Halaman 3
Ketiga, pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum PDI-Perjuangan melihat dalam hal pemberantasan KKN yang sekaligus merupakan batu ujian dari keseriusan pemerintah untuk menegakan supremasi hukum masih berakhir sebagai wacana. Penuntasan kasus Soeharto memang mencatat kemajuan berarti, tetapi nilai kemajuan yang dicapai dihambat oleh pernyataan-pernyataan dini Presiden untuk menggunakan instrumen Politik yang dimilikinya, berupa pemberian ampun kepada Soeharto. Kami menyadari bahwa secara konstitusional Presiden, memiliki hak untuk itu. Hanya saja kecenderungan presiden mengintervensi secara politis semacam ini bisa dengan mudah melahirkan persepsi bahwa pemerintah tidak bersunuguh-sungguh. PDI Perjuangan menangkap, image semacam ini mulai mengental dalam masyarakat. Dan bisa dipastikan hal semacam ini akan semakin mempersulit usaha-usahaa untuk menegakan supremasi hukum.
PDI-I Perjuangan bukan saja mencatat kelambanan serius dalam menuntaskan KKN tetapi juga menangkap, pemerintah mulai terjebok ke dalam belitan praktek KKN yang sama. Kasus Bulogate dan penggunaan dana bantuan dari Sultan Brunei merupakan tanda-tanda awal yang membahayakan dan perlu mendapatkan koreksi serius. Fakta-fakta ini bertentangan dengan laporan tertulis Saudara Presiden yang menyatakan bahwa pemerintah secara konsisten dan konsekuen mengembangkan kebijaksanaan untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik dan bersih. Kita semua sama menyaldari bahwa good governance dan pemerintahan yang bersih merupakan syarat dasar bagi pemulihan krisis. Ia menjadi syarat bagi survival kita sebagai bangsa dan karenanya, adalah kewajiban politis dan uroral bagi kita semua, termasuk pemerintah untuk sungguh-sungguh mewujudkannya. PDI Perjuangan mencurigai, mulai merosotnya kepercayaan dunia usaha seperti yang sudah diindikasikan pada point kedua di atas merupakan respons negatif atas kelambanan pemerintah menyelesaikan kasus-kasus KKN dan bahkan mulai terjerembabnya pemerintah ke dalam kubangan yang sama.
Sementara itu, proses penyelesaian kasus HAM yang merupakan batu-ujian penting lainnya bagi tegaknya supremasi hukum juga masih terjebak pada kecenderungan yang sama, yakni terjebak ke dalam retorika yang terus diulangi, tetapi belum mendapatkan pemaknaan empiriknya. PDI-Perjuangan bahkan mencatat adanya kecenderungan ke arah diskriminasi dalam proses penyelesaian kasus HAM. Hal ini perlu mendakatkan perhatian lebih serius dari pemerintah karena bukan saja masa depan supremasi hukum kita sedang dipertaruhkan, tetapi juga bisa menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya ketidak-puasan masyarakat.
Keempat, integrasi nasional. Pada level individual PDI Perjuangan mencatat kuatnya komitmen Saudara Presiden pada persoalan integrasi bangsa. Tetapi PDI-Perjuangan belum melihat adanya kebijaksanaan yang jelas dan tegas dari pemerintah dalam menghadapi ancaman disintegrasi nasional yang semakin serius. Sejumlah kebijaksanaan memang dihasilkan. Sayangnya, ada kesan kontradiktif antara satu dan lainnya Saudara Presiden telah mengindentifikasi secara jeli sebab-sebab dari kecenderungan disintegrasi di sejumlah wilayah . Dan PDI Perjuangan sepakat atas analisis yang diberikan. Yang menjadi persoalan adalah, respons pada tingkat kebijaksanaan tidak menggambarkan adanya usaha-usaha serius untuk memecahkan sebab-sebab mendasar ini. Kampanye internasional yang dilakukan Saudara Presiden untuk mengisolasi persoalan Aceh dan Irian Jaya dari dunia internasional, diakui PDI-Perjuangan merupakan langkah politik strategis yang harus dilakukan. Tetapi pada saat yang bersamaan, penyelesaian internal justru bergerak ke arah sebaliknya. Dukungan politis dan finansial yang diberikan Presiden bagi terselenggaranya "kongres rakyat" dan diijinkannya pengibaran bendera Bintang Kejora di Irian Jaya, dalam kenyataannya justru sangat merugikan, karena telah semakin mendorong sebagian rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Ibu pertiwi. Sementara itu, substansi persoalan yang diidentifikasi pemerintah justru tidak banyak mendapat perhatian, seperti terlihat dari masih terkatung-katungnya kebijaksanaan otonomi khusus kepada daerah ini serta lambannya penanganan berbagai persoalan sosial mendesak.
Halaman 4