INFORMASI DARI PAPPU PDI PERJUANGAN
                     Jl. Raya Lenteng Agung No. 99 . Jakarta - Selatan



Mengenang Peristiwa Saptu Kelabu

27 Juli




Related Subject

Misteri Tragedi Berdarah 27 Juli.
Sulit Mencari Dalangnya

Selasa, 27 Juli 1999
Media Indonesia

TRAGEDI berdarah 27 Juli 1996 masih misterius. Tidak ada pihak yang bertanggung jawab selain aparat keamanan menuding PRD (Partai Rakyat Demokratik) berada di balik peristiwa "Sabtu Kelabu" itu.

Feisal Tanjung selaku Panglima ABRI (sebutannya berubah menjadi Panglima TNI), sehari setelah tragedi itu, menjelaskan kemelut yang menyangkut PDI ditunggangi oleh oknum/golongan/kelompok yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan tindakan-tindakan anarki.

Syarwan Hamid selaku Kassospol ABRI (kini sebutannya berubah menjadi Kaster TNI) menjelaskan dari awal telah terlihat dalam setiap mimbar bebas di halaman Sekrtetariat DPP PDI di Jl Diponegoro No 58, Jakarta, Pusat, selalu ambil bagian kelompok luar yang menunggangi PDI. "Suasananya analogis dengan keadaan sebelum peristiwa G-30-S/PKI dulu," kata Syarwan.

Ketika itu PRD menjadi kambing hitam. Sejumlah pentolan PRD diciduk lalu dimejahijaukan. Ironisnya, Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan dijatuhi hukuman bukan karena kasus 27 Juli tapi mendirikan organisasi tanpa mencantumkan Pancasila sebagai asasnya.

Lantas, siapa sesungguhnya berada di balik tragedi itu? Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), kuasa hukum Megawati Soekarnoputri, sudah melaporkan Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid ke Puspom TNI karena diduga terlibat.

Feisal Tanjung menegaskan, selaku Pangab saat terjadi peristiwa itu, dirinya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sebab penyerbuan Kantor DPP PDI dilakukan orang PDI sendiri yang dipimpin Buttu Hutapea.

Syarwan Hamid juga membantah dirinya terlibat. Ia menegaskan sampai saat ini belum ada tuntutan secara resmi mengenai keterlibatannya dalam kasus 27 Juli 1996. "Tuntutan terhadap apa? Tidak, tidak ada yang menuntut. Begini saja, kalau ada yang mau menuntut saya, silakan tuntut," kata Syarwan.

Menurut Komnas HAM, tragedi itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 74 orang hilang tak tentu rimbanya. Tapi menurut keterangan resmi, kerusuhan itu mengakibatkan 22 bangunan dibakar, 91 kendaraan dibakar, 2 sepeda motor dibakar, 26 orang luka-luka, 2 orang meninggal dunia, 210 orang pelaku kerusuhan ditangkap.

Konflik internal

Kerusuhan 27 Juli itu tidak terlepas dari konflik internal PDI. Kelompok Soerjadi yang sepenuhnya mendapat dukungan eksternal menggulingkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri melalui Kongres Medan. Namun Megawati tetap mendapat dukungan arus bawah.

Konflik itu mencapai klimaks pada pengambialihan dengan kekerasan Kantor DPP PDI. Aparat keamanan dituding terlibat. Tapi Feisal mengatakan, "Yang menyerbu, ya, orang PDI sendiri di bawah pimpinan Bapak Buttu Hutapea."

Menurut Buttu, sekitar 200 Satgas PDI yang mengambil alih kantor itu. Ia menjelaskan, yang ditugasi DPP untuk merekrut Satgas itu adalah Alex Widya Siregar dan DPD PDI Jakarta pimpinan Lukman Mokoginta. Namun Mogoginta mengatakan pihaknya tidak tahu-menahu keberadaan Satgas tersebut.

Berikut kronologis tragedi berdarah 27 Juli 1996 itu:

06.20 WIB: Pendukung PDI Soerjadi mendatangi Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat. Di antaranya ratusan berbadan tegap dan berambut cepak. Mereka memakai kaus berwarna merah, serta mengenakan ikat kepala. Sebentar terjadi dialog, antara pendukung Soerjadi dan pendukung Megawati. Pendukung Megawati meminta agar kantor DPP PDI dinyatakan status-quo. Pihak PDI Soerjadi mengklaim mereka yang berhak. Perundingan gagal.

06.35 WIB: Massa PDI Soerjadi mulai melempari kantor DPP PDI dengan batu. Massa PDI Megawati membalas dengan benda sedapatnya di halaman kantor. Massa pendukung Megawati akhirnya terdesak, dan berlindung ke dalam kantor. Massa PDI Soerjadi menduduki gedung Jalan Diponegoro No.58, Jakarta Pusat.

08.00 WIB: Gedung kemudian diambil alih aparat keamanan. Dan, dinyatakan sebagai tempat tertutup. Polisi memasang tanda police line, dan gedung dijaga oleh PHH, pasukan antihuru-hara.

11.00 WIB: Ribuan massa terus mengalir. Para aktivis LSM dan mahasiswa menyelenggarakan mimbar bebas. Terjadi bentrokan massa dengan aparat keamanan.

13.00 WIB: Bentrokan makin meningkat. Aparat menambah kekuatan. Massa terdesak ke arah Jalan Salemba dan RSCM.

16.35 WIB: Militer memobilisasikan sejumlah panser dan truk tentara, bergerak dari Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba. Api mulai menjalar di sejumlah gedung.***



Tiga Tahun Tragedi 27 Juli
Empat Jenderal Harus Diadili

Selasa, 27 juli 1999
Jakarta, Buana

Empat jenderal purnawirawan, masing-masing Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Letjen (Purn) Syarwan Hamid, Mayjen (Purn) Sutiyoso, dan Letjen (Purn) Yogie SM didesak agar segera diadili. Desakan ini muncul dalam yel-yel dan spanduk yang dipasang dalam peringatan tiga tahun tragedi 27 Juli di depan markas PDI Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (27/7) pagi.

Ribuan massa PDI Perjuangan memadati kawasan itu sejak pagi hari. Setelah melakukan tabur bunga dan doa bersama, massa meneriakkan yel-yel agar para pejabat pemerintah Orde Baru itu segera diseret ke pengadilan, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam tragedi berdarah itu.

Untuk mengenang tragedi 27 Juli, ribuan massa PDI Perjuangan melakukan acara tabur bunga di bekas markas PDI, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Demi kelancaran acara ini, jalan dari arah Salemba ke Bundaran Hotel Indonesia ditutup. Di depan bekas markas PDI terdapat tujuh karangan bunga besar, persembahan dari keluarga besar Papua, Pondok Paguyuban Mega, Ikatan Alumni UI (Iluni), Perempuan Peduli Demokrasi, Posko Jl Surabaya, Posko Jl Cikini, dan Gabungan Gerakan Anti-Status Quo.

Selain karangan bunga, terbentang pula spanduk-spanduk besar. Di antaranya bertuliskan, 'Posko Sumut Tuntut Pertanggungjawaban Politik Soeharto, Feisal Tandjung, Syarwan Hamid, Yogie SM, Sutiyoso, Soerjadi, dan Buttu Hutapea atas Peristiwa 27 Juli'. Dari kawasan ini massa lalu bergerak menuju Istora Senayan, untuk menghadiri pidato politik Megawati.

Desak Habibie

Keempat jenderal purnawirawan itu sangat layak untuk diperiksa agar mereka bisa menjernihkan kasus tragedi 27 Juli. Selain itu, para pelaku politis dan perekayasa tregedi berdarah itu sangat layak untuk diperiksa dan diadili, sehingga persoalan yang mengambang selama tiga tahun terakhir ini bisa selesai. Pendapat ini disampaikan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Budyatna, dan bekas Kassospol ABRI, Letjen (Purn) Bambang Triantoro, di Jakarta, Selasa (27/7) pagi, menanggapi tiga tahun tragedi 27 Juli yang masih diselimuti misteri.

"Tragedi ini pasti bisa diselesaikan lewat pengadilan, apalagi jika Megawati terpilih menjadi presiden,'' tandas Budyatna, sambil menjelaskan bahwa peradilan terhadap Syarwan, Feisal, Yogie, dan Sutiyoso semata-mata bukan untuk menyalahkan mereka, tapi untuk menjernihkan persoalan yang sesungguhnya.

Sementara itu, Bambang Triantoro menyebutkan, peradilan terhadap Syarwan, Feisal, Sutiyoso, dan Yogie bisa saja dilakukan. Hanya saja, selagi Habibie masih berkuasa, peradilan itu tak mungkin dilakukan. Soalnya, Habibie adalah kelanjutan rezim Orde Baru, yang notabene bertanggung jawab terhadap tragedi 27 Juli ini. ''Mereka memang bisa diadili. Tapi, yang lebih penting lagi, pemerintahan reformis mendatang harus menyiapkan lembaga-lembaga peradilan yang betul-betul independen, yang lepas dari kekuatan eksekutif. Itu yang lebih urgen,'' kata Bambang.

Diakui Bambang, pengusutan terhadap pelaku kasus 27 Juli tak mungkin dielakkan. Pengusutannya bisa dimulai dari Syarwan, Feisal, Yogie, dan Sutiyoso. Catatannya, kata Bambang, asal yang menjadi presiden betul-betul orang yang reformis. "Seharusnya, PDI Perjuangan selaku pemenang Pemilu 1999 betul-betul mengusahakannya,'' ujar Bambang.

Di tempat terpisah, Ketua PDI Perjuangan, Suparlan, menandaskan, pihaknya akan terus mendesak proses hukum tragedi 27 Juli. Peristiwa itu tidak boleh dipetieskan. "Dengan momentum ini, kita mendesak Presiden Habibie agar memerintahkan aparatnya segera memproses peristiwa tiga tahun lalu itu," ujarnya.

Di lain pihak, anggota TPDI Kaspudin Nor menandaskan, sebagai penerima kuasa dari PDI Perjuangan, pihaknya akan terus melakukan upaya hukum atas kasus 27 Juli 1996. Menurutnya, lanjutan proses hukum kasus 27 Juli tidak dilandasai siapa yang akan mendominasi pemerintahan. "Jangan sampai peristiwa ini dijadikan alat untuk balas dendam," ujarnya.***



Panitia Peringatan 27 Juli Minta
27 Juli Jadi Tonggak Reformasi

detikcom, Jakarta. Ketua panitia peringatan 27 Juli dari PDI Perjuangan, Jacob Nuwawea meminta agar tanggal 27 Juli 1996 dijadikan tonggak reformasi. Tuntutan itu lalu disambut hadirin dengan yel-yel Hidup Mega, Hidup PDI Perjuangan.

Itulah kata sambutan yang disampaikan Jacob menjelang pidato utama oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (27/7/1999) sekitar pukul 11.30 WIB.

Apa yang dikatakan Jacob itu merupakan satu dari empat poin penting. Tiga poin lainnya adalah, bahwa peristiwa 27 Juli 1996 perlu diperingati karena untuk meluruskan sejarah , menegakkan hukum dan keadilan, dan pelakunya perlu diusut tuntas. "Kebenaran sejarah pasti akan terungkap," katanya disambut dengan pekikan gantung Syarwan, gantung Soerjadi (mantan ketua DPP PDI).

Tuntutan untuk menjadikan tanggal 27 Juli sebagai tonggak reformasi memang sah-sah saja. Tapi selama ini orang menilai reformasi identik dengan kejatuhan mantan Presiden Soeharto yang dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia yang puncaknya terjadi 21 Mei 1998. Tapi apapun bisa mungkin terjadi, karena PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999 dan berpeluang besar menduduki kursi pemerintahan mendatang.

Selain Jacob, pidato juga dilakukan Ketua DPD PDIP DKI jakarta Roy BB Janis. Dalam pidatonya, mereka memulainya dengan menyebut demikian, "Kepada yang terhormat Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan calon Presiden RI". Tak pelak ucapan itu langsung disambut sorak teriak massa.

Menurut Jacob, acara ini dipersiapkan hanya lima hari. "Wajar kalau masih banyak kekurangan," katanya. Yang pasti, peristiwa 27 Juli katanya telah melahirkan kesadaran baru tekad masyarakat untuk mempertahan- kan kedaulatan rakyat dan melahirkan kesadaran bahwa sistem yang ada selama ini tak benar dan harus diperbaiki sesuai dengan konstitusi.

Acara ini juga dimeriahkan oleh paduan suara puluhan mahasiswa Universitas Kristen Indonesia. Mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan lagu Gebyar- gebyar karya Gombloh.

Massa yang datang bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari luar kota seperti dari Tasikmalaya, Garut, Lampung dan lain-lain. Tak ketinggalan penjaja pernik atribut PDI termasuk kaos pun berseliweran.

Hak Cipta © detikcom Digital Life 1999



Selasa, 27 Juli 1999, 09:55 WIB

Massa PDI-P Tabur Bunga Peringati Peristiwa 27 Juli 1996

Jakarta, Antara

Ratusan massa PDI Perjuangan mengadakan tabur bunga dan memanjatkan doa bersama untuk mengenang para korban kekerasan peristiwa 27 Juli 1996 sekaligus agar kegiatan "perebutan" kantor parpol itu diusut tuntas.

Di Jalan Diponegoro, Jakpus, Selasa dini hari, gulungan kain putih diterangi nyala lilin, dibentangkan perlambang kepastian datangnya kebenaran. Kain itu dibentang mengelilingi para simpatisan yang sebagian adalah saksi dan korban kekerasan aksi itu.

Karangan bunga tanda turut mengenang para korban dan spanduk yang dipasang di pagar bangunan eks kantor pusat DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri hasil Munas Jakarta 1993, juga mengiringi kegiatan para simpatisan itu.

"Ini adalah tindakan spontanitas kami tanpa arahan dari DPP ataupun DPD dan pesannya adalah peristiwa 27 Juli ini bukan semata-mata milik PDI Perjuangan saja. Kita harus bangkit menegakkan kebenaran," kata penggagas acara itu, Pujo Nugroho.

Bersamaan dengan waktu yang menunjukkan pukul 00.00 WIB,--acara itu dilangsungkan sekitar 1,5 jam--Jalan Diponegoro dari arah bioskop Megaria ditutup polisi dari Polsek Menteng dan mereka turut menjaga kekhidmatan acara yang berintikan pembacaan doa itu.

Peristiwa yang menjadi salah satu lembaran hitam sejarah politik nasional itu merupakan akhir dari kegiatan mimbar bebas dan aksi damai PDI (saat itu belum ditambahi "perjuangan") pimpinan Megawati di seantero Jakarta sebulan sebelumnya.

Lempar batu

Salah seorang saksi mata peristiwa pendudukan kantor PDI Mega oleh massa yang disebutkan sebagai PDI Surjadi, Ahmad Warsid, mengisahkan, kejadiannya dimulai sekitar pukul 06.00 WIB dengan tindakan lempar-melempar batu.

Massa yang menyerbu kantor mereka itu, katanya, terbagi menjadi dua golongan, yang berfisik kekar dan berambut cepak serta yang berpenampilan biasa tetapi beraksi secara cekatan.

"Telur untuk dimakan masih kami kupas dan kami tidak menduga sama sekali dan sebagian besar teman telah pulang saat serbuan itu terjadi," katanya.

Gempuran demi gempuran di pintu gerbang dilakukan ratusan massa berseragam PDI Kongres Medan pimpinan Suryadi hasil Kongres Medan, Februari 1996, serta berikat kepala, menyebabkann roboh pintu itu, katanya.

Kemudian, kata Ahmad Warsid, massa dari rombongan lain yang dipimpin pejabat teras PDI hasil Kongres Medan itu merangsek masuk setelah massa pendahulunya menembakkan gas air mata ke arah dalam gedung.

"Kami lalu melepas baju untuk memberikan identitas. Kalau tidak ditembaki gas air mata mungkin mereka kurang berhasil, alhasil antara enam dan delapan kawan kami meninggal terinjak-injak," katanya menguraikan.

Sebagai buntut peristiwa itu, terjadilah kerusuhan di Jakarta dan hingga kini para pejabat yang berkuasa saat itu --terutama di bidang keamanan-- dianggap bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu.




Mega Pidato Tanpa Teks:

Pilih Presiden yang Anti Kekerasan
Reporter Sigit Widodo

detikcom, Jakarta. Megawati memang tak lagi diam. Bahkan di depan massanya, Ketua Umum PDI Perjuangan itu meyampaikan pidato tanpa teks dan mengingatkan pada anggotanya agar di SU MPR nanti memilih Presiden yang anti kekerasan.

Pidato tanpa teks itu, diucapkan dengan sangat lancar di Istora Senayan Jakarta, Selasa (27/7/1999) tepat pukul 11.40 WIB. Massa khidmad mendengar pidato politik Megawati, dan semuanya berdiri.

Pidato Mega diawali dengan mengatakan bahwa tiga tahun yang lalu, pada 27 Juli 1996, PDI diserang dengan cara-cara yang tidak berbudaya. Akibatnya, korban berjatuhan diantara warga PDI Perjuangan. "Dan peristiwa itu sekarang sudah diperingati untuk tahun ketiga," katanya.

"Jika dulu pada tahun 1996 kita merasakan keprihatian yang menumpuk di dada warga PDI perjuangan, saat itu saya sebagai ketua umum terpilih mengatakan agar warga PDI Perjuangan tetap tabah dan tegar untuk meneruskan perjuangan anti kekerasan," kata Mega.

Lalu warga PDI Perjuangan melakukan rapat-rapat perjuangan dengan disiplin dengan cinta damai dan anti kekerasan. "Inilah yang harus digaungkan ke mana-mana. Hingga tahun 1997 dan 1998 kita agak sedikit bernapas. Dan hari ini alhamdulillah kita bisa memperingati dengan khusuk dan perjuangan anti kekerasan bisa mebawa kita ke jalan yang benar."

Tentang Pemilu, menurut Mega, pihaknya menilai sudah berjalan tertib dan damai. "Tapi perjuangan belum selesai. Perjuangan harus dilanjutkan dengan tetap berprinsip perjuangan anti kekerasan. Satukan langkah dan saling bergandengan tangan tidak hanya dengan PDI Perjuangan, tapi dengan sluruh rakyat Indonesia," pintanya.

Oleh karena itu, Mega kepada seluruh jajaran PDI Perjuangan menginstruksikan agar terus bekerja dengan penuh semangat, karena masih harus menghadapi peristiwa yang penting yakni Sidang Umum MPR. "Dan yakinlah bahwa sidang umum MPR merupakan tarikan napas panjang dari aspirasi rakyat," katanya.

Menurut Mega, dalam SU MPR itu PDI Perjuangan harus menunjukkan bahwa bangsa adalah bangsa yang berbudaya. Dan SU MPR bukan sekadar memilih Presiden, tapi harus menjadi arena untuk menunjukkan inilah bangsa Indonesia. "Maka pilihlah pemimpin dengan baik. Pililihlah presiden yang anti kekerasan!"

Sebelum mengakhiri pidato pilitiknya, sekali lagi Mega mengatakan, bahwa dia menekankan agar seluruh jajaran dan warga PDI Perjuangan tetap sabar dan dengan penuh keyakinan menyambut masa datang. "Insya Allah fajar di timur akan menyingsing. Rapatkan barisan, satukan langkah menuju Indonesia yang merdeka," katanya.

"Sekian, aslamu'alaikum warrahmatullahi wabarokattuh. Merdeka!" katanya yang disambut yel-yel massa PDI Perjuangan.

Sebelum pidato, Ketua DPD PDI Jakarta Roy BB Janis berkali-kali teriak Hidup Mega yang disambut dengan Yes. Lalu ditanya, apakah Mega Yes atau Mega Presiden. "Presiden..." jawab warga. Lalu, mereka pun akhirnya setiap ada ucapan Hidup Mega ditimpali Mega Presiden.

Setelah sambutan Mega itu, acara pun ditutup dengan doa. Lalu, berangsur massa PDI Perjuangan meninggalkan Istora Senayan. Usai acara, massa pun konvoi di jalanan Jakarta, sebagai bagian dari perayaan kemenangan pemilu PDI Perjuangan.

Dalam acara itu, pengamanan peringatan 27 Juli di Istora termasuk rapi. Dan ini tak lepas dari peran Satgas PDI Perjuangan yang membantu tugas kepolisian. Satgas yang berbaju hitam. Para satgas itu sempat menangkap seorang pencopet yang sedang beraksi.

Hak Cipta © detikcom Digital Life 1999



Selasa, 27 Juli 1999, 11:35 WIB

Megawati Hadiri Peringatan 27 Juli

Jakarta, Antara

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menghadiri peringatan 27 Juli bersama ribuan massanya di Istora Senayan, Jakarta, Selasa.

Megawati tiba di arena bulu tangkis itu pada pukul 10.55 WIB dengan mengenakan baju dan rok merah dilapisi brokat hitam, turun dari mobil abu-abu gelap metalik, dengan raut wajah tanpa senyum.

Tampak juga para pengurus DPP PDI Perjuangan, pengurus DPD PDI dari berbagai daerah, dan tamu undangan dari sejumlah kedutaan besar.

Dalam susunan acara yang disampaikan Ketua Panitia Jacob Nuwawea, Megawati akan menyampaikan pidato politik.

Peringatan tiga tahun peristiwa 27 Juli itu juga dihiasi dengan pembacaan tahlilan mengenang para korban yang meninggal atau hilang dari peristiwa berdarah itu.

Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 meletus setelah warga PDI pro Soerjadi hasil kongres Medan 20-22 Juni 1999 menyerang Sekretariat DPP PDI Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai warga PDI pro Megawati.

Pengambilalihan kantor Sekretariat DPP PDI dengan cara kekerasan ini menimbulkan kerusuhan massa di ibukota berupa aksi pembakaran kantor pemerintahan dan swasta, yang juga menimbulkan korban jiwa.

Sementara itu, sejak Selasa pagi ratusan massa pendukung Megawati dari berbagai wilayah tanah air melakukan tabur bunga dan berdoa di depan bekas gedung DPP PDI di jalan Diponegoro. Berganti-ganti, ratusan orang menaburkan bunga di depan gedung tersebut sehingga sempat membuat jalan Diponegoro terpaksa ditutup sejak pagi hingga siang.