral berdiri di belakangnya dan menghendaki Konggres dilangsungkan. Mendengar hal itu, Soeharto langsung mengatakan, "Laksanakan!". Akhirnya, Konggres pun berlangsunglah. Namun pelaksanaan Konggres ini pun bukannya sepi dari perpecahan elit, terutama yang berada di faksi Hawk. Kasad Jendral Hartono, kabarnya sangat tidak suka akan naiknya Soerjadi. Hartono mengajukan Latief Pudjosakti atau Ismunandar untuk memimpin PDI. Kedua orang ini sudah sangat dikenal Hartono karena keduanya berasal dari Jawa Timur. Namun, sayang bahwa keduanya memiliki cacat dalam PDI. Latief, semua orang tahu bahwa secara moral ia tidak bersih. Ia pernah tertangkap sedang berjudi di Malang. Selain itu, secara politis Latief juga sangat tidak populer. Usahanya menggagalkan KLB di Surabaya dengan bantuan Kadit-kadit Sospol se-Indonesia secara transparan diketahui oleh banyak orang. Sementara, Ismunandar juga tidak populer. Selain itu, Ismunandar tidak memiliki basis massa sedikitpun. Ketika Soerjadi naik, Hartono menganggap bahwa ia tidak bertanggungjawab. Dengan enteng ia cuci tangan dari Proyek Konggres karena merasa bahwa strategi rekan-rekannya tidak mengena dengan menaikkan Soerjadi. Sehingga, sesudah Konggres selesai terlihat Hartono malah banyak melakukan perjalanan keliling dengan Mbak Tutut untuk menggalang massa Golkar. Dalam hal ini, CPDS (Center for Policy and Development Studies) milik Hartono dan Prabowo pun ikut cuci tangan. Lembaga ini juga menarik untuk diperhatikan. Beberapa pengamat mengatakan bahwa CPDS didirikan untuk menyaingi CIDES. Sekalipun sama-sama dihuni oleh orang-orang ICMI, CPDS dibuat untuk menyusun langkah politik yang lebih praktis dan betul-betul menciptakan rancang bangun politik. Tokoh sipil yang menghuni CPDS adalah antara lain, Dr. Amir Santoso dan Dr. Din Syamsudin. Keduanya dipandang sebagai ilmuwan ambisius. Mengapa mereka memecahkan diri dari CIDES? Menurut kalangan dalam CPDS, CIDES dipandang terlalu plural. Banyak kalangan Islam yang tidak satu ide dalam berpolitik. Dengan CPDS, dirasakan bahwa gerak orang-orang ini akan lebih leluasa. Apalagi CPDS boleh memakai intelijen Kopassus yang dikuasai Prabowo untuk langkah-langkah politiknya. CPDS boleh dikatakan memiliki banyak proyek politik. Penggulingan Gus Dur dari Ketua Umum PBNU yang gagal total itu adalah antara lain proyek politik CPDS. Serangan terhadap Gus Dur secara gencar juga dilancarkan secara pribadi oleh Amir Santoso dan Din Syamsudin. Sehingga, tidak heran jika Gus Dur sebetulnya lebih membidik kedua orang ini dengan pernyataannya tentang "intelektual tukang" dan "pakar makan tanaman". Serangan terhadap Gus Dur amat masuk akal karena Prabowo memiliki dendam pribadi yang sangat besar terhadap Benny Moerdani yang dianggap dekat dengan Gus Dur. Hartono pun memiliki alasan yang sama. Karir militernya sempat terhambat karena Benny. Ketika ia diajukan untuk menjadi Ajudan Presiden, Benny langsung mencegahnya dan mengganti pencalonannya dengan Kentot Harseno (mantan Pangdam Jaya). Dendam-dendam politik inilah yang coba dibalaskan lewat CPDS. Sementara, elit politik yang tidak setuju dengan Konggres juga tidak tinggal diam. Mereka sengaja membiarkan Mega membuat aksi-aksi di ibukota. Mereka juga memberikan informasi-informasi penting ke kubu Mega. Jendral-jendral yang tersingkir dan kemudian kecewa juga diam-diam memberi dukungan kepada Mega. Ada informasi bahwa Theo Syafei (anggota DPR fraksi ABRI) dan Sembiring Meliala (mantan anggota DPR, di-recall karena tidak setuju dengan Habibie dan Harmoko) cukup sering menghubungi Mega dan memberikan berbagai informasi penting. Proteksi dari kalangan elit ini pun menambah kekuatan kubu Mega. Selain itu, kalangan luar PDI seperti gerakan mahasiswa serta LSM-LSM juga tahu akan perpecahan di tingkat elit yang sudah sedemikian hebatnya ini. Mereka dengan segera melihat peluang bahwa perubahan bisa terjadi dengan mendukung Mega. Opini umum pun nampak sekali juga mendukung Mega. Dengan cepat, kalangan-kalangan di luar PDI ini berkumpul untuk mendukung Mega. Dukungan kalangan luar PDI diberikan secara penuh menjelang Konggres berlangsung. Menurut informasi, ketika itu bola sepenuhnya berada di tangan Mega. LSM-LSM dan kalangan-kalangan gerakan telah siap untuk mendukung Mega. Pawai pertama keliling Jakarta rencananya akan menurunkan massa dalam jumlah besar. Namun, kabarnya Mega tidak setuju dengan rencana ini. Mega lebih memilih massa yang jumlahnya kecil sehingga tidak memancing bentrokan terbuka dengan militer. Akan tetapi, sekalipun massa yang diturunkan jumlahnya kecil tak urung bentrokan tetap terjadi, yakni ketika terjadi Insiden Gambir. Setelah insiden itu, mulailah digelar mimbar bebas di kantor DPP PDI yang dikuasai pendukung Mega di jalan Diponegoro. Mimbar bebas, atau mimbar Demokrasi menurut Mega, merupakan bentuk protes secara langsung terhadap pemerintah. Beranjak dari mimbar bebas inilah kemudian muncul apa yang dinamakan "Bencana Politik 27 Juli". Sesungguhnya kejadian ini tidak lepas dari skenario di kalangan elit sendiri Mimbar demokrasi yang digelar Mega dirasakan telah berjalan terlalu jauh. Apa yang ditakutkan oleh militer bukanlah mimbar bebas itu sendiri tetapi orang-orang yang memanfaatkan mimbar bebas tersebut dan otomatis juga orang-orang yang mendukung Mega yang makin hari jumlahnya makin besar. Orang yang semula adalah pendukung Mega semakin terbentuk secara ideologis. Sementara mereka yang dulunya tidak menaruh perhatian sedikitpun secara perlahan-lahan mulai tertarik. Ini khususnya terjadi di kalangan massa-rakyat perkotaan yang paling merasakan situasi sosial sehari-hari yang makin menghimpit. Kekhawatiran militer yang lain adalah bergabungnya politisi-politisi tua yang masih kuat ideologi politiknya. Beberapa kalangan politisi partai memang dikabarkan juga mendukung Mega. Dari Pak Besut
Mimbar bebas yang selama lebih kurang tiga minggu digelar di jalan Diponegoro rupa-rupanya sangat mencemaskan Soeharto. Semula sikap Soeharto terhadap PDI adalah membiarkan "devide et impera" tetap berjalan sendiri. Dengan bersembunyi di balik kata-kata "urusan intern PDI" Soeharto juga rupanya tidak menginginkan Soerjadi. Ia menghendaki agar Mega tetap menjadi pesaing Soerjadi. Sementara itu ia tetap bisa berdiri ditengah-tengah dengan memainkan kartu netralnya. Itulah sebabnya, ketika Moerdiono menghadap dan menanyakan kapan Soerjadi akan diterima, Soeharto mengatakan agar Soerjadi melakukan konsolidasi terlebih dahulu. Akan tetapi ada hal yang membuat strategi "pecah dan kuasai" ini tidak berjalan dengan baik. Permusuhan Mega ternyata tidak diarahkan pada Soerjadi Cs tetapi lebih diarahkan pada Pemerintah. Massa pendukung Mega serta opini umum pun agaknya telah terbentuk bahwa persoalan tidak terletak pada Soerjadi Cs tetapi pada Pemerintah yang telah berlaku sewenang-wenang. Melihat hal ini, Soeharto segera memerintahkan pada Feisal Tanjung untuk menghentikan gerakan Mega. Perintah ini segera dilaksanakan oleh Tanjung. Dicarilah alasan bahwa mimbar bebas yang dilakukan pendukung Mega adalah usaha makar. Pembenaran usaha makar ini, menurut logika Tanjung adalah karena banyaknya kalangan oposisi yang bicara di dalam mimbar bebas tersebut. Untuk menghentikan aktivitas tersebut harus diusahakan sebuah operasi intelijen. Bila perlu sebuah operasi militer. Mulailah dirancang sebuah operasi yang mengesankan terjadinya perebutan kantor antara pendukung Soerjadi dengan pendukung Mega. Militer berhasil mengumpulkan kira-kira 800 yang akan dipakai sebagai "anak buah PDI pro-Soerjadi" yang diberi latihan dan briefing di Cibubur. Konon, gerombolan pendukung Soerjadi ini dijaring lewat orang-orang Soerjadi yang telah dibina oleh CSIS. Militer juga berhasil memaksa Soerjadi untuk menyetujui rencana pengambilalihan kantor. Rencana yang diberitahukan oleh militer kepada pihak Soerjadi adalah perebutan kantor DPP PDI dengan dukungan militer. Artinya, pendukung Soerjadi merebut kantor DPP dan militer berada di belakangnya. Rencana ini sesungguhnya disampaikan lewat perantaraan Buttu Hutapea, Sekjen PDI versi Soerjadi. Entah karena percaya begitu saja, atau karena kepiawaiannya berpolitik, Soerjadi menerima begitu saja rencana tersebut. Mungkin ia tahu bahwa jika pun kekerasan yang akan terjadi maka dengan segera interpretasi orang akan menuduh pihak militer berada di balik semua kekerasan tersebut. Menarik bahwa upaya perebutan Kantor DPP PDI tersebut ternyata tidak melibatkan preman-preman yang tergabung dalam Pemuda Pancasila (PP). Menurut informasi, Yapto Suryosumarno memang tidak menghendaki anak buahnya dipakai untuk menggebuk Mega. Ini terjadi bukan karena ia bersimpati kepada Mega tetapi karena alasan yang lebih pragmatis. Yapto sangat jengkel dengan usaha-usaha sebagian elit militer (terutama di sekitar faksi Hartono) yang menyarankan pada Presiden untuk membubarkan PP. Sehingga, beberapa saat setelah Konggres berlangsung, Yapto dengan ditemani oleh Yoris Raweyai (Ketua Harian PP) bertemu dengan Mega untuk memberi jaminan bahwa tidak ada satu pun anak-anak PP yang akan dibiarkan ikut dalam menyerbu Markas PDI di Diponegoro tersebut. Sementara, di faksi Hawk yang lebih dekat dengan Habibie menginginkan agar operasi ini lebih berskala lebih luas. Oleh kelompok ini, operasi perebutan kantor DPP ini bahkan disebut sebagai operasi "Menurunkan Brahmana dan Membangkitkan Mummi-Mummi". Artinya, yang disasar oleh operasi ini adalah para elit politik (Brahmana) baik yang masih aktif maupun yang telah mantan dan para politisi tua yang masih menanggung dosa-dosa politik tetapi coba untuk bangkit kembali (Mummi). Menurut mereka, inilah kesempatan yang paling baik untuk membersihkan lawan-lawan politik mereka, baik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan. Operasi ini dipersiapkan dengan secara kilat. Sebenarnya, penyerbuan ini sudah harus berlangsung seminggu sebelum tanggal 27 Juli (berarti tanggal 20 Juli). Ketika itu, Brigjen SB Yudhoyono, saat itu Kasdam Jaya, yang langsung memimpin operasi. Namun, entah mengapa penyerbuan itu batal. Pasukan Yudhoyono yang telah ditempatkan pada posisi-posisi strategis di sekitar Diponegoro tiba-tiba di tarik kembali tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, hampir setiap malam sekitar jalan Diponegoro dijaga pasukan Marinir. Dalam konteks militer, jalan Diponegoro adalah "wilayah" Marinir karena ada satu bangunan milik TNI-AL di ruas jalan Diponegoro. Tidak itu saja, menurut saksi mata, di dalam Markas pendukung Mega, selalu ada seorang perwira Marinir yang berpangkat Mayor. Entah apa yang menjadi tugas perwira ini. Namun kata saksi mata, perwira ini selalu memberikan informasi-informasi rencana penyerbuan kepada pendukung Mega. Operasi tanggal 27 Juli sebenarnya dirancang sebagai operasi kecil yang lebih dekat dengan operasi tindak polisional terhadap pendukung Mega. Hanya saja pelaksananya adalah pihak militer (Angkatar Darat). Namun, operasi ini tidak dirancang dengan baik dan tidak dibuat berlapis untuk mengantisipasi keadaan. Dengan kata lain, ini adalah operasi yang sangat ceroboh karena militer tidak lagi memakai tenaga-tenaga lapangan yang andal. Dari sisi militer, operasi ini kelihatan tidak didukung oleh data intelijen yang memadai. Sangat mengherankan bahwa tidak ada estimasi bahwa akan muncul gejolak politik akibat perebutan kantor DPP. Ini mengingat kondisi pendukung Mega yang sangat fanatik dan berani mati. Itulah sebabnya, beberapa pihak menarik kesimpulan bahwa pihak intelijen (baik Bakin maupun BIA) tidak dilibatkan dalam operasi ini. Operasi rupa-rupanya menjadi proyek politik Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid beserta klik politiknya. Menurut desas-desus yang beredar di kalangan intelijen, Syarwan dan Tanjung tidak mencari informasinya di BIA atau BAKIN melainkan dari CIDES yang didominasi politisi-politisi sipil serta tidak berpengalaman sama sekali menangani masalah-masalah keamanan. Terutama Syarwan Hamid, terlalu percaya pada analisi CIDES karena menurutnya lebih ilmiah. Ini salah satu kecenderungan Syarwan yang mencoba-coba mendudukan diri dengan ilmuwan-ilmuwa di kampus-kampus. Memang, sebelum ini Syarwan aktif berkunjung dan memberi ceramah di berbagai kampus. Namun, menangani politik keamanan tidaklah sama dengan analisis ilmiah. Oleh karena itulah banyak sekali analisa yang meleset dari perkiraan Syarwan. Faktor kedua yang menyebabkan operasi ini adalah tidak adanya koordinasi di kalangan elit militer. Syarwan, Tanjung, Hartono dan Probowo, yang saat ini dipandang sebagai elit penentu di kalangan militer ternyata tidak berada dalam satu jalur. Semua orang ini memiliki akses ke Suharto, namun setiap orang juga memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Namun, Soeharto gagal menyatukan semua orang ini. Akibatnya, ketika terjadi penyerbuan dan kemudian kerusuhan, penanganan kerusuhan ini sangat lambat. Bencana Politik 27 Juli sesungguhnya harus dipisahkan antara kejadian pagi hari dan siang sampai malam hari. Kejadian di pagi hari berkisar antara pukul 05.30-09.30, yakni ketika terjadi serbuan terhadap DPP PDI yang dikuasai Megawati. Serbuan pada pagi hari tersebut memang terjadi atas dua sorti. Sorti pertama, yang dalam versi kubu Soerjadi adalah untuk membangunkan para pendukung Mega terjadi pukul 05.30. Saat itu, pendukung Mega bertahan di dalam. Setelah mengalami kegagalan, "pasukan Soerjadi" ini mengundurkan diri. Serbuan sorti kedua yang terjadi pada antara pukul 07.30-09.00 inilah pukulan yang paling menentukan bagi kubu Mega. Serbuan kedua ini tidak lagi ditangani oleh "pasukan Soerjadi" tetapi pasukan Kostrad dan Kopassus. Pada saat inilah terjadi pembantaian massal terhadap pendukung Mega. Menurut saksi mata, paling tidak ada 47 orang meninggal pada saat itu. Juga menurut saksi mata yang saat ini bersembunyi ketakutan, kawan-kawan mereka itu umumnya meninggal karena luka tusuk dan gorok. Bahkan, menurut sumber-sumber terpercaya sekelompok reog dari Ponorogo yang malam itu menginap di DPP hingga saat ini tidak diketahui nasibnya. Kelompok reog tersebut raib begitu saja. Sementara, kerusuhan massal pada siang harinya adalah ekses dari serbuan militer yang memperalat pendukung Soerjadi. Setelah mendengar bahwa markas mereka diduduki, para pendukung Mega segera bersiap-siap untuk mengambil-alih markas mereka kembali. Massa yang berkumpul dekat Megaria (dibawah jembatan lintasan kereta api) dengan cepat menjadi beringas. Massa tersebut menggelar mimbar bebas. Tentara dan polisi menghalangi mereka untuk mendekat ke kantor DPP. Mimbar bebas tersebut dengan cepat tersulut menjadi kerusuhan. Entah siapa yang memulai, pembakaran dan pelemparan segera terjadi. Massa mengamuk. Ada hal menarik sekitar penggelaran pasukan untuk menangani kerusuhan tersebut. Tempat-tempat dimana kerusuhan itu terjadi hanya dijaga oleh Pasukan Marinir. Menurut informasi, Marinir sengaja diturunkan karena selama ini Marinirlah yang berjaga-jaga di seputar Markas PDI. Selain itu, seorang Mayor Marinir juga menjadi kontak antara penguasa dan pendukung Megawati. Ini menandakan bahwa sesungguhnya ada kontak yang rapat antara Marinir dengan pendukung Mega. Pada tanggal 27 Juli, pasukan Marinir yang ada di Jakarta dan sekitarnya, semuanya dikeluarkan dari tangsi. Mereka diharuskan berjaga-jaga. Kalangan Angkatan Darat rupanya khawatir kalau Marinir dibiarkan di dalam tangsi mereka akan keluar dengan berpakaian sipil dan menciptakan kerusuhan. Tidak ada orang tahu, bagaimana sikap politik para elit TNI-AL. Oleh karena itulah, para prajurit AL ini diharuskan memakai seragam dan berjaga-jaga, agar mudah mengontrol gerakan mereka. Sementara, pasukan-pasukan lain yang diturunkan adalah Kostrad. Perintah penurunan Kostrad ini langsung berasal dari Soeharto. Komandan lapangannya adalah Wiranto Arismunandar dan Prabowo. Beberapa saksi mata ketika itu melihat Prabowo dengan seragam dan baret Kostrad. Bahkan, ada juga penegasan bahwa pasukan Kopasus yang turun ketika semuanya berpakaian Kostrad. Pasukan ini berjaga-jaga disekitar kediaman Soeharto yang memang sangat dekat dengan kerusuhan. Sekitar jalan Cendana sendiri diblokir oleh pasukan khusus anti-teror, sebuah mesin pembunuh yang dikendalikan oleh Prabowo. Selain itu, Pangab yang saat itu kabarnya juga berada dalam keadaan panik, menurunkan pasukan Siliwangi. Pasukan ini tertahan di perbatasan Jakarta. Penurunan Siliwangi oleh Pangab karena kedekatannya dengan Pangdam Siliwangi Mayjen Tayo Darmadi. Selain itu, Tanjung cukup lama tinggal di Bandung sebagai Komandan Sesko. Inilah yang menyebabkan mengapa ia dengan mudah bisa menggerakkan Siliwangi. Apa pekerjaan Pangdam Jaya Soetiyoso ketika itu? Anehnya, ketika itu Soetiyoso sama sekali tidak tahu menahu akan adanya gerakan merebut DPP PDI. Ia baru tahu setelah kejadian. Sebagai Pangdam, ia juga tidak memegang kontrol pasukan. Ia di-by pass begitu saja oleh atasan-atasannya yang sedang bertikai. Hal yang sama juga terjadi pada Kasdam-nya Soesilo Bambang Yudhoyono. Memang, seminggu sebelumnya Yudhoyono adalah komandan penyerbuan Markas PDI, tetapi tentang penyerbuan tanggal 27 Juli ia sama sekali tidak tahu menahu. Dari gerakan-gerakan pasukan yang dikerahkan tersebut kita tahu bahwa para elit militer memakai jalur-jalur militer mereka sendiri untuk menangani krisis ini. Yang paling mengenaskan adalah nasib Soeyono, Kasum ABRI dan Kases Bakorstanas. Saat kerusuhan terjadi, ia sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto akibat kecelakaan sepeda motor di Menado. Sulit dibayangkan, dalam minggu-minggu dimana keadaan politik negara sangat panas, Soeyono masih sempat bersenang-senang naik motor besar. Tambahan pula, itu berlangsung di Menado, suatu tempat yang sangat jauh dari Pusat! Ada informasi yang mengatakan bahwa Soeyono, yang dalam kapasitasnya sebagai Kasum adalah yang seharusnya mengendalikan BIA, sengaja diisolir dari keadaan. Semua informasi tidak disampaikan kepada Soeyono, dan memperkuat dugaan bahwa Bencana Politik 27 Juli adalah rekayasa klik politik tertentu. Itulah sebabnya, kalangan intelijen yang dalam prosedur normal seharusnya menjadi sumber data, diabaikan sama sekali! Dari beberpa informasi yang masuk, keyakinan bahwa tentara yang berdiri di balik kerusuhan semakin menguat. Seorang pejabat polisi mengatakan bahwa banyak diantara para perusuh yang ditangkap ternyata adalah anggota ABRI! Ada beberapa kejadian yang sangat memalukan TNI-AD dihadapan polisi. Ketika para perusuh tersebut ditangkap, di Mapolda satu persatu mereka dimasukkan ke dalam tahanan. Namun, ketika akan dimasukkan tahanan banyak diantara perusuh tersebut yang mengeluarkan kartu ABRI. Tengah malam, barulah seorang komandan AD dari Kostrad datang menjemput puluhan anak buahnya yang tertangkap tangan oleh polisi karena melakukan pembakaran. Cerita ini menguatkan dugaan bahwa tentara-lah yang melakukan berbagai pembakaran di sepanjang jalan Salemba dan Kramat. Dari Pak Besut
Setelah Bencana Politik 27 Juli 1996 terjadi, elit-elit politik kebingungan mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas kerusuhan tersebut. Hingga tanggal 28 malam, belum ditemukan siapa yang harus bertanggungjawab atas kerusuhan tersebut. Para elit militer mulai mengkalkulasi berbagai kemungkinan untuk mendiskreditkan gerakan-gerakan pro-demokrasi sebagai biang kerusuhan. Ada beberapa kelompok yang rencananya akan dituduh sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas usaha yang oleh militer dikategorikan sebagai usaha "makar" ini. Mulanya, yang hendak dijadikan kambing hitam adalah Yayasan Pijar. Namun, setelah ditelusuri, Pijar hanya berujung hingga LBH. Setelah itu, SMID. Namun, SMID ternyata terlalu kecil jika dipandang sebagai bidang kerusuhan karena isinya hanyalah mahasiswa-mahasiswa. Akhirnya, setelah dicari-cari ketemulah jugalah kambing hitam bencana ini. Inipun setelah CIDES yang memberikan segala sesuatu tentang PRD (Partai Rakyat Demokratik) kepada klik militer mereka. Ada indikasi bahwa CIDES telah mempersiapkan momen ini agak lama. Ini nampak dari jadwal terbitan pemberitaan beberapa media yang selama ini dipandang sebagai corong kepentingan klik Habibie-Tanjung-Syarwan. PRD dianggap memenuhi segala syarat untuk dijadikan kambing hitam. Rentang gerakan PRD paling luas. Struktur oragnisasi mereka menyerupai organisasi jaman Orde Lama, lengkap dengan onderbouw segala. Mereka baru saja membuat Manifesto Politik yang dideklarasikan tanggal 22 Juli 1996. Spektrum keterlibatan PRD juga menyentuh semua lawan-lawan politik penguasa, seperti Gus Dur, Pramudya Ananta Toer, George Aditjondro, Sri Bintang Pamungkas, Ridwan Saidi, Muchtar Pakpahan, dan lain sebagainya. Tudingan terhadap PRD pertama kali dilontarkan oleh pihak militer, terutama dari klik Tanjung-Syarwan. Tudingan ini dengan segera muncul di media massa yang dikuasai oleh klik ini. Yang paling menyolok adalah Majalah Gatra. Mingguan yang terbit pada hari Selasa (menurut informasi, dead-linenya hari Sabtu malam dan naik cetak Minggu) telah memuat informasi tentang PRD secara lengkap. Dari sebuah sumber, dikatakan bahwa klik Habibie-Tanjung-Syarwan telah membagi-bagikan hasil analisis CIDES tentang PRD kepada media-media tertentu (Gatra, Sinar, Republika dan Forum Keadilan) bahkan sebelum laporan tersebut disampaikan kepada Soeharto! Jadi, tidak mengherankan begitu nama PRD disebut oleh militer, bak gayung bersambut media-media ini segera mampu membuat tulisan yang lengkap tentang PRD. Indikasi keterlibatan CIDES lewat mulut Syarwan Hamid terlihat jelas. Seorang rekan wartawan pernah memperlihatkan press-release yang dibagikan oleh Syarwan ternyata adalah fotocopy dari fax yang dikirim oleh CIDES. Ini semua bisa diketahui karena diatas copy fax tersebut tertulis pengirimnya adalah CIDES. Press-release tersebut akhirnya diambil kembali oleh aparat. Namun, ada beberapa yang sempat diselundupkan keluar. Penciptaan PRD sebagai kambing hitam ini ternyata cukup memiliki konsekuensi yang luas. Beberapa tokoh seperti Ridwan Saidi, Permadi, Julius Usman, Muchtar Pakpahan, dan lain sebagainya diperiksa dalam kaitannya dengan PRD. Selain itu, pejabat-pejabat ABRI juga sibuk menekan media massa untuk menulis secara besar-besaran semua skenario mereka. PRD-lah ajang yang paling tepat untuk menggelar operasi yang mereka sebut sebagai "Menurunkan Brahmana dan Membangkitkan Mummi-mummi" tersebut. Hampir semua tokoh oposisi bisa dikait-kaitkan dengan PRD ini. PRD yang seratus persen anggotanya adalah para pemuda/i berumur belum 30 tahun ini harus menanggung stigma politik. Para pejabat militer klik Habibie-Tanjung-Syarwan sibuk mencari pembenaran. Mereka menuduh orangtua Budiman Sujatmiko terlibat Komunis Golongan B-2. Barulah kemudian, tuduhan ini tidak terbukti. Orangtua Budiman ternyata seorang Muslim yang saleh. Budiman sendiri adalah hasil didikan sebuah SMA Muhamadiyah terbaik di Indonesia, yakni SMA Muhamadiyah I Yogyakarta. Bagaimana mungkin seorang didikan sekolah terbaik Muhamadiyah menjadi seorang Komunis?
Bencana Politik 27 Juli jelas adalah skenario militer yang gagal. Namun, ada berbagai analisa yang menjelaskan apa maksud dan tujuan dari operasi ini. Ada yang mengatakan bahwa tujuan utama dari skenario ini adalah menurunkan "Brahmana yang Utama", yakni Soeharto sendiri. Analisa ini juga masuk akal. Jika dikaji lebih mendalam, hampir semua kejadian ini menunjuk pada Soeharto sebagai dalang utamanya. Artinya, Soeharto-lah yang memegang tanggung jawab atas semua rekayasa. Mungkinkah ini dibuat untuk menjatuhkan Soeharto sendiri? Ada juga analisa lain yang menyatakan bahwa Bencana Politik 27 Juli adalah usaha untuk memantapkan suatu klik politik tertentu, dalam hal ini orang-orang di seputar Habibie. Namun, secara keseluruhan skenario ini gagal dilaksanakan. Tujuan untuk menggulingkan "Brahmana", sesungguhnya ditujukan kepada orang-orang yang masih dalam pengaruh Benny Moerdani. Akan tetapi, sampai saat ini rupanya Benny belum tersentuh sama sekali. Ada yang menafsirkan bahwa pencarian aktor intelektual sesungguhnya ingin membuktikan bahwa Benny berada di balik semua gerakan, terutama kaitan Benny dengan PRD. Sangat kebetulan bahwa kalangan muda yang aktif dalam PRD sebagian besarnya adalah pemuda-pemuda Katolik. Lewat jalur ini, Benny ingin diseret bahwa PRD adalah hasil karyanya. Sebelum memasuki analisa ini lebih lanjut, ada baiknya diperhatikan dahulu bagaimana formasi pada Jendral pasca Bencana Politik 27 Juli. Segera setelah Bencana tersebut, pembersihan para Jendral dilakukan. Yang diganti pertama adalah Soeyono, Kasum ABRI. Soeyono memang melakukan kesalahan yang paling tampak, yakni kelalaiannya memperhatikan gejolak sosial. Ada sumber yang mengatakan bahwa Soeyono memang sengaja diisolasi dari persoalan. Ia tidak mendapat informasi apapun tentang rencana rekayasa ini. Padahal, Soeyono-lah yang paling pertama berbunyi soal bahaya Komunisme, terutama. Momen ini dimanfaatkan oleh Syarwan yang dengan lihai terus menerus memainkan isu Komunis ini untuk menghantam lawan-lawan politiknya. Wawancara Soeyono di Majalah Tiras sangat kuat mengindikasikan bahwa ia merasa disingkirkan. Ia sendiri menyebut penyingkirannya sebagai rekayasa killing the sitting duck, membunuh bebek lumpuh! Secara terang-terangan Soeyono menyatakan ketidaksukaannya kepada Syarwan Hamid yang dianggapnya merekayasa kejatuhannya. Sebagai Kasum ABRI dan Kases Bakorstanas, kedudukan Soeyono sangatlah penting. Di dalam ABRI, Kasum berhak untuk menggerakkan pasukan. Namun, dalam keadaan lumpuh dia tidak memegang komando apapun. Sehingga, pada tanggal 27 Juli, banyak pasukan yang diturunkan tetapi tanpa komando yang jelas. Kabarnya, menyusul Bencana Politik 27 Juli, perebutan kekuatan sangat keras terjadi di dalam tubuh ABRI sendiri. Ada desas-desus bahwa di samping Soeyono, Soeharto juga berencana untuk mengganti Tanjung dan Syarwan. Rencananya, Tanjung dan Syarwan akan dipensiunkan. Hartono akan memegang jabatan sebagai Pangab dan posisi Kasad akan dipegang oleh Wiranto. Posisi strategis Kassospol akan dipegang oleh Mayjen Hendro Priyono yang sebenarnya juga sudah merupakan kartu mati. Akan tetapi, agaknya Soeharto tidak berani mengambil resiko lebih jauh dengan mutasi besar-besaran. Penggantian Tanjung dan Syarwan akan mengakibatkan tidak terkontrolnya faksi Habibie. Sementara, kenaikan Hendro Priyono menjadi Kassospol terlanjur menjadi berita besar diluaran. Menurut informasi, Sembiring Meliala-lah yang rajin meniupkan isu bahwa Hendro akan menjadi Kassospol. Isu ini sampai ke telinga Soeharto dan ia membatalkan promosi untuk Hendro ini. Sudah menjadi karakter Soeharto bahwa ia tidak boleh didahului dalam segala hal. Di tingkat yang lebih bawah, penggantian-penggantian juga terjadi. Yang menarik dari promosi ini adalah naiknya dua orang Jendral yang diramalkan akan menjadi kartu mati. Pertama adalah Agum Gumelar (menantu Letjen Pur. Ahmad Tahir, mantan menteri Parpostel) yang menjabat Pangdam Wirabuana. Agum dianggap sebagai orangnya Benny dan merupakan faktor penentu naiknya Mega saat Munas di Jakarta. Kedua adalah Susilo Bambang Yudhoyono (menantu Sarwo Edhie Wibowo, perwira yang termasuk kritis terhadap soeharto) perwira yang sesungguhnya memiliki karir sangat cemerlang akan tetapi dalam hal prestasi harus selalu berhadapan dengan Prabowo. Persaingan antara kedua orang ini tidak dapat ditutup-tutupi. Yudhoyono sebenarnya adalah kawan seangkatan Prabowo di Akabri tahun 1973. Namun, Prabowo harus mengulang setahun karena kasus desersi dan baru menamatkan Akabrinya tahun 1974. Menurut sebuah sumber, diantara semua Kasdam yang akan dipromosikan, posisi Yudhoyono sesungguhnya paling tidak menguntungkan. Oleh Tanjung, ia ditempat pada diurutan kedelapan (terakhir) dari orang yang akan mendapat promosi. Namun, Soeharto menginginkan naiknya Yudhoyono. Seperti dalam kasus Wismoyo, dalam memanajemen kekuasaannya, Soeharto tetap melihat bahwa bahkan menantu pun pada suatu waktu bisa tidak loyal kepadanya.. Apalagi, menurut desas-desus, perkawinan Prabowo tidak harmonis. Prabowo kabarnya ringan tangan dan sering memukul istrinya. Dari evaluasi promosi perwira nampak bahwa Soeharto ingin terus menjaga persaingan di dalam tubuh ABRI. Mungkin pada suatu saat Soeharto akan berani lebih terus terang dengan mendudukkan para mantan ajudannya dalam posisi-posisi penting. Dari Pak Besut
Perkembangan Bencana Politik 27 Juli masuk ke dalam babak-babak yang menentukan. Mulai dari prolog sampai pada saat kejadian sendiri sesungguhnya adalah manifestasi dari pertarungan elit tingkat tinggi. Dalam perkembangannya sampai saat ini, ada hal kecil yang kemungkinan akan bisa dipakai untuk menyelesaikan hal-hal besar dalam pertarungan antar elit. Hal kecil tersebut adalah saat penangkapan Budiman Sujatmiko Cs yang secara tidak sengaja melibatkan seorang Pastor Katolik, Romo Ignatius Sandyawan Sumardi, SJ. Peristiwa tersebut sesungguhnya kecil saja. Hal ini tidak menjadi hebat jika harian milik ICMI, Republika, mengangkatnya sedemikian rupa dalam pemberitaannya. Republika menjadikan peristiwa kecil ini menjadi sangat besar dan merambah kemana-mana. Pada pemberitaan awalnya, Republika memberitakan Pastor ini menghilang. Pemberitaan tersebut menggiring kearah kesimpulan pembacanya bahwa Romo Sandyawan adalah aktor intelektual yang berdiri di belakang PRD. Republika mensitir ungkapan Syarwan Hamid bahwa ada die hard yang berdiri di belakang semua gerakan PRD. Model pemberitaan ini segera diikuti oleh media-media yang selama ini bergabung ke dalam klik elit penguasa tertentu. Ada tendensi bahwa pemberitaan tersebut hendak mengalihkan perhatian dari persoalan pertikaian antar elit yang hampir terkuak ke permukaan. Setelah kasus PDI dan PRD, pastilah akan timbul banyak pertanyaan, siapakah dalang di balik semua kejadian tersebut? Pernyataan-pernyataan para elit memang sangat kuat mengindikasikan bahwa sedang terjadi pertarungan besar-besaran antar mereka sendiri. Namun, dengan munculnya kasus Romo Sandyawan perhatian semua media dialihkan pada kasus yang menimpa Pastor relawan ini. Pemberitaan media massa, terutama media massa yang berafiliasi membela kepentingan penguasa, nampaknya hanya ingin membuktikan bahwa konspirasi di dalam kasus 27 Juli ini. Mereka menemukan sasaran yang empuk ketika kasus Romo Sandyawan muncul ke permukaan. Konspirasi yang ingin dijelaskan masih dalam kerangka menurunkan "Brahmana" yang dalam pengertian sebagian elit itu adalah Benny Moerdani. Kebetulan antara korban dan sasarannya ada persamaan yakni sama-sama berasal dari kalangan Katolik. Pada mulanya, Syarwan Hamid bersikeras bahwa Romo Sandyawan bukan tidak mungkin adalah die hard dari PRD. Kalangan militer pun berkeyakinan bahwa semua kegagalan operasional militer mereka yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, akan bisa diselesaikan dengan memperkuat kambing hitam mereka, yakni PRD. Romo Sandyawan adalah sasaran yang paling bagus dengan tuduhan bahwa dia adalah otak di balik gerakan PRD. Syarwan Hamid sendiri dalam beberapa media telah menyebut bencana politik ini sebagai "Gerakan 27 Juli" (G27J) untuk mencari paralel dengan G30S. Apalagi, ekspose media massa memperlihatkan bahwa nama-nama Katolik sangat banyak di kalangan mereka yang menjadi aktivis PRD. Dengan meletakkan Romo Sandyawan sebagai pemerkuat kambing hitam, jelaslah klik militer tertentu mencoba menggiring kearah keterlibatan Benny Moerdani. Namun usaha ini tidak berhasil sepenuhnya. Pertama, Romo Sandyawan ternyata lebih banyak memiliki kaitan dengan kalangan-kalangan humanis-demokratis di negeri ini. Kegiatannya pun adalah kegiatan karitatif. Kedua, dia adalah seorang pastor Katolik. Kedudukan sebagai agamawan tentulah menyulitkan posisi tuduhan bahwa ia adalah otak sebuah organisasi yang di cap Kiri. Sementara, bagi beberapa pihak, terutama kalangan politisi Katolik sendiri sangat ketakutan dengan masuknya Romo Sandyawan kedalam permainan kambing hitam PRD ini. Kalangan yang dekat dengan CSIS menginformasikan bahwa kalangan di dalam CSIS berusaha untuk memisahkan keterlibatan Romo Sandyawan dengan kalangan Katolik pada umumnya. "Dalam hal ini CSIS sudah kepalang basah. Mereka juga terlibat, khususnya dalam men-support Soerjadi lewat politisi-politisi Katolik. Mereka nampaknya juga sudah siap bahwa situasi kekerasan akan muncul dalam menghadapi Mega. Dalam pengalaman mereka kekerasan ini toh pada ujung-ujungnya bisa diselesaikan lewat uang. Artinya, sepanjang mereka memiliki uang, tentara-tentara itu pasti masih mau bekerja sama dengan mereka. Isu PRD adalah taktik klasik. Nampaknya, dalam membuat isu model beginian CSIS-lah jagonya. Ini yang menguatkan kemungkinan bahwa CSIS punya link tertentu dengan CIDES, "kata seorang pengamat. Untuk mencegah kebakaran lebih luas, agaknya CSIS berusaha melokalisir api hanya di sekitar Sandyawan. Adalah jauh lebih aman membiarkan seorang Sandyawan mendapatkan cap Pastor Kiri ketimbang mengorbankan seluruh jaringan Katolik yang mereka miliki. Taktik CSIS terhadap golongan Katolik selalu sama. Mereka akan bilang, jangan mencoba membenturkan kepala ke tembok yang masih sangat kuat. Sekaligus mereka menakut-nakuti pihak gereja yang memang selalu menganggap bahwa CSIS sumber informasi politik mereka. Dengan kejadian Sandyawan, CSIS juga bisa menangguk keuntungan. Mereka bisa mendisplinkan kembali orang-orang Katolik dengan menjadikan Sandyawan sebagai "percontohan". Itulah akibatnya kalau mau membenturkan kepala ke tembok. Dengan contoh tersebut, diharapkan kredibilitas politisi Katolik sendiri (yang sempat ambrol di mata umat karena dukungan mereka pada Soerjadi) akan bisa dipulihkan. Mereka akan membuat aksi yang lebih programatis untuk menunjukkan kepada kalangan Katolik bahwa mereka berdiri di pihak yang benar. Mungkin sekali kalangan politisi Katolik ini bekerja sama dengan tentara dan mengorbankan Sandyawan. Di kalangan Katolik CSIS adalah die hard dalam berpolitik. Di samping kelompok die hard masih ada kelompok yang relatif moderat. Mereka inilah yang berada dalam jaringan kerja Kompas-Gramedia. Orang-orang ini juga memiliki perhatian pada demokratisasi. Namun, sebagaimana kalangan menengah minoritas lainnya, Kompas juga berusaha agar agar jalan kearah demokrasi atau perubahan politik berlangsung tanpa melibatkan massa-rakyat. Cukuplah urusan tersebut diselesaikan di tingkat segelintir elit, atau paling banter di tingkat kelas menengah saja. Dalam kasus Sandyawan, nampak sekali bahwa Kompas hendak cuci tangan. Mereka sudah menghadapi tekanan yang cukup berat ketika pemberitaan mereka dinilai sangat memihak Megawati. Rasionalisasi kelas menengah mereka mengatakan bahwa permainan politik harus berlangsung fair. Dalam kasus Mega, kecurangan memang begitu transparan. Begitu terjadi kerusuhan 27 Juli, Kompas adalah koran yang paling dahulu tiarap. Ketakutan itu bertambah besar ketika akhirnya nama Sandyawan yang adalah seorang Pastor Katolik itu terbawa-bawa. Kompas paling tidak berani menyinggung Sandyawan dalam pemberitaannya. Menurut informasi, jajaran senior dalam Kompas, mencap bahwa tindakan Sandyawan tersebut sebagai tindakan tolol dan bunuh diri. Mereka memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Sandyawan akan juga membahayakan kedudukan Kompas, yang memang tidak berafiliasi kepada Katolik tetapi selalu mendapat cap Katolik. Dalam hal ini, yang paling mungkin dilakukan oleh Kompas adalah dengan sukarela memblokade diri untuk mengikuti setiap kata yang didiktekan oleh penguasa. Selanjutnya anda dipersilahkan untuk mengunjungi :Homepage Pedukung DPP PDI Perjuangan
|
© 1996 - 1998 M[email protected]