BAKERNAS
Badan Kerjasama Nasional
Kader-Kader & Simpatisan-Simpatisan
PDI Perjuangan di Mancanegara


PANDANGAN KADER & SIMPATISAN
PDI PERJUANGAN DI LUAR NEGERI



Lampiran 2
(lanjutan)

PEMBANGUNAN EKONOMI, KRISIS DAN REFORMASI DI INDONESIA

pihak penguasa di pusat birokrasi negara yang mempunyai wewenang mengeluarkan izin atas tanah milik negara, tanah milik adat, milik kaum maupun milik perorangan. Walaupun dalam izin disebutkan bahwa pengusaha harus membebaskan tanah dengan ganti rugi kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi kenyataan dilapangan tidaklah demikian. Untuk mendapatkan berbagai kemudahan serta beaya yang rendah, para pengusaha pengguna lahan sering memilih jalan berkolusi dengan pihak militer, para pejabat propinsi, kabupaten, kecamatan dan bahkan kelurahan untuk memaksa rakyat yang mempunyai hak atas tanah tersebut melepaskan tanahnya dengan imbalan yang tak memadai. Adakalanya rakyat dipaksa menerima ganti rugi yang tak masuk akal seperti yang terjadi di propinsi Lampung dimana tanah untuk perkebunan hanya dihargai Rp 2,- hingga Rp 50,- per meter.

Keseluruhan proses pembebasan tanah rakyat ini berlangsung melalui :

kemudahan pemberian izin oleh birokrat, teror pejabat berupa tuduhan 'menyabot pembangunan', 'menghasut', 'subversi' bahkan tuduhan 'berindikasi G30S PKI' kepada rakyat yang menolak melepaskan haknya; tindakan pemutusan hubungan listrik oleh PLN dan air oleh PAM bagi pemilik tanah perkotaan, serta teror pihak militer dan preman yang dibayar pengusaha untuk menakut-nakuti rakyat yang tidak bersedia melepaskan haknya atas tanah.

Dengan cara demikian itu, para penguasa besar dapat menguasai lahan dengan beaya yang sangat murah bila dibandingkan dengan harga pasar saat itu. Selisih harga yang diberikan pengusaha kepada pemilik tanah dengan harga pasar saat itu yang seharusnya menjadi milik negara (kalau tanah tersebut semula milik negara) atau menjadi milik rakyat (bila tanah tersebut semula milik adat, milik kaum atau milik pribadi) telah berpindah tangan menjadi milik pengusaha besar perkebunan, pertambangan, kawasan industri, perumahan, lapangan golf dan sebagainya.. Melalui kolusi, seringkali harga pembebasan-paksa tanah yang hanya sebesar Rp 2,- atau Rp 50,- (untuk perkebunan) bisa meningkat menjadi Rp 250,- dalam penilaian jaminan untuk mendapatkan kredit di bank pemerintah.

Keuntungan lain yang seharusnya menjadi milik negara dan/atau milik rakyat adalah kandungan materi yang terdapat di atas dan di dalam tanah tersebut. Sebelum membangun perkebunan, tanah harus di bersihkan, kayu-kayu besar yang ada ditebang, digergaji dan di jual ke pasar dalam negeri atau ekspor tanpa pajak, karena perbuatan tersebut dilakukan atas nama 'land-clearing', bukan sebagai usaha hak pengusahaan hutan (HPH). Bagi penguasa pertambangan, setelah pembebasan tanah, semua bahan tambang yang ada dalam kandungan tanah tersebut yang nilainya sangat besar berpindah menjadi milik mereka.

Akibat tindakan demikian, terjadilah proses pemisahan rakyat dari tanah yang menjadi faktor produksi penunjang kehidupan mereka. Rakyat terlempar kepasar tenaga kerja, dan sandaran satu-satunya untuk kelangsungan hidup hanyalah memburuh yang pendapatannya jauh lebih rendah serta tak terjaminan kesinambungannya.

Adalah benar kesimpulan seorang peneliti LIPI, Onghokham yang mengatakan "kebanyakan negara-negara bekas jajahan sebenarnya meneruskan kebijakan-kebijakan negara kolonial dan Indonesia tidak merupakan kekecualian. .... Masyarakat pribumi pada dasarnya tidak mengakui hak milik pribadi kecuali hak milik raja (Jawa tradisional), pusaka dan clan (marga). Masalah hak milik atas tanah ini, menurut penulis merupakan masalah inti apakah pribumi akan mendapat bagian atau tidak dari ekonomi kapitalis.

Sambungan


Back

Lanjutan



(c) 2001 Webmaster