Mega Tunda Pernyataan Politik PDIP
Rabu, 28 Juli 1999
Jakarta - Surabaya Post
Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, segera buka puasa bicara. Ia akan berbicara mengenai sikap politik PDIP dan pencalonan- nya sebagai presiden.
Semula ia dijadwalkan memberi pernyataan politik, Rabu (28/7) siang tadi. Namun acara itu dibatalkan. Mega memandang perlu menyiapkan secara khusus acara itu, sebab banyak hal yang harus diketahui masyarakat.
Undangan jumpa pers yang telah diedarkan Sekjen PDIP, Alex Litaay itu menyebutkan kalau jumpa pers digelar pukul 14.00 siang tadi. Namun ada pemberitahu- an susulan dari panitia yang menyatakan acara ditunda Kamis besok.
Ketua PDI, Soetardjo Soerjogoeritno, menyatakan, penundaan dilakukan karena masih dibutuhkan persiapan guna menjelaskan berbagai permasalahan sekitar pemilu. Sejak awal Megawati ingin memberikan keterangan tentang posisi PDIP dalam berbagai permasalahan politik mutakhir di negeri ini. Namun, mengingat sangat banyak hal yang harus dijelaskan kepada masyarakat, acara itu terpaksa ditunda.
Ajudan pribadi Megawati, Sri Hastuti, yang dihubungi secara terpisah di Jakarta, menyatakan, selain melakukan persiapan materinya, acara diundur karena Megawati sedang ada acara lain. Namun saat didesak acara apa yang sedang diikuti Megawati saat ini, ia enggan menjelaskan dan mempersilakan menunggu saja hingga besok. "Kami tetap menggelar jumpa pers besok dengan jam yang sama, yakni pukul 14.00," katanya.
Banyak kalangan menunggu Mega bicara. Khususnya mengenai program PDIP bila kelak ia terpilih sebagai presiden. Namun, selama ini Mega hanya melakukannya melalui media asing, khususnya media Jepang semacam Yomiori Shimbun. Namun, Mega jarang melakukannya langsung di depan masyarakat Indonesia. Karena itu, saat tampil dalam acara istighosah yang digelar warga NU di Istora Senayan beberapa waktu lalu, semua orang berharap Mega memberi pernyataan politik, khususnya menyangkut program PDIP. Juga ketika memperingati Tragedi 27 Juli kemarin.***
*********************************************************
Megawati Calls For Antiviolence
Jakarta, Kompas Online
General Chairwoman of Struggling PDI (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, appealed to her followers to establish antiviolence as the principle of their cause. She urged members of Struggling PDI to unite their efforts and to form a link with people who are strifing for a change.
"I know that members of PDI-P are waiting, spiritedly but also very patiently. The General Session of the People's Consultative Council (MPR) is still a great concern to public aspirations. I am saying here and now, as I trust in God and with convincement, God willing, the Eastern rays will arise," Megawati made her speech, in commemoration of the bloody incident three years ago, when the PDI Headquarters on Jalan Diponegoro were attacked, in Istora Senayan on Tuesday (27/7).
The incident of July 27 is untill today quite a mystery, especially where the number of victims killed were concerned. The PDI office was at the time occupied by the Megawati camp. An official statement mentioned that four were killed, although another version mentioned 23 victims. The police has, until today, not made any arrests of suspects despite the honest admissions of several pro-Surjadi members that they were responsible for the incident.
The crowd filling Istora Senayan said prayers before the speech began. The crowd also sang national songs during the occasion. Huge flags and other attributes moved rythmically with the songs. But, when Mega was about to start her speech, the flags and attributes disappeared orderly from sight. The huge crowd also refrained from smoking inside Istora Senayan.
Megawati did not once insinuated persons involved in the bloody conflict of July 27 three years ago. She also did not demand a trial for them. This was done by the Chairman of the Committee, Jakob Nuwa-Wea. Jakob remarked that the persons responsible for the incident are still in office, a.o. Budi Hardjono and Panangian Siregar.
Message for MPR
On the same occasion Megawati reminded that political figures at the future General Session of MPR (People's Consultative Council) could be displaying the cultural nature of the nation and that they are able to elect a good leader.
"I appeal to all friends and the Indonesian nation, make sure that we show once again that we are a civilised nation at the General Session. We have to show at the General Session that we are an advancing nation to the future. Elect a good leader. That is the essence of July 27, we have to make antiviolence work," Megawati said as a thunderous applaud erupted after her words.
Megawati reminded that the assault on the PDI headquarters three years ago was an uncivilised act which resulted in the death of several party members.
At the time, she said, she requested party members to remain calm and to strife in a disciplinary way, free from violence. Fighting for a cause, she went on saying, can only be done in a peaceful way without having to resort to violence.
"The meaning of antiviolence will lead us on the right way," she said.
Spontaneous act
Although the commemoration of the July 27 incident was officially held at Istora Senayan, thouysands of party members and PDI-P sympathisers headed for the former office of the party on Jalan Diponegoro which had been neglected since a two meter blue galvanised iron fence had been covering it from sight.
In the wee hours of Tuesday, a crowd of PDI-P members and victims of the July 27 incident unfolded a bale of white cloth illuminated by candlelight, followed by a flower scattering rite.
At noon, hundreds of students and PDI-P sympathisers started a long march along Jalan Diponegoro towards the General Election Commission (KPU) building to declare their support for Megawati.
Among the student crowd were noted the Megawati Supporter Line (BPM), Unit of Megawati Supporters (KPM), Public Cause Forum as well as activists who frequently took to the streets like, the Workers Committee for Reformed Action (Kobar), and the Indonesia University Family (KB-UI).
Toting flags inscribed with Megawati's image, they yelled all along "Megawati for President or Revolution". About 200 meters before the KPU building the crowd was halted by a barricade of policemen complete with an armored car ready to spray chemical fluid.
The demonstrators walked on until they reached the police line.
KPU member, Andi Malarangeng, offered to talk with the demonstrators on the road.
The students then demanded that Golkar be disqualified and be banned as a prohibited party because of irregular practises.
Andi replied that KPU's authority did not reach that far.
Jakarta Governor, Sutiyoso, stated that he was prepared to shoulder the responsibilities for the July 27 action three years ago when the Headquarters of the PDI Party on Jalan Diponegoro came under siege. At the time, Major General Sutiyoso was Commander of the Jaya Military District Commando.
Meanwhile, the General Chairman of Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), stressed in Dili that Megawati Sukarnoputri should go on fighting for the reformation cause. The incident of three years ago has grown into an inspiration of importance for PDI-P's advancement in future. (*)
Jakarta, Kompas
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada pengikutnya agar melanjutkan perjuangan dengan prinsip antikekerasan. Ia mengajak warga PDI Perjuangan menyatukan langkah dan bergandengan tangan, bukan saja dengan sesama warga partai itu, tetapi juga dengan seluruh rakyat yang menginginkan perubahan. "Saya tahu warga PDI Perjuangan dengan penuh semangat tetapi penuh kesabaran terus menunggu-nunggu. Sidang Umum MPR masih merupakan tarikan napas panjang aspirasi rakyat. Saya katakan dengan tawakal dan dengan keyakinan, Insya Allah, fajar di timur akan menyingsing," kata Megawati di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (27/7), dalam pidato peringatan peristiwa berdarah penyerbuan Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tiga tahun lalu.
Peristiwa 27 Juli 1996 itu sampai saat ini masih gelap, termasuk dalam jumlah korban tewas saat penyerbuan ke kantor DPP PDI yang saat itu dikuasai oleh kubu Megawati. Pernyataan resmi menyebutkan, empat orang tewas, namun versi lain menyebutkan jumlah 23 orang. Aparat kepolisian sampai saat ini belum menangkap satu orang pun tersangka, meski beberapa tokoh PDI pro-Soerjadi secara terang-terangan menyatakan merekalah yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.
Sebelum berpidato, pengunjung yang menyesaki Istora Senayan melantunkan shalawat badar. Di tengah acara, massa yang hadir juga menyanyikan secara bersama lagu-lagu perjuangan. Bendera-bendera raksasa dan atribut lainnya, melambai-lambai mengikuti irama lagu. Namun ketika Mega akan berpidato, semua secara tertib menurunkan atributnya. Massa yang jumlahnya sekitar belasan ribu itu juga secara tertib mematuhi aturan untuk tidak merokok di dalam Istora Senayan.
Dalam pidatonya, Megawati sama sekali tidak menyinggung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa berdarah 27 Juli itu. Ia juga tidak menyerukan tuntutan agar pelaku peristiwa itu diadili. Seruan agar tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa 27 Juli diadili hanya disampaikan Ketua Panitia Jakob Nuwa-Wea. Jakob menyatakan, tokoh-tokoh peristiwa 27 Juli itu kini masih berada di pemerintahan, termasuk di antaranya Budi Hardjono dan Panangian Siregar.
Pesan untuk MPR
Megawati dalam kesempatan itu mengingatkan agar dalam Sidang Umum MPR mendatang tokoh-tokoh politik bisa menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan bisa memilih pemimpin yang baik.
"Saya imbau seluruh kawan-kawan yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, yakinilah bahwa dalam Sidang Umum MPR kita harus menunjukkan kembali bahwa kita adalah bangsa Indonesia yang berbudaya. Tanpa itu tidak ada artinya meski Sidang Umum MPR akan memilih presiden. Dalam Sidang Umum MPR harus ditunjukkan inilah bangsa Indonesia yang akan menuju masa depan. Pilihlah pemimpin yang baik. Inilah hakikat 27 Juli, bahwa antikekerasan itulah yang harus dilakukan," tegas Megawati yang disambut tepukan gemuruh.
Megawati mengemukakan, penyerbuan kantor DPP PDI yang terjadi tiga tahun lalu merupakan perbuatan yang tidak berbudaya, yang mengakibatkan jatuhnya korban warga PDI Perjuangan.
Pada waktu itu, kata Megawati, ia meminta kepada warga PDI Perjuangan untuk tetap tabah dan berjuang dengan disiplin dan antikekerasan. Perjuangan di Bumi Indonesia, kata Megawati, hanya bisa dilakukan dengan rasa cinta damai dan antikekerasan. "Makna antikekerasan itulah yang bisa tetap membawa kita ke jalan yang benar," katanya.
Aksi spontan
Meski peringatan peristiwa berdarah 27 Juli secara resmi diselenggarakan di Istora Senayan, tetapi secara spontan ribuan warga masyarakat dan simpatisan PDI Perjuangan secara bergelombang mendatangi bekas Kantor DPP PDI Diponegoro yang hingga kini masih dibiarkan terbengkalai dan ditutupi seng biru setinggi dua meter. Selasa dinihari, ratusan warga PDI Perjuangan bersama korban peristiwa 27 Juli membentangkan gulungan kain putih yang diterangi nyala lilin, disusul acara tabur bunga.
Siang harinya, ratusan mahasiswa dan warga simpatisan PDI Perjuangan mengadakan aksi jalan kaki melalui Jalan Diponegoro menuju Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyatakan dukungan kepada Megawati. Mereka ada yang menamakan diri Barisan Pendukung Megawati (BPM), Kesatuan Pendukung Megawati (KPM), Forum Perjuangan Rakyat, tetapi juga ada kesatuan aksi yang sudah sering turun ke jalan seperti Komite Buruh untuk Aksi Reformasi (Kobar), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan Keluarga Besar Universitas Indonesia (KB-UI).
Dengan membawa bendera-bendera bergambar Megawati, di sepanjang jalan yang dilalui mereka meneriakkan yel-yel ''Megawati Presiden atau revolusi''. Sekitar 200 meter dari Gedung KPU mereka dihadang oleh barikade aparat kepolisian yang diperlengkapi kendaraan berlapis baja penyemprot air mengandung zat kimia. Pengunjuk rasa terus berjalan sampai mendekati garis pembatas polisi. Anggota KPU Andi Malarangeng menyediakan diri berdialog dengan demonstran di tengah jalan.
Kepada KPU, para pengunjuk rasa menuntut agar Golkar didiskualifikasi dan dinyatakan sebagai partai terlarang karena kecurangan-kecurangan yang telah dilakukannya. Namun Malarangeng menjawab, itu bukan wewenang KPU.
Siap tanggung jawab
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyatakan siap mempertanggungjawabkan tindakannya berkaitan dengan peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996. Saat itu, Sutiyoso memangku jabatan selaku Panglima Kodam Jaya berpangkat Mayor Jenderal TNI.
Hal tersebut diungkapkan Gubernur DKI yang kini berpangkat Letnan Jenderal TNI di Jakarta, Selasa. ''Saya siap tentu saja, kenapa tidak?'' ujarnya. Sebelumnya, Sutiyoso menolak menjawab pertanyaan seputar peristiwa 27 Juli dengan alasan itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Namun setelah dikejar pertanyaan bahwa dia juga dianggap bertanggung jawab, Sutiyoso mengatakan, hal itu disebabkan saat itu ia menjabat Panglima Kodam Jaya. Dijelaskan, selaku panglima, dia berkewajiban melokalisir tempat kejadian agar tidak meluas. ''Itu sudah saya lakukan sebagai panglima,'' ujarnya. Menurut Sutiyoso, bila tindakan tersebut tidak diambil, maka dipastikan kerugian material dan korban jiwa akan bertambah besar.
Ditanya mengapa dia mengenakan baju sipil di sekitar lokasi saat kejadian, Sutiyoso menjawab, hal itu disebabkan peristiwanya terjadi pada hari Sabtu yang merupakan hari libur. Di samping itu, kerusuhan yang terjadi begitu cepat menjadi kritis.
''Sebagai panglima, aku harus datang ke lokasi. Itu hari libur. Apa nggak boleh pakai pakaian sipil? Semua orang juga tahu saya panglima, meski pakai baju apa. Semua staf saya juga pakai pakaian sipil waktu itu, kecuali yang memang punya jadwal bertugas di lapangan,'' ujarnya.
Semangat reformasi
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Dili, Timor Timur, Selasa, menyatakan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri harus tetap memperjuangkan semangat reformasi. Insiden 27 Juli tiga tahun lalu menjadi inspirasi penting bagaimana PDI Perjuangan melangkah ke depan.
Hal itu disampaikan Gus Dur ketika menjawab wartawan mengenai insiden 27 Juli 1996. Gus Dur berada dua hari di Dili untuk melihat dari dekat perkembangan situasi keamanan di Timtim menjelang penentuan pendapat.
''Penyerbuan itu sebaiknya ditanyakan kepada ABRI (TNI). Itu pengalaman demokrasi kita di masa lalu yang kurang baik. Tetapi Mbak Mega harus tetap memperjuangkan reformasi itu,'' katanya.
(wis/kor/yns/myr)
Berita Terkait :
Berita-berita Tragedi 27 Juli 1996
Sutiyoso Siap Bertanggung Jawab
Soal Tragedi 27 Juli di Jakarta
Rabu, 28 Juli 1999
Jakarta, Buana
Bekas Pangdam Jaya yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta, Letjen (Pur) Sutiyoso, mengaku siap mempertanggungjawabkan apa saja yang diperbuatnya saat meletusnya tragedi 27 Juli. "Apa yang saya lakukan saat itu hanya untuk meminimalisasi kerugian dan jatuhnya korban jiwa," ujar Sutiyoso di Jakarta, Selasa (27/7) petang.
Sutiyoso merupakan salah satu dari empat jenderal purnawirawan yang didesak agar dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tragedi 27 Juli. Desakan itu muncul dari ribuan massa PDI Perjuangan (PDI-P) yang memperingati tiga tahun tragedi berdarah tersebut di depan bekas markas PDI Jl Diponegoro, Jakarta, Selasa pagi. Selain Sutiyoso, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Letjen (Purn) Syarwan Hamid, dan Letjen (Purn) Yogie SM disebut-sebut sebagai tokoh yang harus diadili sehubungan tragedi 27 Juli.
Wakil Sekjen PDI-P Mangara Siahaan dan Wakil Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta, Jacob Nuwawea, menegaskan, pihaknya tidak akan pernah berhenti mengejar atau meminta pertanggungjawaban dari para dalang tragedi 27 Juli. Diakuinya, beberapa orang dari mereka masih menjadi pengurus PDI dan duduk di kabinet pemerintahan BJ Habibie.
Ditemui di sela-sela peringatan tiga tahun peristiwa penyerbuan itu di Istora Senayan, Jakarta, Selasa siang, Mangara dan Jacob menegaskan, Syarwan Hamid (ketika itu Kassospol ABRI), Feisal Tanjung (Menhankam), Yogie S Memet (Mendagri), dan Sutiyoso (Pangdam Jaya) adalah pihak-pihak yang harus dimintai pertanggungjawabannya.
Sementara itu, anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menambahkan, Dibyo Widodo (ketika itu Kapolda Metro Jaya) dan Abu Bakar Nataprawira (Kapolres Jakpus) juga harus diminta pertanggungjawabannya. "Abu Bakar, misalnya, pernah mengeluarkan surat pengamanan untuk Jl Diponegoro pada kurun waktu 6-26 Juli 1996" kata Petrus.
Sebagai orang yang dituduh PDI-P terlibat dalam tragedi 27 Juli, Sutyoso menyatakan siap mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi. "Bila ada yang minta, tentu saja saya siap mempertanggungjawabkan apa-apa yang saya perbuat saat terjadi peristiwa penyerbuan kantor PDI tiga tahun lalu itu. Selaku Pangdam, salah satu tanggung jawab saya kala itu adalah melokalisasi areal perselisihan kubu Mega dan Soerjadi," katanya.
Sutiyoso menambahkan, tujuannya melokalisasi tempat perseteruan itu adalah untuk meminimalkan kerugian dan mencegah jatuhnya banyak korban. "Itu sudah saya lakukan sebagai Panglima, sehingga perkelahian massal antar dua kubu tidak merembet luas ke wilayah lain," paparnya.
Sutiyoso sempat kaget ketika kasus 27 Juli itu diungkit lagi. "Mengapa hal itu ditanyakan pada saya. Sebaiknya Anda tanyakan pada pemerintah. Itu bukan kewenangan saya," kilah Sutiyoso. Hanya, ia mengakui berada di lokasi peristiwa saat penyerbuan itu terjadi dan hanya mengenakan pakaian sipil. Menurut Sutyoso, mengenakan pakaian sipil saat itu bukan sesuatu yang harus dilihat sebagai di luar kebiasaan. ''Aku datang pada saat penting. Pada saat terjadi kerusuhan dan pada saat terjadi hal yang kritis, sebagai Panglima aku harus datang ke lokasi. Tidak harus mengenakan pakaian dinas," paparnya.
Jangan Terulang
Jacob mengemukakan, PDI-P tidak hanya meminta pertanggungjawaban Soerjadi cs, tetapi juga orang-orang yang berada di belakang atau menjadi otak dari penyerbuan itu. "Mereka harus ikut bertanggung jawab menuntaskan kasus ini agar tragedi itu jangan terulang lagi" tegas Jacob.
Di lain pihak, Mangara mengingatkan, PDI-P tidak akan berhenti mendesak pengusutan tragedi 27 Juli. "Kami akan tetap mendesak agar pelaku dan dalang peristiwa itu diusut dan diadili,'' ujarnya, sambil menyatakan bahwa bukti kesungguhan PDI-P mengusut kasus itu ditunjukkan dari tindak lanjut yang berkesinambungan. Antara lain, pihaknya sudah dua kali mengadukan keempat jenderal purnawirawan itu kepada polisi. "Bahwa selama tahun ini tidak ada hasilnya, itu karena polisi mengaku bahwa berkas laporan kami hilang,'' ungkap Mangara lagi.
Ditegaskannya, belum lama ini PDI-P kembali mengajukan laporan ke polisi. Bahkan, Sekjen PDI-P Alexander Litaay sudah dua kali dipanggil untuk memberi kesaksian. Meski demikian, TPDI menduga bahwa polisi tidak memiliki kemauan politik untuk mengusut kasus 27 Juli. Namun, TPDI tidak akan berhenti. Baru-baru ini, TPDI mendesak Puspom TNI melakukan pengusutan.'' Kami menawarkan dan mendesak agar saksi-saksi yang kami ketahui diperiksa," kata Petrus.
Dalam waktu dekat, misalnya, TPDI akan mendesak polisi untuk memeriksa pemilik gedung Artha Graha. "Saat itu, gedung Arthagraha dijadikan tempat konsentrasi penyerangan," kata Petrus.***
Taufik Kiemas: PDI-P Dapat Bendung Poros Tengah
Rabu, 28 Juli 1999
JAKARTA -- Republika
Kubu PDI Perjuangan yakin dapat membendung upaya faksi 'Poros Tengah' yang digagas Amien Rais serta sejumlah parpol berbasis massa Islam dalam menggolkan calon presiden di SU MPR mendatang. Menurut tokoh senior partai tersebut, Taufik Kiemas, keyakinan itu muncul lantaran kekuatan mereka masih tetap solid.
''Peluang Megawati untuk menduduki kursi presiden masih terbuka lebar. Dan, PDI-P saat ini dalam kondisi yang solid untuk mengantarkan ketua umumnya menjadi presiden,'' tegas Taufik yang juga suami Megawati Soekarnoputri usai acara peringatan 'Insiden 27 Juli' di Istora Senayan, Jakarta, kemarin.
Di tubuh PDI-P, kata Taufik, tidak terdapat fraksi-fraksi seperti yang dituduhkan kebanyakan orang. ''Yang ada hanya fraksi Megawati dengan rakyat,'' tegasnya.
Kesolidan PDI-P tersebut, lanjut Taufik, dapat membendung upaya yang dilakukan faksi Poros Tengah. ''Tidak benar jika ada yang mengatakan ada caleg PDI-P yang akan membelot dan memilih capres lain selain Mega,'' katanya.
Loyalitas anggota PDI-P ini, kata Taufik, tidak usah diragukan lagi. Bahkan sampai saat ini, lanjutnya, DPP PDI-P tidak perlu lagi melakukan indoktrinasi kepada caleg-calegnya yang akan melenggang ke Senayan.
Menurut Taufik, Megawati akan menjadi komandan bagi caleg PDI-P di SU MPR semantara rivalnya BJ Habibie berada 'di luar' gedung DPR/MPR. ''Tinggal memberikan instruksi, semuanya akan memilih Mega. Dan, yang tidak memilihnya, akan ketahuan,'' katanya.
Dalam kesempatan sama, wakil Sekjen PDI-P Haryanto Taslam mengatakan dirinya dan semua jajaran PDI-P tidak khawatir dengan kekuatan dan manuver-manuver faksi Poros Tengah. ''Kekuatan dari mana. Itu 'kan hanya segelintir orang-orang itu saja yang mengaku Poros Tengah. Untuk apa kita khawatir,'' tegas Taslam.
Munculnya faksi Poros Tengah, menurut Taslam, merupakan persoalan yang sederhana bagi PDI-P dan tidak usah dijadikan permasalahan yang serius. ''Kalau kita mau dewasa dalam berdemokrasi, tidak perlu lagi kita membicarakan hal yang seperti itu. Yang penting kan rakyat sudah memilih dan menentukan putusan. Semua politikus harus berpijak kepada realitas itu, kalau kita mau dewasa berdemokrasi, mau cerdas dalam berdemokrasi.''
Taslam menegaskan adanya faksi Poros Tengah tidak mengakibatkan perjuangan PDI-P menggolkan Megawati sebagai presiden semakin berat. Ketika ditanya apa yang akan dilakukan PDI-P sehubungan dengan gerakan faksi Poros Tengah, Taslam mengatakan berdasarkan pidato Megawati, yakni perjuangan damai tanpa kekerasan dan itu yang harus dilakukan.
Di tempat terpisah, Ketua DPP Partai Golkar Slamet Effendi Yusuf menyatakan tidak mustahil kekuatan Poros Tengah dan Golkar akhirnya bersatu. Menurutnya, jika Poros Tengah belum juga sepakat dalam hal-hal tertentu, misalnya soal capres, maka bisa jadi pada akhirnya Poros Tengah akan berpihak pada Golkar.
''Kita sekarang masih mencoba meyakinkan mereka. Kita juga masih melihat walaupun Poros Tengah ini sangat mungkin dibentuk, tapi mereka kan belum sampai pada hal-hal detail, misalnya termasuk siapa capresnya,'' ujar Slamet seusai acara bedah buku Pandangan Perempuan tentang Indonesia Baru karya La Rose dan Upi Tuti Sundari di Jakarta kemarin.
Slamet menegaskan Golkar sangat optimis bisa bekerja sama baik dengan Poros Tengah. Bahkan, lanjutnya, tidak mustahil Poros Tengah pada akhirnya akan mendukung capres dari Golkar.
''Dari kacamata Golkar, kalau Poros Tengah tidak berhasil merumuskan siapa capresnya, saya pikir mereka akan lebih berpihak pada partai Golkar, kami optimis,'' ujar Slamet.
Selain ke Poros Tengah, jelas Slamet, Golkar juga akan mendekati PDI-P. ''Kita akan melakukan pendekatan pada seluruhnya, ya Poros Tengah ya PDI-P. Di PDI-P kita juga banyak kawan-kawan yang mencoba memikirkan masalah dalam konteks kepentingan bangsa, keselamatan bangsa,'' jelasnya.
Mengenai seberapa jauh hasil kerja 'Tim Sukses Golkar' menghadapi SU MPR nanti, Slamet menjelaskan saat ini sudah sampai pada tahap melengkapi data-data. ''Sekarang tahapnya dilengkapi dan sudah hampir selesai, minggu depan sudah mulai operasional,'' katanya.
Masukan yang diterima Golkar, sambung Slamet, juga sudah sangat banyak. ''Masukan luar biasa, dari berbagai universitas dan juga perorangan. Dari masukan yang ada kami berkesimpulan memang masyarakat menghendaki amandemen khususnya pengaturan pilar-pilar kekuasaan negara yaitu eksekutif, yudikatif, legislatif lebih diperjelas.''
Mengenai kemungkinan kesepahaman Poros Tengah dan Golkar, Ketua DPP PAN AM Fatwa berpendapat bahwa hal tersebut tidak mustahil terjadi. ''Tidak ada yang mustahil dalam proses politik, kita lihat prosesnya nanti di lapangan, pada waktunya harus diputuskan. Tidak ada kata putus yang definitif di dalam politik, harus berproses sampai ke ujung dan menemukan satu kompromi,'' ujarnya.
Namun sampai saat ini, kata Fatwa, Poros Tengah belum memikirkan untuk bergabung dengan Golkar kendati sudah ada lobi-lobi dari pihak Golkar. ''Kita belum berbicara untuk bergabung dengan Golkar, belum memikirkan. Kita lihat saja prosesnya di SU MPR nanti.''
Menurut Fatwa, lobi-lobi yang ada saat ini baru sampai pada tingkat elite politik. ''Lobi-lobi itu memang ada, baru antarelite pimpinan, tapi belum ada suatu kesimpulan,'' ujarnya.
Fatwa yakin Poros Tengah akan mendapat suara mayoritas dan bisa mengalahkan kursi terbanyak yang saat ini dipegang PDI-P. ''Partai-partai Islam ditambah PAN akan banyak memperoleh dukungan apalagi di SU MPR nanti dengan one man one vote, diharapkan kita memperoleh mayoritas,'' katanya.
Mengenai pilihan Amien Rais yaitu Gus Dur sebagai capres Poros Tengah, Fatwa menyatakan hal tersebut sudah dibicarakan dalam rapat pimpinan partai. ''Intinya, partai memberi kesempatan kepada Amien untuk meneruskan gagasannya itu.''
Kendati demikian, tambah Fatwa, Poros Tengah tidak pernah menutup calon alternatif lainnya. ''Tentu kita berpikir terus. Apakah mencalonkan Amien, memang kami belum pernah mencabut rekomendasi Amien Rais untuk jadi presiden. Kalau PPP juga ternyata memiliki figur yang memenuhi kualifikasi mengapa tidak?'' tandasnya.***