Mengenang Peristiwa Saptu Kelabu
Related Subject
Tragedi 27 Juli,
"Untold Story" (1)
Puncak Kebangkrutan Orde Baru
Selasa, 27 Juli 1999
Harian Bernas
Pengantar: Tragedi 27 Juli 1996 harus dipahami bukan hanya sekadar romantika sejarah. Inilah awal dari kebangkrutan rezim Orde Baru. Laporan wartawan Bernas Satya Krisna Sumarga dan Bagus Kurniawan ini menguak fakta dan informasi yang tersisa dari peristiwa itu, mengungkap yang belum terungkap (untold story).
***
Peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat 27 Juli 1996, atau yang lebih dikenal kemudian dengan Tragedi 27 Juli adalah puncak dari kebangkrutan rezim Orde Baru. Peristiwa ini sekaligus momentum paling bersejarah dari perlawanan Megawati dan pendukungnya terhadap kekuasaan otoriter Soeharto. Efek positifnya, lambat laun Megawati tampil sebagai simbol perlawanan paling monumental dalam sejarah politik Orde Baru.
Rentetan peristiwa ini juga sekaligus membenamkan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang baru beberapa hari sebelumnya dideklarasikan ke lubang dan stigma sebagai sebuah gerakan komunis gaya baru. PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli. PRD harus menerima vonis tanpa sidang karena perlawanannya.
Di sisi lain, peristiwa Sabtu kelabu itu oleh sebagian sejarawan dan pemerhati politik dipahami tali temali dengan berbagai proses politik yang berujung pada kejatuhan Soeharto dari tampuk kekuasaannya dua tahun kemudian. Memang, sudah banyak ulasan dan laporan mengenai latar belakang dan apa yang terjadi di balik penyerbuan yang kabarnya tidak hanya merenggut lima korban jiwa seperti yang selama ini diungkapkan oleh pemerintah dan Komnas HAM.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa penyerbuan itu merupakan grand design (rekayasa besar) dari rezim Soeharto? Jika disimak secara cermat konstelasi politik pada saat itu, terbukti bahwa Soeharto merasa kekuasaannya yang luar biasa besar sudah mulai tergerogoti seiring dengan ketidakpuasan yang muncul di tengah masyarakat. Pertama, ketidakpuasan masyarakat itu muncul karena Soeharto terus menindas Megawati yang hendak naik sebagai pemimpin PDI. Kedua, kekuasaan makin sentralistis di mana semua lini dikuasai oleh Soeharto.
Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993 adalah awalnya. De facto waktu itu Megawati menyatakan dirinya sebagai ketua umum karena dukungan dari mayoritas cabang. Selanjutnya legitimasi kepemimpinan Megawati dikukuhkan melalui Musyawarah Nasional yang berlangsung di Jakarta yang sebetulnya juga didesain oleh pemerintah (Mendagri Yogie S Memet) pada waktu itu. Nah, di sini terjadi fenomena yang cukup menarik ketika terjadi blunder yang sesungguhnya justru dilakukan kalangan militer.
Mayjen TNI Agum Gumelar adalah orangnya. Agum Gumelar waktu itu menduduki jabatan sebagai Dan Kopassus sekaligus Direktur A BIA yang merasa punya tanggung jawab terhadap keamanan negara. Belum jelas dari mana asal muasal perintahnya, Munas yang sebenarnya didesain oleh Yogie S Memet untuk mengacak-acak kembali PDI dan Mega, justru didorong oleh Agum Gumelar untuk mengukuhkan Megawati. Kabar santer menyebutkan Agum Gumelar sampai harus menodongkan pistolnya untuk menekan peserta Munas agar mendukung Megawati.
Blunder itu terus berkelanjutan karena Yogie S Memet yang berkepentingan dengan cerai berainya PDI dan Megawati menolak melantik kepemimpinan DPP PDI hasil Munas. Agum Gumelar pun kemudian di-Pangdam-kan di Ujung- pandang. Pangkatnya pun tersendat-sendat. Sejak itulah berbagai strategi dirancang untuk menghancurkan DPP PDI hasil Munas yang dipimpin Megawati. Direkayasalah kepemimpinan ganda di berbagai daerah dan cabang-cabang. Puncaknya kemudian pemerintah menggelar Kongres akal-akalan bulan Juni tahun 1996 di kota Medan.
Keberhasilan pelaksanaan Kongres Medan itu tak lepas dari kongkalikong pengurus yang semula duduk DPP PDI hasil Munas seperti Fatimah Ahmad, Budi Hardjono dan lain-lain dengan pemerintahan Soeharto. Kongres Medan itu akhirnya mengukuhkan kembali Soerjadi sebagai pemimpin PDI akal-akalan pemerintah. Kepemimpinan Soerjadi kemudian diakui secara resmi oleh pemerintah. PDI yang dipimpin Megawati dicampakkan, dan dianggap sebagai pembangkang yang harus dilibas.
Tragedi memilukan yang terjadi tepat dua hari setelah DPP PDI pimpinan Soerjadi diterima Presiden Soeharto itu hingga kini jelas masih menyisakan banyak pertanyaan. Soal jumlah korban pun, terdapat informasi yang simpang siur. Pemerintah dan Komnas HAM mengatakan hanya ada 5 korban tewas, itu pun kejadiannya di luar area pertempuran. Tetapi para pendukung Megawati yang bertahan di kantor DPP PDI saat penyerbuan berlangsung mengatakan korban tewas mencapai puluhan orang.
Korban-korban itu, menurut saksi mata, di bawa pergi menggunakan truk-truk dan ambulan militer serta truk sampah yang dikawal aparat bersenjata ke suatu tempat yang dirahasiakan. Sebuah sumber memperkirakan yang diangkut dan sampai sekarang tak ketahuan rimbanya ada sekitar 40 orang pendukung berat Megawati Soekarnoputri. Kebenaran informasi ini sulit terlacak, sebab begitu penyerbuan dimulai, seluruh wilayah di sekitar kantor DPP PDI itu diblokir ratusan pasukan bersenjata.
Akses informasi pada saat itu segera ditutup dan dikuasai oleh pemerintah dan militer. Mengapa --kalau benar-- korban bisa begitu banyak? Sumber Bernas yang pada malam kejadian berada di kantor DPP PDI menyebutkan, pendukung Megawati yang bertahan di kantor pada waktu itu sudah dilanda kelelahan yang amat sangat. Sebagaimana diketahui, tempat itu selama berhari-hari dijadikan ajang mimbar protes berbagai kalangan terhadap pemerintah.
Jumlah kader PDI pro-Mega yang bertahan pun sangat sedikit dibanding hampir 500 penyerbu yang ketika mereka datang lengkap dengan batu, pentungan dan aneka senjata tajam. Alhasil, ketika diserbu, terjadi pertarungan yang sangat tidak imbang. Apalagi para penyerbu yang kabarnya terdiri dari preman-preman Jakarta dan orang-orang bayaran serta anggota kepemudaan terkenal itu didukung barisan ratusan aparat keamanan dari berbagai kesatuan di belakangnya.
Seorang saksi mata, sebut saja namanya Beni, yang bekerja di sebuah perusahaan yang berdekatan dengan kantor DPP PDI mengaku melihat dengan jelas dua orang kader PDI pro-Mega terkapar bersimbah darah tak bergerak- gerak dilemparkan sejumlah aparat bersenjata di depan tempat kerjanya yang hanya beberapa meter di belakang kantor tersebut. "Tubuh dan kepalanya berdarah-darah. Memang saya tidak bisa pastikan apakah mereka meninggal, tapi waktu itu mereka sama sekali tak bergerak-gerak," ujar Beni kepada Bernas.
Seorang mantan Satgas PDI pro-Mega yang pada waktu penyerbuan sedang bertugas dan luput dari amukan mengungkapkan bahwa dirinya yakin mereka yang tewas lebih dari 10 orang. Itu baru korban yang tewas di tempat kejadian. "Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, ada dua orang lehernya digorok. Belum terhitung sekitar 6 orang yang saya lihat tergeletak membeku di ruang dalam kantor DPP PDI. Badan mereka sobek-sobek berlumur darah," kata lelaki menjelang uzur yang kini dikenal cukup dekat dengan Megawati itu.
Jika korban mencapai puluhan, bahkan ada yang menyebut ratusan, ke mana kira-kira mereka dilenyapkan? Aneka informasi ini mungkin lebih banyak berupa rumor. Setelah Soeharto jatuh, di mana keberanian masyarakat untuk berbicara makin tinggi, rumor itu pun makin santer dan dipercaya banyak kalangan masyarakat. Ada yang menyebut para korban dilenyapkan tanpa jejak di Krematorium Cilincing. Tapi ada juga sumber yang menyebutkan, korban dikubur secara masal di pekuburan Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Sayangnya, kabar itu hingga kini sulit dibuktikan kebenarannya. Pertama, karena tidak pernah ada upaya resmi dari pemerintah atau pihak independen untuk menelisik secara serius informasi itu. Kedua, informasi itu datangnya dari sumber-sumber kedua yang sulit sekali dibuktikan akurasinya. Ketiga, ada yang menilai kabar itu muncul karena dorongan emosi para pendukung Megawati yang dilibas habis-habisan oleh pemerintah Soeharto waktu itu.
Tapi yang jelas, hingga saat ini tercatat masih ada 37 kader PDI pro-Mega dari berbagai daerah yang dilaporkan raib begitu peristiwa itu meletus. Raibnya mereka ini belum jelas rimbanya. Jika masih hidup, kecil kemungkinan mereka tidak memperlihatkan diri. Apalagi PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati kini menang Pemilu. Jika pun sudah mening- gal, inilah yang jadi pertanyaan besar, siapa yang mengubur, dan di mana gerangan kuburan mereka. (bersambung)***
Tragedi 27 Juli,
"Untold Story" (2 - Habis)
Puncak Kebangkrutan Orde Baru
Rabu, 28 Juli 1999
Harian BERNAS
MENCARI siapa yang bisa dianggap paling bertanggungjawab terhadap peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996, sesungguhnya persoalan mudah. Meskipun salah satu tokoh PDI pimpinan Soerjadi (waktu itu), yaitu Alex Widya Siregar dan R Buttu Hutapea mengaku mereka yang bertanggungjawab atas apa yang mereka sebut pengambilalihan kantor DPP PDI tersebut, tapi sesungguhnya rezim Orde Baru yang didukung militerlah yang harus mempertanggungjawabkan semua rentetan kejadian tersebut.
Mengapa? Kesaksian sejumlah pelaku, baik di pihak penyerbu maupun pendukung setia Megawati yang mempertahankan gedung tersebut mengatakan, pihak militer pada waktu itu terkesan membiarkan terjadinya penyerbuan, baku pukul, maupun bentrok fisik masal antara pihak yang bertahan di kantor DPP PDI dengan penyerbu. Bahkan penjebolan pagar kantor DPP PDI yang dijadikan barikade terakhir massa pendukung Megawati, justru dilakukan barisan pasukan huru-hara yang dikoordinir Letkol Pol Abubakar Nataprawira (Kapolres Jakarta Pusat waktu itu).
Belum lagi, ketika penyerbuan tahap kedua berlangsung, yaitu sejak upaya perundingan macet. Dandim Jakarta Pusat, Letkol Zul Effendi pada waktu itu memerintahkan pasukan berkaos dan berikat kepala merah agar merangsek maju. Serbuan kedua inilah yang membuat pertahanan terakhir pendukung Megawati jebol hingga akhirnya kantor itu dikuasai pihak penyerbu yang didukung pasukan bersenjata lengkap. Pendudukan itu diakhiri dengan pidato Buttu Hutapea lengkap dengan senyum kemenangannya.
Militer terlibat? Sudah jelas. Garis keterlibatan mereka mudah dipahami karena sistem koordinasi pihak militer adalah komando. Pucuk pimpinan terdepan dalam peristiwa ini tentu tidak akan mungkin membiarkan peristiwa itu terjadi jika tidak ada instruksi dari atasan mereka. Oleh sebab itu, menyelisik dari mana asal muasal instruksi hingga penyerbuan kantor DPP PDI yang berbuntut kerusuhan masal di Jakarta itu sangat mudah. Dan substansi persoalan ini adalah sebuah konspirasi tingkat tinggi yang dirancang oleh elit-elit yang haus kekuasaan.
Kasak-kusuk yang beredar, dan meski dibantah oleh masing-masing tokoh yang disebut, konspirasi tingkat tinggi untuk menghancurkan PDI pimpinan Megawati ini disebut-sebut melibatkan tokoh-tokoh penting di sekitar Soeharto. Di antaranya adalah Jenderal TNI (Purn) Yogie S Memet (waktu itu Mendagri), Jenderal TNI Feisal Tanjung (waktu itu Panglima ABRI), Letjen TNI Syarwan Hamid (waktu itu Kassospol ABRI), Jenderal Pol Dibyo Widodo (waktu itu Kapolri), Mayjen TNI Sutiyoso (Pangdam V Jaya), Mayjen TNI Syamsir Siregar (waktu itu Kepala BIA).
Selain Syamsir Siregar dan Dibyo Widodo yang pensiun, tokoh-tokoh itu kini masih bercokol sebagai pejabat terkemuka rezim BJ Habibie. Salah seorang pejabat kunci yang entah kebetulan atau tidak, luput dari belitan kasus itu adalah Letjen TNI Soeyono (waktu itu Kasum ABRI). Mantan Pangdam Diponegoro ini luput dari belitan kasus karena menjelang dan pada waktu skenario penyerbuan itu dijalankan, ia terbaring sakit di RSPAD Gatot Subroto akibat kecelakaan lalu lintas di Sulawesi beberapa hari sebelum hari H Operasi Naga Merah dijalankan.
Soeyono sebetulnya merupakan pejabat kunci dalam militer, karena dialah yang sebenarnya tahu persis pergerakan pasukan sehubungan dengan lingkup tugasnya yang membawahi operasional pasukan. Namun di balik cerita sakitnya Soeyono ini, ada sumber yang menyebutkan Soeyono memang sengaja menghindarkan diri dari konspirasi yang berawal dari perintah lisan Soeharto kepada Feisal Tanjung tersebut. "Mas Yono dianggap tidak mendukung Operasi Naga Merah itu," kata sebuah sumber militer.
Beberapa hari setelah tragedi 27 Juli terjadi, Letjen TNI Soeyono memang dikandangkan di Mabes ABRI, sebelum disusul dicopotnya Kepala BIA, Mayjen TNI Syamsir Siregar sekitar sebulan kemudian. Jika dicermati secara teliti, berbarengan dengan skenario Operasi Naga Merah ini, sulit dipungkiri jika dalam tubuh militer pun terjadi semacam pertikaian antarelit, khususnya di tubuh Angkatan Darat. Cuma pada waktu itu gesekan antarelit ini tidak begitu kelihatan karena masih ada Soeharto yang mampu menjadi patron di tengah-tengah mereka.
Sekadar sebagai catatan, gesekan itu pada intinya terjadi di antara dua faksi yang memainkan peranan cukup penting di Angkatan Darat. Yaitu antara kelompok militer progresif yang dimotori Letjen TNI Wiranto (waktu itu Pangkostrad), dan kelompok Mayjen TNI Prabowo Subianto (waktu itu Danjen Kopassus). Dalam peristiwa 27 Juli inilah, kelompok mainstream Angkatan Darat (kelompok Wiranto) mengamati gerak-gerak klik Prabowo (Feisal Tanjung dkk) dengan amat sangat marah. Tapi mereka tak berdaya karena operasi itu direstui langsung oleh Soeharto.
Jauh sesudah peristiwa itu, kasak-kusuk adanya persaingan dua klik elit Angkatan Darat itu terbukti kebenarannya. Sesudah Jenderal TNI Wiranto memegang pucuk pimpinan militer, di pihak lain faksi Prabowo Subianto tersingkir, sementara pengaruh Feisal Tanjung memudar, dua petinggi militer yang pernah dibuang, Letjen TNI Soeyono dan Mayjen TNI Agum Gumelar dipakai kembali. Sesudah beberapa tahun dikandangkan di Mabes ABRI, Letjen TNI Soeyono diberi jabatan sebagai Sekjen Dephankam. Sementara Mayjen TNI Agum Gumelar (mantan Dan Kopassus dan Kepala Dir A BIA) yang diasingkan ke Ujung Pandang, dipanggil ke Jakarta untuk memimpin Lemhannas.
Di manakah posisi Polri pada waktu itu? Banyak kalangan yang mempercayai bahwa selama Polri masih di bawah ketiak ABRI, maka selama itu pula mereka akan dijadikan umpan empuk sekaligus tameng bagi kalangan militer. Benar bahwa Korps Polri selalu ditempatkan di garda terdepan setiap kali muncul kasus kekerasan, akan tetapi pada saat itu pula mereka akan dengan mudah diperdaya sebagai kambing hitam. Dan ujung-ujungnya, selalu kalangan militerlah yang bisa memetik banyak keuntungan.
Keterlibatan pihak militer dan pejabat elit rezim Soeharto dalam penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58 ini memang terasa kental. Alex Widya Siregar, salah satu pentolan DPP PDI pimpinan Soerjadi mengaku ia sengaja mengkoordinir ratusan preman dan pengangguran di Jakarta dalam aksi itu. Alex Widya Siregar juga menyebut dilibatkannya ratusan anggota Pemuda Pancasila di Jakarta yang rupanya tak lepas dari peran dan kontribusi tokoh Pemuda Pancasila, Yorrys Raweyai.
Alex Widya Siregar bercerita bahwa malam sebelum aksi yang ia sebut pengambilalihan kantor yang diklaim milik DPP PDI hasil Kongres Medan itu, ratusan preman dan pengangguran plus anggota Pemuda Pancasila itu dikumpulkan di Cibubur. Tengah malam mereka kemudian dibawa ke komplek Gedung Arta Graha (waktu itu bangunannya belum jadi) yang terletak di belakang Markas Polda Metro Jaya. Komplek bangunan megah di Central Bussines District (CBD) itu diketahui milik pengusaha Tommy Winata yang dikenal sangat dekat dengan kalangan militer.
Baru pada waktu subuh, ratusan preman dan pengangguran plus anggota Pemuda Pancasila itu diboyong ke seki- tar kawasan Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, menggunakan belasan truk sewaan. Kebenaran cerita ini, sekaligus duga- an dilibatkannya personil militer agaknya patut diperhatikan dengan seksama. Dr Roeslan Abdulgani, tokoh tiga zaman yang rumahnya tak jauh dari kantor DPP PDI yang disengketakan, pernah memberi kesaksian nyata.
Ketika aksi hampir mencapai puncaknya di pagi hari Sabtu itu, ia mengaku sedang jalan-jalan sehabis Salat Subuh. Cak Roes, panggilan akrab Dr Roeslan Abdul Gani, yakin bahwa ratusan orang yang diturunkan dari belasan truk di sekitar ruas Jalan Surabaya (barat kantor DPP PDI) punya niat tak benar. Kelompok massa itu sepertinya terkoordinir rapi. Indikasinya, kedatangan mereka sangat tertib teratur, dan terdapat sejumlah anggota militer berseragam di antara mereka. Personil militer itu, menurutnya, lebih banyak berperan sebagai koordinator lapangan.
Kesaksian-kesaksian inilah yang semakin memperkuat keyakinan bahwa meletusnya tragedi 27 Juli tidak bisa dilepaskan dari campur tangan elit politik dan militer pada waktu itu. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi ujung tombak perlawanan Megawati dan para pendukungnya dalam hal ini sudah melakukan hal yang sangat tepat. Tanpa kenal lelah mereka mencoba menegakkan keadilan dengan menuntut secara hukum agar tokoh-tokoh sipil maupun militer di atas mempertanggungjawabkan keterlibatannya yang sangat dalam, dalam peristiwa itu.
Ini belum termasuk permintaan tanggung jawab dari antek-antek rezim Orde Baru di DPP PDI hasil Kongres Medan seperti Soerjadi, Fatimah Ahmad, R Buttu Hutapea, Budi Hardjono, Alex Widya Siregar dan lain-lain. Tapi orang yang paling bertanggung jawab di sepanjang rentetan peristiwa ini tentu saja adalah mantan Presiden Soeharto. Sebuah ketidakmungkinan apabila desain Operasi Naga Merah ini bukan datang dari orang paling berkuasa pada zamannya ini. Meski demikian, kesalahan fatal Soeharto ini bisa dinilai sekaligus sebagai blunder terbesar yang pernah dibuatnya.
Hari Selasa (27/7) kemarin, adalah tepat tiga tahun sesudah peristiwa itu berlalu. Kantor DPP PDI yang pernah dihancurkan itu kini kondisinya sungguh sangat mengenaskan. Meski bangunan itu resminya telah direhab oleh pemerintah, akan tetapi sisa-sisa beku kejadian menggegerkan itu masih ada. Halaman kantor yang terletak hanya dua rumah dari kediaman Ny Mien Sugandhi (Ketua partai MKGR), atau tepat di seberang kediaman salah satu proklamator RI, Bung Hatta, kini penuh dengan rerumputan.
Sebuah Jeep merah milik anggota Satgas PDI pro-Mega teronggok bisu membujur menghadap bangunan yang kusam dipenuhi sampah dan bekas bahan bangunan. Pagar bekas kantor DPP PDI itu kini masih ditutup seng bercat biru setinggi kurang lebih 3 meter. Dan sejak kemarin pagi, di luar pagar bangunan bersejarah itulah, bertumpuk dan bertebaran spanduk, poster dan bunga-bunga yang ditempel dan ditaburkan oleh masyarakat. Sekali lagi, kenyataan ini merupakan peringatan bagi mereka-mereka yang bertanggung jawab bahwa peristiwa itu tidak akan pernah pupus dari ingatan masyarakat.(Bagus Kurniawan/Setya Krisna Sumargo)***