Halaman 7
MA belum atau kurang menampakkan upaya dan langkah visioner. Visi (GBHN): terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkesadaran hukum secara substansial berhubungan erat dengan menurunnya atau menghilangya kualitas keteladanan elit/aparat dalam hal ini kelembagaan MA dan jajarannya. Persoalannya adalah bagaimana MA membangun Visi ini apabila dalam kenyataan dan dalam hal normatif sekalipun MA belum melakukan refleksi dan instropeksi melalui kebijakan dan putusan-putusan yang diambil. Keteladanan yang baik dan benar dalam hal penegakan hukum, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum belum dan kurang secara signifikan diperlihatkan oleh MA dan jajarannya, sehingga kepercayaan rakyat mewujud dalam hal pengadilan rakyat anarkisme, disharmonisasi dan lain-lain. MA secara etis moral dan politik ketatanegaraan tidak bisa lepas dan bebas dari peristiwa dan tragedi ini. Dalam sepuluh bulan terakhir, semakin bertambah hadir dihadapan kita bersama berbagai peristiwa dan tragedi yang memilukan dan mengerikan. Lalu pertanyaannya adalah dimana kepedulian dan apa tanggungjawab MA dalam hal ini.
Kepastian hukum sulit dibangun, keadilan sukar diraih, kebenaran bisa dinegosiasi, masalah kepastian hukum dan rasa keadilan hukum secara kongkrit dapat dikaitkan dengan bagaimana upaya dan langkah mendasar dan menyeluruh dari MA terhadap penanganan dan penyelesaian perkara. Secara kualitatif dan kuantitatif tidak menunjukkan gambaran dan hasil baik dan menggembirakan.
GBHN 1999 sudah menunjukkan arah kebijakan khususnya dibidang hukum. Dalam laporan MA tidak jelas dan tegas arah dan kebijakan yang telah, sedang dan akan dilakukan secara komprehensif integral. Dalam kenyataannya melalui berbagai praktek yang dipertontontan MA dan jajarannya secara kasat mata justru semakin jauh dan bertentangan dengan arah kebijakan sebenarnya. Apabila dalam arah kebijakannya, MA tidak bersikap dan bertindak serta membiarkan praktek penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan, penyimpangan tugas dan kewenangan; serta pelanggaran kode etik yang terjadi jajaran MA maka sesungguhnya itu sudah bersifat struktural, melembaga dan membudaya. Dalam konteks ini MA sudah menjadi subjek utama bagi tumbuhnya ketidak pastian dan ketidak adilan hukum yang hakiki. Untuk itu, MA mesti mengalami transformasi dan reformasi yang signifikan dan substansial, dimana MA mesti tanggap dan sadar akan aspirasi dan tuntutan rakyat akan hal ini.
Saudara-saudara yang terhormat
Pemandangan Umum terhadap laporan DPA pada dasamya bertitik tolak dari pesan dan semangat GBHN 1999. Catatan dan sorotan kritis awal terhadap laporan DPA adalah bahwa secara substansial laporan yang disampaikan MA tidak/kurang menunjukan sesuatu yang bermakna signifikan kedepan bagi kelanjutan dan perkembangan reformasi kelembagaan kenegaraan. Harus ada pengakuan dan penghargaan terhadap DPA yang telah bekerja dan berperan dalam kapasitasnya. Persoalannya kemudian adalah bahwa berbagai hal yang telah dan sedang dilakukan DPA serta dengan realitas sosial perpolitikan yang terjadi sama sekali tidak mempertegas dan memperjelas agenda melakukan diskontinuitas politik baru yang reformatif dan demokratik terhadap politik lama yang berwatak otoritarian.
Pada tataran lain DPA juga belum atau kurang melakukan wacana kenegaraan dan ketatanegaraan yang berimplikasi pada pengembangan berbagai gagasan yang ditujukan kepada bangsa khususnya lembaga kepresidenan. Kemudian masih belum tumbuh upaya membangun perspektif baru mengenai institusionalisasi dan maksimalisasi kelembagaan DPA yang pada gilirannya berkaitan dengan lembaga kepresidenan. Dalam perspektif politik ketatanegaraan, terminologi DPA masih merupakan perdebatan akan makna substantif keberadaannya dalam piramida kelembagaan tinggi negara.
Halaman 8