BAKERNAS
Badan Kerjasama Nasional
Kader-Kader & Simpatisan-Simpatisan
PDI Perjuangan di Mancanegara


PANDANGAN KADER & SIMPATISAN
PDI PERJUANGAN DI LUAR NEGERI



Lampiran 1
(Sambungan)


Dalam konteks politik utang kita melihat adanya standar ganda Bank Dunia dan IMF. Di masa Orde Baru, lembaga donor internasional begitu antusias menyirami pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru dengan dana pinjaman dalam jumlah besar. Sasaran kepentingan jangka pendek Bank Dunia bertemu dengan pragmatisme visi elite Orde Baru. Saat Orba, Bank Dunia dan IMF menutup mata atas implikasi dan distorsi sosial yang terjadi di proyek-proyek mereka, termasuk dalam kasus kontroversial pembangunan waduk Kedung Ombo. Bank Dunia, IMF dan ADB senantiasa menyanjung model pembangunan ekonomi Indonesia. Pujian sukses Orba divalidisasi dalam terbitan Bank Dunia: The East Asian Miracle (1993). Tak ada kritik mereka terhadap Orde Baru.

Kini ketika malfunction dari mekansime globalisasi kapitalisme meluluh-lantakkan kehidupan bangsa Indonesia. --sehingga kita kini terpuruk dalam kubangan krisis ekonomi dan kini berstatus jadi "negara miskin" lagi-kenapa justru kita ditinggalkan? Lebih heran lagi, kini mereka menjadi super-kritis dan mengkritik tajam kebijakan ekonomi pemerintah baru yang nota-bene lahir dari proses demokrasi yang valid, sahih, bersih dan legitimated.

Padahal, sebagai bagian integral dari institusi kapitalisme global, Bank Dunia dan IMF yang secara moral semestinya turut merasa bertanggung jawab atas pengentasan krisis Indonesia. Argumen resmi Bank Dunia dan IMF pendukung demokratisasi dan HAM ternyata slogan. Terbukti ketika dihapkan pada pilihan prospek pertumbuhan ekonomi atau demokratisasi, mereka lebih mendukung otoriterisme Orba daripada rezim demokrasi RI.

Pengurangan drastis utang Bank Dunia ini, karenanya, seyogianya disikapi oleh Pemerintah RI secara tepat-sasaran. Pertama, dengan reposisi Bank Dunia ini, Pemerintah RI perlu lebih gigih memperjuangkan penghapusan sebagian utang luar negeri. Selama ini keraguan kita mendesakkan penghapusan utang adalah ketakutan sulitnya mendapat pinjaman baru. Dengan pemotongan sepihak dari pihak donor ini maka ketakutan itu sirna. Tanpa minta penghapusan ternyata sulit juga memperoleh utang baru. Kedua, pembubaran keberadaan forum CGI. Jika Jepang jadi satu-satunya donor utama Indonesia maka negosiasi bilateral akan lebih efektif. Tanpa peran Bank Dunia, IMF dan ADB tidak ada gunanya melanjutkan multilaterlisme forum utang luar negeri. Ketiga, atas "pengkhianatan" Bank Dunia ini nampaknya sudah tiba saatnya pemerintah RI merevisi semua platform hubungannya dengan institusi liberalisasi ekonomi global seperti WTO dan APEC.

Sulit disangkal bahwa timbunan utang adalah satu isu terkrusial bangsa ini. Jika dianalogikan sebagai sebuah perseroan --dengan rasio PDB atas utang mendekati 100%-- Indonesia sudah layak dinyatakan bangkrut. Bila diambil hikmahnya, langkah sepihak Bank Dunia, IMF dan ADB ini masih lebih banyak positifnya. Jika tidak diambil keputusan drastis dan radikal memotong utang maka lingkaran setan ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri akan kian parah. Satu hal yang agak menyesakan ialah kenapa justru inisatif pengurangan drastis ini bukan muncul dari luar, bukan kesadaran pihak Indonesia.

*) Dr. Ben Perkasa Drajat.
Lulusan Universitas Hiroshima Jepang
Bidang International Political Economy


Back

Forward



(c) 2001 Webmaster