Halaman 4


Kasus Aceh juga mengungkapkan hal yang sama. Sejumlah langkah politik memang sudah dilakukan pemerintah, seperti persetujuan "Jeda kemanusiaan" yang hasil-hasil sementaranya sudah tampak, terutama dilihat dari aspek keamanan. Akan tetapi pendekatan kesejahteraan dan kultural yang juga menjadi agenda pemerintah belum tergarap dengan serius. Bantuan kemanusiaan yang dilakukan, dalam kenyataannya bukan saja melahirkan kontroversi politik karena sumber dan pengelolaannya keuangannya yang sarat dengan unsur KKN, tapi juga telah melahirkan persoalan tersendiri di lapangan karena jumlah kongkritnya yang sangat jauh dari yang diungkapkan. Sementara itu kebijaksanaan lebih mendasar ke arah pomberian otonomi khusus masih terkatung-katung.

Saudara Presiden memang sudah mengungkapkan rencananya untuk dapat mewujudkan kebijaksanaan otonomi khusus bagi dua daerah dalam tahun ini juga. Akan tetapi mengingat waktu yang sempitnya, PDI-Perjuangan perlu mengingatkan bahwa janji ini akan menjadi pemicu lebih lanjut dari kecenderungan disintegrasi jika gagal diwujudkan. Psikologi masyarakat di dua daerah ini sudah sampai pada fase untuk tidak mempercayai apapun yang diucapkan, tapi lebih menuntut tindakan kongkrit.

Kondisi ini, harus sungguh-sungguh dipahami oleh pemerintah. Karena jika tidak, potensi disintegrasi yang kini mencorong di mata kita, bisa berubah menjadi ancaman akut.

Kelima, disintegrasi sosial. Kasus Maluku dan Maluku Utara serta r plikasinya di sejumlah daerah disadari bersama sebagai ancaman serius pada gagasan ke-Indonesiaan yang kita miliki. PDI Perjuangan menyepakati kerisauan pemerintah tentang hal ini. Hilangnya solidaritas ke-Indonesiaan kita akan menjadi kubur politik bagi kita sebagai bangsa.

PDI Perjuangan mencatat secara serius, sejumlah langkah memang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan persoalan ini. Langkah paling akhir adalah pemberlakuan status darurat sipil untuk seluruh kawasan Maluku. Akan tetapi langkah-langkah tegas dan adil yang diharapkan mengikuti kebijaksanaan di atas masih belum terlihat jelas. PDI Perjuangan menyadari secara penuh kompleksitas dari persoalan yang ada di kawasan ini. Hanya saja kebijaksanaan untuk membiarkan pemecahan masalah dilakukan secara otonom oleh masyarakat seperti yang berulang-kali disampaikan Saudara Presiden merupakan sebuah kesalahan yang perlu dievaluasi kembali. PDI-Perjuangan perlu menggaris-bawahi bahwa perkembangan di Maluku bukan lagi persoalan "kerusuhan" akan tetapi telah mencapai fasenya sebagai "perang sipil" yang membutuhkan langkah-langkah yang tegas, adil dan segera dari pemerintah.

Keenam, pemberdayaan masyarakat dan ekonomi kerakyatan. PDI-Perjuangan menyambut positif perubahan paradigma berpikir yang dikembangkan oleh Saudara Presiden yang meletakan civil society pada pusat gravitasi sosial dan politik bangsa. Pemerintah, sebaliknya, berfungsi sebagai fasilitator guna mencapai sebuah situasi masyarakat yang mandiri dan mampu menyelesaikan berbagai persoalannya. Hanya saja perlu disampaikan bahwa situasi obyektif masyarakat juga mengharuskan pemerintah untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan diskriminatif yang bersifat positif bagi masyarakat lemah dan tidak berdaya. Hal ini, sekalipun sudah sangat sering disampaikan pemerintah dan juga dirumuskan dalam laporan tertulis Saudara Presiden, belum cukup jelas pada tingkat kebijaksanaan, apalagi aplikasinya. Dalam laporan tertulisnya Saudara Presiden memang mengungkapkan komitmen ke arah ini, akan tetapi PDI-Perjuangan melihat dengan sungguh-sungguh perwujudan komitmen ini ke dalam kerangka kebijaksanaan dan tindakan kongkrit masih sangat kabur. Agenda-agenda pembangunan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, langkah-langkah ke arah penguatan bidang pertanian serta sektor-sektor ekonomi kerakyatan lainnya, serta koperasi masih belum cukup tampak. Ini semuanya membutuhkan perhatian serius di masa yang akan datang.


Halaman 5




(c) 1996 - 2001 megaforpresident.org