"KEMENANGAN PDI PERJUANGAN
ADALAH KEMENANGAN
RAKYAT YANG BEBAS MERDEKA DAN BERDAULAT"
Masih terlintas peristiwa memilukan terjadinya tragedi berdarah yang mencoreng kehidupan demokrasi di Indonesia pada tgl 27 juli 1997, sebuah upaya biadab rezim orde baru untuk menghancurkan P D I hasil munas sekaligus menyingkirkan ketua umum yang sah Megawati Soekarnoputri, karena kekuatan PDI Pro Mega dianggap sangat berbahaya bagi kepentingan penguasa dalam mempertahankan status quo, bahkan pemilu 1997 tetap saja dilaksanakan walau P D I masih dalam keadaan bermasalah, protes keras dilakukan Megawati untuk mempertahankan eksistensi partai yang dianiaya dan dirusak oleh rezim Soeharto, padahal PDI Prokonggres Medan adalah illegal,tidak sah dan inkonstitusional.
Berbagai upaya dilakukan untuk mendiskredit-kan warga P D I Pro Mega namun Megawati tidak henti-hentinya memberikan keyakinan kepada pendukungnya untuk tetap tenang tidak destruktif dan tidak terpancing melakukan kekerasan, ini dibuktikan dengan upaya Megawati melakukan legal action bersama TPDI diseluruh Indonesia gugatan yang ditempuh Megawati seakan dianggap angin lalu oleh pemerintah, sampai pada pemilu 1997 PDI Pro Mega tetap tidak diakui oleh pemerintah, sehigga tidak diikut sertakan dalam pemilu, namun Megawati pantang menyerah dan tidak sedikitpun mempunyai pemikiran untuk kompromi, sebagai Ketua Umum PDI yang sah Megawati tidak perlu meminta dukungan atau mohon restu dari pemerintah, legalitas yang utama berasal dari rakyat bukan dari pemerintah, penolakan Megawati terhadap pemilu ternyata satu aspirasi dengan mahasiswa yang juga menganggap pemilu 1997 adalah cacat hukum dan cacat moral.
Usai pemilu 1997 gelombang demonstrasi mahasiswa semakin tinggi aktifitasnya memprotes kerusuhan demi kerusuhan yang tak bisa diselesaikan secara transparan, kerusuhan tersebut murni dilakukan rakyat atau hasil konspirasi elit politik, peristiwa penembakan 4 mahasiswa trisakti didalam kampus trisakti mengejutkan seluruh rakyat ditanah air, membangunkan mahasiswa seluruh Nusantara untuk meminta tanggung jawab presiden, gedung DPR/MPR menjadi saksi perjuangan mahasiswa menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut adanya demokrasi dan reformasi total disegala bidang, klimaksnya Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden pada tanggal 21 mei 1998, mahasiswa mengharapkan pemimpin baru sebagai presiden yang bukan merupakan kroni Soeharto dan tidak KKN. Namun Soeharto sendiri yang menyerahkan mandat presiden kepada wakilnya yaitu Habibie, yang membentuk pemerintahan transisi dengan memberi nama kabinetnya sebagai "kabinet reformasi". Padahal orang orang yang direkrut menjadi mentri di kabinetnya masih merupakan kroni orde baru yang berpengalaman dengan praktek KKN.
Reformasi menjadi sebuah trend baru yang mahal yang laku dijual dan prestisius banyak pahlawan kesiangan termasuk terbangun dari tidur lelapnya yang panjang, memakai topeng reformasi dan tiba tiba saja berteriak teriak mempromosikan diri berlebihan, lanyaknya seperti orang mabuk!! Sangat menggelikan sekali! Menghujat sana, menghujat sini banyak ucapan retorika simpang siur yang membuat bingung masyarakat, padahal ketika Soeharto masih berjaya dan ketika Megawati secara tidak adil badut badut reformis ini tidak berbuat apa apa ,bahkan diam membisu,
Terlintas jelas janji Habibie untuk tidak mencalonkan diri lagi menjadi presiden pada Pemilu '99 sebagai pemerintahan transisi hanya bertugas menghantarkan pemilu, namun janji tinggal janji ternyata Habibie masih berkepentingan sekali lagi menikmati kursi presiden, Golkar mencalonkan Habibie sebagai presiden 1999 s/d 2003. Berbagai argumen sempit yang meragukan kemampuan Megawati terus menerus disampaikan oleh pakar dan politisi yang ingin membodohi rakyat, unggul belum tentu menang, itulah opini yang disosialisasikan secara terus menerus lewat media cetak maupun elektronik, adalah kompensasi dari kekalahan partai politik didalam pemilu '99 untuk memperoleh pembenaran, bermacam theory di tawarkan seolah - olah mencari solusi adanya 2 kekuatan besar Nasionalis dan sektarian bahwa pencalonan Megawati sebagai presiden masih bermasalah karena didalam Hukum Islam seorang wanita tidak diperbolehkan menjadi Kepala Negara, yang menjadi pertanyaan bagaimanakah landasan Negara Republik Indonesia ini ketika dibangun ? Apakah menggunakan Hukum Islam atau hukum Nasional/UUD 1945 ...???
Sungguh membingungkan adanya pemikiran yang cendrung mencari kelemahan Megawati dalam memperoleh pembenaran justru yang tidak logis adalah jika ketua partai pemenang pemilu tidak diberi kesempatan untuk menjadi Presiden,ketika kalah disuruh ngalah menangpun siap-siap disuruh ngalah, apakah itu demokrasi ??
"Bangsa ini sudah jenuh melihat pemimpin yang hanya mau didengar dan tidak mau mendengar, Megawati sedikit bicara dalam rangka ingin mendengarkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya, sudah saatnya rakyat yang berbicara lebih banyak, tanpa pernah merasa takut atau ditakut-takuti, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat"
Apabila ternyata dalam proses pemilihan presiden di dalam sidang umum ternyata faktanya tadak sesuai dengan yang diharapkan, akan menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi di indonesia dan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap keputusan yang di ambil berdasarkan hati nuraninya sendiri ,haruskah menyakiti hati rakyat demi memuaskan ambisi menguasai hak orang lain
Biar badai menghadang ................
Biar halilintar menggelegar............
Biar bedil menghadang .................
Terompet juang sudah aku bunyikan !
Layar kebebasan sudah kukembangkan !
Bendera demokrasi sudah aku kibarkan !
Hukum sudah aku tegakkan !
Tidak ada lagi ketakutan .................
Tidak ada lagi kekerasan ................
Tidak ada lagi penindasan...............
Tidak ada lagi air mata kepedihan
Tidak lagi ada kata mundur atau ragu
Kering sudah kerongkongan
Hanya ada satu kata
Mega pasti menang
Ni Gusti eka Sukmadewi Djakse
Direktur Bidang Kesra Balitbang
DPP PDI Perjuangan.