INFORMASI DARI PAPPU PDI PERJUANGAN
                     Jl. Raya Lenteng Agung No. 99 . Jakarta - Selatan



Mengenang Peristiwa Saptu Kelabu

27 Juli




Related Subject

Komentar PDI Tentang Peristiwa 27 Juli

Fatimah:
Ibu Megawati Bukan Orang Pendendam


Selasa, 27 Juli 1999
Jakarta, Pembaruan


Anggota Penasihat DPP PDI, Fatimah Achmad menyatakan tidak yakin Megawati Soekarnoputri akan bertindak terlalu jauh dengan membawa kasus kerusuhan 27 Juli 1996 ke pengadilan, apabila dalam SU MPR mendatang berhasil terpilih menjadi Presiden RI. Namun Ketua Umum PDI Budi Hardjono berpendapat lebih baik jika kasus tersebut diselesaikan di pengadilan.

''Saya merasa tidak sejauh itu, karena Ibu Megawati bukan orang pendendam dan saya kira dia juga akan arief untuk membaca situasi yang terjadi tanggal 27 Juli 1996 tersebut,'' ujar Fatimah Achmad, menjawab Pembaruan Senin (26/7) di Jakarta.

Fatimah yang ketika terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 menjabat sebagai salah satu Ketua DPP PDI, diminta komentarnya sehubungan peringatan tepat 3 tahun kasus tersebut dan hari ini diperingati secara khidmat oleh PDI Perjuangan selaku partai politik yang paling terkait dengan peristiwa berdarah itu.

Fatimah mengatakan, kalau Megawati Soekarnoputri berhasil terpilih menjadi presiden, maka ia seharusnya bisa mempersatukan segala potensi yang ada di negeri ini sekecil apa pun bentuk potensi tersebut.

Fatimah juga membantah bahwa dirinya terlibat sebagai aktor yang merekayasa kasus kerusuhan 27 Juli. Menurutnya harus diklarifikasi bahwa pada hari itu terjadi dua peristiwa penting. Yakni pagi harinya adalah peristiwa pengambilalihan kantor DPP PDI dan diserahkan kepada polisi namun tidak terjadi korban. Pada sore harinya, terjadi kasus bakar-bakaran di sekitar Jl Salemba Raya hingga menimbulkan korban jiwa.

''Jadi pada sore harinya, kita tidak tahu menahu apa yang terjadi, karena peristiwa pagi hari sudah selesai dan tidak timbul masalah yang berarti,'' katanya.

Fatimah menyatakan tidak tahu-menahu siapa yang harus bertanggungjawab pada peristiwa kerusuhan 27 Juli tersebut hingga menimbulkan korban jiwa. ''Pengurus PDI hanya bertanggungjawab pada pengambilalihan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro, karena hal itu merupakan keputusan Konggres Medan,'' katanya.

Fatimah juga tidak terkejut menyaksikan kemenangan PDI Perjuangan pada pemilu 7 Juni 1999. Menurutnya, kemenangan itu karena didukung dua faktor besar yaitu faktor karismatik Megawati yang diperoleh dari ayahnya Bung Karno dan faktor kejenuhan masyarakat yang selama ini sudah bosan dengan rekayasa-rekayasa politik terutama saat pelaksanaan pemilu.

Sementara itu, Ketua Umum DPP PDI Budi Hardjono yang juga dimintai komentarnya secara terpisah mengatakan kepada Pembaruan, sangat setuju jika kasus kerusuhan 27 Juli 1996 dibawa ke pengadilan untuk mendapat pembuktian hukum yang tuntas.

''Karena masalah ini telah menjadi sengketa tuntut-menuntut, maka jalan yang terbaik adalah dibawa ke pengadilan dan buktikan siapa pelakunya,'' tandas Budi.

Namun katanya, pengajuan ke pengadilan itu tentunya tetap mengacu kepada rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga telah meneliti kasus tersebut.

Peristiwa 27 Juli katanya, tidak hanya terjadi di Jl. Diponegoro (kompleks kantor DPP PDI), tetapi di Jl. Salemba Raya dan Jl. Matraman dengan membuat kerusuhan. ''Siapa yang mengatur/merekayasa kasus ini, harus dibuktikan melalui pengadilan,'' ujar Budi singkat.***

Megawati Serukan Perjuangan Antikekerasan


Rabu, 28 Juli 1999
Jakarta, Kompas

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada pengikutnya agar melanjutkan perjuangan dengan prinsip antikekerasan. Ia mengajak warga PDI Perjuangan menyatukan langkah dan bergandengan tangan, bukan saja dengan sesama warga partai itu, tetapi juga dengan seluruh rakyat yang menginginkan perubahan. "Saya tahu warga PDI Perjuangan dengan penuh semangat tetapi penuh kesabaran terus menunggu-nunggu. Sidang Umum MPR masih merupakan tarikan napas panjang aspirasi rakyat. Saya katakan dengan tawakal dan dengan keyakinan, Insya Allah, fajar di timur akan menyingsing," kata Megawati di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (27/7), dalam pidato peringatan peristiwa berdarah penyerbuan Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tiga tahun lalu.

Peristiwa 27 Juli 1996 itu sampai saat ini masih gelap, termasuk dalam jumlah korban tewas saat penyerbuan ke kantor DPP PDI yang saat itu dikuasai oleh kubu Megawati. Pernyataan resmi menyebutkan, empat orang tewas, namun versi lain menyebutkan jumlah 23 orang. Aparat kepolisian sampai saat ini belum menangkap satu orang pun tersangka, meski beberapa tokoh PDI pro-Soerjadi secara terang-terangan menyatakan merekalah yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.

Sebelum berpidato, pengunjung yang menyesaki Istora Senayan melantunkan shalawat badar. Di tengah acara, massa yang hadir juga menyanyikan secara bersama lagu-lagu perjuangan. Bendera-bendera raksasa dan atribut lainnya, melambai-lambai mengikuti irama lagu. Namun ketika Mega akan berpidato, semua secara tertib menurunkan atributnya. Massa yang jumlahnya sekitar belasan ribu itu juga secara tertib mematuhi aturan untuk tidak merokok di dalam Istora Senayan.

Dalam pidatonya, Megawati sama sekali tidak menyinggung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa berdarah 27 Juli itu. Ia juga tidak menyerukan tuntutan agar pelaku peristiwa itu diadili. Seruan agar tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa 27 Juli diadili hanya disampaikan Ketua Panitia Jakob Nuwa-Wea. Jakob menyatakan, tokoh-tokoh peristiwa 27 Juli itu kini masih berada di pemerintahan, termasuk di antaranya Budi Hardjono dan Panangian Siregar.

Pesan untuk MPR

Megawati dalam kesempatan itu mengingatkan agar dalam Sidang Umum MPR mendatang tokoh-tokoh politik bisa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan bisa memilih pemimpin yang baik.

"Saya imbau seluruh kawan-kawan yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, yakinilah bahwa dalam Sidang Umum MPR kita harus menunjukkan kembali bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang berbudaya. Tanpa itu tidak ada artinya meski Sidang Umum MPR akan memilih presiden. Dalam Sidang Umum MPR harus ditunjukkan inilah bangsa Indonesia yang akan menuju masa depan. Pilihlah pemimpin yang baik. Inilah hakikat 27 Juli, bahwa antikekerasan itulah yang harus dilakukan," tegas Megawati yang disambut tepukan gemuruh.

Megawati mengemukakan, penyerbuan kantor DPP PDI yang terjadi tiga tahun lalu merupakan perbuatan yang tidak berbudaya, yang mengakibatkan jatuhnya korban warga PDI Perjuangan.

Pada waktu itu, kata Megawati, ia meminta kepada warga PDI Perjuangan untuk tetap tabah dan berjuang dengan disiplin dan antikekerasan. Perjuangan di Bumi Indonesia, kata Megawati, hanya bisa dilakukan dengan rasa cinta damai dan antikekerasan. "Makna antikekerasan itulah yang bisa tetap membawa kita ke jalan yang benar," katanya.

Aksi spontan

Meski peringatan peristiwa berdarah 27 Juli secara resmi diselenggarakan di Istora Senayan, tetapi secara spontan ribuan warga masyarakat dan simpatisan PDI Perjuangan secara bergelombang mendatangi bekas Kantor DPP PDI Diponegoro yang hingga kini masih dibiarkan terbengkalai dan ditutupi seng biru setinggi dua meter. Selasa dinihari, ratusan warga PDI Perjuangan bersama korban peristiwa 27 Juli membentangkan gulungan kain putih yang diterangi nyala lilin, disusul acara tabur bunga.

Siang harinya, ratusan mahasiswa dan warga simpatisan PDI Perjuangan mengadakan aksi jalan kaki melalui Jalan Diponegoro menuju Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyatakan dukungan kepada Megawati. Mereka ada yang menamakan diri Barisan Pendukung Megawati (BPM), Kesatuan Pendukung Megawati (KPM), Forum Perjuangan Rakyat, tetapi juga ada kesatuan aksi yang sudah sering turun ke jalan seperti Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (Kobar), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI).

Dengan membawa bendera-bendera bergambar Megawati, di sepanjang jalan yang dilalui mereka meneriakkan yel-yel ''Megawati Presiden atau revolusi''. Sekitar 200 meter dari Gedung KPU mereka dihadang oleh barikade aparat kepolisian yang diperlengkapi kendaraan berlapis baja penyemprot air mengandung zat kimia. Pengunjuk rasa terus berjalan sampai mendekati garis pembatas polisi. Anggota KPU Andi Malarangeng menyediakan diri berdialog dengan demonstran di tengah jalan.

Kepada KPU, para pengunjuk rasa menuntut agar Golkar didiskualifikasi dan dinyatakan sebagai partai terlarang karena kecurangan-kecurangan yang telah dilakukannya. Namun Malarangeng menjawab, itu bukan wewenang KPU.

Siap tanggung jawab

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan siap mempertanggungjawabkan tindakannya berkaitan dengan peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996. Saat itu, Sutiyoso memangku jabatan selaku Panglima Kodam Jaya berpangkat Mayor Jenderal TNI.

Hal tersebut diungkapkan Gubernur DKI yang kini berpangkat Letnan Jenderal TNI di Jakarta, Selasa. ''Saya siap tentu saja, kenapa tidak?'' ujarnya. Sebelumnya, Sutiyoso menolak menjawab pertanyaan seputar peristiwa 27 Juli dengan alasan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Namun setelah dikejar pertanyaan bahwa dia juga dianggap bertanggung jawab, Sutiyoso mengatakan, hal itu disebabkan saat itu ia menjabat Panglima Kodam Jaya. Dijelaskan, selaku panglima, dia berkewajiban melokalisir tempat kejadian agar tidak meluas. ''Itu sudah saya lakukan sebagai panglima,'' ujarnya. Menurut Sutiyoso, bila tindakan tersebut tidak diambil, maka dipastikan kerugian material dan korban jiwa akan bertambah besar.

Ditanya mengapa dia mengenakan baju sipil di sekitar lokasi saat kejadian, Sutiyoso menjawab, hal itu disebabkan peristiwanya terjadi pada hari Sabtu yang merupakan hari libur. Di samping itu, kerusuhan yang terjadi begitu cepat menjadi kritis.

''Sebagai panglima, aku harus datang ke lokasi. Itu hari libur. Apa nggak boleh pakai pakaian sipil? Semua orang juga tahu saya panglima, meski pakai baju apa. Semua staf saya juga pakai pakaian sipil waktu itu, kecuali yang memang punya jadwal bertugas di lapangan,'' ujarnya.

Semangat reformasi

Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Dili, Timor Timur, Selasa, menyatakan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri harus tetap memperjuangkan semangat reformasi. Insiden 27 Juli tiga tahun lalu menjadi inspirasi penting bagaimana PDI Perjuangan melangkah ke depan.

Hal itu disampaikan Gus Dur ketika menjawab wartawan mengenai insiden 27 Juli 1996. Gus Dur berada dua hari di Dili untuk melihat dari dekat perkembangan situasi keamanan di Timtim menjelang penentuan pendapat.
''Penyerbuan itu sebaiknya ditanyakan kepada ABRI (TNI). Itu pengalaman demokrasi kita di masa lalu yang kurang baik. Tetapi Mbak Mega harus tetap memperjuangkan reformasi itu,'' katanya.***

Mega Mulai Lantang Berbicara

Ingatkan Wakil Rakyat,
Minta Massanya Hindarkan Kekerasan


Rabu, 28 Juli 1999
Jakarta, Jawa Pos.-

Calon presiden PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mulai lantang berbicara. Setelah dinilai terlalu diam, dalam peringatan tragedi 27 Juli di Istora Senayan Jakarta kemarin, ia mengingatkan para wakil rakyat di MPR agar nanti memilih pemimpin yang benar-benar mewakili suasana hati nurani rakyat.

Dia memang tidak menyebut siapa sosok yang dianggap mewakili rakyat tersebut. Namun, dari pernyataan para tokoh PDI Perjuangan selama ini, partai berlambang kepala banteng berbibir putih tersebut selalu menyebut Megawatilah yang diinginkan rakyat. Mereka mengklaim, PDI Perjuangan menang dalam pemilu lalu karena rakyat ingin Mega menjadi presiden.

Acara peringatan tragedi penyerbuan kantor DPP PDI di zaman pemerintahan Soeharto itu tak hanya berlangsung di Istora Senayan. Sebelumnya, ribuan massa Mega mengadakan tabur bunga di depan kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro.

Di tempat inilah, tragedi yang dikenal dengan sebutan Sabtu Kelabu itu terjadi. Tragedi di tahun 1996 itu menyebabkan sejumlah orang hilang dan ratusan luka-luka. Aksi tabur bunga massa PDI Perjuangan itu lantas dilanjutkan dengan aksi jalan kaki menuju Istora Senayan, tempat acara puncak berlangsung.

Dalam sambutannya tanpa teks itu, Mega mengatakan bahwa sudah lama rakyat dibuat menderita karena aspirasinya tak pernah didengar oleh wakil rakyat di MPR. Padahal, lanjut dia, rakyat menginginkan terjadi perubahan kepemimpinan nasional.

Aspirasi rakyat yang menginginkan perubahan kepemimpinan itu pada akhirnya sulit terlaksana karena para wakil rakyat tak pernah mendengarkan suara dari bawah. ''Mental seperti itu harus diubah dalam SU MPR mendatang,'' tandas Mega menggebu-gebu.

Dalam kaitan itu, putri Bung Karno ini lantas mengajak warganya untuk menghela napas dalam-dalam, merapatkan barisan, menyatukan langkah menjelang SU MPR mendatang. SU MPR, lanjut Mega, merupakan momen paling penting dalam menentukan arah bangsa di kemudian hari.

''Tapi, yakinlah Saudara-saudaraku bahwa kita dalam SU MPR mendatang kita menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudi dalam memilih pemimpinnya. Itulah yang seharusnya ditunjukkan. Insya Allah, fajar di timur akan menyingsing,'' ujar Mega berapi-api, disambut yel-yel ''Hidup Mega, Mega Presiden'' oleh massanya.

Mega yang kemarin didampingi sejumlah pengurus DPP PDI Perjuangan tampak ceria. Ia mengenakan baju lengan panjang warna merah, rok hitam dilengkapi kerudung. Mega hadir di Istora Senayan sekitar pukul 11.00 WIB dengan pengawalan superketat Satgas PDI Perjuangan. Sebelumnya, sejak pagi, massa PDI Perjuangan tampak bersila khusyuk melakukan tahlil mengenang kasus 27 Juli.

Dalam sambutannya sekitar 10 menit itu, Mega mengajak para simpatisannya memegang teguh sikap PDI Perjuangan yang antikekerasan. Sebab, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. ''Perjuangan yang ditegakkan PDI Perjuangan selama ini senantiasa dilandasi cinta kasih. Inilah yang harus dipegang warga PDI Perjuangan,'' tandasnya.

Mega lalu mencontohkan kekerasan yang dilakukan pemerintah dalam tragedi 27 Juli. Menurut dia, tragedi nasional itu merupakan tindakan tidak beradab terhadap warga PDI Perjuangan. Namun, dengan bekal keyakinan dan antikekerasan, PDI Perjuangan tetap eksis. ''Keyakinan yang mantap dan prinsip antikekerasan itu yang harus kita pegang teguh,'' pintanya.

Sayang, acara dicemari para pencopet yang memanfaatkan kesempatan di luar gedung Istora. Sedikitnya, tiga pencopet ditangkap. Massa yang emosional langsung menghajar ramai-ramai pencopet itu hingga babak belur. Untung, Satgas PDI Perjuangan bertindak sigap mengamankan mereka, lalu menyerahkannya ke polisi. Karena situasi di luar gedung lebih ramai, fotografer dan kemerawan pun berlarian untuk mengabadikan kejadian itu.

Acara peringatan 27 Juli kemarin juga sempat mengecewakan para wartawan. Banyak kuli disket yang tidak diperbolehkan masuk ke ruang VIP. Protes pun mengalir. Namun, satgas partai berlambang kepala banteng itu tak menanggapinya. Lantas, para wartawan itu melakukan aksi duduk-duduk di luar pintu VIP sampai selesai acara.


TABUR BUNGA

Sementara itu, di Jalan Diponegoro ratusan massa PDI Perjuangan melakukan upacara tabur bunga. Acara itu berlangsung secara bergilir seperti air mengalir. Panitia upacara tabur bunga ini membuka kesempatan bagi pendukung partai berlambang banteng ini selama 24 jam penuh.

Mereka menyediakan satgas selama 24 jam untuk menjaga para tamu yang ingin melakukan proses itu. Mereka inilah yang mengatur lalu lintas yang cukup padat di kawasan Jl Diponegoro, tempat kantor PDI lama.

Sejak pukul 20.00 WIB Senin lalu hingga pukul 20.00 WIB kemarin (Selasa, Red), acara tabur bunga dibuka untuk umum. Setiap anggota masyarakat yang ingin memberikan simpatinya terhadap peristiwa 27 Juli yang naas itu bisa langsung melakukan upacara tabur bunga.

Bahkan, tengah malam kemarin, sempat diadakan tahlilan di sepanjang trotoar jalan. Mereka melakukan doa bersama untuk para korban 27 Juli yang meninggal. Para pendukung Mega yang datang melakukan tabur bunga, menurut salah seorang panitia Bonar Sinarat, berasal dari seluruh pelosok Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka sudah datang sejak Senin malam dan saling bergantian melakukan upacara dan doa bersama.

Bekas kantor DPP PDI yang kini pagarnya sedang diperbaiki itu dipenuhi spanduk dan karangan bunga. Bunyi spanduk-spanduk itu, antara lain, Mega Presiden Pilihan rakyat; Selamat datang Presiden ke IV, Megawati Soekarnoputri; Semangat 27 Juli Bukti Rakyat Anti Penindasan dan Haus Keadilan; Soerjadi dan Aktor-Aktor Penyerbuan Harus Diadili; 27 Juli Belum Selesai secara Hukum.

Di kantor itu, ada juga simpatisan yang melakukan orasi sambil berdiri di tembok. Lalu membacakan puisi sambil lehernya terikat tali. Lambang tuntutan agar pelaku penyerbuan 27 Juli harus diadili.

Kelompok Posko Pemuda dan Mahasiswa Jalan Diponegoro 58 yang ikut melakukan upacara tabur bunga sekitar pukul 09.00 kemarin menyatakan, misi mereka tidak sekadar tabur bunga. Salah satu juru bicaranya, Guntur Siregar, menjelaskan bahwa mereka punya tuntutan yang lebih mendasar.

Mereka minta agar dalang politik pembantaian 27 Juli, yakni Soeharto, Feisal Tanjung, Syarwan Hamid, Yogie S.M., Soerjadi, Fatimah Achmad, dan Buttu Hutapea diadili. Mereka juga menuntut agar semua korban 27 Juli dikembalikan kepada keluarganya. ''Selain itu, kami juga ingin agar Orde Baru ditumpas sampai ke akar-akarnya,'' ujar Guntur.

Sementara itu, ratusan pendukung Megawati yang tergabung dalam Forum Perjuangan Rakyat mendatangi KPU. Kedatangan itu sempat dihambat oleh aparat keamanan hingga massa yang mengenakan seragam khas merahnya ini hanya bisa berorasi di depan Museum Perumusan Naskah Proklamasi, 100 meter dari KPU.

Bahkan, aparat memasang garis batas polisi hingga jelas batas bagi mereka untuk berorasi. Menurut Abidin Fikri, koordinator aksi, tujuan aksi FPR ini adalah meminta KPU agar mendiskualifikasi Golkar karena partai itu jelas-jelas melakukan kecurangan dalam pemilu. Bahkan, mereka ingin agar Golkar dijadikan partai terlarang.

Melihat ada massa PDI menuju KPU, ketua panitia peringatan 27 Juli Jacob Nuwaea datang ke lokasi. Menurut Jacob, kegiatan di depan KPU ini di luar tanggung jawab PDI Perjuangan. Sebab, untuk peringatan itu, kegiatan dipusatkan di Istora Senayan Jakarta. ''Karena itu, kami tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa,'' katanya.

Sementara itu, Menko Polkam Feisal Tanjung yang namanya ikut disebut-sebut harus bertanggung jawab atas insiden 27 Juli mengatakan, dirinya tidak takut kalau kasus 27 Juli harus diungkap kembali.

Bahkan, dia menantang untuk mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Maksudnya agar bisa diperoleh kepastian siapa yang terlibat dan harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut. ''Silakan ajukan ke pengadilan. Kita kan negara hukum,'' ujarnya menjawab pertanyaan wartawan di gedung DPR/MPR kemarin.

Feisal merupakan salah satu tokoh penting saat peristiwa 27 Juli itu meledak, tiga tahun lalu. Saat itu jabatan yang disandangnya sangat strategis, yakni panglima ABRI. Makanya, banyak kalangan masyarakat yang mensinyalir bahwa Feisal terlibat aksi tersebut. Sebab, kenyataan di lapangan membuktikan adanya keterlibatan militer dalam kasus yang cukup menggegerkan itu.

Menurut Feisal, kasus 27 Juli itu merupakan kasus internal di kalangan anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kehadiran aparat kepolisian dan militer hanya dimaksudkan untuk mencegah meluasnya lokasi peristiwa. '' Jadi, tak ada alasan menuduh militer terlibat,'' tandasnya.

Sebagaimana biasanya, Feisal selalu menolak memberikan komentar yang jelas dan pasti soal kasus 27 Juli ini. Buktinya, ketika para wartawan mencoba mengonfirmasi keterlibatannya, dia malah membuat lelucon.

Ketika wartawan menyatakan bahwa ada dugaan Feisal terlibat kasus 27 Juli, dia menjawab, ''Ah. Itu kata kau saja.'' Feisal menjawab seraya menunjuk sang wartawan tersebut.

Sebagai Menko Polkam, pria asal Medan ini berpendapat kasus 27 Juli sah-sah saja diperingati. Sebab, jika ditinjau dari segi keamanan dan stabilitas nasional, hal itu tidak terlalu berpengaruh.***

Saksi Mata
Penyerangan Kantor DPP PDI

60 Orang Tewas,
Terkonsentrasi di Ruang Fotokopi


Rabu, 28 Juli 1999
Jakarta (Bali Post) -

Suasana haru dan sedih menyelimuti para kader dan simpatisan PDI Perjuangan yang melakukan tabur bunga di depan kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta Pusat -- yang kini distatusquokan -- Selasa (27/7) kemarin.

Beberapa peserta tak tahan menahan air mata saat mengheningkan cipta seusai melakukan tabur bunga. Mereka yang melakukan tabur bunga antara lain berasal dari Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain. Pada malam sebelumnya, mereka menginap di Sekretariat PDI Perjuangan di Jl. Lenteng Agung No. 99 Jakarta Selatan.

Dalam acara itu, pimpinan posko yang datang dari beberapa daerah meletakkan karangan bunga tepat di depan markas PDI, dan diakhiri dengan mengheningkan cipta. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Senayan untuk berkumpul dengan simpatisan PDI Perjuangan lainnya. Di antara mereka, hadir pula beberapa saksi korban tragedi 27 Juli 1996 yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerukunan (FKK 124-27 Juli '96).

Dalam aksi tersebut, mereka mengemukakan empat tuntutan yakni mendesak pemerintah mengusut secara tuntas pelaku peristiwa berdarah 27 Juli 1996. FKK 124-27 Juli '96 juga mendesak pemerintah mengadili pihak-pihak yang terlibat, baik sipil maupun militer, seperti Soerjadi cs. dan Syarwan Hamid cs. ke pengadilan. Mereka juga minta rehabilitasi nama baik 124 korban 27 Juli 1996 yang dinyatakan bersalah lewat sidang rekayasa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta meminta pemerintah menghentikan kekerasan politik dengan memperalat aparat keamanan yang hanya akan menjadikan rakyat sebagai korban.

Menurut Sekretaris FKK 124-27 Juli '96 Drs. Agus Siswantoro, 124 korban tindak kekerasan aparat keamanan saat tragedi pengambilalihan markas sempat ditahan beberapa hari di Polda Metro Jaya, dan dipindahkan ke tahanan Salemba tanpa proses hukum terlebih dulu.

Atas perlakuan tidak adil ini, kuasa hukum dari TPDI Didi Supriyanto meminta Puspom TNI agar memeriksa pelaku serta siapa pun yang terlibat dalam pembantaian tragedi 27 Juli 1996. Pasalnya, menurutnya, sampai saat ini tindakan tersebut belum pernah dilakukan. ''Bahkan proses hukumnya belum ada sama sekali,'' ujarnya serius.

Saksi lain, Agus Padminto, memperkirakan sekitar 60 orang meninggal dunia saat markas PDI diserbu massa PDI pimpinan Soerjadi dan petugas dari pasukan keamanan. ''Mereka yang meninggal dunia kebanyakan terjebak di ruang pertemuan, ruang fotokopi, dan di kantor sekjen,'' katanya mengenang.

Mereka yang meninggal, lanjut Agus, kebanyakan diserang pasukan campuran Soerjadi dengan petugas yang membawa senjata sangkur, arit, samurai dan senjata tajam lainnya. ''Pasukan tersebut kebanyakan membunuh para korban dengan senjata tajam,'' ucapnya seraya menambahkan, ia sendiri bisa meloloskan diri karena saat dikejar pasukan campuran tersebut berlari ke arah belakang kantor DPP PDI.***